BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

Eko Yudha ( )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

Dr. ir. Ade Komara Mulyana Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim. BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Magister Fisika, FMIPA ITB. Fisika Bumi dan Sistem Kompleks, FMIPA ITB. (corresponding author) b)

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Gambaran ellipsoid, geoid dan permukaan topografi.

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS. 4.1 Nilai undulasi geoid dari koefisien geopotensial UTCSR

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

Isfandiar M. Baihaqi

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

Status Data RBI Skala 1: dan 1: Tahun Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial KEBIJAKAN SATU PETA

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Studi Penentuan Aliran Hidrologi Metode Steepest slope dan Lowest height dengan ASTER GDEMV2 dan ALOS PALSAR (Studi Kasus: Gunung Kelud, Jawa Timur)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN I.1

REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25

III. METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

EKSTRAKSI MORFOMETRI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI WILAYAH KOTA PEKANBARUUNTUK ANALISIS HIDROGRAF SATUAN SINTETIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru Berdasarkan Data Survei GPS dan Model Geoid EGM 1996

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

PEMODELAN GEOID DARI DATA SATELIT GRACE

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

ANALISA BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DARI DATA ASTER GDEM TERHADAP DATA BPDAS (STUDI KASUS : SUB DAS BUNGBUNTU DAS TAROKAM)

Studi Penentuan Aliran Hidrologi Metode Steepest Slope dan Lowest Height dengan Aster GDEMV2 dan Alos Palsar (Studi Kasus: Gunung Kelud, Jawa Timur)

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

K NSEP E P D A D SA S R

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

LAPORAN HASIL PENELITIAN INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data digital yang merepresentasikan bentuk topografi suatu wilayah dalam tiga dimensi (3D). Aplikasi Model Elevasi Digital antara lain adalah dalam geomorfologi seperti pemodelan erosi, hidrologi misalnya dalam pemodelan banjir, perencanaan tata ruang suatu wilayah, manajemen penggunaan lahan, pemetaan wilayah rawan bencana, dan berbagai keperluan lainnya seperti pembuatan peta rupabumi, serta peta ortofoto. Data DEM umumnya dibentuk dari data pengukuran secara langsung pada objek di lapangan (survei terestris), data penginderaan jauh, maupun data digitasi peta analog. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam pembentukan DEM antara lain adalah data foto udara, serta penginderaan jauh dengan sensor aktif seperti LIDAR (Light Detection and Ranging) dan SAR (Syntethic Aperture Radar). Pembuatan DEM melalui foto udara membutuhkan data stereo yaitu kondisi dimana citra atau foto satu dengan yang lainnya memiliki daerah yang saling tumpang tindih (overlap) dengan sudut pandang yang berbeda. Turunan dari data DEM antara lain dapat berupa perspektif 3 dimensi, kontur, kelas elevasi, dan kemiringan (slope). Model tinggi yang tersedia di Indonesia salah satunya berupa data peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diproduksi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta RBI merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari berbagai skala. Ketersediaan peta RBI khususnya pada skala detil 1:25.000 saat ini belum meliputi seluruh wilayah Indonesia. Peta RBI skala 1:25.000 baru tersedia untuk wilayah Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Salah satu penyebab sedikitnya ketersediaan peta RBI skala 1:25.000 adalah dikarenakan minimnya ketersediaan data DEM yang akurat dengan resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar untuk pemetaan skala 1:25.000 di Indonesia. Saat ini, data DEM yang banyak digunakan di Indonesia antara lain adalah data DEM yang bersumber dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission), dan ASTER 1

2 GDEM. Masing-masing dari data DEM tersebut masih memiliki kesalahan tinggi, sehingga belum dapat digunakan secara maksimal untuk keperluan pemetaan. Julzarika (2015), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa nilai akurasi vertikal global dari SRTM C adalah sebesar 10-16 m, kemudian jika dilakukan koreksi nilai kesalahan tinggi pada data tersebut, maka nilai akurasi vertikal dari SRTM C akan meningkat menjadi 5-8 m. Ketika data SRTM C dilakukan integrasi dengan data ALOS Palsar ataupun X SAR, maka nilai akurasi vertikal data tinggi tersebut akan lebih baik lagi, yaitu meningkat menjadi 1-5 m. Akurasi DEM dapat diketahui melalui perhitungan nilai RMSE (Root Mean Square Error) dengan menggunakan data acuan nilai ketinggian di lapangan yang akurat. Akurasi horizontal diperoleh dengan perhitungan RMSE dengan nilai koordinat x dan y pada data acuan, sedangkan akurasi vertikal diperoleh dari perhitungan RMSE dengan nilai koordinat z dari ketinggian data acuan. Penggabungan beberapa DEM dengan kelebihan dan kekurangannya masingmasing dilakukan untuk mendapatkan data DEM yang memiliki resolusi dan akurasi tinggi yang lebih baik dan dapat memenuhi standar guna keperluan pemetaan. Standar pemetaan yang digunakan adalah Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Penggabungan beberapa data DEM dari berbagai sumber data yang telah memenuhi standar pemetaan yang digunakan disebut sebagai desain DEM Nasional. Desain DEM Nasional merupakan desain DEM yang akan mencakup seluruh wilayah Indonesia. Pada penelitian ini akan dibuat beberapa kombinasi penggabungan dari data DEM yang digunakan pada wilayah Kalimantan Barat untuk menghasilkan suatu purwarupa desain DEM Nasional. Purwarupa yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi satu model yang digunakan sebagai acuan dalam pembentukan desain DEM pada wilayah yang berbeda guna keperluan pemetaan. Pemetaan skala besar sangat diperlukan oleh daerah dalam memetakan wilayahnya, terutama untuk pemetaan rencana tata ruang. Ketersediaan peta skala 1:25.000 yang belum meliputi seluruh wilayah Indonesia akan menghambat kepentingan pembuatan peta rencana tata ruang yang digunakan sebagai dasar

3 pembangunan wilayah. Peta dasar skala 1:25.000 salah satunya digunakan untuk keperluan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan (RTRWP). Oleh sebab itu, ketersediaan skala peta 1:25.000 yang belum merata di seluruh Indonesia tentu akan menghambat pembuatan RTRW Perkotaan. Terhambatnya pembuatan RTRWP akan mengakibatkan pembangunan wilayah khususnya wilayah perkotaan yang belum memiliki peta dasar skala 1:25.000 tersebut tidak dapat dilakukan. Data DEM yang seragam di wilayah Indonesia yang dapat digunakan untuk pemetaan dasar skala 1:25.000 sangat diperlukan guna memenuhi kelengkapan data dan kebutuhan perencanaan tata ruang wilayah. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul Analisis Resolusi Dan Akurasi Vertikal Purwarupa Desain Model Elevasi Digital Nasional untuk Pemetaan Dasar Skala 1:25.000. I.2. Identifikasi Masalah Ketersediaan data DEM di Indonesia yang memenuhi standar untuk penataan ruang dan perencanaan pembangunan dalam cakupan nasional guna menunjang berbagai kebutuhan khususnya pemetaan skala 1:25.000 sangatlah sedikit, sehingga dibutuhkan suatu data DEM yang memenuhi kriteria untuk menunjang kebutuhan tersebut. Penggabungan beberapa data DEM merupakan salah satu solusi untuk mendapatkan data DEM yang memiliki resolusi dan akurasi vertikal yang sesuai untuk pemetaan tersebut. Data DEM yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ASTER GDEM, SRTM, IFSAR dan TerraSAR-X. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dibuat suatu purwarupa desain DEM Nasional. Purwarupa DEM Nasional merupakan DEM hasil dari integrasi beberapa data DEM di wilayah Kalimantan Barat. Analisis resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar pemetaan dasar skala 1:25.000 sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar dilakukan pada DEM Nasional yang telah dibuat guna mengetahui kecocokan data dengan standar pemetaan tersebut.

4 I.3. Pertanyaan Penelitian Dari identifikasi masalah yang telah dibahas di atas, dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah semua data dapat dilakukan integrasi DEM menjadi purwarupa desain DEM Nasional? 2. Berapa nilai resolusi dan akurasi vertikal dari purwarupa desain DEM Nasional? 3. Kombinasi data DEM apakah yang paling baik dan memenuhi standar pemetaan skala 1:25.000? I.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian dalam penelitian ini difokuskan pada : 1. Data DEM yang digunakan adalah IFSAR, TerraSAR-X, ASTER GDEM, dan SRTM berupa DSM (Digital Surface Model), 2. Lokasi penelitian berada di Kalimantan Barat, 3. Sistem referensi horizontal yang digunakan adalah WGS 1984 dan datum vertikal yang digunakan adalah EGM 2008, 4. Penelitian dibatasi pada penggunaan dan pengolahan data hasil olahan yang sudah berbentuk DSM, tidak dilakukan pembuatan DSM dari data hasil akuisisi di lapangan, 5. Metode yang digunakan adalah integrasi DEM, 6. Integrasi dilakukan dengan kombinasi antara data global (SRTM atau ASTER GDEM) dengan IFSAR maupun TerraSAR-X, I.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai resolusi dan akurasi tinggi dari masing-masing kombinasi integrasi data DEM, serta untuk mendapatkan purwarupa DEM Nasional dengan nilai resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar pemetaan dasar skala 1:25.000 sesuai dengan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014.

5 I.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah hasil purwarupa DEM Nasional tersebut dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kurangnya data DEM di Indonesia yang dapat digunakan sebagai standar untuk pemetaan dasar skala 1:25.000. I.7. Tinjauan Pustaka Penelitian ini menerapkan metode integrasi DEM dengan melakukan kombinasi data IFSAR, TerraSAR-X, SRTM, dan ASTER GDEM pada daerah Kalimantan Barat. Datum vertikal yang digunakan adalah EGM 2008 dan datum horizontal yang digunakan adalah WGS 1984. Beberapa penelitian yang pernah ada sebelumnya, meneliti integrasi DEM menggunakan berbagai macam data tinggi, metode koreksi kesalahan tinggi, dan berbagai metode integrasi. Hoja, dkk, (2006) melakukan penelitian tentang perbandingan metode generasi DEM dan kombinasi menggunakan citra optik stereo resolusi tinggi dan data SAR interferometric. Metode yang digunakan pada penelitian tersebut adalah integrasi dan fusi dengan pembobotan. Koreksi kesalahan tinggi menggunakan metode fill sink, dan cut terrain. Bidang geoid yang digunakan sebagai acuan adalah EGM96. Jenis model tinggi yang diolah adalah SPOT 5 dan X SAR dengan lokasi penelitian berada di Catalonia. Penelitian ini menghasilkan akurasi data hasil integrasi sebesar 1-2 meter untuk dua daerah uji perbukitan di Bavaria dan Catalonia. Hoja dan d angelo, (2009) melakukan penelitian tentang tentang analisis kombinasi DEM menggunakan citra optik stereo resolusi tinggi dan data SAR interferometric. Metode yang digunakan adalah fusi dengan pembobotan dan integrasi tanpa bobot. Koreksi kesalahan tinggi dilakukan dengan metode fill sink, dan cut terrain. Bidang geoid yang digunakan sebagai acuan adalah EGM96. Jenis model tinggi yang diolah adalah Cartosat dan SRTM C dengan lokasi penelitian berada di Catalonia. Penelitian ini menghasilkan akurasi data hasil integrasi sebesar 1-2 meter untuk dataran tinggi di Catalonia. Julzarika, (2015) melakukan penelitian yang sama tentang integrasi model tinggi menggunakan SRTM C, X SAR, ASTER GDEM, dan ALOS Palsar dengan

6 daerah kajian berada pada Tabalong, Kalimantan Selatan. Pada penelitiannya, metode yang digunakan adalah integrasi DEM dan juga fusi DEM, yang sebelumnya telah dilakukan pembobotan terlebih dahulu. Evaluasi hasil menggunakan standar peta ASPRS (Accuracy Standard for Digital Geospasial Data). Hasil dari koreksi kesalahan tinggi dikoreksikan kembali dengan koreksi kesalahan undulasi menggunakan acuan model geoid EGM2008. Pada penelitian tersebut, dibuat 11 kombinasi model tinggi dari 4 buah jenis data model tinggi. Penelitian ini menghasilkan kombinasi SRTM C dan ALOS Palsar memiliki akurasi vertikal paling optimal yaitu sebesar 2,58 m. Kombinasi ini efisien dalam biaya dan waktu pengerjaan, efektif dalam penggunaan data karena hanya membutuhkan dua model tinggi akan menghasilkan nilai akurasi vertikal paling optimal. Selain kombinasi SRTM C dan ALOS Palsar, ada juga kombinasi optimal lainnya yaitu X SAR, SRTM C, dan ALOS Palsar. Nilai akurasi vertikal yang diperoleh adalah 3,84 m. I.8. Landasan Teori I.8.1. Digital Elevation Model (DEM) Nasional Model ketinggian didefinisikan menjadi beberapa model antara lain DEM (Digital Elevation Model), DSM (Digital Surface Model), dan DTM (Digital Terrain Model). DEM adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat (Tempfli, 1991). Terdapat dua tipe data DEM yaitu Digital Terain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM). DEM yang menyajikan permukaan bumi beserta segala penutup lahan yang ada di atasnya dinamakan Digital Surface Model (DSM), sedangkan DEM yang hanya merepresentasikan konfigurasi terain tanpa penutup lahan yang ada di permukaan tanah dan dilengkapi fitur alami seperti sungai, sering disebut sebagai Digital Terain Model (DTM). Dengan demikian, DSM dapat dikatakan lebih detil dibandingkan DTM yang hanya merepresentasikan permukaan bumi berdasarkan konfigurasi terain tanpa penutup lahan yang ada di atasnya (Puspita, dkk, 2013). Gambar I.1. merupakan visualisasi dari DTM dan DSM.

7 Gambar I. 1. Model tinggi (DTM dan DSM) (sumber : Aerometrex.com, 2011) Gambar I.1. merupakan visualisasi dari DSM dan DTM pada wilayah Adelaide, Australia Selatan. Pada Gambar I.1. terlihat dengan jelas perbedaan antara DSM dan DTM, dimana DSM dilengkapi dengan ketinggian penutup lahan (tinggi bangunan, pohon, dan lain sebagainya), sedangkan DTM merupakan representasi kondisi terrain tanpa penutup lahan pada wilayah Adelaide. Istilah DEM Nasional merupakan istilah yang diajukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Kriteria DEM Nasional yang diajukan oleh BIG adalah sebagai berikut (File Preliminary Study of National Elevation Dataset BIG, 2014) : 1. Merupakan data mosaik (seamless) ketinggian terbaik dari yang ada yang didefinisikan dalam datum, unit ketinggian dan proyeksi yang sama serta mencakup seluruh wilayah Indonesia. 2. Data tinggi merupakan hasil dari perekaman sensor RADAR baik secara interferometri maupun radargrammetri dengan wahana pesawat maupun satelit. 3. Format data dalam raster. 4. Data ketinggian nasional merupakan hasil kompilasi beberapa macam data ketinggian yang didefinisikan dalam suatu sistem referensi horisontal dan vertikal. 5. Data ketinggian Nasional dikelola dalam sistem koordinat geografis menggunakan Datum WGS 84. 6. Satuan nilai ketinggian dalam meter menggunakan datum SRGI 2013.

8 7. Data ketinggian Nasional digunakan sebagai informasi ketinggian dasar untuk keperluan ilmu pengetahuan kebumian, modeling hidrologi, manajemen bencana, survei dan pemetaan di Indonesia. 8. Data Ketinggian nasional merupakan data berbagi pakai yang disebarluaskan ke setiap simpul jaringan melalui skema IDSN (Infrastruktur Data Spasial Nasional). 9. Memiliki metadata yang jelas. 10. Perbaikan dari data tinggi global yang telah tersedia (seperti SRTM, dan ASTER GDEM). Spesifikasi dari DEM Nasional yang disusun oleh BIG ditampilkan dalam Tabel I.1. Tabel I.1. menjelaskan mengenai jenis data yang digunakan untuk DEM Nasional, sistem koordinat, datum, resolusi spasial, akurasi, tipe file, format file, dan tahun akuisisi data DEM Nasional. Tabel I. 1. Spesifikasi DEM Nasional BIG (sumber : file Preliminary Study of National Elevation Dataset BIG, 2014) No. Spesifikasi Keterangan 1. Jenis data tinggi DSM (Digital Surface Model) 2. Sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) 4. Datum horizontal SRGI 2013 5. Datum vertikal SRGI 2013 6. Unit Meter 7. Spacing grid 5-10 meter 8. Akurasi horizontal 2-10 meter 9. Akurasi vertikal 2-6 meter 10. Tipe file 32 bit 11. Format RASTER Geotiff 12. Layer format Seamless 13. Tahun akuisisi 2005-2014

9 Dari spesifikasi DEM Nasional yang dijelaskan pada Tabel I.1. tersebut, terdapat beberapa hal yang disesuaikan dengan penelitian ini. Spesifikasi DEM Nasional yang disesuaikan dengan penelitian ini antara lain datum horizontal yang digunakan pada penelitian ini adalah WGS 1984, tidak dilakukan transformasi ke SRGI 2013 karena tidak tersedianya titik ikat untuk melakukan transformasi koordinat. Datum vertikal yang digunakan adalah EGM 2008, karena datum vertikal SRGI 2013 pada wilayah penelitian masih menggunakan EGM 2008. Akurasi yang diteliti hanya sebatas akurasi vertikal, sehingga akurasi horizontal tidak dihitung. I.8.2. Status Ketersediaan Data Tinggi Ketersediaan model data tinggi dalam bentuk DSM di Indonesia baik yang diakuisisi menggunakan pesawat udara maupun satelit yaitu IFSAR, TerraSAR-X, dan Radarsat2 disajikan dalam bentuk peta pada Gambar I.2 dan I.3. Gambar I.2. merupakan pengadaan model tinggi yang dilakukan oleh Badan Geologi, sedangkan Gambar I.3. merupakan pengadaan model tinggi oleh Badan Informasi Geospasial. Gambar I. 2. Pengadaan data RADAR yang telah dilakukan oleh Badan Geologi (sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG) Gambar I.2. menjelaskan pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan Geologi meliputi data airborne IFSAR, Radarsat, dan TerraSAR-X. Warna kuning menunjukkan ketersediaan data citra airborne IFSAR sebanyak 364 NLP 1:50.000, warna biru menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 622 NLP 1:50.000, warna ungu menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 497 NLP 1:50.000,

10 warna merah menunjukkan ketersediaan citra TerraSAR-X sebanyak 906 NLP 1:50.000, dan warna hijau menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 285 NLP 1:50.000. Spesifikasi dari data DEM hasil pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan Geologi disebutkan dalam Tabel I.2. Tabel I. 2. Spesifikasi data DEM yang dimiliki oleh Badan Geologi (sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG) Jenis Data Airborne IfSAR Data TerraSAR-X Data Radarsat Cakupan Wilayah Panjang Gelombang Resolusi Horizontal (meter) Ketelitian Vertikal (meter) Kesesuaian Skala Pemetaan Tahun Akuisisi Sulawesi X Band 5 1,8 3 1:25.000 2003 Aceh, Lampung, Bangka- Belitung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara Sebagian Kalimantan dan sebagian Papua X Band 5 7,5 4 7 1:25.000 2011 dan 2012 C Band 10 5 10 1:50.000 2009-2010 Tabel I.2. menjelaskan spesifikasi dari data DEM yang dimiliki oleh Badan Geologi, yaitu data airborbe IFSAR, TerraSAR-X, dan Radarsat. Spesifikasi yang dijelaskan berupa cakupan wilayah, panjang gelombang, resolusi horizontal, ketelitian vertikal, kesesuaian skala pemetaan, dan tahun akuisisi. Gambar I. 3. Pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)

11 Gambar I.3. menunjukkan pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial berupa data IFSAR dan data TerraSAR-X. Spesifikasi dari data DEM hasil pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial disebutkan dalam Tabel I.3. Tabel I. 3. Spesifikasi data DEM yang dimiliki oleh Badan Informasi Geospasial (sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG) Jenis Data Airborne IfSAR Data TerraSAR-X Data TerraSAR-X Wilayah Cakupan Sebagian Sumatera, sebagian kecil Kalimantan, sebagian kecil Papua Sebagian kecil Kalimantan Sebagian kecil Kalimantan, sebagian kecil Papua Panjang Gelombang Resolusi Horizontal (meter) Ketelitian Vertikal (meter) Kesesuaian Skala Pemetaan Tahun Akuisisi X Band 5 1,8 3 1:25.000 2003-2007 X Band 5 4 7 1:25.000 2012-2013 X Band 5 4 7 1:50.000 2011 Tabel I.3. menjelaskan spesifikasi dari data DEM yang dimiliki oleh Badan Informasi Geospasial, yaitu data airborbe IFSAR, dan TerraSAR-X. Spesifikasi yang dijelaskan berupa cakupan wilayah, panjang gelombang, resolusi horizontal, ketelitian vertikal, kesesuaian skala pemetaan, dan tahun akuisisi. Gambar I.4. menunjukkan wilayah pengadaan data RADAR oleh BIG Ttahun 2014. Gambar I. 4. Wilayah pengadaan data RADAR oleh BIG tahun 2014 (sumber : Kerangka Acuan Kerja Pengadaan Data RADAR Tahun 2014, BIG)

12 Gambar I.4. menjelaskan pelaksanaan pengadaan data dasar RADAR untuk keperluan proses orthorektifikasi sebagai implementasi Inpres No.6 Tahun 2012 untuk menghasilkan citra tegak dengan ketelitian horizontal yang memenuhi spesifikasi peta 1:5.000 oleh Badan Informasi Geospasial pada Tahun 2014. Pengadaan DEM RADAR tahun 2014 tersebut digunakan untuk melengkapi ketersediaan data RADAR di Indonesia yang sudah dilakukan oleh Badan Geologi maupun BIG. Tabel I.4. menunjukkan spesifikasi pengadaan data RADAR tahun 2014 yang dilakukan oleh BIG. Tabel I. 4. Spesifikasi pengadaan data dasar RADAR oleh BIG tahun 2014 (sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG) Wilayah Cakupan Kalimantan, Papua dan Kepulauan/Pulau-Pulau Kecil Panjang Gelombang Resolusi Horizontal (meter) Ketelitian Vertikal (meter) Kesesuaian Skala Pemetaan X Band 5 4-7 1:25.000 Tabel I.4. menjelaskan spesifikasi pengadaan data dasar RADAR oleh BIG tahun 2014 yang berada pada wilayah Kalimantan, Papua, dan kepulauan/pulau-pulau kecil. Tabel I.4. juga menjelaskan mengenai spesifikasi panjang gelombang, resolusi horizontal, ketelitian vertikal, dan kesesuaian skala pemetaan. Suatu wilayah di Indonesia dengan wilayah yang lainnya memiliki data RADAR yang berbeda-beda dengan resolusi horizontal dan akurasi vertikal yang berbeda-beda juga. Pembuatan DEM Nasional yang diajukan oleh BIG bertujuan untuk menyeragamkan resolusi horizontal dan akurasi vertikal dari seluruh data RADAR yang tersedia di Indonesia. I.8.3. Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR) Salah satu metode SAR (Synthetic Aperture Radar) yang saat ini sedang berkembang adalah IFSAR. IFSAR merupakan teknik penginderaan jauh yang menggunakan citra hasil satelit RADAR, untuk mengekstraksi informasi tiga dimensi dari permukaan bumi dengan pengamatan fasa gelombang RADAR. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan RADAR berupa gelombang radio dan gelombang mikro. Pantulan dari gelombang tersebut digunakan untuk mendeteksi objek (Haniah, dkk, 2011).

13 Citra RADAR yang diperoleh dari satelit maupun pesawat udara berisi dua informasi penting yaitu informasi mengenai daya sinar pancar berupa fase dan amplitudo yang dipengaruhi oleh banyaknya gelombang yang dipancarkan serta dipantulkan kembali. Citra IFSAR memiliki resolusi citra yang tinggi dan mampu merepresentasikan objek di permukaan bumi dengan jelas sehingga dapat dilakukan interpretasi dan identifikasi yang sesuai, kemudian citra tersebut memiliki posisi tiga dimensi yang cukup sehingga daerah yang dipetakan dapat diketahui topografinya. Teknik interferometri mencitrakan suatu objek di permukaan bumi dengan cara melakukan pengamatan terhadap beda fasa dua gelombang pendar yang berasal dari suatu objek (Julzarika, dkk, 2009). Penerapan RADAR aperture sintetik interferometris dengan pesawat udara maupun satelit menggunakan dua buah antena yang berkerja pada waktu yang sama disebut dengan lintasan tunggal/single pass, sedangkan penerapan RADAR aperture sintetik interferometri dengan pesawat udara atau satelit menggunakan satu antena yang berkerja tidak pada saat yang sama disebut dengan pengulangan lintasan/repeat pass. Pada lintasan tunggal (single pass), kedua antena dapat dipasang melintang pesawat terbang (across track), ataupun memanjang pesawat terbang (along track). Pada posisi across track, kedua antenna dipasang di kiri dan di kanan sayap pesawat terbang. Satu antena sebagai pemancar dan penerima, sedangkan antena lainnya hanya berfungsi sebagai penerima. Penerapan prinsip RADAR apertur sintetik interferometri lintasan tunggal sistem melintang pesawat pada tahun 2000 diterapkan di pesawat ulang-alik SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission). Gambar 1.5. menjelaskan tentang penerapan RADAR aperture sintetik interferometri pada lintasan tunggal sistem melintang pesawat. Gambar I. 5. Penerapan RADAR apertur sintetik interferometris lintasan tunggal (single pass) Sistem melintang pesawat (across track) (Ismullah, 2011)

14 Berdasarkan Gambar I.5. informasi ketinggian diperoleh dengan menggunakan konsep beda fasa dari dua antena melalui perhitungan beda fasa berikut :. (I.1)..... (I.2) Keterangan : B = jarak antara antena kiri dan antena kanan (baseline) By, Bz = komponen basis dalam arah mendatar dan tegak θ = sudut masuk r1, r2 = jarak miring (slant range), masing-masing dari antena pertama ke objek dan dari antena kedua ke objek yang sama di permukaan bumi φ = beda fasa yang terjadi antara sinyal RADAR dari antena pertama dan dari antena kedua λ = panjang gelombang mikro yang digunakan Pada posisi along track, kedua antena dipasang di muka dan di belakang pesawat terbang, sejajar dengan arah terbang pesawat. Kedua antena berfungsi sebagai pemancar dan penerima gelombang RADAR dengan panjang gelombang λ. Gambar I.6. menunjukkan tentang penerapan RADAR aperture sintetik interferometri pada lintasan tunggal sistem memanjang pesawat. Gambar I. 6. Penerapan RADAR apertur sintetik interferometris lintasan tunggal (single pass) Sistem memanjang pesawat (along track) (Ismullah, 2011) Terjadi perbedaan waktu sebesar t dalam perekaman, karena pengaruh letak antena pertama dan antena kedua. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan fasa sebesar φ yang dirumuskan dalam persamaan berikut :

15...(I.3.) Keterangan : φ = beda fasa yang terjadi antara sinyal RADAR dari antena pertama dan dari antena kedua U = kecepatan radiasi sinyal balik dari objek t = beda waktu perekaman antara antena pertama dan antena kedua B = jarak antara antena di muka dan di belakang pesawat V = kecepatan pesawat terbang Penerapan RADAR aperture sintetik interferometri dengan satelit menggunakan satu antena yang berkerja tidak pada saat yang sama (pengulangan lintasan/repeat pass). Sistem repeat pass hanya diterapkan di satelit ERS-1, ERS-2, Radarsat, EnviSAT, maupun JERS. Gambar I.7. menunjukkan tentang penerapan RADAR aperture sintetik interferometri pada sistem pengulangan lintasan (repeat pass). Gambar I. 7. RADAR Aperture Sintetik Interferometris Sistem pengulangan lintasan (repeat pass) (Ismullah, 2011) Perhitungan beda fasa pada sistem pengulangan lintasan dilakukan dengan rumus perhitungan berikut : Keterangan :....(I.4.) S1, S2 = sensor pertama membawa satu antena dan sensor kedua juga membawa satu antena

16 B θ = jarak antar lintasan (baseline) = sudut masuk r1, r2 = jarak miring (slant range) dari sensor pertama dan kedua ke objek yang sama di permukan bumi φ = beda fasa antara dua sinyal balik yang diterima dari objek di permukaan bumi pada kedua posisi antena I.8.4. TerraSAR-X TerraSAR-X adalah satelit observasi bumi merupakan sebuah kolaborasi antara Jerman Aerospace Center (DLR) dan EADS Astrium. Diluncurkan pada 15 Juni 2007 dan telah beroperasi secara resmi sejak Januari 2008. Pada 21 Juni 2010 Jerman kembali meluncurkan satelit kembaran TerraSAR-X bernama TanDEM-X, dua satelit ini bekerja secara berpasangan. TerraSAR-X merupakan teknologi RADAR terbaru untuk pemetaan dengan panjang gelombang aktif X-band (panjang gelombang 31 mm, frekuensi 9,6 GHz) yang mampu mengatasi tutupan awan (LAPAN, 2010). Tabel I.5. merupakan keterangan fisik dari TerraSAR-X. Tabel I. 5. Keterangan fisik dari TerraSAR-X (sumber : DLR, 2010) Keterangan Fisik Tanggal peluncuran 15 Juni 2007 Roket pembawa Tempat peluncuran Berat satelit Ukuran satelit Tipe Ketinggian orbit Inklinasi Frekuensi RADAR Panjang antena Lebar antena Satu kali memutari bumi Dnepr rocket Keterangan Baikonur Cosmodrome, Kazakhstan 1.230 kg Tinggi 5 meter, diameter 2,4 meter Low earth orbit 514 km (319 mi) 97,44 o 9,65 GHz 4,8 meter 0,7 meter 94,92 menit

17 Keterangan fisik dari TerraSAR-X yang dijelaskan pada Tabel I.5. terdiri atas tanggal peluncuran, roket pembawa, tempat peluncuran, berat satelit, ukuran satelit, tipe, ketinggian orbit, inklinasi, frekuensi RADAR, panjang antena, lebar antena, dan waktu yang dibutuhkan untuk satu kali memutari bumi. TerraSAR-X dapat diperoleh 5 mode citra utama yaitu Staring Spotlight, High Resolution Spotlight, Stripmap, ScanSAR, dan Wide ScanSAR. Tabel I.6. menunjukkan spesifikasi dari masing-masing mode tersebut. Tabel I. 6. Spesifikasi mode TerraSAR-X (sumber : LAPAN, 2010) Staring Spotlight High Resolution Spotlight Stripmap ScanSAR Wide ScanSAR 1. Resolusi hingga 25 cm 2. Ukuran scene tergantung dari sudut pengambilan 3. Aplikasi : untuk identifikasi objek. 1. Resolusi hingga 1 m 2. Ukuran scene 5-10 km (lebar) x 5 km (panjang) 3. Aplikasi : sebagai petunjuk suatu objek (pesawat, hangar kapal). 1. Resolusi hingga 3 m 2. Ukuran scene 30 km (lebar) x 50 km (panjang*) 3. Aplikasi : deteksi, klasifikasi dan pemantauan kapal serta pemetaan infrastruktur skala besar. 1. Resolusi hingga 18,5 m 2. Ukuran scene 100 km (lebar) x 150 km (panjang*) 3. Aplikasi : pemantauan dan deteksi rinci kemaritiman serta pemetaan skala kecil. 1. Resolusi hingga 40 m 2. Ukuran scene 270 km (lebar) x 200 km (panjang**) 3. Aplikasi : pemantauan kemaritiman skala luas seperti lalu lintas kapal, tumpahan minyak, dan es di laut. *) StripMap dan ScanSAR : panjang akuisisi dapat diperpanjang hingga 1.650 km **)Wide ScanSAR : panjang akuisisi dapat diperpanjang hingga 1.500 km Tabel I.6. menjelaskan mengenai 5 mode citra utama dari TerraSAR-X. Resolusi paling baik dihasilkan oleh mode Staring Spotlight yaitu sebesar 25 cm.

18 I.8.5. SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) Data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) merupakan suatu bentuk data yang menyediakan informasi tentang tinggi tempat atau biasa disebut DSM (Digital Surface Model). SRTM merupakan hasil kerjasama antara NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan NGA (National Geospatial-Intelligence Agency) untuk membuat peta Digital Elevation Model (DEM) secara global menggunakan interferometri. SRTM diterbangkan kapal pesawat ulang-alik Endeavour 11-22 Februari 2000 dengan ketinggian 233 km, kemiringan 57 derajat, dan misi selama 11 hari. Endeavour mengorbit bumi 16 kali setiap hari selama misi 11 hari, menyelesaikan 176 orbit. SRTM berhasil mengumpulkan data radar lebih dari 80% dari permukaan daratan bumi antara 60 Lintang Utara dan 56 Lintang Selatan dengan titik data diposting setiap 1 arc-second (sekitar 30 meter). Akurasi vertikal dari SRTM mencapai 16 meter dengan tingkat kepercayaan 90% (USGS, 2015). SRTM memanfaatkan teknik yang disebut interferometri RADAR untuk memperoleh informasi topografi. Ada dua jenis panel antena pada SRTM yaitu C- Band dan X-Band. Data RADAR C-band diproses di Jet Propulsion Laboratory (JPL) yang menyediakan Digital Elevation Model (DEM) global. DEM resolusi yang lebih tinggi (tapi tidak dengan cakupan global) yang dihasilkan dari data RADAR X-Band, diolah dan didistribusikan oleh German Aerospace Center, DLR (Rodriguez, 2006). Spesifikasi produk SRTM dapat dilihat pada Tabel I.7. Tabel I. 7. Spesifikasi produk SRTM (sumber : USGS, 2015) Spesifikasi Keterangan Misi perekaman data 11 Februari 2000 22 Februari 2000 Lama misi 11 hari Ketinggian orbit Endeavour 233 km Inklinasi orbit Endeavour 57 o Petak data yang diperoleh 1000 (80% keseluruhan daratan bumi) Akuisisi data >80 jam Sistem proyeksi Geografis Datum horizontal WGS 1984

19 Spesifikasi Keterangan Datum vertikal EGM (Earth Gravitational Model) 1996 Unit vertikal Meter Resolusi spasial 1 arc-second untuk cakupan global (~30 meter) 3 arc-second untuk cakupan global (~90 meter) Ukuran raster 1 degree tiles Panjang gelombang C-band 5,6 cm Spesifikasi produk SRTM yang dijelaskan pada Tabel I.7. adalah misi perekaman data, lama misi, ketinggian orbit satelit pembawa (Endeavour), Inklinasi orbit, petak yang diperoleh, lama waktu akuisisi data. Tabel I.7. juga menjelaskan mengenai sistem proyeksi, datum horizontal, datum vertikal, unit vertikal, resolusi spasial, ukuran raster, dan panjang gelombang C-band yang digunakan. I.8.6. ASTER GDEM ASTER merupakan salah satu sensor yang terdapat pada satelit Terra. Satelit Terra diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dengan misi selama 6 tahun sebagai platform pertama program pengamatan bumi berskala besar yang dipromosikan oleh NASA, yang kemudian program satelit ini diberi nama baru sebagai EOS-AM1. ASTER GDEM merupakan singkatan dari Advanced Spaceborne Thermal Emission And Reflection Radiometer global DEM. ASTER GDEM adalah salah satu Digital Surface Model (DSM) yang dapat diunduh gratis melalui situs USGS. ASTER GDEM memiliki informasi topografi yang dihasilkan dari data ASTER sensor VNIR band 3N dan 3B dengan resolusi 15 m. Data ini dapat digunakan dalam pemetaan 1:50.000 sampai 1:250.000. Band 3B dihasilkan dari perekaman perbedaan sudut pandang sebesar 23,5 o relatif terhadap nadir telescope. VNIR merekam gambar stereo dari nadir teleskop kemudian backward-viewing telescope merekam kembali daerah yang sama setelah selang waktu 60 detik sehingga terbentuk citra stereo (Kervyn, dkk, 2007). ASTER GDEM dibuat oleh METi dan JAXA Jepang dan sudah dilakukan koreksi geometrik serta koreksi radiometrik. ASTER mencakup data DEM dari koordinat 83 LU hingga 83 LS. Kemudian data tersebut dibagi atas petak-petak citra

20 dengan luas 1x1 derajat. Jumlah petak untuk DEM ASTER GDEM versi 1 yaitu 22.600, sedangkan jumlah area untuk DEM ASTER GDEM versi 2 yaitu 22.702. Setiap petak citra DEM ASTER terdiri atas dua file, yaitu data DEM dan data informasi kualitas DEM. DEM ASTER GDEM versi 1 yang diluncurkan pada akhir bulan Juni 2009, dan DEM ASTER GDEM versi 2 yang diluncurkan pada pertengahan bulan Oktober 2011. ASTER GDEM versi 2 merupakan pengembangan dan perbaikan dari ASTER GDEM versi 1. Perbaikan dilakukan dengan menambahkan 260.000 scene untuk meningkatkan cakupan wilayah DEM (ERSDAC, 2011). Tabel I.8. merupakan spesifikasi ASTER GDEM versi 2. Tabel I. 8. Spesifikasi ASTER GDEM versi 2 (sumber : ERSDAC, 2011) Spesifikasi Keterangan Penyedia data METi/NASA Versi dan tahun akuisisi data Ver.2, 2011 Periode pengumpulan data 2000-2010 Teknik akuisisi Stereo Pairs, visible, and near infrared Faktor utama distorsi Awan Datum horizontal WGS 1984 Datum vertikal EGM 1996 Resolusi horizontal 1 arc second Akurasi horizontal ±30 meter (abs) 95% Circular Error (CE) Akurasi vertikal ±20 meter (abs) 95% Linear Error (LE) Format data GeoTIFF Tabel I.8. menjelaskan mengenai spesifikasi ASTER GDEM yaitu pihak penyedia data, versi dan tahun akuisisi data, periode pengumpulan data, teknik akuisisi yang digunakan, faktor utama penyebab distorsi, datum horizontal, datum vertikal, resolusi horizontal, akurasi horizontal, akurasi vertikal, dan format data. ASTER memiliki format data yang sama seperti format GRID lainnya, yaitu terdiri atas sel-sel yang setiap sel memilki nilai ketinggian dalam wujud DN (Digital Number). Khusus untuk daerah void (kosong) menggunakan kode DN - 9999 dan wilayah perairan menggunakan DN 0. Datum vertikal ASTER GDEM mengacu pada geoid EGM 1996

21 sehingga ketinggian pada DEM ASTER ini merupakan tinggi orthometrik. Tabel I.9. berikut menerangkan tentang format data DEM ASTER GDEM. Tabel I. 9. Format data ASTER GDEM (sumber : ERSDAC, 2011) Keterangan Versi 1 Versi 2 Jumlah scene DEM 1.264.118 1.514.350 Resolusi horizontal 1 arc second 1 arc second Ukuran kernel 9 x 9 piksel 5 x 5 piksel Luas minimum tubuh air yang terdeteksi 12 km 2 1 km 2 Water body post processing Tidak diterapkan Diterapkan Offset -5 meter offset observed Tanggal peluncuran data 29 Juni 2009 Pertengahan Oktober 2011 Pada Tabel I.9. terdapat perbedaan antara ASTER GDEM versi 1 dengan ASTER GDEM versi 2, antara lain pada jumlah scene DEM yang digunakan, ukuran kernel, dan luas minimum tubuh air yang terdeteksi. I.8.7. Koreksi Undulasi Koreksi undulasi digunakan untuk menyamakan bidang referensi ketinggian (datum vertikal) dari data model tinggi yang digunakan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini model geoid yang digunakan adalah Earth Gravitaional Model (EGM) 2008, sehingga data SRTM dan ASTER GDEM yang masih menggunakan model geoid EGM 1996 memerlukan koreksi undulasi terhadap EGM 2008. EGM 1996 adalah model harmonik bola dari potensial gravitasi yang dibangun bersama-sama oleh the NASA Goddard Space Flight Center, the National Imagery and Mapping Agency (NIMA), dan the Ohio State University (NASA/GSFC, 2004). Model ini disusun oleh koefisien-koefisien harmonik bola yang lengkap sampai derajad dan orde 360. Model ini dibentuk berdasarkan data dari seluruh dunia berupa data gayaberat permukaan (surface gravity data), data anomali gaya berat yang diturunkan dari data satelit altimeter ERS-1 dan GEOSAT, data penjejakan satelit (GPS, TDRSS, DORIS,

22 TRANET) yang ekstensif, dan direct altimeter ranges from TOPEX/POSEIDON, ERS-1, and GEOSAT (Abidin, dkk, 2004). EGM 2008 adalah model geopotensial global bumi yang dipublikasikan oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA). EGM2008 mengandung informasi mengenai koefisien harmonik bola antara lain orde (L), degree (M), koefisien model geopotensial yang terasosiasi (C), koefisien model geopotensial yang ternormalisasi penuh (S), serta standar deviasi dari C dan S (σc dan σs). EGM 2008 dilengkapi dengan koefisien harmonik hingga derajat dan orde 2159 serta memuat koefisien tambahan hingga derajat 2190 dan orde 2159 (Pavlis, dkk, 2012). EGM 1996 merupakan geoid yang digunakan pada data SRTM dan ASTER GDEM, sedangkan EGM 2008 digunakan pada data IFSAR dan TerraSAR-X. Geoid (model geopotensial) didefinisikan sebagai salah satu bidang ekuipotensial medan gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis umumnya geoid dianggap berimpit dengan muka air laut rata-rata atau Mean Sea Level (MSL). Geoid adalah bidang referensi untuk menyatakan tinggi orthometrik. Secara matematis, geoid adalah suatu permukaan yang sangat kompleks yang memerlukan sangat banyak parameter untuk merepresentasikannya. Oleh karena itu untuk merepresentasikan bumi ini secara matematis serta untuk perhitungan-perhitungan matematis orang umumnya menggunakan suatu ellipsoid referensi dan bukan geoid. Ellipsoid referensi dan geoid umumnya tidak berimpit, dan dalam hal ini ketinggian geoid terhadap ellipsoid dinamakan undulasi geoid (N) (Abidin, dkk, 2004). Gambar I.8. menampilkan ilustrasi tinggi ellipsoid, tinggi orthometrik, dan undulasi geoid. Gambar I. 8. Transformasi tinggi ellipsoid ke tinggi orthometrik (sumber : Abidin, dkk, 2004)

23 Berdasarkan Gambar I.8. nilai tinggi orthometrik dapat dihitung dari selisih tinggi ellipsoid dengan undulasi. Undulasi geoid di suatu titik dapat dihitung dengan hubungan berikut (Heiskannen dan Moritz, 1967) : n max n=2 n m=0 N GM = R [C nm cos mλ + S nm sin mλ]p nm (sinφ) (I.5.) Keterangan : NGM Cnm, Snm Pnm nmax n,m R (φ,λ) = nilai undulasi pada model geoid global = koefisien geopotensial yang dinormalisasi penuh (fully normalized geopotential coefficients) = fungsi Legendre yang dinormalisasi penuh (fully normalized legendre function) = derajat maksimal model geopotensial = derajat dan orde model geopotensial = jari-jari rata-rata bumi = lintang dan bujur geosentrik Pada penelitian ini proses perhitungan nilai undulasi dari masing-masing model geoid dilakukan oleh software Gravsoft. Koreksi undulasi EGM 1996 terhadap EGM 2008 dilakukan dengan menghitung selisih undulasi dari EGM 1996 dan EGM 2008, kemudian hasil tersebut dikoreksikan ke data SRTM dan ASTER GDEM. I.8.8. Koreksi Kesalahan Tinggi Kesalahan tinggi pada model tinggi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Keberagaman tutupan lahan, faktor internal dari data model tinggi yang diperoleh, kesalahan saat melakukan interpolasi kontur merupakan beberapa faktor-faktor yang menyebabkan adanya kesalahan tinggi pada data model tinggi. Kesalahan yang diakibatkan oleh kesalahan saat melakukan interpolasi kontur, dapat disebabkan karena penyebaran titik tinggi yang tidak merata atau oleh nilai titik tinggi yang tidak sesuai dengan sebenarnya. Istilah kesalahan tinggi (height error) digunakan di DLR, NASA, dan LAPAN. Istilah lain height error adalah bull eye s yang digunakan di Amerika Serikat, Golden software, dan LAPAN. Istilah noise digunakan di Eropa dan Kanada, sedang istilah pit

24 dan spire digunakan di sebagian Amerika Utara, Amerika Serikat, dan Golden software (Julzarika, 2015) Pengecekan kesalahan tinggi dapat dilakukan dengan deteksi pit dan spire. Pit adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi lembah terjal di model tinggi, sedangkan spire adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi gunung terjal di model tinggi. Pit dan spire dapat terlihat dari kontur yang sangat rapat yang menunjukkan pola bull eyes. Tabel I.10. merupakan algoritma deteksi pit dan spire pada software MicroDEM dengan C dan X dijelaskan dalam Gambar I.9. X X X X C X X X X Gambar I. 9. Contoh piksel dengan jendela 5x5 untuk deteksi pit dan spire Gambar I.9. merupakan contoh piksel dengan jendela 5x5 yang digunakan untuk deteksi pit dan spire, algoritma dari deteksi tersebut dijelaskan pada Tabel I.10. Tabel I. 10. Algoritma deteksi pit dan spire (sumber : United States Naval Academy (USNA), 2013) No. Pit Spire 1. Nilai C harus lebih rendah dibandingkan dengan seluruh piksel di dalam jendela. di dalam jendela. 2. Nilai C harus lebih rendah dibandingkan 8 piksel dengan tanda X dengan kedalaman pit yang didefinisikan saat input proses. Nilai C harus lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh piksel Nilai C harus lebih tinggi dibandingkan 8 piksel dengan tanda X dengan kedalaman spire yang didefinisikan saat input proses. Koreksi kesalahan tinggi dilakukan untuk menghilangkan anomali tinggi pada data model ketinggian. Ada tiga metode untuk koreksi kesalahan tinggi, yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height Error Maps (HEM). Fill sink adalah metode penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cekungan sedangkan Cut Terrain adalah metode penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cembung/terjal. Metode Height Error Maps (HEM) menghasilkan data keluaran dengan akurasi dan presisi lebih baik dari FillSink dan Cut Terrain. HEM dibuat dari nilai standar deviasi atau kesalahan vertikal pada data model tinggi tersebut.

25 Proses koreksi kesalahan tinggi hanya dilakukan pada SRTM dan ASTER GDEM karena data IFSAR dan TerraSAR-X sudah terkoreksi tinggi oleh pihak penyedia data. HEM dari data SRTM disediakan oleh NASA, dan ASTER GDEM disediakan oleh METi (Julzarika, 2015). I.8.9. Penggabungan DEM Mengacu pada penelitian sebelumnya, teknik penggabungan DEM dilakukan dengan integrasi DEM. Julzarika (2015), menjelaskan konsep integrasi model tinggi sebagai suatu metode untuk mendapatkan model tinggi berdasarkan integrasi menggunakan berbagai keunggulan dari setiap model tinggi berdasarkan karakteristik berupa penetrasi ke obyek, resolusi spasial, dan minimal kesalahan tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tujuan dari integrasi model tinggi adalah untuk dapat menghasilkan suatu model tinggi dengan akurasi vertikal dan resolusi yang baik menggunakan keunggulan dari masing-masing karakteristik model tinggi yang diintegrasikan. I.8.10. Interpolasi Kriging dan Triangulated Irregular Network (TIN) Pada penelitian ini, metode gridding yang dilakukan adalah kriging dan TIN. Kriging merupakan metode gridding yang bersifat fleksibel dan geostatikal yang sangat bermanfaat di berbagai bidang dan menyediakan tampilan visual dengan daya tarik yang kuat bagi data yang tersebar secara tidak teratur. Dengan kemampuannya menerima berbagai data ini, metode kriging menjadi metode yang sangat efektif. Pada data yang memiliki kapasitas besar, metode grid ini berjalan agak lambat. Kriging mempunyai karakteristik, antara lain (Environmental Systems Research Institute (ESRI), 2016) : 1. Mampu bekerja dengan baik meskipun datanya acak 2. Menghitung nilai suatu titik dari nilai yang diketahui dengan estimasi 3. Menghitung kesalahan dari estimasi yang dilakukan Kriging menggunakan pembobotan dalam proses interpolasinya. Bobot tergantung pada jarak antar titik. Titik dengan jarak yang dekat, akan mempunyai bobot lebih besar dibandingkan dengan jarak yang jauh. Bobot untuk interpolasinya diturunkan dari semivariogram. Semivariogram menentukan tingkat hubungan spasial

26 (spatial correlation) antar data yang diukur di suatu wilayah. Semivariogram dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini (ESRI, 2016) : (I.5) Keterangan : Z o = Nilai estimasi Wi = Bobot Zi = Nilai yang diketahui Model variogram akan menentukan sifat ketetanggaan titik-titik lokal pengamatan beserta bobotnya yang digunakan ketika interpolasi nilai ketinggian setiap node grid. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Surfer menyediakan beberapa model variogram eksponensial, gauss wave (hole effect), linier, kuadratik, kuadrat-rasional, dan spherical. Pada penelitian ini digunakan model semivariogram linier dan spherical. Model ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Atriyon Julzarika (2015) yang telah menghasilkan kesimpulan bahwa metode kriging model semivariogram linier dan sperichal menghasilkan data yang paling akurat. Metode kriging model semivariogram linier dan sperichal membutuhkan waktu yang cukup lama dalam prosesnya, terutama apabila data yang digunakan memiliki ukuran yang besar, sehingga pada penelitian ini digunakan juga metode Triangulated Irregular Network (TIN). Model TIN dibangun oleh segitiga-segitiga tak beraturan. Model TIN menggunakan garis lurus untuk menghubungkan tiga titik sampel dan membentuk segitiga datar. Segitiga datar ini sangat baik dalam merepresentasikan permukaan bumi yang bersifat tegas, namun kurang representatif. TIN akan menghasilkan informasi yang padat pada daerah yang kompleks, dan informasi yang jarang pada daerah yang homogen (Susilo, 2014). I.8.11. Standar Pemetaan Penelitian ini menggunakan standar ketelitian tinggi yang terdapat pada Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Menurut PerKa BIG Nomor 15 Tahun 2014, ketelitian peta dasar meliputi ketelitian geometri dan ketelitian atribut/semantik.

27 Ketelitian geometri adalah nilai yang menggambarkan ketidakpastian koordinat posisi suatu objek pada peta dibandingkan dengan koordinat posisi objek yang dianggap posisi sebenarnya. Komponen ketelitian geometri terdiri atas akurasi horizontal, dan akurasi vertikal. Ketelitian atribut/semantik adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian atribut sebuah objek di peta dengan atribut sebenarnya. Pada penelitian ini ketelitian yang dianalisis dibatasi hanya pada ketelitian geometri saja. Tabel I.11. menjelaskan mengenai ketelitian geometri peta RBI menurut PerKa Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014. No. Skala Interval kontur (m) Tabel I. 11 Ketelitian Geometri Peta RBI Horizontal (CE90 dalam m) Ketelitian Peta RBI Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Vertikal Horizontal Vertikal Horizontal (LE90 (CE90 (LE90 (CE90 dalam m) dalam m) dalam m) dalam m) Vertikal (LE90 dalam m) 1. 1:1.000.000 400 200 200 300 300,00 500 500,00 2. 1:500.000 200 100 100 150 150,00 250 250,00 3. 1:250.000 100 50 50 75 75,00 125 125,00 4. 1:100.000 40 20 20 30 30,00 50 50,00 5. 1:50.000 20 10 10 15 15,00 25 25,00 6. 1:25.000 10 5 5 7,5 7,50 12,5 12,50 7. 1:10.000 4 2 2 3 3,00 5 5,00 8. 1:5.000 2 1 1 1,5 1,50 2,5 2,50 9. 1:2.500 1 0,5 0,5 0,75 0,75 1,25 1,25 10. 1:1.000 0,4 0,2 0,2 0,3 0,30 0,5 0,50 Nilai ketelitian di setiap kelas diperoleh melalui ketentuan seperti tertera pada Tabel I.12. Tabel I. 12 Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas Ketelitian Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Horizontal 0,2 mm x bilangan skala 0,3 mm x bilangan skala 0,5 mm x bilangan skala Vertikal 0,5 x interval kontur 1,5 x ketelitian kelas 1 2,5 x ketelitian kelas 1 Nilai CE90 untuk ketelitian horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States National Map Accuracy Standards) sebagai berikut:

28 CE90 = 1,5175 x RMSEr (I.14) LE90 = 1,6499 x RMSEz...(I.15) Keterangan : RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal) RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal) Analisis akurasi posisi menggunakan Root Mean Square Error (RMSE), yang menggambarkan nilai perbedaan antara titik uji dengan titik sebenarnya. RMSE digunakan untuk menggambarkan akurasi meliputi kesalahan random dan sistematik. Pada penelitian ini nilai akurasi yang diuji hanya akurasi vertikal, sehingga nilai RMSE yang dihitung hanya RMSE untuk akurasi vertikal saja. Nilai RMSE untuk akurasi ketinggian dirumuskan sebagai berikut: (I.16) Dengan : Zdata(i) = koordinat z dari data ke i Zcheck(i) = koordinat z titik sebenarnya ke i n = jumlah titik I.9. Hipotesis Penelitian yang telah dilakukan oleh Hoja (2009) dan Julzarika (2015) menunjukkan bahwa integrasi antara model tinggi global (yang digunakan oleh kedua peneliti tersebut adalah SRTM) dengan model tinggi yang memiliki akurasi lebih tinggi, mampu memperbaiki akurasi tinggi dari model tinggi global yang digunakan. Akurasi vertikal yang dihasilkan dari integrasi antara SRTM dengan Cartosat adalah 1-2 meter pada wilayah penelitian dataran tinggi di Catalonia (Hoja, 2009), sedangkan akurasi vertikal yang dihasilkan dari integrasi antara SRTM dengan ALOS Palsar adalah 2,58 meter pada wilayah penelitian Tabalong, Kalimantan Selatan (Julzarika, 2015). Mengacu dari hasil penelitian tersebut maka setelah dilakukan kombinasi antara model tinggi global (SRTM atau ASTER GDEM) dengan IFSAR maupun TerraSAR-X akan diperoleh hasil purwarupa desain DEM Nasional di Kalimantan

29 Barat dengan akurasi vertikal lebih baik dari akurasi vertikal model global SRTM atau ASTER GDEM. Hasil integrasi akan memenuhi akurasi vertikal berkisar 5-12,5 meter sesuai dengan ketentuan akurasi vertikal peta skala 1:25.000 pada Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar