4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pendapatan nasional di era globalisasi seperti saat ini

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan. yang dimiliki oleh daerahnya. Pembangunan nasional dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

BAB IV GAMBARAN UMUM

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis Isu-Isu Strategis

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

BERITA RESMI STATISTIK

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

Transkripsi:

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Pengambilan keputusan ekonomi perlu mempertimbangkan keuntungan lokasi dan pengaruh ruang secara eksplisit agar keputusan yang diambil realistis dan tidak salah (Sjafrizal, 2008). Kondisi geografis Jawa Barat yang strategis merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdataran rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah. Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50' - 7 o 50' Lintang Selatan dan 104 o 48' - 108 o 48' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Banten. Perkembangan utama Propinsi Jawa Barat adalah pemekaran propinsi yang dilakukan pada akhir tahun 2000 sehingga menjadi dua wilayah yaitu Propinsi Jawa Barat yang meliputi 16 kabupaten, 6 kota dan Propinsi Banten yang terdiri dari 5 kabupaten/kota. Pemekaran ini dipastikan akan membawa dampak terhadap pembangunan secara makro. Pemekaran wilayah daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Propinsi Jawa Barat dalam jangka waktu 1999-2008 melakukan pemekaran tiga kabupaten sehingga Jawa Barat mempunyai tambahan tiga kota yaitu Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar dan Kabupaten Bandung Barat. Kota Cimahi dimekarkan dari Kabupaten Cimahi, Kota Tasikmalaya dimekarkan dari Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar dimekarkan dari Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung Barat dimekarkan dari Kabupaten Bandung. Pada akhirnya

46 pada tahun 2008 jumlah daerah otonom di Jawa Barat mencapai 26 yang terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota (Gambar 5). Berkaitan dengan cakupan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dimulai dari tahun 2001 sampai 2008, maka wilayah kabupaten/kota yang dimekarkan digabungkan dengan kabupaten induknya sehingga objek penelitian yaitu sejumlah 23 kabupaten/kota. Hal ini dimaksudkan agar objek penelitian dapat konsisten dan berkelanjutan dari tahun 2001 sampai dengan 2008. Sumber : Bappeda Jawa Barat Gambar 5 Peta wilayah Jawa Barat menurut daerah administratif 26 kabupaten/kota.. Potensi wilayah Jawa Barat ditunjukkan dengan luas wilayah yang mencapai 28.675,82 km 2. Kabupaten terluas adalah Kabupaten Sukabumi, mencapai 3.160,51 km 2. Kabupaten terluas kedua adalah Kabupaten Cianjur dengan luas wilayah 2.977,44 km 2, disusul oleh Kabupaten Tasikmalayaa dan Kabupaten Ciamis. Kabupaten/kota dengan luas terkecil adalah Kota Cirebon, yaitu hanya mencapai 36,97 km 2. Tabel 3 menunjukkann bahwa kecamatan terbanyak berada di Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten terluas, yaitu sejumlah 47 kecamatan yang terdiri atas 364 desa. Selanjutnya Kabupaten Garut mempunyai 42 kecamatan dan 403

47 desa. Sementara itu kabupaten/kota dengan jumlah kecamatan yang paling sedikit adalah Kota Cimahi, yang hanya terdiri atas 3 kecamatan dan 22 kelurahan. Tabel 3 Luas area jumlah kecamatan, desa dan kelurahan di Jawa Barat menurut kabupaten tahun 2008 Luas Area Km 2 Persen tase Jumlah No Kabupaten/Kota Keca Kelura Desa matan han 1 Bogor 2.237,09 7,64 40 411 17 2 Sukabumi 3.160,51 10,80 47 364 3 3 Cianjur 2.977,44 10,17 32 342 6 4 Bandung 2.284,61 7,80 46 432 8 5 Garut 2.179,51 7,44 42 403 21 6 Tasikmalaya 2.479,57 8,47 42 351 59 7 Ciamis 2.377,28 8,12 40 356 15 8 Kuningan 816,88 2,79 32 360 16 9 Cirebon 958,27 3,27 40 412 12 10 Majalengka 1.068,69 3,65 26 321 13 11 Sumedang 1.062,88 3,63 26 270 7 12 Indramayu 1.636,51 5,59 31 305 8 13 Subang 1.855,01 6,34 30 251 2 14 Purwakarta 757,57 2,59 17 183 9 15 Karawang 1.533,86 5,24 30 297 12 16 Bekasi 1.065,35 3,64 23 187-17 Kota Bogor 108,98 0,37 6-68 18 Kota Sukabumi 49,81 0,17 7-33 19 Kota Bandung 167,91 0,57 30-151 20 Kota Cirebon 36,97 0,13 5-22 21 Kota Bekasi 209,55 0,72 12-56 22 Kota Depok 212,24 0,72 6-63 23 Kota Cimahi 40,23 0,14 10-15 Jawa Barat 29.276,72 100,00 620 5.245 616 Sumber: BPS Provini Jawa Barat, 2008 4.1.2 Kewilayahan Pembangunan Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman produktif, dan berkelanjutan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang bertanggungjawab, penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah, antar pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan.

48 Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, wilayah administratif kabupaten dan kota di Jawa Barat dibagi dalam empat Wilayah Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (WKPP), yaitu: 1. WKPP 1 Bogor, merupakan wilayah inti dari pengembangan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Perkotaan Bodebek dengan lingkup kerja Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kota Depok. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Bekasi diarahkan sebagai kota terdepan yang berbatasan dengan Jakarta yang merupakan bagian dari pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur untuk mendorong pengembangan PKN Perkotaan Bodebek b. Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, diarahkan menjadi kawasan penyangga dalam sistem PKN Perkotaan Bodebek c. Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, diarahkan pada kegiatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lindung di KSN Jabodetabekpunjur. Sektor unggulan yang dapat dikembangkan adalah: pariwisata, industri manufaktur, perikanan, perdagangan, jasa, pertambangan, agribisnis dan agrowisata. Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembanngan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur permukiman (perkotaan dan perdesaan) f. Otimalisasi kawasan industri.

49 2. WKPP II Purwakarta, menjadi simpul pendukung bagi pengembangan PKN Perkotaan Bodebek dan Bandung Raya dengan lingkup kerja Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. PKW Cikampek-Cikopo, diarahkan untuk memenuhi fungsinya sebagai PKW dengan melengkapi saran dan prasarana yang terintegrasi dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) b. Kabupaten Purwakarta, diarahkan untuk kegiatan industri non-polutif dan nonekstraktif c. Kabupaten Subang, diarahkan menjadi simpul pendukung pengembanngan PKN Perkotaan Bandung Raya d. Kabupaten Karawang, diarahkan menjadi simpul pendukung pengembangan PKN Kawasan Perkotaan Bodebek. Sektor unggulan yang dapat dikembangkan adalah: pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, bisnis kelautan, industri pengolahan, pariwisata, dan pertambangan. Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembangan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur permukiman (perkotaan dan perdesaan). 3. WKPP III Cirebon, merupakan wilayah dari pengembangan PKN Cirebon dengan lingkup kerja Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. Kota Cirebon, diarahkan sebagai kota inti dari PKN dengan sarana dan prasarana yang terintegrasi dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) b. Kabupaten Cirebon, diarahkan sebagai bagian dari PKN dengan sarana dan prasarana yang terintegrasi

50 c. Kabupaten Indramayu, diarahkan menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berfungsi melayani kegiatan skala propinsi atau beberapa kabupaten/kota d. Kabupaten Majalengka, diarahkan menjadi lokasi Bandara Internasional Jawa Barat dan Aerocity di Kertajati e. Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Sumedang, diarahkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan Sektor yang dapat dikembangkan adalah: agribisnis, agroindustri, perikanan, pertambangan, dan pariwisata. Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembangan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur telekomunikasi perdesaan f. Pengembangan infrastruktur permukiman (perkotaan dan perdesaan) g. Pengembangan Kawasan Industri Kertajati Aerocity di Kabupaten Majalengka. 4. WKPP IV Priangan, dengan ruang lingkup kerja Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya. WKPP Priangan merupakan wilayah inti dari pengembangan PKN Perkotaan Bandung Raya, meningkatkan manajemen pembangunan yang berkarakter lintas kabupaten/kota yang secara kolektif berbagi peran membangun dan mempercepat perwujudan PKN Perkotaan Bandung Raya. Fokus pengembangan masing-masing kabupaten/kota, sebagai berikut: a. Kota Tasikmalaya, diarahkan sebagai bagian dari PKW b. Kabupaten Tasikmalaya, Garut, dan Kabupaten Ciamis, diarahkan untuk kegiatan pertanian, industri pengolahan

51 c. Kota Banjar, diarahkan sebagai PKW dengan sarana dan prasaran perkotaan yang teringrasi dan sebagai pintu gerbang daerah berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Sektor yang dapat dikembangkan adalah: pertanian, hortikultura, perkebunan, perikanan tangkap, industri pengolahan, industri non-polutif, industri kreatif, perdagangan, jasa, pariwisata dan pertambangan, Rencana pengembangan infrastruktur wilayah, terdiri atas: a. Pengembangan infrastruktur jalan b. Pengembangan infrastruktur perhubungan c. Pengembangan infrastruktur sumberdaya air d. Pengembangan infrastruktur energi e. Pengembangan infrastruktur telekomunikasi. 4.1.3 Penduduk dan Kepadatannya Masalah kependudukan merupakan bagian yang krusial dalam perekonomian karena tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan pembangunan. Penduduk mempunyai peran ganda dalam pembangunan yaitu sebagai obyek dan sebagai subyek. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan pertambahan jumlah penduduk usia kerja, yang merupakan faktor produksi. Bertambahnya penduduk tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga muncul masalah kependudukan yang kompleks. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk dapat memberikan penjelasan lain tentang mengapa sebagian negara kaya dan sebagian lainnya miskin (Mankiw, 2007). Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2008). Jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2008 mencapai 42,19 juta jiwa dengan rasio jenis kelamin mencapai 102. Ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan. Kabupaten/kota dengan rasio jenis kelamin terbesar yaitu Kota Bekasi dan Kabupaten Cianjur. Sedangkan kabupaten/kota dengan rasio jenis kelamin terkecil yaitu Cirebon dan Kabupaten Ciamis (Tabel 4). Nilai rasio

52 jenis kelamin biasanya berhubungan dengan pola migrasi di daerah tersebut, pada umumnya kabupaten dengan rasio rendah adalah kabupaten pengirim migran. Tabel 4 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2008 No Propinsi Jumlah Penduduk Persentase (000 jiwa) (%) Laju Pertumbuhan (%) Sex Ratio 1 Bogor 4.402.026 10,4 1.464 103 2 Sukabumi 2.277.020 5,4 0.575 104 3 Cianjur 2.169.984 5,1 1.022 106 4 Bandung 4.647.128 11,0 1.368 102 5 Garut 2.481.471 5,9 1.063 98 6 Tasikmalaya 2.476.765 5,9 1.262 99 7 Ciamis 1.790.468 4,2 0.342 96 8 Kuningan 1.163.159 2,8 0.873 101 9 Cirebon 2.192.492 5,2 0.820 99 10 Majalengka 1.210.811 2,9 0.506 101 11 Sumedang 1.134.288 2,7 0.676 99 12 Indramayu 1.811.764 4,3 0.890 105 13 Subang 1.476.418 3,5 0.455 98 14 Purwakarta 809.962 1,9 1.254 100 15 Karawang 2.112.433 5,0 1.202 105 16 Bekasi 2.076.146 4,9 3.192 100 17 Kota Bogor 876.292 2,1 3.311 99 18 Kota Sukabumi 305.800 0,7 2.722 105 19 Kota Bandung 2.390.120 5,7 1.185 104 20 Kota Cirebon 298.995 0,7 2.270 95 21 Kota Bekasi 2.128.384 5,0 3.383 107 22 Kota Depok 1.430.829 3,4 3.472 102 23 Kota Cimahi 532.114 1,3 4.059 97 Jawa Barat 42.194.869 100,0 1,461 102 Sumber: BPS Jawa Barat, 2008 Distribusi penduduk Jawa Barat relatif merata di seluruh wilayah. Penduduk paling banyak berdomisili di Kabupaten Bogor mencapai 4,4 juta jiwa atau sebesar 10,4 persen dari total penduduk Jawa Barat. Selanjutnya Kabupaten Bandung mempunyai jumlah penduduk sebesar 3,1 juta jiwa (7,4 persen). Sementara jumlah penduduk yang paling sedikit berada di Kota Banjar yaitu sebanyak 0,18 juta jiwa. Penambahan jumlah penduduk tidak dapat dilepaskan dari angka pertumbuhannya. Pertumbuhan penduduk Propinsi Jawa Barat dalam kurun

53 waktu 2000-2005 mencapai 1,81 persen dan kurun waktu 2005-2008 mencapai 1,73 persen. Tahun 2008, kepadatan penduduk Jawa Barat mencapai 1.441orang per kilo meter persegi. Kota Bandung masih merupakan daerah terpadat, yaitu sebesar 14.234 orang per kilometer persegi, sedangkan yang terendah Kabupaten Ciamis hanya sebesar 710 orang per kilometer persegi. Kepadatan penduduk, di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2008 menempati posisi ke dua yaitu sebesar 1.108 km 2 setelah DKI Jakarta yang berada di urutan pertama dengan kepadatan sebesar 1.235 km 2. Jumlah penduduk merupakan salah satu dari faktor produksi, hal ini menyebabkan kegiatan perekonomian terkonsentrasi di wilayah yang menyediakan faktor produksi yang besar. Tidak mengherankan jika pusat-pusat industri besar yang bersifat padat karya di Jawa Barat berada di kabupatenkabupaten dengan konsentrasi penduduk yang tinggi. Gambaran ketimpangan penyebaran penduduk juga menunjukkan daya dukung lingkungan dan prasarana yang kurang seimbang di antara kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. 4.1.4 Kondisi Perekonomian Jawa Barat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini

54 masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. Tabel 5 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 No. Kabupaten/Kota PDRB ADHK 2000 (Juta Rupiah) Rata-rata Pertumbuhan 2001 2005 2008 per tahun (%) 01. Bogor 19.687.99 23.671.42 29.721.69 5,43 02. Sukabumi 5.879.580 6.828.321 8.015.201 3,96 03. Cianjur 5.666.201 6.569.796 7.639.658 3,85 04. Bandung 17.666.07 27.387.37 26.832.12 5,33 05. Garut 7.316.162 8.418.445 10.011.29 4,28 06. Tasikmalaya 6.073.566 7.010.929 8.550.742 4,46 07. Ciamis 5.217.264 6.193.922 7.417.251 4,53 08. Kuningan 2.621.650 3.072.813 3.619.216 4,10 09. Cirebon 5.025.156 6.038.364 7.371.622 4,89 10. Majalengka 2.805.113 3.387.039 4.042.240 4,28 11. Sumedang 3.699.811 4.311.331 5.136.820 4,41 12. Indramayu 12.943.57 13.369.13 13.233.52 0,19 13. Subang 4.356.028 5.633.680 6.779.802 5,55 14. Purwakarta 4.823.377 5.547.110 6.506.042 4,04 15. Karawang 10.538.51 13.423.73 18.353.97 6,72 16. Bekasi 31.522.16 38.976.64 49.302.48 5,73 17. Bogor 2.779.607 3.361.439 4.252.822 6,06 18. Sukabumi 1.086.650 1.340.714 1.705.462 6,01 19. Bandung 14.953.08 19.874.81 26.978.90 7,85 20. Cirebon 3.919.266 4.690.385 5.823.528 5,18 21. Bekasi 9.069.483 11.112.51 14.042.40 5,55 22. Depok 3.489.313 4.440.877 5.770.828 6,58 23. Cimahi 4.154.422 4.898.151 5.908.068 4,62 Jawa Barat 195.943.0 230.003.4 290.180.0 3,92 Sumber: PDRB 2001 2008, BPS (diolah) Secara makro untuk tingkat Jawa Barat pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecenderungan adanya kenaikan terus menerus. Hal tersebut dapat dilihat dari tahun 2001 sampai tahun 2008 yang terus mengalami peningkatan yaitu dari 3,16 persen tahun 2001 sampai dengan 5,83 persen di tahun 2008 (Tabel 5). Selama kurun waktu 2005-2007 bahkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mampu berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional, namun demikian memasuki tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tersebut sedikit mengalami perlambatan hampir di semua sektor kegiatan ekonomi. Hal tersebut diakibatkan oleh meningkatnya inflasi dan BI rate sebagai pengaruh dari kebijakan pemerintah pusat untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kinerja perekonomian Jawa Barat selalu menunjukkan pertumbuhan yang terus positif.

55 Tingkat Pertumbuhan ( % ) 12 10 8 6 4 2 0-2 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1. Kab. Bogor 2. Kab. Sukabumi 3. Kab. Cianjur 4. Kab. Bandung 5. Kab. Garut 6. Kab. Tasikmalaya 7. Kab. Ciamis 8. Kab. Kuningan 9. Kab. Cirebon 10. Kab. Majalengka 11. Kab. Sumedang 13. Kab. Subang 14. Kab. Purwakarta 15. Kab. Karawang 16. Kab. Bekasi 17. Kab. Bandung Barat 18. Kota Bogor 19. Kota Sukabumi 20. Kota Bandung 21. Kota Cirebon 22. Kota Bekasi 23. Kota Depok 24. Kota Cimahi 25. Kota Tasikmalaya 26. Kota Banjar Gambar 6 Pertumbuhan ekonomi menurut kabupaten tahun 2002-2008 Pada tahun 2008, PDRB Jawa Barat mencapai 281.719 milyar rupiah secara keseluruhan atau senilai 280 180 milyar rupiah tanpa minyak dan gas jika dihitung menurut harga konstan 2000, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,83 persen secara keseluruhan dan 5,81 persen jika tanpa migas. Penurunan pertumbuhan ekonomi dari minyak dan gas yang tidak besar menunjukkan bahwa peranan produksi minyak dan gas dalam kegiatan ekonomi di Jawa Barat telah menurun. Pada level kabupaten/kota daerah dengan pertumbuhan yang paling berfluktuasi adalah Kabupaten Karawang dan Kabupaten Indramayu. Nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menyatakan jumlah output dari aktivitas ekonomi di Jawa Barat dalam jangka panjang secara umum meningkat secara signifikan. Perkembangan nilai PDRB tidak dapat dipisahkan dari potensi faktor-faktor produksi yang digunakan pada tahun yang bersangkutan. PDRB masing-masing kabupaten/kota dari tahun 2002 sampai dengan 2008 berfluktuasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang memengaruhinya (Gambar 6). Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita dapat didekati dengan PDRB per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada

56 pertengahan tahun. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejehteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah di Jawa Barat. Tabel 6 PDRB atas dasar harga berlaku di Jawa Barat menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 No Kabupaten/Kota PDRB ADHB (Juta Rupiah) 2001 2005 2008 01 Bogor 24.002.023 38.182.120 66.083.789 02 Sukabumi 7.659.720 11.324.257 17.264.686 03 Cianjur 7.278.623 10.776.519 16.807.430 04 Bandung 17.554.127 44.298.946 56.689.858 05 Garut 7.880.905 13.697.884 22.271.424 06 Tasikmalaya 8.004.306 11.870.764 19.585.185 07 Ciamis 6.688.837 10.571.612 17.433.705 08 Kuningan 3.180.398 4.596.460 8.143.225 09 Cirebon 6.713.334 9.938.500 17.118.740 10 Majalengka 3.527.098 5.547.285 9.032.604 11 Sumedang 4.863.811 7.048.211 11.188.168 12 Indramayu 16.712.596 23.591.255 40.305.611 13 Subang 5.846.170 9.061.819 15.022.424 14 Purwakarta 6.340.206 8.531.292 14.156.385 15 Karawang 15.511.448 25.653.850 47.225.242 16 Bekasi 38.852.269 57.175.917 89.012.757 17 Kota Bogor 3.459.398 6.191.919 11.904.600 18 Kota Sukabumi 1.445.758 2.402.017 4.367.491 19 Kota Bandung 21.330.089 34.792.184 70.281.163 20 Kota Cirebon 4.770.137 6.953.431 11.632.153 21 Kota Bekasi 11.666.419 19.226.331 31.475.388 22 Kota Depok 4.873.181 7.541.666 14.063.916 23 Kota Cimahi 5.166.648 7.227.777 11.680.511 Sumber: PDRB 2002-2008, BPS Nilai output yang digunakan dalam penghitungan kesejahteraan penduduk adalah PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB nominal). PDRB Jawa Barat atas dasar tahun berlaku 2008 secara keseluruhan adalah sebesar 602.291 milyar rupiah, sedangkan jika dihitung tanpa minyak dan gas sebesar 572.339 milyar rupiah. Tabel 6 menunjukkan bahwa output ekonomi terbesar di Jawa Barat dihasilkan di Kabupaten Bekasi senilai 89.012.757 juta rupiah. Selanjutnya adalah Kota Bandung sebesar 70.281.163 juta rupiah, Kabupaten Bogor sebesar 66.083.789 juta rupiah dan Kabupaten Bandung sebesar 56.689.858 juta rupiah.

57 Besaran pendapatan per kapita suatu daerah bergantung pada besaran PDRB dan jumlah penduduk. Besarnya pendapatan per kapita pada tahun 2008 di Jawa Barat adalah 14.719 ribu rupiah. Kabupaten/Kota dengan PDRB per kapita tertinggi yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Cirebon dan Kota Bandung. Kabupaten Bekasi memiliki PDRB per kapita yang tinggi karena di kabupaten tersebut banyak terdapat industri besar berskala nasional dengan nilai tambah yang besar. Sedangkan Kota Cirebon dan Kota Bandung merupakan kota dengan jumlah industri kecil yang terbesar di Jawa Barat. Kabupaten/Kota yang mempunyai PDRB per kapita terendah yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Garut. PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah. Sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian di daerah tersebut. PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor juga dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur perekonomian. Pada tingkat regional propinsi, sektor industri manufaktur mempunyai kontribusi yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor yang lainnya (Gambar 7). Pada tahun 2000, sektor industri menyumbang 42,35 persen terhadap total PDB, sedangkan sektor pertanian hanya 15,956 persen. Kontribusi sektor industri terus menunjukkan peningkatan hingga tahun 2003. Kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik pada tahun 2003 membuat sektor industri terpuruk dan mengalami penurunan yang paling tajam dibandingkan dengan sektor lainnya. Peran sektor industri pun mengalami penurunan pada tahun 2004. Setelah tahun 2005 hingga 2007 kontribusi sektor industri mulai mengalami peningkatan lagi. Namun demikian mulai tahun 2008 kontribusi sektor industri mulai mengalami penurunan sedikit demi sedikit, walaupun kontribusinya masih paling besar dibandingkan sektor lainnya. Penurunan ini mengindikasikan adanya deindustrialisasi di Jawa Barat. Deindustrialisasi dapat diartikan sebagai menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Menurunnya peranan industri dalam perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain. Deindustrialisasi bagi suatu negara lebih merupakan masalah daripada sesuatu yang diharapkan (Kuncoro, 2007).

58 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1. pertanian 3. industri pengolahan 5. bangunan 7. pengangkutan & komunikasi 9. jasa-jasa 2. pertambangan & penggalian 4. listrik, gas & air bersih 6. perdag., hotel & restoran 8. keu. persewaan, & jasa perusahaan Sumber: PDRB 2002-2008, BPS Gambar 7 Kontribusi sektor terhadap PDRB Jawa Barat tahun 2000-2008 Kabupaten/kota di Jawa Barat mempunyai pola komponen penyususn PDRB yang berbeda-beda banyak disebabkan karena perbedaan faktor endowment yaitu sumber dayaa dan infrastruktur yang sangat dipengaruhi oleh faktor geografis. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa pada tahun 2008 kontribusi dari setiap sektor terhadap PDRB untuk masing-masing kabupaten/kota bervariasi. Sektor industri pengolahan ternyata mendominasi perekonomian hampir setiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Kabupaten/kota dengan peranan sektor industri paling dominan dibandingkan sektor lainnya adalah Kabupaten Bekasi Cimahi (59,78%), dan Kabupaten Karawang (54%). Hal ini memberikan gambaran bahwa di daerah (Gambar 7). Hal ini berarti sebagian besar kabupaten/kota mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda. Perbedaan ini lebih (78,63%), Kabupaten Bogor (61,76%), Kabupaten Bandung (60,80%), Kota daerah tersebut terdapat kawasan kawasan industri yang mampu mendorong roda perekonomian di wiayah tersebut, sehingga secara total sektor industri mempunyai peranan yang paling besar. Setelah sektor industri manufaktur, sektor yang besar peranannya dalam perekonomian Jawa Barat adalah perdagangan. Pada tahun 2007 sektor ini

59 menyumbang 19,13 persen, sedangkan tahun 2008 sedikit menurun menjadi 19,11 persen. Perolehan tingginya kontribusi sektor perdagangan dikumpulkan oleh seluruh daerah perkotaan di Jawa Barat. Tabel 7 menunjukkan bahwa Kota Banjar adalah satu-satunya daerah perkotaan yang sektor pertaniaannya masih cukup besar, hal ini dimungkinkan karena Kota Banjar adalah daerah relatif baru yang merupakan pecahan dari Kabupaten Ciamis. Kabupaten ini mempunyai share pertanian cukup besar dalam perekonomian Jawa Barat. Kontriusi per sektor untuk masing-masing kabupaten/kota selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 7. Tabel 7 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut kabupaten/kota tahun 2008 No Kabupaten/ Kota Sektor (%) 1 2 3 4 5 01 Bogor 4.56 1.21 61.67 16.57 15.99 02 Sukabumi 31.87 4.59 16.87 23.01 23.66 03 Cianjur 39.35 0.14 3.03 24.70 32.78 04 Bandung 7.13 1.22 60.80 15.69 15.16 05 Garut 45.64 0.13 7.51 26.74 19.98 06 Tasikmalaya 44.57 0.24 8.35 24.38 22.46 07 Ciamis 31.32 0.35 6.53 25.64 36.16 08 Kuningan 31.39 0.86 2.05 19.93 45.77 09 Cirebon 30.54 0.38 14.82 20.73 33.53 10 Majalengka 32.48 3.83 15.70 17.52 30.47 11 Sumedang 28.97 0.14 23.29 25.98 21.62 12 Indramayu 12.88 22.82 43.51 12.30 8.49 13 Subang 37.34 9.11 11.84 20.31 21.4 14 Purwakarta 8.75 0.16 49.15 24.18 17.76 15 Karawang 8.45 4.48 54.00 17.81 15.26 16 Bekasi 2.05 1.83 78.63 8.82 8.67 17 Kota Bogor 11.11 0.41 46.58 18.53 23.37 18 Kota Sukabumi 0.22 0.00 25.10 39.20 35.48 19 Kota Bandung 4.69 0.01 5.36 43.30 46.64 20 Kota Cirebon 0.25 0.00 25.73 40.06 33.96 21 Kota Bekasi 0.30 0.00 30.34 35.50 33.86 22 Kota Depok 0.89 0.00 45.20 29.24 24.67 23 Kota Cimahi 2.31 0.00 36.60 34.67 26.42 Total 11.26 2.40 44.91 19.11 22.32 Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Perdagangan, Hotel & Restoran, (5) Lainnya Sumber: PDRB 2008, BPS (diolah)

60 4.2 Dinamika Pembangunan Infrastruktur 4.2.1 Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan penularan pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penularan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayahh baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi. Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana jalan yang minim dan buruk menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi. 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 90.0% 6.9% 2.0% 0.8% 36.5% 27.0% 23.8% 12.7% Aspal Kerikil Tanah Lainnya Baik Sedang Rusak R. Berat Jenis Permukaan Kualitas Jalan Gambar 8 Persentase Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan kualitas jalan di Jawa Barat tahun 2008

61 Panjang jalan di Jawa Barat pada akhir tahun 2008 adalah 22.224 km. Jalan tersebut termasuk dalam semua kategori (aspal, kerikil, tanah dan lainnya) ataupun segala kondisi (baik, sedang, rusak dan rusak berat). Jika dirinci menurut jenis permukaan jalan maka sepanjang 20.003,44 km atau sebesar 90,0 persen sudah beraspal, 1.542,32 km atau 6,9 persen berkerikil, sisanya sepanjang 622,26 km atau sebesar 2,8 persen masih batu dan tidak dirinci (Gambar 8). Panjang jalan beraspal merupakan yang terpanjang dibandingkan jenis permukaan yang lain. Dari seluruh jalan yang ada di Jawa Barat, hanya 8.221,04 km (35,53 persen) dalam kondisi baik, sepanjang 6.754,94 km (29,19 persen) dalam kondisi sedang sedangkan sisanya sepanjang 8.162,72 km (35,28 persen) dalam kondisi rusak dan rusak berat (Tabel 8). Dibandingkan tahun yang sebelumnya, kualitas jalan raya sedikit mengalami peningkatan. Prasarana jalan tebanyak untuk wilayah Jawa Barat berada di Kabupaten Karawang, yang mencapai 2,64 ribu km, disusul oleh Kabupaten Bogor (1,75 ribu km) dan Kabupaten Sukabumi (1,73 ribu km). Sedangkan kabupaten/kota dengan panjang jalan paling rendah yaitu Kota Cimahi yaitu 119 kilometer dan Kota Sukabumi dengan panjang hanya 143 kilometer. Apabila dilihat menurut kualitasnya, jalan di Jawa Barat masih kurang memadai karena masih banyak jalan yang rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Panjang jalan yang mengalami kerusakan pada tahun 2008 yaitu sebesar 36,49 persen. Kabupaten/kota yang memiliki persentase jalan yang rusak tertinggi yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur, masing-masing sebesar 56,9 dan 53,7 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Berdasarkan aksesibilitas terhadap jalan yang ditunjukkan dengan nilai rasio panjang jalan per luas wilayah, maka semua daerah perkotaan mempunyai rasio lebih dari satu, sedangkan untuk kabupaten maka satu satunya kabupaten yang mempunyai rasio aksesibilitas lebih dari satu adalah Kabupaten Karawang. Aksesibilitas tertinggi yaitu di Kota Bandung Sebesar 7,06 sedangkan aksesibilitas terendah ada di Kabupaten Ciamis sebesar 0,34. Hal

62 tersebut disebabkan oleh kondisi geografis Kabupaten Ciamis yang topografinya tidak merata. Tabel 8 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2008 No Kabupaten/Kota Baik dan Sedang Panjang (Km) Persentase (%) Rusak dan Rusak Berat Panjang (Km) Persentase (%) Jumlah (Km) 01 Bogor 1.305 74,62 444 25,38 1.749 02 Sukabumi 745 43,03 986 56,97 1.731 03 Cianjur 578 46,34 670 53,66 1.248 04 Bandung 859 51,81 799 8,18 1658 05 Garut 485 58,48 344 41,52 829 06 Tasikmalaya 1,215 62.17 739 37.83 1,954 07 Ciamis 575 58.78 403 41.22 978 08 Kuningan 365 87,74 51 12,26 416 09 Cirebon 351 54,69 291 45,31 642 10 Majalengka 470 65,68 246 34,32 716 11 Sumedang 449 56,44 347 43,56 796 12 Indramayu 700 87,94 96 12,06 796 13 Subang 569 54,32 478 45,68 1.047 14 Purwakarta 495 68,73 225 31,27 721 15 Karawang 1.513 57,31 1.127 42,69 2.640 16 Kab Bekasi 727 78,40 200 21,60 927 17 Kota Bogor 640 85,48 109 14,52 749 18 Kota Sukabumi 111 78,22 31 21,78 143 19 Kota Bandung 771 65,00 415 35,00 1.185 20 Kota Cirebon 147 99,32 1 0,68 148 21 Kota Bekasi 563 100,00 - - 563 22 Kota Depok 378 80,38 92 19,62 470 23 Kota Cimahi 105 88,09 14 11,91 119 Jawa Barat 14.115 63,51 8.108 36,49 22.224 Sumber: BPS, 2008 (diolah) Selain tingkat aksesibilitas, kinerja jalan juga dapat diukur dengan tingkat mobilitas, tingkat mobilitas merupakan ukuran kemudahan dalam berpindah yang berhubungan erat dengan kemacetan (degree of saturation). Tingkat mobilitas diukur dengan kondisi kepadatan jalan yaitu rasio jumlah kendaraan bermotor dibagi dengan panjang jalan. Semakin tinggi nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Kondisi macet terjadi jika nilai rasionya sebesar satu kendaraan per meter atau 1000 kendaraan per kilometer. Berdasarkan hasil penghitungan rasio jumlah

63 kendaraan per meter jalan pada tahun 2008, Propinsi Jawa Barat memiliki nilai rasio dibawah satu. Walaupun suatuu wilayah memiliki panjang jalan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya tetapi karena jumlah kendaraan bermotor yang terlalu banyak maka akan menghasilkan tingkat mobilitas yang rendah (nilai rasio tinggi). Hal ini disebabkan penambahan panjang jalan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kendaraan bermotor. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena adanya keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga jika tingkat mobilitas terlalu rendah maka akan menimbulkan kemacetan dan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga padaa akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. 4.2.2 Infrastruktur Listrik Listrik merupakan salah satu energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi maupun konsumsi. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Jawa Barat dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah. Jawa Barat merupakan salah satu pengguna energi listrik terbesar di Indonesia selain DKI Jakarta. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah industri dan rumah tangga di daerah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah industri/ rumah tangga di daerah lain. 100 80 60 40 20 0 94.3 52.8 35.3 2.1 2.9 0.1 0.4 0.1 8.5 1.5 1.5 0.3 Pelanggan Energi Terjual Rumah Tangga Sosial Bisnis Industri Publik Pemerintah Gambar 9 Persentase pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan di Jawa Barat tahun 2008

64 Total jumlah pelanggan PT PLN di Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 7,4 juta pelanggan. Persentase kelompok pelanggan terbesar yaitu rumah tangga (94 persen), sedangkan kelompok bisnis dan industri hanya sekitar 2,9 persen dan 0,1 persen. Jumlah pelanggan dan konsumsi listrik dari 2001-2008 terus meningkat, baik dari kelompok pelanggan rumah tangga, bisnis, industri, maupun lainnya. Hal tersebut harus disertai dengan peningkatan jumlah pasokan listrik ke konsumen untuk menghindari krisis pasokan listrik. Pertumbuhan sektor listrik cukup tinggi yaitu rata rata 6,3%, hal yang menarik yaitu bahwa penjualan listrik terutama di sektor industri menunjukkan pertumbuhan yang paling kecil dibandingkan dengan pertumbuhan penjualan listrik di sektor lain. Jumlah agregat pelanggan kelompok rumah tangga mendominasi, tetapi dari sisi penggunaan energi jual untuk kelompok rumah tangga lebih kecil daripada kelompok industri. Kelompok pelanggan industri dengan jumlah yang hanya 0,1 persen dari total pelanggan mengkonsumsi energi listrik sebesar 52,8 persen dari total energi jual (Gambar 9). Dengan kondisi pertumbuhan penjualan listrik ke sektor industri yang paling lambat tidak menutup kemungkinan jika beberapa tahun ke depan nilai dominan konsumsi listrik industri akan tergeser oeh sektor lain. Tabel 9 Energi listrik PLN yang terjual di Jawa Barat menurut lokasi tahun 2005 dan 2008 Lokasi Energi yang Terjual (GWh 2005 2008 01. Cirebon 1.705 2.070 02. Tasikmalaya 757 949 03. G a r u t 338 428 04. Cianjur 365 465 05. Sukabumi 605 818 06. B o g o r 3.608 4.384 07. Purwakarta 1.739 1.593 08. C i m a h i 1.606 1.884 09. Bandung 3.127 3.277 10. Majalaya 1.601 1.855 11. B e k a s i 4.149 4.893 12. D e p o k 1.243 1.513 13. Karawang 2.401 2.934 14. Sumedang 1.395 1.689 Jawa Barat 24.638 28.752 Sumber : BPS

65 Berdasarkan Tabel 9 pengguna energi listrik terbesar yaitu daerah sekitar Bekasi, Bogor dan Bandung. Hal ini disebabkan penggunaan energi listrik paling banyak dimanfaatkan untuk industri dan rumah tangga yang berada di daerah tersebut. Ketiga daerah tersebut merupakan daerah dengan konsentrasi industri yang tinggi yang tentu saja akan diikuti dengan aktifitas sektor ekonomi yang lain. Rumah tangga sebagai penyedia tenaga kerja pada industri-industri tersebut jumlahnyapun tentu juga besar, akibatnya tingkat konsumsi energi listrikpun semakin besar. 4.2.3 Aglomerasi Industri Manufaktur Struktur perekonomian suatu negara dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam menilai kinerja pembangunan ekonominya. Struktur perekonomian yang relatif maju ditandai oleh semakin dominannya peran sektor modern dalam perekonomian negara tersebut. Sektor ini berangsur-angsur menggantikan peran sektor tradisional (pertanian) dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan daerah. Teori perubahan struktural menyatakan bahwa mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa yang tangguh (Todaro dan Smith, 2006). Peran sektor industri manufaktur terhadap perekonomian di Jawa Barat jauh lebih menonjol dibandingkan peran sektor pertanian dan posisi tersebut relatif konstan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari besarnya sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB Jawa Barat dari 42,25 persen pada tahun 2000 menjadi 43,43 persen pada tahun 2008 (Gambar 10). Sektor industri manufaktur bukan sektor penyerap terbesar tenaga kerja di Jawa Barat. Peran sektor industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja nasional memang masih relatif rendah yaitu hanya 7,6 persen pada tahun 2008. Distribusi penyerapan tenaga kerja masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (41,4 persen) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (25,5 persen), pangsa tenaga kerja industri manufaktur besar sedang hanya 13,8 persen dari tenaga kerja industri manufaktur.

66 50 40 30 20 10 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1. Pertanian 2. Perdagangan, Hotel dan Restoran 3. Industri Pengolahan Gambar 10. Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan perdagangan hotel dan restoran, dan industri manufaktur terhadap PDB Jawa Barat tahun 2000-20088 Jumlah perusahaan industri manufaktur besar sedang dari tahun 2001 hingga tahun 2005 cenderung stagnan, dan bahkan cenderung berada dalam tren yang menurun, hal ini dapat dipahami karena pada tahun tersebut industri di Indonesia masih merasakan dampak krisis 1997 dan baru mulai untuk recovery. Kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik pada tahun 2004 membuat sektor industri terpuruk dan mengalami penurunan yang paling tajam dibandingkan dengan sektor lainnya. Peran sektor industri dan jumlah perusahaan industri manufakturpun mengalami penurunan pada tahun 2005. Peningkatan peran sektor industri dan jumlah perusahaan kembali terjadi pada tahun 2006 yang mencapai jumlah tertinggi selama satu dekade, dan selanjutnya mengalami tren menurun sampai tahun 2008 (Gambar 11). 1,300,000 1,250,000 1,200,000 1,150,000 1,100,000 1,050,000 1,000,000 950,000 yang 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 tenaga kerja Gambar 11 Jumlah perusahaan Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2001-2008

67 Tenaga kerja industri manufaktur mengalami tren yang sama yaitu cenderung menurun. Penurunan ini mengindikasikan adanya deindustrialisasi di Jawa Barat. Deindustrialisasi dapat diartikan sebagai menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Menurunnya peranan industri dalam perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain. 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 jml perusahaan Gambar 12 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang tahun 2001-2008 Apabila dilihat menurut wilayah, jumlah tenaga kerja sektor industri manufaktur besar sedang terkonsentrasi di Kabupaten Bekasi yaitu 18,6 persen dari total seluruh tenaga kerja di Jawa Barat pada tahun 2008. Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 12, kabupaten/kota dengan jumlah tenaga kerja terbanyak pada tahun yang sama yaitu Kabupaten Bandung (169 ribu) dan Kabupaten Bogor (154 ribu). Sedangkan kabupaten yang menyumbang jumlah tenaga kerja industri manufaktur terendah yaitu Kuningan (2,5 ribu) dan Kota Sukabumi (3,67 ribu). Secara rata-rata pertumbuhan per tahun tenaga kerja industri besar sedang dari tahun 2001 sampai 2008 yaitu sebesar -0,01 persen. Jawa Barat mengalami penurunan jumlah tenaga kerja, yang diindikasikan dengan rata-rata pertumbuhan yang negatif. Rata rata pertumbuhan negatif disumbang oleh daerah dua daerah konsentrasi industri yaitu Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor, hal tersebut mengindikasikan mulai terjadinya deindustrialisasi di Jawa Barat. Rata-rata pertumbuhan positif tertinggi berada di Kabupaten Cirebon. Pertumbuhan yang

68 tinggi di kabupaten tersebut tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya kontribusi sumbangannya terhadap jumlah tenaga kerja secara total, hal ini dikarenakan kabupaten tersebut relatif mempunyai jumlah tenaga kerja yang rendah. Tabel 10 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut kabupaten/kota tahun 2001, 2005 dan 2008 No Kab/Kota Jumlah Tenaga Kerja 2001 2005 2008 Rata-rata Pertumbuhan per Tahun (%) 01 Kab. Bogor 174.392 158.952 154.961-0,01 02 Kab. Sukabumi 31.199 29.106 51.978 0,14 03 Kab. Cianjur 7.679 6.079 8.462 0,05 04 Kab. Bandung 314.145 175.460 169.614-0,07 05 Kab. Garut 9.557 10.347 13.503 0,10 06 Kab. Tasikmalaya 7.352 6.560 8.848 0,13 07 Kab. Ciamis 5.680 8.388 8.202 0,07 08 Kab. Kuningan 1.161 1.531 2.589 0,13 09 Kab. Cirebon 24.686 26.867 38.005 0,17 10 Kab. Majalengka 16.542 16.508 21.388 0,04 11 Kab. Sumedang 18.523 21.762 21.342 0,03 12 Kab. Indramayu 2.622 2.997 4.947 0,13 13 Kab. Subang 7.549 11.241 12.042 0,11 14 Kab. Purwakarta 43.926 40.840 46.068 0,01 15 Kab. Karawang 86.165 86.271 98.698 0,02 16 Kab. Bekasi 178.379 200.090 212.930 0,03 17 Bogor 21.699 22.385 20.957 0,00 18 Sukabumi 2.364 3.677 3.786 0,11 19 Bandung 118.129 76.034 94.393-0,02 20 Cirebon 7.514 6.491 5.952-0,03 21 Bekasi 62.304 53.739 47.800-0,04 22 Depok 42.001 35.090 25.724-0,07 23 Cimahi 82.077 79.685 70.501-0,02 Jawa Barat 1.265.645 1.080.100 1.142.690-0,01 Sumber: BPS, 2001-2008 (diolah) Aktifitas industri manufaktur moderen di Jawa Barat jika dilihat menurut wilayah pengembangan maka terkonsentrasi di wilayah Koordinasi Pembangunan II dan IV. Bahkan bila kita telah mengelompokkan 23 kabupaten/kota di Jawa Barat ke dalam empat wilayah koordinasi pembangunan, maka wilayah tersebut menyerap lebih dari 70 persen tenaga kerja Jawa Barat selama periode 2001-2008 (Tabel 11). Pangsa tenaga kerja dari WKPP IV cenderung agak menurun,

69 sedangkan pangsa WKPP II cenderung naik secara substabsial. Pangsa WKPP IV (Bandung dan sekitarnya) turun dari 44 persen pada tahun 2001 menjadi 33 persen pada tahun 2008. Pangsa WKPP II (Bekasi dan sekitarnya) tumbuh dari 30 menjadi 36 persen dalam periode yang sama. Persentase tenaga kerja manufaktur yang paling sedikit adalah WKPP III (Cirebon dan sekitarnya) hanya sekitar empat persen pada tahun 2001 dan tujuh persen pada tahun 2008. Tabel 11 Persentase tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut Wilayah Pengembangan di Jawa Barat tahun 2001-2008 Wilayah Pengembangan Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 WKPP I 22,0 23,4 22,6 23,7 23,6 24,2 24,6 23,3 WKPP II 29,8 34,9 35,7 35,9 36,3 34,3 34,1 36,5 WKPP III 4,1 4,6 4,8 4,8 5,0 5,7 5,9 6,4 WKPP IV 44,1 37,0 36,9 35,6 35,0 35,8 35,4 33,8 Jawa Barat 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS (diolah) Dari hasil identifikasi terdapat tiga lokasi aglomerasi industri manufaktur. Lokasi yang pertama yaitu di Kabupaten Bekasi, lokasi kedua yaitu di Bogor, dan lokasi ketiga berada di Kabupaten Bandung. Jumlah tenaga kerja sektor industri manufaktur besar sedang terkonsentrasi di Kabupaten Bekasi yaitu 18,6 persen dari total seluruh tenaga kerja di Jawa Barat pada tahun 2008 dengan nilai tambah mencapai 48,87 persen. Berdasarkan Tabel 10, Kabupaten/kota dengan jumlah tenaga kerja terbanyak pada tahun yang sama yaitu Kabupaten Bandung (169 ribu) dengan nilai tambah mencapai 20,1 persen dan Kabupaten Bogor (154 ribu) dengan nilai tambah mencapai 20,1 persen dari nilai tambah industri manufaktur Jawa Barat. Sementara itu apabila menyimak lebih mendalam kawasan industri di Jawa Barat merupakan bagian dari Greater Jakarta dan Bandung, maka akan terlihat fenomena yang cukup menarik untuk diamati lebih lanjut. Di wilayah Jawa Barat terdapat kecenderungan perkembangan aktifitas industri manufaktur di kota-kota inti dalam hal ini Kabupaten Bogor (sebagai core dari greater Jakarta) dan

70 Bandung terlihat menurun. Sementara itu di kota-kota pinggiran (fringe region) seperti Bekasi, Karawang, Purwakarta aktifitas industri manufaktur justru semakin meningkat. Fakta ini dapat dilihat dari sudut pangsa tenaga kerja, nilai tambah maupun jumlah perusahaan yang beroperasi di wilayah ini.