BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fenomena alam gempabumi sering terjadi berbagai belahan dunia terutama di Indonesia. Setiap tahunnya, dapat terjadi lebih dari sepuluh gempabumi dengan magnitudo besar dengan skala 5 SR hingga 8 SR (Natawidjaja, 2005). Gempabumi terjadi saat gelombang seismik menjalar ke segala arah dari sumber gempa melewati kerak bumi hingga mencapai permukaan, gelombang tersebut akan menghasilkan pergerakan tanah berupa guncangan dengan durasi tertentu. Rekaman pergerakan tanah menunjukkan kekuatan dan lamanya durasi guncangan yang bergantung pada ukuran dan lokasi sumber gempa serta karakteristik dari site (Kramer, 1996). Informasi dari rekaman dapat berguna untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan dari fenomena gempabumi. Kerugian tersebut dapat berupa kerugian material bangunan, terputusnya akses jalan, dan jatuhnya korban jiwa mulai dari luka-luka hingga meninggal dunia yang sebagian besar disebabkan oleh kerusakan infrastruktur atau tertimpa reruntuhan bangunan akibat besarnya pergerakan tanah yang terjadi. Pergerakan tanah akibat gempa dapat diilustrasikan dalam bentuk percepatan tanah (ground acceleration), kecepatan tanah (ground velocity), simpangan tanah (ground displacement) atau intensitas gempa, tetapi pergerakan tanah berupa ground acceleration paling banyak digunakan (Pawirodikromo, 2012). Oleh karena itu, studi mengenai besarnya pergerakan tanah salah satunya dengan percepatan tanah maksimum (peak ground acceleration) menjadi penting untuk dipelajari dalam mengevaluasi dampak yang ditimbulkannya terhadap kondisi suatu daerah dan dapat menjadi acuan untuk pemerintah dan masyarakat dalam proses pembangunan fasilitas struktur dan infrastruktur tahan gempa. Peak ground acceleration merupakan kekuatan gempa yang dirasakan berupa percepatan tanah yang mencapai permukaan saat gempa terjadi (Agus, 2011). Estimasi nilai peak ground acceleration dapat diketahui baik secara 1
2 langsung menggunakan instrumen accelerograph maupun melalui model empiris atau biasa dikenal dengan ground motion prediction equation (GMPE). Saat ini, perkembangan mengenai studi sensor accelerograph di berbagai negara telah meningkat mulai dari proses perekaman hingga analisis rekaman pergerakan tanah seperti yang ditunjukkan oleh gambar I.1. Para peneliti juga melakukan studi estimasi nilai peak ground acceleration menggunakan berbagai model empiris yang dikembangkan di berbagai negara berdasarkan rekaman pergerakan tanah menggunakan model empiris. (a) (b) Gambar I.1 Rekaman gempa Meksiko tahun 1985 : (a) direkam di Tacubaya, dan (b) direkam di La Villita (Pawirodikromo, 2012) Dalam pembuatan model empiris, parameter yang biasanya digunakan adalah magnitudo gempa, jarak sumber ke site, kedalaman gempa, mekanisme sumber dan kondisi tanah daerah setempat. Beberapa lokasi yang sering terjadi gempabumi seperti Jepang, Meksiko, California, Amerika bagian selatan dan beberapa lokasi yang sering terjadi peristiwa gempabumi telah memiliki model empiris yang sesuai dengan kondisi wilayahnya. Namun beberapa negara termasuk Indonesia belum memiliki model empiris yang sesuai dengan wilayahnya dikarenakan minimnya rekaman pergerakan tanah yang dimiliki dari beberapa tahun sebelumnya dan hingga saat ini BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) masih merintis pembuatan dan pengembangan model empiris untuk Indonesia ( Rusdyanto, 2013).
3 Walaupun belum ada model empiris khusus daerah-daerah di Indonesia, banyak peneliti yang telah melakukan studi mengenai peak ground acceleration menggunakan berbagai model empiris dari negara lain yang memiliki kondisi wilayah yang hampir sama dengan Indonesia seperti model empiris Kanai (1966), model empiris McGuire (1977), model empiris Fukushima dan Tanaka (1990), dan sebagainya. Sehingga muncul berbagai estimasi peak ground acceleration berdasarkan model empiris yang dianggap sesuai untuk daerah studi. Gempabumi dengan skala lebih dari 5,5 SR yang terjadi beberapa tahun terakhir menyebabkan banyak kerusakan yang terjadi di berbagai sektor. Beberapa sejarah gempa yang berhasil dihimpun oleh Susanto (2009) diantaranya yaitu gempa Samudra Hindia pada tahun 2004 yang diikuti dengan tsunami mengakibatkan lebih dari 230.000 orang meninggal dunia yang berasal dari negara-negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, bagian pantai timur benua Afrika. Gempa Nias pada tahun 2005 yang diindikasikan terpicu oleh gempa Samudra Hindia tahun 2004. Gempa Yogyakarta pada tahun 2006 yang menelan korban jiwa lebih dari 6.000 orang. Gempa Sumatra Barat pada tahun 2009 yang terjadi di lepas pantai Sumatra dengan magnitudo sebesar 7,6 SR menyebabkan kerusakan parah di kota dan beberapa kabupaten sehingga mengakibatkan 1.117 orang meninggal dunia, lebih dari 1.000 orang mengalami luka berat dan luka ringan. Gambar I.2 menunjukkan persebaran kerusakan yang terjadi akibat gempabumi 30 September 2009 untuk Padang dan sekitarnya dimana Padang Pariaman dan kota Padang mengalami kerusakan yang cukup parah dengan jumlah bangunan rusak berat sekitar 10.000 hingga lebih dari 50.000 unit. Jika dilihat dari gambar tersebut, kerusakan sebagian besar terjadi di daerah yang memiliki pemukiman penduduk yang padat terutama daerah yang dekat dengan sumber gempa. Letak daerahnya yang berada di pesisir barat Sumatra juga menyebabkan tingginya kerusakan akibat gempa dimana sebagian besar komposisi tanahnya berupa alluvium yang bersifat fleksibel / lunak. Gambar I.3 menunjukkan kerusakan yang terjadi setelah gempa Sumatra Barat pada tahun 2009, terlihat puing-puing dari tempat penginapan, kantor
4 pemerintahan, gedung sekolah hingga gudang suatu perusahaan. Umumnya dampak dari gempa akan meningkat secara signifikan akibat dari kenaikan populasi manusia, fasilitas struktur dan infrastruktur (Sengara, dkk., 2010). Kota Padang merupakan ibukota provinsi Sumatra Barat yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dengan didukung berbagai fasilitas infrastruktur yang lengkap untuk menunjang aktifitas masyarakatnya menyebabkan tingkat resiko cukup tinggi untuk kota Padang dan sekitarnya terhadap bahaya bencana gempabumi. Oleh sebab itu, kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pentingnya kajian resiko gempa diperlukan terutama dalam upaya pencegahan dan penanggulangan bencana di masa mendatang. Dalam skripsi ini diharapkan dapat memperoleh estimasi peak ground acceleration untuk daerah Padang dan sekitarnya menggunakan model empiris baru dan tiga model empiris lain serta kesesuaian hasil estimasi dengan data accelerograph sebagai data validasi. 30/09/09 Mw = 7,6 SR 70.833 37.587 65 2173 Gambar I.2 Peta kerusakan daerah Padang dan sekitarnya akibat gempa 30 September 2009 (dimodifikasi dari Anonim, 2011)
5 (a) (b) (c) (d) Gambar I.3 Kerusakan yang terjadi akibat gempa Sumatra Barat 30 September 2009 diantaranya hotel Ambacang, salah satu kantor pemerintahan kota Padang (a dan b), runtuhnya dinding pembatas antar kelas di SMU 1 Padang dan runtuhnya dinding yang menyangga sisi struktur atap pada gudang PT Deli Agung Patria (c dan d). (Knox dan Meehan, 2009) I.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana menghasilkan model empiris baru untuk daerah Padang dan sekitarnya? 2. Bagaimana estimasi nilai peak ground acceleration yang dihasilkan dan persebarannya menggunakan model empiris baru dan tiga model empiris lain yang telah ada? 3. Bagaimana perbandingan estimasi nilai peak ground acceleration menggunakan model empiris baru dengan tiga model empiris lain serta data accelerograph (observation data / validasi)?
6 I.3 Batasan Masalah Berdasarkan rumusan masalah diatas, beberapa batasan masalah untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data yang digunakan adalah data mikrotremor hasil pengukuran di lapangan pada Juli - Agustus 2011 di kota Padang, data relokasi gempabumi dan.data accelerograph periode 2009-2015. Data accelerograph sebagai observation data (validasi). 2. Daerah penelitian berada di Padang dan sekitarnya, dibatasi pada koordinat 0,54º - 1,76º LS dan 99,27º - 100,8º BT. 3. Selain menghasilkan model empiris baru, adapun model empiris lain yang digunakan yaitu model empiris Kanai (1966), model empiris McGuire (1977), dan model empiris Fukushima dan Tanaka (1990). I.4 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menghasilkan model empiris baru berdasarkan data accelerograph daerah Padang dan sekitarnya. 2. Menghasilkan dan memetakan estimasi nilai peak ground acceleration dari model empiris baru dan tiga model empiris lain. 3. Membandingkan estimasi nilai peak ground acceleration dari model empiris baru dan tiga model empiris lainnya serta data accelerograph.