Komponen dalam Tembang Sunda Cianjuran

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Pirigan Tembang Sunda Cianjuran Runtuyan Wanda Papantunan & Panambih (Lagu Goyong Petit, Dangdanggula Paniisan & Jeritna Hate)

Bagian Satu. Konsep Dasar Tembang Sunda Cianjuran

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Aspek Ritual Dalam Tembang Cianjuran

GLOSARIUM. : salah satu watak pupuh Kinanti : salah satu cara menyuarakan sebuah nyanyian : istilah ornamentasi dalam tembang Sunda

RUK-RUK RUKMANA S KACAPI INDUNG PIRIGAN STYLE (A DEVELOPMENT OF TEMBANG SUNDA CIANJURAN MUSIC)

2015 KOMPOSISI KACAPI PADA LAGU KEMBANG TANJUNG PANINEUNGAN KARYA MANG KOKO

PENERAPAN TEKNIK ORNAMENTASI SULING SUNDA LUBANG ENAM PADA LAGU TEMBANG SUNDA CIANJURAN oleh Engkur Kurdita. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ini pada mulanya merupakan kalangenan bagi para petani ketika mereka

Sedangkan menurut Hartanto (2002: 406), karakter adalah:

BAB VI KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan. Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan

DALAM TEMBANG SUNDA CIANJURAN STUDI KOMPARATIF TERHADAP GAYA RUK-RUK RUKMANA DAN GAYA GAN-GAN GARMANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reni Nuraeni S, 2014 Analisis garap pupuh pangkur dalam audio CD Pupuh Raehan karya Yus Wiradiredja

BAB 1 PENDAHULUAN. Soepandi Mengatakan bahwa: Alat musik tiup yang ada di Jawa Barat

SISTEM NOTASI UNTUK PEMBELAJARAN KACAPI INDUNG TEMBANG SUNDA CIANJURAN

SILABUS. Mata Kuliah TEMBANG (SM 103)

BAB I PENDAHULUAN. penyajian suling dalam tembang sunda cianjuran yang dibawakan penyaji

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat Jawa Barat Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berasal dari lingkungan yang berlatar belakang seni musik, terkadang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahan pembelajaran yang disajikan dalam sub pokok bahasan Wawasan

BAB 5 SIMPULAN 5.1 Struktur Teks Ridwan Nugraha F, 2013

KARAKTERISTIK PUPUH KINANTI KAWALI

LIRIK TEMBANG SUNDA CIANJURAN (Kajian Struktural Dinamik dan Etnopedagogik)

Fenomena Gender dalam Dongkari Lagu-Lagu Tembang Sunda Cianjuran 1

Inovasi Pembelajaran Kacapi Tembang Melalui Penerapan Sistem Notasi

2015 GARAPAN PENYAJIAN UPACARA SIRAMAN CALON PENGANTIN ADAT SUNDA GRUP SWARI LAKSMI KABUPATEN BANDUNG

Gending nyaeta rinengga suara anu diwangun ku sora-sora tatabeuhan. (Gending ialah aneka suara yang didukung oleh suara-suara tetabuhan)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

GONG DAN ALAT-ALAT MUSIK LAIN DALAM ENSAMBEL

14 Alat Musik Tradisional Jawa Tengah, Gambar dan Penjelasannya

Kerangka Materi, Narasi, dan Hasil Produk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Uking Sukri, seorang guru yang tahu batas kemampuannya, dunia pamirig dan perkembangan Tembang Sunda Cianjuran

Peranan R. A. A. Wiranatakusumah V Dalam Penyebaran Tembang Sunda Cianjuran

BAB I PENDAHULUAN. Kawih wanda anyar merupakan salah satu genre kesenian. yang salah satu bentuk sajiannya menggunakan kacapi 1 sebagai alat

Wujud Garapan Anda Bhuwana Kiriman I Kadek Alit Suparta, Mahasiswa PS Seni Karawitan, ISI Denpasar. Instrumentasi dan Fungsi Instrumen

BAB IV Konsep dan Tema Perancangan

MODEL PEMBELAJARAN KACAPI INDUNG DALAM TEMBANG SUNDA CIANJURAN. Oleh Julia Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang 2010

RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN JENIS SASTRA TRANSFORMASI

DASAR-DASAR PENGETAHUAN BELAJAR KARAWITAN UNTUK ANAK SD

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian yang tumbuh dan berkembang di masyarakat merupakan salah

BENTUK KOMPOSISI MUSIK REOG PANCA TUNGGAL DESA CIKAKAK KECAMATAN BANJARHARJO KABUPATEN BREBES

Abstrak. Key Words: Learning Method, Instrument, Kacapi. METODE PEMBELAJARAN KACAPI MELALUI PENERAPAN SISTEM NOTASI

BAB 3 METODE PENELITIAN

Gamelan, Orkestra a la Jawa

Bab 1 Mengenal Kendang

SUARA DAN GAYA Instrumentasi 1

MATERI UAS SENI MUSIK SEMESTER 5.

Karakter Musikal Lagu Gedé Kepesindenan Karawitan Sunda

Analisis Ornamen pada Lagu Dangdanggula Degung dalam Tembang Sunda Cianjuran

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan data yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa slentho

Laras, Surupan, dan Patet dalam Praktik Menabuh Gamelan Salendro

Pada era globalisasi yang serba maju ini masih berkembang berbagai. macam karya seni warisan nenek moyang kita, yang disebut dengan seni tradisi.

Dinamika Perkembangan Lagu Gedé

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KACAPI SULING INSTRUMENTALIA SEBAGAI SALAH SATU KESENIAN KHAS SUNDA. Instrumental Bamboo Kacapi as One of Unique Art of Sundanese

G.J TEMBANG SUNDA CIANJURAN GAYA BOJONGHERANGAN:

KARAWITAN VOKAL/SEKARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Hasil penelitian mengenai perubahan fungsi seni beluk pada masyarakat

TIGA KONSEP PENTING: VARIASI, PENGOLAHAN DAN KAIT-MENGAIT Variasi

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan Indonesia merupakan aset

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

2015 PELATIHAN ANGKLUNG SUNDA DI SANGGAR BAMBU WULUNG DI KECAMATAN SITURAJA KABUPATEN SUMEDANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN. Pupuh Balakbak Raehan merupakan salah satu pupuh yang terdapat dalam

LEMBAR PENGESAHAN PROSES PEMASARAN MUSIK TRADISIONAL TEMBANG SUNDA CIANJURAN (GALIH KATRESNA) Disusun Oleh : Tian Kuswara NPM. 11.

BAB II BUKU PENGENALAN ALAT MUSIK TRADISIONAL DEGUNG SUNDA. menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar.

BAB III METODE PENELITIAN

Kata Kunci : Udjo Ngalagena, model pembelajaran, Angklung Sunda Kreasi.

KESENIAN GONDANG GRUP LINGKUNG SENI PUTRA BADINGKUT DI KAMPUNG CITIMBUN DESA DUNGUSIKU

Contoh Alat Musik Ritmis dan Melodis

BAHAN USBN AKORD. = 2 1 ½ m = 1 ½ 2 dim = 1 ½ - 1 ½ M 7 = 2 1 ½ - 2 m 7 = 1 ½ 2-1 ½ 7 = 2 1 ½ - 1 ½ Sus 4 = = 2 ½ - 1 Sus 2 = = 1 2 ½

UCAPAN TERIMA KASIH...

Tabuh Angklung Keklentangan Klasik Oleh: I Gede Yudarta (Dosen PS Seni Karawitan)

SILABUS MUSIK GAMELAN PELOG SALENDRO III (SM 404) DEWI SURYATI BUDIWATI

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA LINGGA

BAB 2 SULING SEBAGAI ALAT MUSIK TRADISIONAL JAWA BARAT

KREATIVITAS IWAN MULYANA PADA SULING TEMBANG SUNDA CIANJURAN

MATA PELAJARAN : BAHASA DAN SASTRA SUNDA SATUAN PENDIDIKAN : SMP NEGERI 2 BANJAR

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya

Kreativitas Mang Koko dalam Karawitan Sunda

G L O S A R I 121 GLOSARI

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Musik keroncong adalah musik asli yang biasa menjadi salah satu aset

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengolah data dari sebuah penelitian, sebagaimana menurut pernyataan Sugiyono

BAB I PENDAHULUAN. Musik iringan dalam pencak silat di Jawa Barat pada umumnya dibangun

UKDW LATAR BELAKANG. Sebagai tempat wisata dan edukasi tentang alat musik tradisional jawa. Museum Alat Musik Tradisional Jawa di Yogyakarta.

PENGARUH RESONATOR TERHADAP BUNYI NADA 3 SLENTHEM BERDASARKAN SOUND ENVELOPE. Agung Ardiansyah

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... - HALAMAN PENGESAHAN... i. HALAMAN PERNYATAAN... ii. ABSTRAK... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tumbuh sikap apresiatif dan kreatif dalam jiwa peserta didik. Hal ini

Struktur Tabuh Lelambatan I Oleh: I Gede Yudartha, Dosen PS Seni Karawitan - Pangawit Pangawit berasal dari kata dasar yaitu ngawit/kawit yang

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif analitik yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk

SIARAN RADIO CITRA 99.4 FM SEBAGAI MEDIA PELESTARIAN TEMBANG SUNDA BAGI SISWA SEKOLAH DASAR

SILABUS. Instrumen Pilihan Wajib IV (TIUP) SM 416

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pertama ini akan diuraikan secara berturut-turut : (1) latar

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Pembelajaran Layeutan Suara Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Di Smp Pasundan Katapang Kabupaten Bandung

MIMBAR SEKOLAH DASAR

Unsur Musik. Irama. Beat Birama Tempo

BAB IV PENUTUP. Yogyakarta khususnya gending-gending soran, agar terus dikaji dan digali, baik oleh

Transkripsi:

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 7 Bab 2 Komponen dalam Tembang Sunda Cianjuran Karena tembang Sunda Cianjuran merupakan perpaduan antara vokal dengan pirigan, maka dalam pertunjukannya pun tidak akan terlepas dari dua komponen utama, yaitu penembang dan pamirig. Oleh sebab itu, aspek-aspek yang terdapat dalam tembang Sunda Cianjuran akan selalu berkaitan dengan dua komponen tersebut, antara lain vokal yang dinyanyikan oleh penembang, dan instrumen yang dimainkan oleh para pamirig yang terdiri dari instrumen suling atau rebab, kacapi rincik, dan kacapi indung. 1. Vokal Menurut M.A Salmun (1963), Lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran tergolong jenis lagu polymetra schematica, artinya satu suku kata mengandung lebih dari satu nada (Wiratmadja, 1996:16). Jenis iramanya, secara keseluruhan lagu dalam tembang Sunda Cianjuran terbagi ke dalam dua jenis irama. Pertama, sekar irama merdika (bebas) yang terdiri dari wanda papantunan, jejemplangan,

8 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g dedegungan, rarancagan, dan kakawen. Kedua, sekar irama tandak yang hanya terdiri dari wanda panambih. Dalam sekar irama merdika, penembang memiliki kebebasan (dengan batas-batas tertentu) dalam menentukan dan mengatur tempo lagu (adlibitum) sesuai dengan seleranya, terutama dalam menyanyikan ornamenornamennya. Sedangkan dalam sekar irama tandak, penembang terikat dengan aturan-aturan ketukan dan wiletan lagu. Sehingga tidak dapat mengatur tempo seenaknya, apalagi keluar dari aturan wiletan. Terkecuali bagi sebagian lagu panambih yang di dalamnya terdapat bagian sekar irama merdika. Berikut klasifikasi lagu tembang Sunda Cianjuran menurut sumber penciptaan dan ciri-cirinya: a. Wanda Papantunan Papantunan merupakan reduplikasi dari kata pantun, kata pantun ini mempunyai beberapa pengertian, antara lain cerita yang biasa dibawakan dalam acara ritual; sebuah kacapi berukuran besar yang bentuknya seperti parahu; dan cerita yang diwujudkan dalam bentuk puisi Sunda lama (Sukanda, 1984:22). Menurut sejarahnya, lagu-lagu wanda papantunan berasal dari kesenian pantun dan diduga lahir sebelum wanda-wanda lainnya (jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen dan panambih). Keterangan ini dapat dibuktikan pada naskah Sunda kuno, Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (1518) yang menyebutkan adanya empat cerita pantun, yaitu: Langgalarang, Banyak Catra, Siliwangi, dan Haturwangi (Rosliani 1998:10). Ciri lagu pada lagu-lagu papantunan tidak jauh bedanya dengan bahan dasar pewujudannya, yaitu lagu pangateb juru pantun yang distilisasi kembali. Lagu serta ornamen-ornamen (senggol) Juru pantun yang sederhana, diperindah lagi dalam seni mamaos. Berdasarkan hal tersebut, jelaslah kiranya bahwa dalam melagukan lagu-lagu papantunan, ornamen-ornamen intinya harus seperti halnya Juru pantun baik gerendeng maupun galindengnya yang kemudian diperindah dengan senggol-senggol keraton atau kabupatian (Sukanda, 1984:48).

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 9 Menurut Wiratmadja, ciri-ciri wanda papantunan tesisnya jatuh pada nada-nada 2 (mi) dan 5 (la) pada laras pelog. Liriknya berbentuk puisi pantun yang setiap baris pada umumnya berjumlah 8 suku kata, bersajak/murwakanti; berbentuk sisindiran, dan ada juga yang berbentuk pupuh (Wiratmadja, 1996:38). Menurut Sukanda, lirik wanda papantunan adalah menggunakan rumpaka-rumpaka pantun atau bahasa pantun yang sifatnya efis (sangat mengutamakan seni bahasa tidak begitu menghiraukan sastranya) dan statis karena merupakan bahasa klise Ki Juru pantun (Sukanda, 1984:49). Lagu-lagu papantunan pada umumnya memiliki pirigan tersendiri yang diawali dengan gelenyu. Sebelum memulai membawakan lagu-lagu papantunan, biasanya diawali dengan menyanyikan lagu narangtang papantunan. Lagu-lagu yang terdapat dalam wanda papantunan di antaranya lagu Kunasari atau Rajah, Putri Layar atau Layar Putri atau Layar Pantun, Gelang Gading, Pangapungan, Mupu Kembang, Putri Ninun, Rajamantri, Candrawulan, Mangumangu, Kaleon, Tatalegongan atau Bangkong, Nataan Kendor atau Randegan, Nataan Gancang atau Randegan Gancang, Nataan Gunung, Palanturan atau Balagenyat, Manyeuseup dan papatet atau papatat yang merupakan saripati dari lagu-lagu wanda papantunan. b. Wanda Jejemplangan Sampai saat ini belum diperoleh keterangan yang pasti tentang arti jemplang. Menurut informasi, ada beberapa pengertian tentang jemplang. Ada pendapat yang menyatakan bahwa jemplang berasal dari kata jempling, yang kemudian diulang menjadi jemplangjempling. Hal ini mungkin dihubungkan dengan cara penyajiannya, bahwa lagu-lagu wanda jejemplangan biasanya disajikan pada waktu menjelang tengah malam, saat suasana lagi hening sepi jempling (Sarinah 1994:31). Menurut informasi R. Ace Hasan Su eb (Wiradiredja, et al. 2003:16), bahwa wanda jejemplangan berasal dari kesenian jemplang, yaitu kesenian terbangan yang biasa dimainkan pada malam hari. Dalam seni terbangan selalu muncul dua buah karakter

10 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g bunyi yaitu bunyi ping dan brung yang dimainkan secara bergantian. Dua buah karakter bunyi inilah yang diadopsi ke dalam wanda jejemplangan dengan cara menonjolkan permainan nada kempyung nada 1 (da) dan 4 (ti) pada kacapi yang ditabuh. Ada juga pendapat lain yaitu menurut Wiratmadja yang diperoleh dari seniman kacapi indung, Tarya (alm), yang disebut jemplang adalah nada 1 (da) dan 4 (ti) pada kacapi indung yang ditabuh secara bersamaan 2. Ciri-ciri lagu wanda jejemplangan menurut Wiratmadja, larasnya pelog; tesisnya 2 (mi) dan 5 (la) serta 1 (da) dan 4 (ti) pada jinek (pedotan kendor); dan rumpakanya kebanyakan berbentuk pupuh (Wiratmadja, 1996:47). Lagu-lagu jejemplangan memiliki pirigan tersendiri dan diawali dengan gelenyu. Sebelum memulai membawakan lagu-lagu jejemplangan, biasanya diawali dengan menyanyikan lagu narangtang jejemplangan. Wiratmadja pun menuturkan, bahwa wanda jejemplangan disebut juga pantun barang terutama oleh orang Cianjurnya sendiri 3. Oleh sebab itu, bila didengarkan sepintas, agaknya tidak terlalu mudah membedakan lagu-lagu wanda jejemplangan dengan wanda papantunan. Arkuh dan hiasan lagunya kedengarannya sama (Wiratmadja, 1996:46). Lagu-lagu yang terdapat dalam wanda jejemplangan di antaranya Jemplang Panganten, Jemplang Pamirig, Jemplang Cidadap, Jemplang Ceurik, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, dan Jemplang Serang. c. Wanda Dedegungan Dedegungan merupakan reduplikasi dari kata degung. Artinya meniru seperti lagu-lagu degung yang sumbernya diambil dari seni degung klasik. Seni degung klasik yang dijadikan sumber pambentukan lagu-lagu wanda dedegungan di antaranya yaitu; (1) melodi lagu degungnya itu sendiri dijadikan salah satu bahan untuk pembentukan gelenyu lagu dedegungan; (2) pola cindek di dalam lagu-lagu klasik, sebelum jatuh pada nada goongan biasanya jatuh pada nada 3 (na) (Rosliani 1998:13). 2 Interviu pada bulan Mei 2007 di Banjaran-Bandung. 3 Interviu pada bulan Mei 2007 di Banjaran-Bandung.

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 11 Ciri-ciri lagu wanda dedegungan menurut Sukanda, rumpakanya menggunakan pupuh; banyak meramu ornamenornamen lagu degung; ciri utama yang harus diperhatikan adalah ornamen pada akhir kenongan atau frase lagu serta akhir lagu harus seperti akhir bunyi gamelan degung yang dipukul, tidak memungkinkan adanya fibrasi seperti papantunan atau rarancagan pada setiap akhir frase lagu atau kalimat lagu (Sukanda, 1984:57-58). Wanda dedegungan larasnya pelog, dan sebelum memulai membawakan lagu-lagu dedegungan, biasanya diawali dengan sebuah gelenyu yang mewakili semua lagu. Nama-nama dari pupuh yang digunakan ke dalam rumpaka lagu banyak digunakan sebagai judul lagu yang dirangkaikan dengan kata degung, misalnya: Sinom Degung, Dangdanggula Degung, Kinanti Degung, Durma Degung, Magatru Degung, Asmarandana Degung, Wirangrong Degung, dan Pucung Degung. d. Wanda Rarancagan Rarancagan merupakan reduplikasi dari kata rancag. Menurut sejarahnya rarancagan berasal dari tembang rancag buhun (Wiradiredja, dkk, 2003:16). Namun demikian, hal ini bukan berarti sumber pembentukan wanda rarancagan hanya berasal dari seni tembang rancag melainkan banyak lagi unsur yang mempengaruhinya, seperti: beluk, ornamen lagu jawa, kawih kepesindenan, dan lain-lain (Sarinah 1993:36). Seperti yang dikatakan oleh Sukanda, bahwa lagu-lagu rarancagan merupakan penggabungan yang padu dari berbagai unsur seni melagu. Sedangkan perwujudannya dalam setiap lagu sudah tentu beraneka ragam. Ada yang berwatak agung, gagah, indah dan sedih. Ada yang heroik dan ada pula yang cengeng. Kadang-kadang ada pula lagulagu rarancagan yang masih tampak utuh kejawenannya, baik komposisi lagu maupun bahasanya (Sukanda, 1984:52). Menurut Sukanda, ciri rumpaka lagu rarancagan jelas sekali, yaitu menggunakan rumpaka pupuh seperti halnya rumpaka untuk tembang rancag (Sukanda, 1984:52). Pupuh yang biasa digunakan dalam rumpaka tembang Sunda Cianjuran yaitu, Pupuh Kinanti,

12 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g Pupuh Sinom, Pupuh Asmarandana dan Pupuh Dangdanggula. Selain menggunakan rumpaka pupuh, lagu-lagu rarancagan menggunakan pula rumpaka sisindiran yang meliputi wawangsalan, paparikan, dan rarakitan (Rosliani, 1998:14). Beberapa lagu yang terdapat dalam wanda rarancagan di antaranya: (1) Dalam laras pelog: Garutan, Cirebonan, Liwung jaya, Karang setra, Kaprabon, Budaya, Liwung, Mangari, Pager ageung, Bayubud, Polos, Mangari, Kentar Ajun, dan lain-lain. (2) Dalam laras sorog: Udan mas, Udan iris, Kapati-pati, Eros, Dangdanggula madenda, Kentar cisaat, Bergola, Dangdanggula Pancaniti, dan lainlain. (3) Dalam laras mandalungan: Serat Kalih, Pager baya, Dangdanggula, Paku sarakan, dan lain-lain. (4) Dalam laras salendro: Pamuragan, Rengganis, Lampuyangan, Laras pati, Lara gandrung, Lingga hiyang, dan lain-lain. e. Wanda Kakawen Kakawen berasal dari kata kakawian artinya meniru seperti bahasa kawi. Istilah kakawen ditemukan dalam seni padalangan/pawayangan yang kemudian dijadikan sumber dasar lagu-lagu kakawen dalam tembang Sunda Cianjuran (Rosliani, 1998:14). Seperti yang diungkapkan oleh Wiratmadja, lagu-lagu wanda kakawen baik istilah maupun lagunya ada kaitannya (bahkan mungkin berasal) dari lagu kakawen yang sering kita dengar dalam seni wayang golek. Dari lagu kakawen dalang yang sederhana, setelah dihias dengan ornamen Cianjuran maka jadilah lagu-lagu wanda kakawen yang merupakan salah satu wanda dalam tembang Sunda dengan karakter tersendiri (Wiratmadja, 1996:57). Kakawen merupakan salah satu wanda dalam tembang Sunda Cianjuran yang rumpakanya menggunakan bahasa kawi. Bahkan, Lagu-lagu dalam wanda kakawen jumlahnya paling sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya jumlah lagu kakawen dalam padalangan sebagai sumber penciptaan lagu-lagu kakawen dalam tembang Sunda Cianjuran sangat terbatas, hal ini secara otomatis telah membatasi penambahan jumlah lagu dalam

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 13 wanda kakawen, karena para pencipta tembang Sunda Cianjuran umumnya kurang mengerti dengan bahasa kawi (Rosliani, 1998:15). Menurut Sukanda, ciri lagu pada kakawen adalah ornamenornamen dalang wayang golek yang diwarnai dengan ornamenornamen Cianjuran. Sedangkan ciri rumpakanya adalah rumpakarumpaka yang tidak terlalu mengacu kepada acuan tertentu. Seperti pendapat M.A Salmun, bahwa kakawen yaitu kakawian, atau meniru-niru seperti bahasa kawi. Rumpaka kakawen dapat dianggap rumpaka bebas versi dalang wayang golek Sunda yang bukan pupuh dan juga bukan pantun (Sukanda, 1984:58-59). Beberapa lagu yang terdapat dalam wanda kakawen adalah sebagai berikut: (1) Laras Pelog: Toya Mijil, Sebrakan pelog. (2) Laras Salendro: Sebrakan Sapuratina, Kayu Agung, dan Ceurik Rahwana. f. Wanda Panambih Lagu panambih merupakan jenis lagu yang berbeda dari lagulagu pada wanda lainnya. Karena lagunya tergolong jenis lagu sekar irama tandak, sedangkan wanda lainnya tergolong jenis lagu sekar irama merdika (bebas). Pada awalnya, lagu panambih merupakan lagu-lagu ekstra yang berbentuk intrumentalia. Oleh karena itu nama jenis lagunya pun disebut panambih (penambah). Menurut beberapa sumber, awal mula terbentuknya lagu-lagu panambih adalah sebagai berikut: sebelum tahun 1930-an tabuhan gending instrumental sudah ada. Tabuhan ini disajikan pada saat juru mamaos sedang istirahat. Lagu-lagu yang biasa dibawakan yaitu diambil dari gamelan pelog dan salendro (Rumiang, Papalayon, dan Jipang). Perkembangan selanjutnya, gending-gending tersebut diberi vokal (Hermawan, 1990:62). Sekitar tahun 1938, Bakang Abubakar menggubah lagu Ayun Ambing ke dalam tembang Sunda Cianjuran, maka diperkirakan saat itu merupakan titik awal penciptaan lagu-lagu panambih (Rosliani, 1998:16). Hal tersebut berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Wiratmadja, Ia mengungkapkan,

14 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g Lagu panambih kabarnya hanya dikawihkan sebagai lagu pengisi waktu, intermezo, saat para penembang (pria) beristirahat. Itu pun mulanya berupa instrumental kacapisuling (gendingan) saja. Sejak kapan lagu-lagu instrumen tersebut diberi vokal (rumpaka) belum jelas benar. Tetapi dengan hadirnya penembang wanita pertama di Cianjur yang bernama Ibu H. Siti Sarah (pada zaman Bupati Prawiradiredja II 1863-1910), patut diperkirakan bahwa pada saat itu lagu panambih (ekstra) sudah mulai dikenal, sebab para penembang pada zaman itu (dan sebelumnya) hanyalah terdiri dari kaum pria saja (Wiratmadja, 1996:73). Dengan demikian, sebenarnya belum ada keterangan yang pasti ihwal kapan masuknya wanda panambih ke dalam tembang Sunda Cianjuran. Namun yang jelas, kedudukan lagu-lagu panambih seakan-akan menggeser lagu-lagu mamaos, karena lagu-lagu panambih lebih banyak disajikan dibandingkan dengan lagu mamaosnya, terutama dalam konteks hajat pernikahan. Mungkin karena secara teknik lagu-lagu panambih lebih mudah dinyanyikan daripada lagu-lagu mamaos, lebih dinamis, dan jumlahnya lebih banyak daripada lagu-lagu mamaos. Adapun rumpaka yang digunakan dalam wanda panambih yaitu puisi bebas, pupuh, dan sisindiran. Beberapa lagu yang terdapat dalam wanda panambih adalah (1) Laras Pelog: Toropongan, Renggong Gede, Budak Ceurik, Panyileukan, Mega Beuruem, Kembang Bungur, Degung Panggung, Jalan Satapak, dan lain-lain. (2) Laras Sorog: Kulu-Kulu Bem, Panineungan, Panyileukan, Jangji Asih, Jalir Jangji, Kumaha Jadina, Kingkilaban, Rumingkang, Kacipta, dan lain-lain. (3) Laras Mandalungan: Duriat Teu Sarasa, Ngumbar Asih, Pageuh Tekad, Karanginan, Santika, dan lain-lain. (4) Laras Salendro: Leang-Leang, Tepung Munggaran, Kastawa, Torotot Heong, Paksi Tuwung, Kaelangan, Sekar Mawar, Buah Kawung, dan lain-lain. 2. Instrumen

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 15 Komponen lainnya yang terdapat dalam tembang Sunda Cianjuran adalah seperangkat waditra (instrumen) pengiring. Ada beberapa waditra yang digunakan, di antaranya suling atau rebab, kacapi rincik, dan kacapi indung. Dalam penyajiannya, kacapi indung dan suling dimainkan pada semua wanda, sedangkan kacapi rincik hanya dimainkan pada wanda panambih. Begitu juga dengan rebab, hanya dimainkan pada wanda rarancagan dan panambih, itu pun hanya digunakan pada laras salendro saja. Agar dapat dikatakan sebagai penyajian tembang Sunda Cianjuran, maka seluruh komponen tersebut (kacapi indung, kacapi rincik., suling/rebab, dan sekar), harus lengkap semuanya. Terkecuali untuk penyajian instrumentalia Cianjuran, karena hanya menggunakan kacapi indung, kacapi rincik, dan suling, tanpa menggunakan sekar. Dilihat dari bentuk fisik, karakter bunyi yang dihasilkan, cara memainkan, dan garap musikalnya, semua instrumen yang digunakan dalam tembang Sunda Cianjuran memiliki fungsi-fungsi tersendiri. Misalnya, kacapi rincik memiliki ukuran yang lebih kecil dari kacapi indung. Sehingga memiliki karakter bunyi yang lebih tinggi karena wilayah nadanya pun lebih tinggi dari kacapi indung. Oleh sebab itu, kacapi rincik lebih tepat difungsikan sebagai penghias dalam mengiringi lagu, khususnya lagu-lagu dalam wanda panambih. Begitu juga suling, dengan memerhatikan bentuk fisik, karakter bunyi, cara memainkan, dan garap musikalnya, hanya dapat menghasilkan iringan berbentuk melodi saja. Sehingga tidak dapat digunakan untuk mengiringi lagu secara mandiri. Berbeda dengan kacapi indung, yaitu lebih tepat digunakan sebagai instrumen pokok. Karena, bentuk fisiknya lebih besar dari kacapi rincik sehingga secara visual saja lebih tepat digunakan sebagai instrumen pengiring. Karakter bunyinya selain dapat menghasilkan bunyi lembut, juga memiliki wilayah nada yang cukup memadai dari nada tinggi sampai nada rendah. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan wilayah nada lagu-lagu dalam tembang Sunda Cianjuran, dengan kacapi indung dapat terpenuhi. Apalagi jika dilihat dari garap musikalnya, yaitu memiliki pola-pola tabuhan yang cocok untuk digunakan dalam mengiringi lagu-lagu dalam tembang Sunda

16 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g Cianjuran. Untuk lebih mengenal perbedaan-perbedaan semua instrumen dalam tembang Sunda Cianjuran, akan dipaparkan satupersatu. a. Suling Dalam penyajian tembang Sunda Cianjuran, suling pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai pembawa melodi dalam lagu bubuka, penuntun lagu, penghias lagu, dan pengisi melodi dalam gelenyu. Pada awalnya suling hanya digunakan dalam laras pelog dan sorog saja, tapi sekarang suling juga sering digunakan dalam laras salendro. Namun, itu pun hanya pada lagu-lagu tertentu saja, dan biasanya pada lagu-lagu dalam wanda panambih. Dalam menjalankan fungsinya, suling harus menginduk pada kacapi indung, seperti dalam memulai memainkan melodi. Dilihat dari bentuknya, suling yang biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran terdiri dari dua jenis, yaitu suling panjang berlubang enam (kira-kira 59-62 cm) dan suling pondok berlubang empat (suling degung). Kedua jenis suling ini dimainkan dalam wanda lagu yang berbeda. Suling pondok pada umumnya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu dedegungan (khususnya wanda panambih, seperti Degung Ciaul, Degung Panggung, dan Renggong Buyut). Selain itu terdapat juga suling mandalungan, tapi suling mandalungan termasuk jenis suling panjang yang berbeda surupannya dan hanya digunakan dalam laras mandalungan. Dilihat dari bahannya, suling terbuat dari bambu tamiang, yaitu bahan pokok suling yang dapat menghasilkan bunyi beserta nada-nadanya. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan suliwer yang terbuat dari rotan atau bambu. Rotan yang digunakan untuk bahan suliwer berbentuk cincin (melingkar) yang merupakan penutup lubang penghasil sumber suara dengan cara dililitkan pada suling bagian atas yang telah diberi celah untuk suliwer. b. Rebab

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 17 Pada dasarnya fungsi rebab sama dengan suling, yaitu sebagai pembawa melodi dalam lagu bubuka, penuntun lagu, penghias lagu, dan pengisi melodi dalam gelenyu. Namun dalam tembang Sunda Cianjuran, rebab hanya digunakan dalam laras salendro saja, baik dalam lagu mamaos maupun lagu panambih. Bahkan, sekarang dalam lagu-lagu panambih fungsi rebab mulai digantikan oleh biola, atau yang orang Sunda sebut dengan istilah piul (biola Sunda), dikarenakan nada-nada yang dimainkannya menggunakan laras-laras yang ada di Sunda. Selain itu, laras salendro jarang disajikan dalam pertunjukan-pertunjukan tembang Sunda Cianjuran, sehingga rebab pun jarang digunakan. Dalam menjalankan fungsinya, seperti halnya suling rebab pun harus menginduk pada kacapi indung. Rebab yang digunakan dalam penyajian tembang Sunda Cianjuran, pada dasarnya sama dengan rebab pada penyajian gamelan pelog dan salendro. Ukuran surupan pada rebab dalam tembang Sunda Cianjuran lebih rendah dari pada ukuran surupan rebab yang digunakan pada gamelan pelog dan salendro. Oleh sebab itu, ukuran kawat rebab yang digunakannya biasanya lebih besar daripada ukuran kawat pada rebab gamelan pelog dan salendro. Kawat rebab terdiri dari dua utas, dan terbuat dari bahan kuningan. Cara membunyikannya dengan digesek menggunakan penggesek rebab. Pada awalnya penggesek rebab ini terbuat dari rambut ekor kuda, namun sekarang biasanya menggunakan benang nilon atau kenur plastik (dalam jumlah banyak), dan ukurannya sangat kecil. c. Kacapi Rincik Kacapi rincik berfungsi sebagai pengisi dalam lagu bubuka, penghias lagu, dan sebagai pengisi melodi sesuai dengan struktur melodi lagu yang diiringinya. Dalam tembang Sunda Cianjuran, keberadaan kacapi rincik sangat penting, karena selain fungsi-fungsi di atas, kacapi rincik dapat berfungsi juga sebagai mamanis (pemanis) dalam lagu-lagu panambih. Karena kacapi rincik hanya dimainkan dalam wanda panambih. Dalam hal ini, tanpa kacapi rincik penyajian lagu-lagu panambih terasa sekali kekosongan dalam komposisi lagunya. Sedangkan dalam menjalankan fungsinya, kacapi rincik harus

18 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g menginduk pada kacapi indung, seperti dalam memulai memainkan tabuhan, mengikuti kenongan dan goongan lagu, dan mengikuti tempo lagu. Dilihat dari pola permainannya, tabuhan kacapi rincik pada prinsipnya terdiri dari dua jenis tabuhan, yaitu dicaruk dan digumek. Permainan tabuhan dicaruk biasanya digunakan untuk mengiringi lagu bubuka dan lagu panambih yang tabuhan kacapi indungnya diropel atau dirangkep. Teknik permainan digumek pada dasarnya hampir sama dengan teknik tabuhan pasieupan dalam permainan kacapi indung. Sedikit yang membedakannya adalah tabuhan pasieupan memiliki tempo permainan yang cepat, sedangkan tabuhan digumek memiliki tempo permainan salancar (tempo sedang), seperti halnya pada permainan bonang degung klasik. Cara menabuh kacapi rincik ini menggunakan dua buah telunjuk kanan dan kiri yang pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan cara menabuh pasieupan kacapi indung. Bentuk kacapi rincik lebih kecil dari pada kacapi indung. Perbedaan besar kecilnya kedua kacapi ini (kacapi rincik dan kacapi indung), ada hubungannya dengan ukuran tinggi rendahnya nada yang dihasilkan. Karena kacapi rincik lebih kecil, maka bunyi yang dihasilkannya pun lebih tinggi, tepatnya lebih tinggi satu gembyang dari pada bunyi kacapi indung. Dilihat dari bentuk konstruksi fisiknya, kacapi rincik sedikit berbeda dari kacapi indung. Kacapi rincik tidak memiliki pureut sebagaimana yang terdapat dalam kacapi indung, tetapi memiliki pureut yang terbuat dari besi yang terletak pada ujung sebelah kanan (bila dilihat dari arah posisi pemain). Cara menyetemnya yaitu dengan memutarkan pureut tersebut (ke kanan atau ke kiri) dengan menggunakan kunci kacapi. Apabila pureut tersebut diputar ke arah kanan (sesuai arah jarum jam) dengan menggunakan kunci kacapi, maka tegangan kawatnya semakin tinggi. Sebaliknya, apabila pureut tersebut diputar kekiri, maka tegangan kawatnya semakin mengendur (nadanya semakin rendah). Jumlah kawat kacapi rincik sebanyak lima belas utas, dan biasanya menggunakan kawat yang terbuat dari stanless. Kelima belas kawat ini disangga oleh inang yang dibentangkan pada pureut melalui tumpang sari (penahan kawat).

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 19 d. Kacapi Indung Kacapi indung merupakan salah satu jenis alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari kayu dan menggunakan kawat dengan jumlah 18 utas. Secara fisik, bentuk kacapi indung berbeda dengan kacapi siter. Kacapi indung memiliki ukuran yang lebih besar, dan pada kedua ujungnya terdapat hiasan berupa gelung. Pada bagian depan kacapi indung terdapat 18 buah bulatan panjang yang menonjol ke depan yang dinamakan pureut. Ada beberapa istilah yang digunakan oleh masyarakat Sunda untuk menyebut kacapi indung. Pertama, disebut sebagai kacapi indung karena kacapi tersebut dianalogikan sebagai seorang wanita (dalam bahasa Sunda indung dapat berarti ibu), dan karena fungsinya sebagai induk (menginduk=ngindung) dari semua waditra. Kedua, karena bentuk kacapi indung menyerupai parahu (perahu), maka banyak orang menyebutnya sebagai kacapi parahu. Ketiga, karena dikedua ujungnya terdapat hiasan yang menyerupai gelung wayang, maka banyak orang menyebutnya sebagai kacapi gelung. Keempat, banyak orang yang menyebutnya sebagai kacapi pantun, karena pada awalnya kacapi ini digunakan untuk mengiringi pantun yang disajikan oleh ki juru pantun dalam seni pantun Sunda. Kacapi indung biasanya berwarna hitam, menurut Hermawan (Wawancara dengan Uking Sukri tahun 1989) bahwa warna hitam ini melambangkan keteguhan sikap orang Sunda. Ada juga kacapi indung yang berwarna putih, kacapi tersebut dibuat oleh Dalem Pancaniti dan diberi nama Nyi Pohaci Guling Putih. Dari penamaannya sudah melambangkan bahwa terhadap kacapi tersebut ada aspek penghormatan, pengagungan dan pemujaan terhadap Dewi Padi (Zanten, 1989:95). Namun sekarang, banyak kacapi indung yang berwarna merah kopi atau warna coklat, hal ini bergantung kepada selera pemain atau pemesannya. Ukuran kacapi indung bermacam-macam, ada yang besar dan ada juga yang agak kecil. Menurut Hermawan, ukuran panjangnya

20 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g kira-kira 135-150 cm, lebar kira-kira 24-26 cm dan tinggi kotak suara (vertikal) kira-kira 21 cm. Bahan baku yang digunakan terdiri dari kayu dan kawat kuningan. Kayu yang biasa dipakai terdiri dari beberapa macam, antara lain: manglid (Magnolia blumei prant); suren (Toona sureni roxb); kananga (Canangium odoratum baill) dan lame (Alstonia Scholaris) (Hermawan 1990:69). Jumlah kawatnya terdiri dari 18 kawat yang terbuat dari kawat kuningan. Menurut hasil wawancara Hermawan dengan Uking Sukri bahwa ukurannya berbeda-beda sesuai dengan nomor urut kawat kacapi, di antaranya, ukuran 0,5 mm untuk kawat nomor 1-9; ukuran 0,6 mm untuk kawat nomor 10-11; ukuran 0,7 mm untuk kawat nomor 12-13; ukuran 0,8 mm untuk kawat nomor 14; ukuran 0,9 mm untuk kawat nomor 15 dan ukuran 1 mm untuk kawat nomor 16-18. Kawat kacapi indung ini dapat berfungsi apabila sudah ditopang oleh penyangga yang dinamakan inang. Inang kacapi indung terbuat dari kayu, berbentuk piramid dalam ukuran kecil, biasanya berukuran lebar 3 cm dan tingginya 4 cm, dan berjumlah 18 buah. Inang kacapi indung selain berfungsi untuk menopang kawat, juga berfungsi untuk menyetem (melaras) kacapi indung dengan cara menggeserkannya ke kanan atau ke kiri. Kaitannya dengan steman laras, arah geseran inang ini tidak jauh berbeda dari putaran pureut. Pureut berfungsi untuk menyetem kacapi indung dengan cara diputar kearah kanan atau kiri. Putaran pureut ke kanan (sesuai arah jarum jam) berfungsi untuk mengendurkan kawat yang menghasilkan nada semakin rendah, sedangkan putaran pureut ke kiri berfungsi untuk mengencangkan kawat yang menghasilkan nada semakin tinggi. Dalam melaras kacapi indung, yang menjadi patokan surupannya adalah waditra suling, biasanya dalam tembang Sunda Cianjuran menggunakan suling ukuran rendah, yakni ukuran 60, 61 atau 62. Karena jika Kacapi Indung dimainkan dengan menggunakan surupan yang rendah, yakni surupan 60 sampai 62, akan berbeda dangiangnya bila dibandingkan dengan kacapi yang menggunakan surupan tinggi, yakni sekitar 50 sampai 59. Karena surupan rendah

Sep u t a r B i o g r a f i S e n i m a n T e m b a n g S u n d a 21 dalam kacapi indung, dapat menimbulkan suasana geueuman, atau dangiangnya akan lebih terasa 4. Ditinjau dari klasifikasinya, kacapi indung termasuk ke dalam klasifikasi chordophone, sub klasifikasi zither dengan resonator berbentuk kotak (board zither). Sedangkan ditinjau dari cara memainkannya termasuk ke dalam kelompok plucked chordophone (Hermawan 1990:69). Di bagian bawah kacapi indung terdapat lubang yang disebut lubang resonator. Lubang resonator ini berfungsi untuk mengeluarkan bunyi yang dihasilkan dari petikan kawat, tanpa lubang resonator kacapi masih bisa berbunyi, namun bunyi yang dihasilkan akan sangat kecil sekali bila dibandingkan dengan menggunakan lubang resonator. Komponen tembang Sunda Cianjuran dapat digambarkan dengan diagram berikut ini. 4 Wiriadikarta, J. (2007). Aspek Ritual dalam Tembang Cianjuran. Pikiran Rakyat (14 Juli 2007).

22 G a y a P e t i k a n K a c a p i T e m b a n g Diagram 2.2 Komponen Tembang Sunda Cianjuran