BAB I PENDAHULUAN. Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

1 Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden No. 154 Tahun Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden No. 154 Tahun 1991.

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur an, Allah SWT. berfirman :

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan bagian dari hukum perdata. dikemukakan oleh Abdul Ghofur Anshori, yaitu hukum perkawinan sebagai

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK GUGATAN REKONVENSI DALAM. PUTUSAN No: 1798 / Pdt.G/2003/PA.Sby

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II PERCERAIAN, NAFKAH DALAM KELUARGA DAN H{A<D{ANAH

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN MUT AH DALAM PUTUSAN MA RI NO. REG. 441 K/ AG/ 1996

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

AKIBAT PERCERAIAN DISEBABKAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Studi Kasus Putusan Nomor : 1098/Pdt.G/2008/PA.Dmk Di Pengadilan Agama Demak

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

KUISIONER HASIL SURVEI TESIS

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

P U T U S A N. Nomor :./Pdt.G/2011/PA.Pso BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan perbuatan yang paling penting didalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1


BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaturan Hukum Prosedur Perizinan Perceraian Pegawai Negeri Sipil

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penolakan Pembagian Gaji PNS Pasca Perceraian. melaksanakan pembagian gaji PNS yang di dapat oleh suami PNS di

BAB I PENDAHULUAN. ikatan suci yang dinamakan perkawinan. Perkawinan adalah suatu hubungan

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

I. PENDAHULUAN. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan

BAB II NAFKAH PASCA PERCERAIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

P U T U S A N Nomor: 0381/Pdt.G/2012/PA.PRA

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka

PENGADILAN TINGG P U T U S A N. Nomor : 237/PDT/2016/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat


BAB I PENDAHULUAN. Nomor 1 Tahun Dalam Pasal 1 Undang-undang ini menyebutkan :

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dalam ikatan yang sah sebagaimana yang diatur dalam Islam,

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI DALAM PUTUSAN NO. 718 K/AG/2012

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-istri. Perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti aqad (kontrak), tetapi kemudian berarti jima (persetubuhan). Di Indonesia kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian pernikahan atau perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terkait dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah-tangga yang bahagia lahir batin dengan melahirkan anak- cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian. 1 Hukum positif Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) memakai asas mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian 1 Rifyal Ka bah, Permasalahan Perkawinan, artikel pada Varia Peradilan: Majalah Hukum tahun ke XXII No.271 Juni 2008, hlm.7. 13

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini ialah Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 tahun 1989 juncto UU No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama pada Pasal 2 bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, yang salah satu kewenangannya adalah di bidang perkawinan. Sebagaimana perkawinan, putusnya perkawinan yang dikarenakan perceraian pun menimbulkan akibat, yaitu adanya kewajiban dan hak. Dalam Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya; b. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, dalam Pasal 149 dinyatakan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. 14

memberikan mut ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul; b. memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al dukhul; d memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Peraturan Pelaksana UU Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dalam Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barangbarang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. Selain ketentuan dalam peraturan di atas, terdapat satu perangkat hukum dalam hukum positif Indonesia yang merupakan sumber hukum perkawinan nasional yang bersifat khusus, yang mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45 Tahun 1990), yang di dalamnya mencakup mengenai permasalahan kewajiban 15

pegawai negeri sipil untuk memberikan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istrinya setelah perceraian. Adapun ketentuan pembagian gaji setelah perceraian tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45 Tahun 1990 yang berbunyi : (1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. (2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anak atau anakanaknya. (3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas istrinya ialah setengah dari gajinya. (4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena istri berzina, dan atau melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 16

(5) Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzina, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. (7) Apabila bekas istri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji bekas suaminya menjadi hapus terhitung ia mulai ia kawin lagi. Meninjau peraturan-peraturan tersebut, dalam hukum Islam sendiri (yang berlaku di Pengadilan Agama), untuk bekas istri tersebut hanyalah mungkin diberikan uang penghibur yang diistilahkan mut ah dan uang nafkah selama dalam masa iddah itupun dengan memperhatikan dan mempertimbangkan segala seginya, di antaranya keadaan dan kemampuan bekas suami/ si ayah. Hukum Islam tidak pernah mengenal adanya nafkah untuk bekas istri yang berlaku sampai ia kawin lagi atau meninggal dunia. 2 Berdasarkan uraian tersebut, dalam skripsi ini penulis ingin mengetahui sejauh mana ketentuan mengenai pembagian gaji setelah perceraian tersebut 2 Roihan A. Rasyid, Kewenangan Peradilan Agama terhadap Gugatan Uji Materiil Peraturan di bawah Derajat Undang-Undang artikel pada Mimbar Hukum No. 12 Thn. V 1994. 17

diterapkan dalam putusan pengadilan, dalam hal ini yaitu pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan biaya penghidupan setelah perceraian. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah yaitu : Bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian menurut PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 dalam kaitannya dengan penetapan kewajiban biaya kehidupan anak dan bekas istri setelah perceraian diterapkan dalam putusan pengadilan?. C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian yang ada dalam PP No.10 Tahun 1983 juncto PP No.45 Tahun 1990 diterapkan dalam putusan pengadilan dalam perkara perceraian. D. Tinjauan Pustaka Permasalahan mengenai perkawinan, dalam hukum perkawinan nasional, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut KHI, dalam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan 18

gholiiza untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (miitsaqan gholiiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud. 3 Sulaiman Rasjid dalam Fiqh Islam-nya mengemukakan bahwa nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena adanya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan), maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai hak pula. Di samping itu mereka pun 3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed.pertama, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 207. 19

ồ memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan diri dalam perkawinan itu. 4 Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan baik dalam al-qur an maupun hadist Rasul. 5... Å$rã èyjø9$î/ `èdrçžå $tãur... Ayat di atas menjelaskan bahwa di antara suami-istri haruslah bergaul dengan cara yang makruf. Pengertian makruf (baik-baik) menurut Mohd. Idris Ramulyo dalam Hukum Perkawinan Islam ialah antara suami istri harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masing-masing. 6 Zo Šuq B Ÿ@yèy_ur Nà6uZ t/ $ygøšs9î) (#þqãzä3ó tfïj9 %[`ºurø r& önä3å àÿrr& ồ ÏiB /ä3s9 t,n=y{ br& ÿ¾ïmïg»tƒ#uä ÏBur 7...4 ºpyJômu ur Ayat tersebut senada dengan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat. Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka dengan keadilan Allah swt. dibukakan-nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu 4 Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Ctk. Pertama, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, hlm.62-63. 5 Q.S An-Nisa (4) : 19 6 Ibid., hlm.63 7 Q. S Ar-Ruum (30) : 21 20

perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak, dan supaya masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok yang dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. 8 Meskipun perceraian dalam Islam hukumnya diperbolehkan. Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah swt. Berdasarkan hadist Nabi Muhammad saw. sebagai berikut : ابغض الحلال إلى االله الطلاق Berdasarkan hadist tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah- 9 langkah dan teknik yang diajarkan oleh Alqur an dan Alhadist. Hukum Perkawinan Nasional sendiri, yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan dapat 8 Amiur Nuruddin, Loc.Cit., hlm. 207. 9 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ctk.pertama, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm.73. 21

putus karena : (1). kematian salah satu pihak, (2) perceraian baik atas tuntutan suami maupun istri, (3) karena putusnya pengadilan. Kemudian dalam Pasal 39 UU Perkawinan disebutkan : 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. 3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Ketentuan dalam Pasal di atas menentukan bahwa UU Perkawinan menganut prinsip mempersukar perceraian, mengingat perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, dan dengan alasan-alasan yang terbukti bahwa suami-istri tersebut memang tidak dapat dirukunkan kembali. Mengenai Pengadilan mana yang berwenang, dapat dilihat dalam Pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f.zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi syariah. Pada penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 huruf a disebutkan bahwa: 22

Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari ah antara lain : 1. Izin beristri lebih dari seorang 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat 3. Dispensasi kawin 4. Pencegahan perkawinan 5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah 6. Pembatalan perkawinan 7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri 8. Perceraian karena talak 9. Gugatan perceraian 10. Penyelesaian harta bersama 11. Penguasaan anak-anak 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak 15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua 23

16. Pencabutan kekuasaan wali 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut 18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orangtuanya 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya 20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam 21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Talak adalah suatu bentuk perceraian menurut hukum Islam yang umum yang banyak terjadi di Indonesia. Mohd.Idris Ramulyo dalam Hukum Perkawinan Islam menyebutkan bahwa kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak terhadap istrinya adalah :1). memberi mut ah (pemberian untuk menggembirakan hati) kepada bekas istri, 2). Memberi nafkah, pakaian dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak itu selama ia masih dalam 24

keadaan iddah, 3). Membayar atau melunaskan mas kawin, 4). Membayar nafkah untuk anak-anaknya. 10 Peraturan Pelaksana UU Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dalam Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barangbarang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya, PP No 9 tahun 1975 menyerahkan kewenangan pelaksanaan persoalan mengenai kewajiban dan hak setelah adanya perceraian tersebut kepada majelis hakim dengan memperhatikan dan mempertimbangkan segala seginya. Sedangkan kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 juncto Peraturan Peerintah No. 45 tahun 1990 ditemukan aturan mengenai ketentuan pembagian gaji bagin Pegawai Negeri Sipil yang melaini ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut. Berbagai tulisan dan kajian tersebut di atas pada pokoknya menjelaskan masalah perkawinan dan hal-hal yang muncul berkaitan dengan adanya ikatan perkawinan maupun putusnya perkawinan tersebut secara umum. Oleh karena 10 Mohd. Idris, Op.Cit., hlm.115. 25

itu, guna melengkapi tulisan-tulisan yang telah ada penyusun mencoba meninjau bagaimana ketentuan mengenai pembagian gaji setelah perceraian dalam PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 tersebut diterapkan. E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian yang ada dalam PP No.10 Tahun 1983 juncto PP No.45 Tahun 1990 diterapkan dalam putusan pengadilan dalam kaitannya dengan pertimbangan hakim dalam menetapkan kewajiban biaya kehidupan bagi anak dan mantan istri setelah perceraian. 2. Sumber Data Sumber data primer dalam skripsi ini diperoleh dari hasil wawancara secara bebas dengan hakim Pengadilan Agama Wates yang memutus perkara perceraian yang putusan pengadilannya menjadi data sekunder dalam penelitian ini. Sehingga data sekunder dalam skripsi ini adalah dokumen berupa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengenai perceraian PNS yang mencakup permasalahan mengenai pembagian gaji sebagai akibat perceraian tersebut khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No. 069/Pdt.G/2006/PA.Wt, Perkara No. 251/Pdt.G/2006/PA.Wt, dan Perkara No. 176/Pdt.G/2007/PA.Wt. serta hasil dari studi kepustakaan terhadap buku fiqh, buku hukum umum, peraturan perundang-undangan, karya tulis ilmiah dan sumber-sumber pustaka lain yang menunjang penelitian ini. 26

3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari putusan pengadilan dalam hal ini yaitu putusan-putusan pengadilan mengenai perkara perceraian PNS yang berkaitan erat dengan permasalahan pembagian gaji kepada bekas istri dan anak sebagai akibat perceraian, khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No. 069/Pdt.G/2006/PA.Wt, Perkara No. 251/Pdt.G/2006/PA.Wt, dan Perkara No. 176/Pdt.G/2007/PA.Wt. Terhadap putusan pengadilan tersebut kemudian dilakukan wawancara secara bebas pada hakim yang terkait guna menguatkan pemahaman penulis terhadap materi putusan perkara yang dimaksud. Selain itu juga dengan melakukan studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, buku hukum umum, buku fiqh, karya tulis ilmiah dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini. 4. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yakni untuk memahami suatu masalah yang diteliti dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan nash Al-Qur an, Al-Hadist maupun kitab-kitab fiqh. Serta melalui pendekatan yuridis yakni dengan melakukan telaah terhadap kasuskasus yang berkaitan dengan penelitian ini yang telah menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, untuk memahami sekaligus menganalisa putusan hakim khusus dalam hal pelaksanaan ketentuan 27

pembagian gaji PNS sebagai akibat perceraian. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian menurut PP No 10 tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 diterapkan dalam putusan hakim yang dikaitkan dengan kewajiban nafkah dan biaya kehidupan setelah perceraian dengan meninjau putusan-putusan pengadilan dalam perkara cerai talak PNS di Pengadilan Agama Wates. 5. Analisis Data Data yang berupa data sekunder tersebut disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai masalah ketentuan pembagian gaji setelah perceraian dengan meninjau aturan mengenai nafkah iddah dan mut ah dalam Islam, dan aturan dalam hukum positif selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Analisa kualitatif disebut juga analisa non statistik yang sesuai untuk data deskriptif atau data textular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, oleh karena itu analisa semacam ini juga disebut analisis isi (content analysis). 11 Sedangkan dalam mengambil kesimpulan digunakan pola berpikir deduktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus, sedangkan pola berpikir induktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang khusus ke yang umum. 12 11 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Ed. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 40. 12 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta 1989, hlm.93. 28