BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjadi pemicu dalam kemajuan ilmu pendidikan. Mutu pendidikan perlu

BAB I PENDAHULUAN. teknologi (Depdiknas, 2006). Pendidikan IPA memiliki potensi yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

2015 KONSTRUKSI DESAIN PEMBELAJARAN IKATAN KIMIA MENGGUNAKAN KONTEKS KERAMIK UNTUK MENCAPAI LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan seseorang menjadi manusia

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. pembenahan di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Hal ini juga dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sistem pendidikan nasional merupakan satu kesatuan utuh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

SRIE MULYATI, 2015 KONSTRUKSI ALAT UKUR PENILAIAN LITERASI SAINS SISWA SMA PADA KONTEN SEL VOLTA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siska Sintia Depi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendatangkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bab I ketentuan umum pada pasal 1 dalam UU ini dinyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Widya Nurfebriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

2016 PEMBELAJARAN STEM PAD A MATERI SUHU D AN PERUBAHANNYA D ENGAN MOD EL 6E LEARNING BY D ESIGNTM UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mivtha Citraningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

I. PENDAHULUAN. yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut

R PENGEMBANGAN MODUL INTERAKTIF LITERASI SAINS UNTUK PEMBELAJARAN IPA TERPADU PADA TEMA BIOTEKNOLOGI DI BIDANG PRODUKSI PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI SAINS DAN SIKAP CALON GURU NON IPA TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERANGKA SAINS SEBAGAI PENDIDIKAN UMUM

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman globalisasi saat ini pengetahuan dan teknologi mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

2014 IDENTIFIKASI KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN SIKAP ILMIAH YANG MUNCUL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM PADA MATERI NUTRISI KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 3.

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan keterampilan sepanjang hayat (Rustaman, 2006: 1). Sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di Sekolah Dasar. Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di sekolah dasar, Ilmu Pengetahuan Alam atau sains merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Guru adalah pelaku utama dalam pendidikan, karena guru yang berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 KONTRUKSI ALAT UKUR LITERASI SAINS SISWA SMP PADA KONTEN SIFAT MATERI MENGGUNAKAN KONTEKS KLASIFIKASI MATERIAL

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI DITINJAU DARI ASPEK-ASPEK LITERASI SAINS

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. daya pendidik dan peserta didik. Usaha peningkatan mutu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Judul. Pengembangan Instrumen Asesmen Otentik pada Pembelajaran Subkonsep Fotosintesis di SMP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan pondasi kemajuan suatu negara, maju tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan secara historis telah menjadi landasan moral dan etik dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan budaya kehidupan. Pendidikan yang dapat mendukung pembangunan di masa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan berkualitas menjadi hal penting yang harus dimiliki oleh setiap bangsa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang penuh dengan persaingan dalam seluruh aspek

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan globalisasi sekarang ini sangat sekali diperlukan sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ismail, 2016

BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peny Husna Handayani, 2013

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di sekolah dasar era globalisasi. menjadi agen pembaharuan. Pembelajaran di Sekolah Dasar diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dini Rusfita Sari, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia Repository.upi.edu Perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. prinsip yang telah dipahami tersebut dalam tindakan dan perbuatan sehari-hari.

PROFIL KEMAMPUAN LIT ERASISAINS SISWA SMP DI KOTA PURWOKERTO DITINJAU DARI ASPEK KONTEN, PROSES, dan KONTEKS SAINS

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sains atau IPA adalah studi mengenai alam sekitar, dalam hal ini berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Cain dan Evans (1990) menyatakan bahwa sains mengandung empat hal yaitu: konten atau produk, proses atau metode, sikap, dan teknologi (Depdiknas, 2008). Sains sebagai konten dan produk mengandung arti bahwa di dalam sains terdapat fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang sudah diterima kebenarannya. Sains sebagai proses atau metode berarti bahwa sains merupakan suatu proses atau metode untuk mendapatkan pengetahuan. Sains sebagai sikap berarti bahwa sains dapat berkembang karena adanya sikap tekun, teliti, terbuka, dan jujur. Sains sebagai teknologi mengandung pengertian bahwa sains terkait dengan peningkatan kualitas kehidupan. Jika sains mengandung keempat hal tersebut, maka dalam pendidikan sains di sekolah seyogyanya siswa dapat mengalami keempat hal tersebut, sehingga pemahaman siswa terhadap sains menjadi utuh dan dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan hidupnya (Depdiknas, 2008). Tahun ini, pemerintah mengembangkan Kurikulum 2013. Kurikulum ini dikembangkan dengan berbasis pada kompetensi yang sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia

berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; dan (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Kemdikbud, 2013). Adapun tujuan dari Kurikulum 2013 ini adalah untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia (Kemdikbud, 2013). Karakteristik peradaban dunia moderen abad 21 salah satunya adalah semakin banyak ditemukan alat-alat canggih yang berbasis nanoteknologi. Generasi yang akan datang harus mampu mengoperasikan alat-alat canggih tersebut. Selain itu mereka juga dituntut untuk memahami bagaimana cara merawat serta mendaur ulang alat-alat canggih tersebut. Agar mereka mampu mengoperasikan, merawat, dan mendaur ulang peralatan canggih tersebut, mereka harus mengerti dan memahami prinsip dari nanoteknologi, serta dampak dari teknologi tersebut. Oleh karena itu, mereka harus mengenal dan mengetahui nanoteknologi dari bangku sekolah terutama dalam pembelajaran sains sehingga pembelajaran sains saat ini harus mampu menghasilkan peserta didik yang siap berkompetisi dan berwawasan luas sehingga dapat berkiprah dalam peradaban dunia moderen. Pendidikan sains memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk mempersiapkan siswa dalam mempelajari sains pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, untuk mempersiapkan siswa memasuki dunia kerja dan meniti karir. Ketiga, untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek sains

(scientifically literate). Urutan prioritas dan susunan dari ketiga tujuan ini mungkin berbeda-beda untuk setiap negara dan kebudayaan (Staver, 2007). Pendidikan sains memiliki potensi yang besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini akan dapat terwujud jika pendidikan sains mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan jaman (Mudzakir, 2002 dalam Hernani et al., 2009). Pembelajaran sains di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyajikan pembelajaran sains adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk serta teknologi sains dalam bentuk pengalaman langsung yang berdampak pada sikap siswa setelah mempelajari sains (Puskur, 2003 dalam Yuliastuti, 2009). Kimia sebagai salah satu mata pelajaran sains, seperti juga matematika dan fisika, tidak begitu popular di mata siswa. Kimia dianggap terlalu sulit untuk dipelajari, bersifat abstrak, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Banyak siswa menganggap bahwa mereka tidak perlu melakukan apa-apa mengenai pelajaran Sains atau Kimia, atau memanfaatkannya di luar sekolah. Oleh

karena itu, penting bagi mereka untuk mengerti bagaimana pengaruh sains dalam kehidupan manusia dan bagaimana sains dapat membantu mereka dalam mengambil keputusan yang menyangkut masalah sosial, teknologi, dan ekonomi. Untuk menarik minat siswa dan memotivasi mereka, maka suatu strategi yang baik mungkin dapat dimulai dengan membahas topik-topik sains terkini dan mutakhir (Ambrogi et al., 2008). Banyak siswa yang tidak memilih berkarir yang berkaitan dengan sains ketika mereka masuk perguruan tinggi (Seymour, 2001 dalam Hutchinson, 2007). Hasil statistik dari National Science Board (2006) menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah mahasiswa yang tertarik pada jurusan ilmu fisika pada dua dekade terakhir, meskipun ada sedikit peningkatan pada tiga tahun terakhir. Oleh karena itu, dengan mengintegrasikan sains dan nanoteknologi dalam pembelajaran di sekolah menengah diharapkan dapat meningkatkan jumlah mahasiswa yang memilih jurusan sains melalui peningkatan minat mereka terhadap sains (Hutchinson, 2007). Salah satu kemajuan di bidang sains dan teknologi mutakhir adalah teknologi nano. Teknologi ini sedang banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa, Amerika, Australia, Kanada, dan beberapa negara di Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea, RRC dan Singapura. Dalam sebuah artikel online pada situs http://www.nano.lipi.go.id/, istilah nanoteknologi pertama kali dipopulerkan oleh peneliti Jepang, Norio Taniguchi pada tahun 1974. Nanoteknologi merupakan rekayasa sistem fungsional pada skala molekuler. Pengertian yang terkandung dalam kata "nanoteknologi" yang berkembang saat ini lebih dari sekadar miniaturisasi dalam skala nanometer (sepermiliar meter = 10-9 m), tetapi suatu istilah dari teknologi dengan aplikasi yang sangat luas melingkupi hampir di seluruh kehidupan manusia.

Sains dan teknologi nano menggabungkan aspek kimia, fisika, biologi, dan teknologi untuk menciptakan bidang ilmu antardisiplin. Manfaat utama dari teknologi ini diantaranya adalah meningkatnya metode manufaktur, sistem pemurnian air, sistem energi, kesehatan (operasi plastik, rekayasa genetika, implan syaraf, dan sebagainya), obat-obatan, metode produksi makanan dan nutrisi yang lebih baik, serta fabrikasi otomatis berskala besar. Dengan teknologi nano, ukuran yang sangat kecil akan mempermudah proses otomatisasi yang sebelumnya sulit dilakukan karena keterbatasan fisik, sehingga teknologi nano dapat mengurangi jumlah tenaga kerja, lahan, dan biaya kesejahteraan karyawan. Melihat betapa pentingnya manfaat yang telah diberikan oleh teknologi nano dalam kehidupan, maka dibutuhkan suatu populasi dengan tingkat literasi sains yang tinggi. Sudah menjadi tanggung jawab institusi pendidikan lokal, provinsi, dan nasional untuk menyiapkan persilangan yang lebih besar antara populasi manusia dengan ilmu sains dan teknologi yang dibutuhkan untuk dapat dimanfaatkan dalam masyarakat teknologi tinggi dan untuk menjamin keunggulan dalam penemuan dan inovasi yang akan mendukung kemakmuran ekonomi bangsa. Hasil penelitian menyarankan bahwa siswa semakin termotivasi dan meningkat hasil belajarnya ketika guru menerapkan praktik-praktik dan topiktopik yang merangsang minat siswa (Sandoval, 1995 dalam Hutchinson, 2007). Minat siswa muncul ketika topik yang mereka pelajari sangat relevan dengan kehidupan mereka dan bersifat baru, seperti topik farmakologi (Schwartz-Bloom dan Halpin, 2003 dalam Hutchinson, 2007). Melalui teknologi nano, banyak aplikasi moderen dan produk yang telah dihasilkan, seperti kain dan cat anti noda, yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran

dalam kelas konvensional. Produk-produk moderen ini mungkin menarik bagi siswa karena produk tersebut nyata terdapat dalam kehidupan mereka. Topiktopik yang biasanya disampaikan secara konvensional pun dapat diajarkan melalui teknologi nano. Contohnya konsep bagaimana cicak dapat berjalan di dinding dapat menjelaskan gaya antarmolekular. Konsep seperti ini sangat berpotensi dapat meningkatkan minat siswa terhadap sains dan pembelajaran. Teknologi nano bersifat baru, terintegrasi, dan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan, sehingga dapat dijadikan sebuah pendekatan untuk meningkatkan minat dan motivasi siswa terhadap sains, yang selanjutnya akan meningkatkan hasil belajar dan keinginan untuk menggali dan mempelajari sains (Hutchinson, 2007). Menurut Laugksch (2000) dalam Gardner et al. (2010), perkembangan siswa yang melek sains merupakan salah satu tujuan paling penting dalam seluruh domain dan tingkatan sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM = Science, Technology, Engineering and Mathematics). Pendidikan STEM dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan sains dan teknologi, membahas situasi sehari-hari dengan melibatkan sains dan teknologi, serta berperan aktif dan kritis dalam wacana sains dan teknologi, terutama mengenai isu-isu sosial yang bersifat kontroversi. Tambahan lagi, bagi para siswa yang berencana menjadi ilmuwan atau insinyur perlu untuk mengerti implikasi sosial dari profesinya kelak. Selain itu juga harus memiliki kompetensi dalam mendorong terjadinya dialog dengan komunitas non-sains mengenai isu-isu penelitian dan pengembangan. Dalam konteks PISA (Programme for International Student Assesment), literasi sains (scientific literacy) didefinisikan sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-

pertanyaan, dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah akan meneruskan mempelajari sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis (Rustaman, 2006). Skor literasi sains siswa Indonesia pada PISA 2009 adalah 383, dengan rerata skor dari negara-negara OECD adalah 501 (OECD, 2009). Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, skor literasi sains siswa Indonesia pada PISA 2009 ini menduduki nilai terendah. Menurut analisis yang dilakukan oleh OECD, skor literasi sains dalam rentang antara 335 409 poin termasuk dalam kategori kecakapan level 1 atau lebih rendah dari itu. Kecakapan siswa pada level ini memiliki pengetahuan sains yang terbatas dan hanya bisa diterapkan pada beberapa situasi saja. Siswa pada level ini dapat memberikan penjelasan ilmiah yang mudah dan mengikuti bukti-bukti yang diberikan secara eksplisit (OECD, 2009). Pengenalan teknologi nano dalam pembelajaran diharapkan dapat melatih siswa untuk dapat mengidentifikasi isu-isu sains terkini, menjelaskan fenomena alam secara ilmiah, dan menggunakan bukti-bukti ilmiah sehingga literasi sains siswa tercapai. Salah satu materi yang ada dalam mata pelajaran kimia di SMA terkait dengan aplikasi sains dan teknologi nano adalah materi Struktur Atom, Sistem Periodik, dan Ikatan Kimia pada kelas X semester 1, khususnya materi Ikatan Kimia. Alasan pemilihan materi ini adalah karena ada contoh penerapan dari

ikatan kimia yang cukup menarik, yaitu teori mengenai grafena, yang merupakan kemajuan mutakhir dalam bidang sains dan teknologi nano. Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai bagaimana karakteristik bahan ajar untuk mengenalkan sains dan teknologi nano melalui pembelajaran kimia dalam materi Ikatan Kimia untuk mencapai literasi sains siswa. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan utama dalam penelitan ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah buku ajar yang sesuai dan dapat mengenalkan sains dan teknologi nano melalui materi pokok ikatan kimia agar literasi sains siswa tercapai? Untuk mempermudah pengkajian secara sistematis terhadap permasalahan yang akan diteliti, maka rumusan masalah tersebut dirinci menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan model rekonstruksi pendidikan dalam pengembangan bahan ajar pengenalan nanoteknologi untuk pembelajaran kimia SMA? 2. Bagaimana karakteristik buku ajar bermuatan nanoteknologi melalui materi pokok ikatan kimia untuk mencapai literasi sains siswa SMA menggunakan model rekonstruksi pendidikan? 3. Bagaimana prakonsepsi siswa dan tanggapan guru mengenai nanosains dan nanoteknologi? C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan buku ajar yang dapat mencapai literasi sains siswa SMA pada materi ikatan kimia. Model penelitian

yang digunakan adalah model rekonstruksi pendidikan. Model rekonstruksi pendidikan terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1) analisis struktur konten, 2) penelitian mengajar dan belajar, dan 3) implementasi dan evaluasi dari desain pembelajaran. Penelitian ini dibatasi hanya pada komponen 1 (proses klarifikasi materi subjek) dan 2 (perspektif siswa dan tanggapan guru). D. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu bahan ajar mengenai perkembangan teknologi nano dalam kehidupan seharihari, terutama melalui penjelasan mengenai struktur grafena, dalam rangka mencapai literasi sains siswa. Secara khusus, tujuan tersebut diperinci lagi menjadi sebagai berikut: 1. Menunjukkan bahwa model rekonstruksi pendidikan sesuai untuk digunakan dalam menerapkan pengenalan nanoteknologi dalam pembelajaran kimia di SMA. 2. Mengembangkan suatu buku ajar kimia dengan topik sains dan teknologi nano yang mampu mencapai literasi sains siswa SMA menggunakan model rekonstruksi pendidikan. 3. Memperoleh informasi mengenai prakonsepsi siswa dan tanggapan guru tentang nanosains dan nanoteknologi. E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidikan kimia. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Bagi guru. Penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada guru sebagai tenaga pendidik dalam meningkatkan kegiatan belajar mengajar di kelas. 2. Bagi siswa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan dampak positif dalam mencapai literasi sains siswa melalui pengenalan aplikasi sains dan teknologi nano. 3. Bagi peneliti lain. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan untuk melakukan penelitian lain dengan materi yang berbeda yang dapat menggali kemampuan literasi sains siswa. F. Penjelasan Istilah Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan, diantaranya: 1. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Bahan yang

dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis (Majid, 2008). 2. Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah, untuk mengidentifikasi pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti ilmiah untuk memahami dan mengambil keputusan mengenai alam dan perubahannya yang terjadi akibat aktifitas manusia (OECD, 1999). 3. STL (Scientific and Technological Literacy) adalah suatu pembelajaran tentang bagaimana memahami dan menerapkan konsep, keterampilan proses, sikap, dan nilai-nilai sehingga seseorang mampu menghubungkan sains dan teknologi dalam kehidupan mereka sehari-hari (UNESCO, 1999). 4. Teknologi nano adalah pembuatan dan pemanfaatan bahan-bahan yang memiliki ciri yang sengaja direkayasa sehingga menyerupai ciri suatu bahan berskala atom atau molekul, atau kurang dari 100 nanometer (Davies, 2006). 5. Aspek konten sains adalah salah satu dari dimensi literasi sains yang merujuk pada konsep-konsep esensial dari sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (OECD, 2009). 6. Aspek proses sains adalah salah satu dari dimensi literasi sains yang merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan, termasuk didalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti yang diperlukan dalam suatu penyelidikan

sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada (OECD, 2009). 7. Aspek konteks merupakan salah satu indikator literasi sains yang dapat menilai pemahaman dan kemampuan siswa dalam sains serta sikap-sikap yang harus dimiliki siswa pada akhir masa wajib belajar. Konteks aplikasi sains mengandung pengertian situasi yang ada hubungannya dengan penerapan sains dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains (OECD, 2009). 8. Sikap terhadap sains adalah sikap ilmiah yang mencakup inkuiri sains, kepercayaan diri sebagai seseorang yang belajar sains, tertarik terhadap sains, dan bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungan (OECD, 2009).