BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1 Landasan Teori II.1.1 Teori Kinerja Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005: 67) dalam Trisnaningsih (2007), istilah kerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi yang sesungguhnya yang ingin dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan. Menurut Mangkunegara (2005: 15) dalam Trisnaningsih (2007), kinerja dibedakan menjadi 2, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok. Gibson et al. (1996: 95) dalam Trisnaningsih (2007) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja organisasi. 13
Pengertian kinerja auditor menurut Mulyadi (1998: 11) adalah Akuntan publik yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. Menurut Vroom (1964) dalam Handayani (2001) dalam Surya dan Hananto (2004), kinerja merupakan tingkat sampai sejauh mana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya yang disebut sebagai level of performance. Kinerja merupakan suatu ukuran kesuksesan seseorang untuk mencapai peranan atau target tertentu yang berasal dari perbuatannya sendiri. Kinerja seseorang dikatakan baik apabila hasil kerja individu tersebut melampaui peran atau target yang telah ditentukan. Menurut Miner (1988) dalam Handayani (2001) dalam Surya dan Hananto (2004), dinyatakan bahwa dimensi kerja adalah ukuran dan penilaian dari perilaku yang aktual di tempat kerja. Dimensi kerja tersebut mencakup: 1. Quality of Output Kinerja seseorang individu dinyatakan baik apabila kualitas output yang dihasilkan lebih baik atau paling tidak sama dengan target yang telah ditentukan. 2. Quantity of Output Kinerja seseorang juga diukur dari jumlah output yang dihasilkan. Seorang individu dinyatakan mempunyai kinerja yang baik apabila jumlah atau kuantitas output yang dicapai dapat melebihi atau paling tidak sama dengan target yang telah ditentukan dengan tidak mengabaikan kualitas output tersebut. 14
3. Time at Work Dimensi waktu juga menjadi pertimbangan didalam mengukur kinerja seseorang. Dengan tidak mengabaikan kualitas dan kuantitas output yang baik apabila individu tersebut dapat menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu atau bahkan melakukan penghematan waktu. 4. Cooperation With Others Work Kinerja juga dinilai dari kemampuan seorang individu untuk tetap bersifat kooperatif dengan pekerja lain yang juga harus menyelesaikan tugasnya masing-masing. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinerja atau prestasi kerja adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kemampuan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu. Kinerja dapat diukur melalui pengukuran tertentu dimana kualitas berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah hasil kerja yang dapat dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu yang telah direncanakan. II.1.2 Teori Peran Peran merupakan suatu perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi, jabatan, maupun status sosial seseorang dan sekaligus mencerminkan hak dan kewajiban seseorang. Jika peran yang dijalankan seseorang tidak mencerminkan harapan yang diinginkan, maka akan timbul konflik peran. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya 15
konflik peran, maka individu harus menjalankan suatu cara tertentu sesuai apa yang diharapkan. Albernethy dan Stoelwinder (1995) dalam Puspa dan Rianto (1999) menemukan bahwa tingkat peran dipengaruhi oleh seberapa jauh para profesional ingin mempertahankan sikap keprofesionalan mereka dalam perusahaan dan seberapa jauh lingkungan pengendalian yang berlaku di perusahaan mengancam otonomi para profesional tersebut. Menurut Khan (1964) dalam Agustina (2009), teori peran (role theory) merupakan penekanan sifat individual sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku yang sesuai dengan posisi yang ditempati di masyarakat. Menurut Shaw dan Constanzo (1970) dalam Agustina (2009), peran adalah konsep sentral dari teori peran. Dengan demikian, pembahasan mengenai teori peran tidak lepas dari definisi peran dan berbagai istilah perilaku di dalamnya. Auditor memiliki dua peran, yaitu sebagai profesi yang harus tunduk pada kode etik profesi akuntan publik dan sebagai anggota organisasi (KAP). Apabila auditor dalam perannya sebagai profesi maupun sebagai anggota organisasi merasakan adanya pertentangan antara nilai-nilai yang dianut dalam organisasi dengan nilai-nilai yang harus dijunjung dalam profesinya, maka terjadilah konflik peran pada diri auditor (Utami et al., 2006). 16
II.1.3 Konflik Peran (Role Conflict) Seperti yang diungkapkan Wolfe dan Snoke (1962) dalam Cahyono dan Ghozali (2002), konflik peran timbul karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan dan pelaksanaan salah satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain. Sementara menurut Yasmin Umar Assegaf (2005) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa konflik ini muncul karena selain sebagai anggota organisasi, seorang karyawan profesional juga merupakan anggota suatu profesi yang diatur oleh kode etik dan standar kinerja profesi. Sedangkan sebagai anggota organisasi, ia harus patuh pada norma dan peraturan yang berlaku, memiliki kesetiaan kepada organisasi, serta tunduk pada wewenang dan pengawasan hirarkis. Menurutnya, akuntan merupakan jenis pekerjaan yang dominasi independen profesionalnya sangat kuat. Independensi profesional dan sikap mereka secara umum dalam pelaksanaan tugas merupakan cerminan dari norma-norma dan aturan-aturan kode etik profesinya. Kondisi ini memiliki kemungkinan yang besar akan timbulnya konflik peran apabila akuntan bekerja di tempat dengan norma-norma dan aturan-aturan kode etik profesinya. Adapun Puspa dan Riyanto (1999) mengemukakan bahwa konflik terjadi karena tenaga kerja profesional memiliki norma dan sistem nilai yang diperolehnya dalam proses pendidikan berbenturan dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di perusahaan tempatnya bekerja. Konflik yang dihadapi oleh professional ini disebut konflik peran (role conflict). Konflik peran merupakan suatu gejala psychologist yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan secara profesional bisa menurunkan motivasi kerja. Bagi manajemen, konflik peran adalah 17
salah satu bentuk disfunctional behavior yang menghambat upaya pencapaian tujuan strategis perusahaan secara efektif dan efisien. Menurut Lurie (1981) dalam Puspa dan Riyanto (1999), tingkat keinginan untuk mempertahankan sikap profesional berbeda-beda antara satu pekerja profesional dengan pekerja profesional yang lain. Para profesional akan merasa dirinya sebagai bagian dari organisasi dan mulai melepas asosiasi mereka dengan norma, aturan, dan kode etik profesi dalam melaksanakan aktivitas organisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Ini berarti kemungkinan terjadinya konflik peran sangat rendah. Sebaliknya bisa juga terjadi para profesional meski mereka digaji oleh perusahaan, tetap saja berusaha mempertahankan sikap dan kemandirian mereka dalam bekerja sebagai profesional. Mereka lebih senang (comfortable) mengasosiakan diri mereka dengan organisasi profesi mereka dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi, lebih ingin mentaati norma, aturan, dan kode etik profesi dalam memecahkan masalah yang ditemui dalam pelaksanaan tugas tersebut. Kondisi seperti ini menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik peran semakin besar. Menurut Puspa dan Rianto (1999), potensi munculnya konflik peran juga dipengaruhi oleh seberapa jauh lingkungan pengendalian organisasi dimana profesional bekerja cenderung menekan otonomi mereka. II.1.4 Ketidakjelasan Peran (Role Ambiguity) Menurut Hall (2004) dalam Rahman et al. (2007), kejelasan peran dianggap sebagai titik awal dari pemberdayaan psikologis dari individu. Individu yang tidak memiliki 18
tanggung jawab yang jelas dan tidak tahu bagaimana untuk mencapai hal tersebut, maka mereka cenderung tidak mempercayai bahwa mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan kemampuan untuk mengerjakan sebuah tugas dengan layak atau merasa kurang diberdayakan. Selain itu, Sawyer (1992) dalam Rahman et al. (2007) menyatakan bahwa individu yang memahami peranan kerja mereka cenderung untuk mengambil tindakan dan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil akhir dalam lingkungan kerja mereka. Menurut Gibson et al. (1997) dalam Amilin (2008), ketidakjelasan peran (role ambiguity) adalah kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak-hak istimewa, dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan. Individu dapat mengalami ketidakjelasan peran jika mereka merasa tidak adanya kejelasan sehubungan dengan ekspektasi pekerjaan, seperti kurangnya informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan atau tidak memperoleh kejelasan mengenai tugas-tugas dari pekerjaannya. Sama seperti dengan konflik peran, ketidakjelasan peran juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan bisa menurunkan motivasi kerja karena mempunyai dampak negatif terhadap perilaku individu, seperti timbulnya ketegangan kerja, banyaknya terjadi perpindahan pekerja, penurunan kepuasan kerja sehingga bisa menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan. II.1.5 Kelebihan Peran (Role Overload) Kelebihan peran (role overload) adalah konflik dari prioritas-prioritas yang muncul dari harapan bahwa seseorang dapat melaksanakan suatu tugas yang luas yang mustahil 19
untuk dikerjakan dalam waktu yang terbatas (Abraham, 1997 dalam Agustina, 2009). Adapun menurut Rapina (2008), kelebihan peran terjadi ketika syarat pekerjaan dirasa terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan waktu dan kemampuan seseorang. Jam kerja yang padat, kerja lembur, dan dikejar target telah menjadi ciri khas pekerjaan di Kantor Akuntan Publik. II.1.6 Gaya Kepemimpinan (Leadership Style) Leadership adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sesuai dengan apa yang seharusnya dikerjakan sehingga pekerjaan berjalan lancar dan tujuan dapat tercapai. Leadership memerlukan kemampuan serta bakat individu yang secara aktif mempengaruhi orang atau pihak lain dalam rangka mencapai sasaran (tujuan). Likert (1967) dalam Trisnaningsih (2007) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis perilaku kepemimpinan yang saling berbeda diantara para manajer, yaitu: perilaku berorientasi pada tugas (task oriented behavior), perilaku yang berorientasi pada hubungan (relationship oriented behavior) dan kepemimpinan partisipasif. Sementara dalam penelitian Fleishman dan Peters (1962) dalam Trisnaningsih (2007), dinyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku yang ditunjukkan pemimpin pada saat mempengaruhi orang lain seperti yang dipersepsikan orang lain. Fleishman et al. dalam Gibson (1996) dalam Trisnaningsih (2007) meneliti gaya kepemimpinan di Ohio State University mengenai perilaku pemimpin melalui 2 dimensi, yaitu consideration dan initiating structure. Consideration (konsiderasi) adalah gaya kepemimpinan yang menggambarkan kedekatan hubungan antara bawahan dengan 20
atasan, adanya sikap saling percaya, kekeluargaan, menghargai gagasan bawahan, dan adanya komunikasi antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin yang memiliki konsiderasi yang tinggi menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka. Initiating structure (struktur inisiatif) merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan dalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi yang jelas, dan menjelaskan cara mengerjakan tugas yang benar. Dalam menggerakan para karyawan, seorang pemimpin harus mempunyai pendekatan tertentu. Oleh sebab itu, seorang pemimpin diharapkan dapat berkomunikasi, memberikan petunjuk dan nasihat, berpikir kreatif, memiliki inisiatif, serta memberi stimulus kepada karyawan. II.1.7 Penelitian-Penelitian Terdahulu II.1.7.1 Penelitian yang dilakukan oleh Sri Trisnaningsih (2007) Berdasarkan penelitian Sri Trisnaningsih (2007) yang dilakukan terhadap auditor yang bekerja pada KAP yang tersebar di seluruh Indonesia dalam Independensi Auditor dan Komitmen Organisasi Sebagai Mediasi Pengaruh Pemahaman Good Corporate Governance, Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Auditor, dari hasil analisis dan pembahasan model hipotesis yang diajukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa gaya kepemimpinan dalam KAP sebagai faktor yang dominan dalam menentukan dan pembentukan karakter KAP. Selanjutnya 21
karakter KAP akan mempengaruhi output dari kinerja auditor. Secara implisit, temuan yang menarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa auditor yang berkomitmen terhadap organisasinya tidak mempengaruhi kinerjanya. Meskipun auditor mempunyai komitmen yang tinggi terhadap organisasinya, tetapi jika pimpinan dalam organisasi tidak mempunyai pengaruh dominan maka tidak akan mempengaruhi kinerja auditor. II.1.7.2 Penelitian yang dilakukan oleh Fanani et al. (2008) Dari penelitian Fanani et al. (2008) yang bertujuan untuk menguji pengaruh struktur audit, konflik peran, dan ketidakjelasan peran terhadap kinerja auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Timur, dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik peran berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja auditor. Hal ini menunjukkan bahwa konflik peran, yang merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh auditor yang timbul karena adanya dua rangkaian tuntutan yang bertentangan menyebabkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan juga dapat menurunkan motivasi kinerja dan kinerja secara keseluruhan. Selain itu, ketidakjelasan peran tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor. Hal ini disebabkan karena kebanyakan responden adalah auditor pemula yang memiliki pengalaman kerja yang relatif singkat (0-2 tahun) dan usia yang relatif muda, sehingga belum merasakan ketidakjelasan peran. II.1.7.3 Penelitian yang dilakukan oleh Lidya Agustina (2009) Berdasarkan penelitian Lidya Agustina (2009) yang dilakukan terhadap auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik yang bermitra dengan Kantor Akuntan Publik The 22
Big Four di wilayah DKI Jakarta dalam Pengaruh Konflik Peran, Ketidakjelasan Peran, dan Kelebihan Peran Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Auditor, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), dan kelebihan peran (role overload) memberikan pengaruh secara simultan signifikan terhadap kepuasan kerja auditor junior yang bekerja pada kantor akuntan publik yang bermitra dengan kantor akuntan publik big four di wilayah DKI Jakarta. 2. Konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), dan kelebihan peran (role overload) memberikan pengaruh secara simultan signifikan terhadap kinerja auditor junior yang bekerja pada kantor akuntan publik yang bermitra dengan kantor akuntan publik big four di wilayah DKI Jakarta. 3. Konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), dan kelebihan peran (role overload) secara parsial memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap kepuasan kerja auditor junior yang bekerja pada kantor akuntan publik yang bermitra dengan kantor akuntan publik big four di wilayah DKI Jakarta. 4. Konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), dan kelebihan peran (role overload) secara parsial memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap kinerja auditor junior yang bekerja pada kantor akuntan publik yang bermitra dengan kantor akuntan publik big four di wilayah DKI Jakarta. 23
II.1.8 Model Penelitian Gambar 2.1 Model Penelitian II.2 Hipotesis II.2.1 Pengaruh Konflik Peran (role conflict) Terhadap Kinerja Auditor Dalam melaksanakan tugasnya, seorang profesional sering menerima dua perintah sekaligus. Perintah pertama datang dari kode etik profesi, sedangkan perintah kedua datang dari sistem pengendalian yang berlaku di perusahaan. Apabila seorang profesional bertindak sesuai dengan kode etiknya, maka ia akan merasa tidak bertindak sebagai karyawan perusahaan dengan baik. Sebaliknya, apabila ia bertindak sesuai dengan prosedur yang ditentukan perusahaan, maka ia akan merasa bertindak tidak profesional. Kondisi inilah yang disebut dengan konflik peran yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan bisa menurunkan motivasi kerja karena mempunyai dampak negatif terhadap perilaku individu, seperti timbulnya ketegangan 24
kerja, banyak terjadi perpindahan pekerja, penurunan kepuasan kerja, sehingga bisa menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan. Khoo dan Sim (1997) dalam Fanani et al. (2008) meneliti tentang konflik auditor dengan membahas latar belakang konflik peran auditor dan me-review secara empiris masalah lingkungan audit di Korea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama dari konflik auditor di Korea adalah inkonsistensi peranan struktural, konflik peran, dan jarak pengharapan. Hasil survei menunjukkan bahwa auditor di Korea mengalami konflik peran yang signifikan, sehingga dalam bekerja mereka cenderung berkompromi dengan motif ekonomi dan kurang memperhatikan etika profesional. Akibatnya, kinerja tidak menjadi perhatian utamanya. Fried (1998), yang menguji pengaruh konflik peran dan ketidakjelasan peran terhadap kinerja pegawai perusahaan industrial Israel, menyatakan bahwa konflik peran berpengaruh pada level kinerja yang lebih rendah. Sedangkan Fisher (2001) menyampaikan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor. Konflik peran mempengaruhi kinerja auditor secara negatif. Artinya, semakin tinggi konflik peran yang dihadapi auditor, semakin menurun pula kinerjanya. Sebaliknya, semakin rendah konflik peran yang dihadapi auditor, maka kinerjanya akan semakin meningkat. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha 1 : Konflik peran (role conflict) berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik wilayah DKI Jakarta. 25
II.2.2 Pengaruh Ketidakjelasan Peran (role ambiguity) Terhadap Kinerja Auditor Individu yang mengalami ketidakjelasan peran akan mengalami kecemasan, menjadi lebih tidak puas, dan melakukan pekerjaan dengan kurang efektif dibanding individu lain sehingga menurunkan kinerja mereka. Seseorang merasa mengalami ketidakjelasan peran jika ia kekurangan informasi dalam rangka penyelesaian pekerjaannya dan tidak jelasnya job description. Hal ini didukung oleh penelitian Fried (1998) dalam Fanani et al. (2008) yang menunjukkan bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor. Pengaruh tersebut seperti timbulnya ketegangan kerja, terjadinya perpindahan pekerja, penurunan kepuasan kerja yang berakibat menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan. Ketidakjelasan peran mempengaruhi kinerja auditor secara negatif. Artinya, semakin besar ketidakjelasan peran yang dihadapi auditor, semakin menurun pula kinerjanya. Sebaliknya, semakin kecil ketidakjelasan peran yang dihadapi auditor, maka kinerjanya akan semakin meningkat. Dengan demikian, hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha 2 : Ketidakjelasan peran (role ambiguity) berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik wilayah DKI Jakarta. II.2.3 Pengaruh Kelebihan Peran (role overload) Terhadap Kinerja Auditor Kantor Akuntan Publik yang tidak melakukan perencanaan akan kebutuhan tenaga kerja dengan baik, dapat membuat auditor mengalami kelebihan peran, terutama pada masa peak season dimana KAP akan kebanjiran pekerjaan dan staf auditor yang tersedia harus mengerjakan semua pekerjaan pada periode waktu yang sama. Hal tersebut bisa berdampak pada kinerja auditor yang cendurung menurun karena menyebabkan 26
terjadinya tekanan atau stres pada auditor yang bekerja. Oleh karena masalah tersebut, maka perlu dibuat perencanaan yang baik akan kebutuhan tenaga kerja. Kelebihan peran mempengaruhi kinerja auditor secara negatif. Artinya, semakin besar kelebihan peran yang dihadapi auditor, semakin menurun pula kinerjanya. Sebaliknya, semakin kecil kelebihan peran yang dihadapi auditor, maka kinerjanya akan semakin meningkat. Dengan demikian, hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha 3 : Kelebihan peran (role overload) berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik wilayah DKI Jakarta. II.2.4 Pengaruh Gaya Kepemimpinan (Leadership Style) Terhadap Kinerja Auditor Menurut Kreitner dan Kinicki (2005: 302) dalam Trisnaningsih (2007), teori kepemimpinan perilaku (behavioral) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan seorang manajer akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas kelompok kerja. Kelompok kerja dalam perusahaan merupakan pengelompokan kerja dalam bentuk unit kerja dan masing-masing unit kerja itu dipimpin oleh seorang manajer. Gaya manajer untuk mengelola sumber daya manusia dalam suatu unit kerja akan berpengaruh pada peningkatan kinerja unit, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Selanjutnya, teori kepemimpinan perilaku (behavioral) berasumsi bahwa gaya kepemimpinan oleh seorang manajer dapat dikembangkan dan diperbaiki secara sistematik. Gaya kepemimpinan mempengaruhi kinerja auditor secara positif. Artinya, semakin baik gaya kepemimpinan yang dihadapi auditor, semakin meningkat pula kinerjanya. Sebaliknya, semakin buruk gaya kepemimpinan yang dihadapi auditor, 27
maka kinerjanya akan semakin menurun. Dengan demikian, hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha 4 : Gaya kepemimpinan (leadership style) berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik wilayah DKI Jakarta. II.2.5 Pengaruh Konflik Peran (Role Conflict), Ketidakjelasan Peran (Role Ambiguity), Kelebihan Peran (Role Overload), dan Gaya Kepemimpinan (Leadership Style) secara Simultan (Bersama-Sama) Terhadap Kinerja Auditor Faktor-faktor yang berhubungan dengan keperilakuan auditor seperti konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), kelebihan peran (role overload), dan gaya kepemimpinan (leadership style) secara simultan (bersama-sama) juga dapat mempengaruhi kinerja auditor secara signifikan, baik pengaruh secara positif maupun negatif. Artinya bahwa keempat variabel independen tersebut secara bersama-sama dapat memberikan pengaruh yang cukup terasa terhadap kinerja auditor secara keseluruhan di Kantor Akuntan Publik. Dengan demikian, hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha 5 : Konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), kelebihan peran (role overload), dan gaya kepemimpinan (leadership style) berpengaruh simultan dan signifikan terhadap kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik wilayah DKI Jakarta. 28