KAJIAN KINERJA SERAPAN BISING SEL AKUSTIK DARI BAHAN KAYU OLAHAN (ENGINEERING WOOD)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

Pengaruh Kedalaman Rongga pada Panel Resonator dari Bahan Kayu Sengon Laut Terhadap Reduksi Bunyi

BAB II DASAR TEORI 2.1. Prinsip Kerja Penyerapan Bunyi

PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI DAN IMPEDANSI MATERIAL AKUSTIK RESONATOR PANEL KAYU LAPIS (PLYWOOD) BERLUBANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORBSI MATERIAL AKUSTIK DARI SERAT ALAM AMPAS TEBU SEBAGAI PENGENDALI KEBISINGAN

ANALISIS GELOMBANG AKUSTIK PADA PAPAN SERAT KELAPA SAWIT SEBAGAI PENGENDALI KEBISINGAN

KARAKTERISTIK AKUSTIK PAPAN KOMPOSIT SERAT SABUT KELAPA BERMATRIK KERAMIK

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI SERAT ALAM ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT. Krisman, Defrianto, Debora M Sinaga ABSTRACT

2. TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Bunyi Perambatan Gelombang dalam Pipa

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DARI BAHAN AMPAS TEBU DENGAN METODE RUANG AKUSTIK KECIL. Oleh: Arif Widihantoro NIM: TUGAS AKHIR

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 BAB II LANDASAN TEORI... 5

KARAKTERISASI KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI LIMBAH SERAT KAYU MERANTI MERAH (SHOREA PINANGA) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

TINGKAT REDAM BUNYI SUATU BAHAN (TRIPLEK, GYPSUM DAN STYROFOAM)

Pengertian Kebisingan. Alat Ukur Kebisingan. Sumber Kebisingan

DINDING PEREDAM SUARA BERBAHAN DAMEN DAN SERABUT KELAPA

PENGARUH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK SKRIPSI

Panel Akustik Ramah Lingkungan Berbahan Dasar Limbah Batu Apung Dengan Pengikat Poliester

KARAKTERISTIK ABSORBSI DAN IMPEDANSI MATERIAL AKUSTIK SERAT ALAM AMPAS TAHU (GLYCINE MAX) MENGGUNAKAN METODE TABUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KOLOM UDARA BERDINDING BAMBU SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN PAGAR

PENGARUH ORIENTASI SERAT TERHADAP REDAMAN SUARA KOMPOSIT BERPENGUAT SERAT PINANG

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT. Debora M Sinaga 1, Krisman 2, Defrianto 2

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Dasar Teori Serat Alami

PERNYATAAN. Mahasiswa

DESAIN PEREDAM SUARA TABUNG KACA DENGAN SAMPEL CAMPURAN SERBUK KAYU MERANTI DAN PAPAN TELUR UNTUK MENGUKUR KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI

BAB 1 PENDAHULUAN. Kelapa Sawit yang sudah tidak produktif. Indonesia, khususnya Sumatera Utara,

PEMBUATAN ALAT UKUR DAYA ISOLASI BAHAN

KARAKTERISTIK PANEL AKUSTIK SAMPAH KOTA PADA FREKUENSI RENDAH DAN FREKUENSI TINGGI AKIBAT VARIASI KADAR BAHAN ANORGANIK

PERBANDINGAN RESAPAN BISING PANEL AKUSTIK LIMBAH BONGGOL JAGUNG DENGAN AMPAS TEBU. Sebelas Maret Surakarta

ANALISA KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI MATERIAL SERAT BATANG KELAPA SAWIT DENGAN GYPSUM MENGGUNAKAN SONIC WAVE ANALYZER

PRISMA FISIKA, Vol. IV, No. 02 (2016), Hal ISSN :

Pemanfaatan Limbah Kulit Pinang (Areca catechu L.) sebagai Filler Papan Komposit Penyerap Bunyi

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: ( Print) F-101

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Seminar Nasional - XII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, Desember 2013

Pengaruh Penambahan Serat Sabut Kelapa (Cocofiber) Terhadap Campuran Beton Sebagai Peredam Suara

AKUSTIKA RUANG KULIAH RUANG SEMINAR 5 LANTAI 4 TEKNIK FISIKA. Dani Ridwanulloh

Pengukuran Transmission Loss (TL) dan Sound Transmission Class (STC) pada Suatu Sampel Uji

BAB I PENDAHULUAN. ternak, satwa, dan sistem alam (Kusuma, 1996). Menurut WHO (Word Healt

1. PENDAHULUAN. Papan Partikel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi telah memberikan manfaat yang besar terhadap

Performa (2011) Vol. 10, No. 2: 89-94

UNIVERSITAS MEDAN AREA. Gambar 2.1 Fenomena absorpsi suara pada permukaan bahan

PENENTUAN KOEFISIEN SERAP BUNYI PAPAN PARTIKEL DARI LIMBAH TONGKOL JAGUNG

Pengendalian Bising. Oleh Gede H. Cahyana

LIMBAH PELEPAH PISANG RAJA SUSU SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN DINDING KEDAP SUARA

PENGUKURAN ABSORPSI BAHAN ANYAMAN ENCENG GONDOK DAN TEMPAT TELUR DENGAN METODE RUANG AKUSTIK KECIL

Kajian tentang Kemungkinan Pemanfaatan Bahan Serat Ijuk sebagai Bahan Penyerap Suara Ramah Lingkungan

PENGARUH KERAPATAN TERHADAP KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI PAPAN PARTIKEL SERAT DAUN NENAS (Ananas comosus L Merr)

DATA HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS

REDAMAN SUARA PADA KOMPOSIT SANDWICH POLYESTER BERPENGUAT SERAT SISAL DENGAN CORE STYROFOAM

Jurnal Teknik Mesin Universitas Halu Oleo Kendari, April 2016

Aplikasi Panel Penyerap Bunyi Dari Bahan Sandwich Composite Sebagai Dinding Interior Ruangan

Kinerja Akustik dan Mekanik Panel Sandwich Berbasis Ampas Tebu dan Bambu

KAJI EKSPERIMENTAL PANEL PENYERAP SUARA MENGGUNAKAN IMPEDANCE TUBE KIT DUA MIKROFON

Prosiding. Seminar Nasional Teknoin Pengembangan Teknologi Manufaktur untuk Menunjang Penguatan Daya Saing Bangsa. Yogyakarta, 10 November 2012

Pembuatan dan Pengujian Bahan Peredam Suara dari Berbagai Serbuk Kayu

KEMAMPUAN PEREDAMAN SUARA DALAM RUANG GENSET DINDING BATA DILAPISI DENGAN VARIASI PEREDAM YUMEN

PENGUNAAN BAHAN MATRIK SEMEN,GIBSUM, TANAH LIAT TERHADAP PEMANFAATAN SABUT KELAPA SEBAGAI SERAT UNTUK PEMBUATAN PAPAN SERAT SABUT KELAPA

Komposit Serat Batang Pisang (SBP) Epoksi Sebagai Bahan Penyerap Bunyi

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA PUBLIKASI ILMIAH

PENGGUNAAN CASING SEBAGAI PEREDAM SUARA PADA MESIN DIESEL

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan potensi lokal sebagai material dinding kedap. bila dibandingkan dengan makhluk lain adalah akal.

STUDI TENTANG PENGARUH PROSENTASE LUBANG PADA DINDING PENGHALANG TERHADAP PENGURANGAN SPL

Pengaruh core campuran sampah daun kering, kertas koran dan plastik hdpe pada komposit sandwich UPRS Cantula 3D terhadap nilai sound transmission loss

PENGARUH PEMAKAIAN MULTI LAYER MATERIAL PADA CASING PEREDAM SUARA MESIN DIESEL

Penyerapan Bising Helmholtz Resonator Dari Kertas Dan Sekam Padi Dengan Skin Polyester Berpenguat Sabut Kelapa

Kata kunci: Transmission Loss

Akustik. By: Dian P.E. Laksmiyanti, ST. MT

KAJIAN EKSPERIMENTAL KARAKTERISTIK MATERIAL AKUSTIK DARI CAMPURAN SERAT BATANG KELAPA SAWIT DAN POLYURETHANE DENGAN METODE IMPEDANCE TUBE

STUDI TENTANG PENGARUH PROSENTASE LUBANG TERHADAP DAYA ABSORPSI BUNYI

Evaluasi kinerja Akustik dari Ruang Kedap Suara pada Laboratorium Rekayasa Akustik dan Fisika Bangunan Teknik Fisika -ITS

MATERIAL AKUSTIK SERAT PELEPAH PISANG (Musa acuminax balbasiana calla) SEBAGAI PENGENDALI POLUSI BUNYI

PENGUKURAN TINGKAT PENYERAPAN BUNYI KEPINGAN BATANG KELAPA SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN TABUNG IMPEDANSI. Septina Sari 1, Erwin 2,Krisman 3

BAB II LANDASAN TEORI

Desain Akustik Ruang Kelas Mengacu Pada Konsep Bangunan Hijau

INVESTIGASI MATERIAL PENYERAP SUARA DARI BAHAN LIMBAH TONGKOL JAGUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN EKSPERIMENTAL PENGUKURAN TRANSMISSION LOSS DARI PADUAN ALUMINIUM-MAGNESIUM MENGGUNAKAN METODE IMPEDANCE TUBE SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang material komposit,

PERANCANGAN BARRIER UNTUK MENURUNKAN TINGKAT KEBISINGAN PADA JALUR REL KERETA API DI JALAN AMBENGAN SURABAYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE NOMOGRAPH

PENGARUH PANJANG PIPA, POSISI STACK DAN INPUT FREKWENSI ACOUSTIC DRIVER/AUDIO SPEAKER PADA RANCANG BANGUN SISTEM REFRIGERASI THERMOAKUSTIK

Jurnal Ilmiah TEKNIK DESAIN MEKANIKA Vol. 7 No. 2, April 2018 ( )

DESAIN PENGENDALIAN BISING PADA JALUR PEMBUANGAN EXHAUST FAN KAMAR MANDI DALAM. Batara Sakti Pembimbing: Andi Rahmadiansah, ST, MT

MATERIAL PEREDAM SUARA DENGAN MENGGUNAKAN KOMBINASI DAMEN, SERABUT KELAPA, DAN DINDING BATA

PERANCANGAN TABUNG IMPEDANSI DAN KAJIAN EKSPERIMENTAL KOEFISIEN SERAP BUNYI PADUAN ALUMINIUM-MAGNESIUM

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia semakin meningkat. Baik peralatan tersebut berupa sarana informasi,

QUALITATIVE ANALYSIS OF THE SAWDUST COMPOSED PERFORMANCE AS SOUND ATENUATION MATERIAL

Mengenal Masalah Akustik Ruangan

STUDI PEMANFAATAN PENCAMPURAN JERAMI DAN SABUT KELAPA SEBAGAI BAHAN DASAR SEKAT ABSORPSI BUNYI ANTAR RUANGAN DI KAPAL

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pokok masyarakat dalam bahan bangunan untuk perumahan, maka

PENERAPAN SISTEM AKUSTIK PADA RUANG AUDITORIUM BALAI SIDANG DI SURAKARTA

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3. METODE PENELITIAN

DESAIN DAN KARAKTERISTIK PANEL AKUSTIK DENGAN MODEL MULTI LAPISAN KOMPOSIT SEBAGAI PARTISI PEREDAM SUARA TESIS. Oleh MEGA NOVITA SARI /FIS

Transkripsi:

KAJIAN KINERJA SERAPAN BISING SEL AKUSTIK DARI BAHAN KAYU OLAHAN (ENGINEERING WOOD) Ferriawan Yudhanto 1) Dosen Program Vokasi Teknik Mesin Otomotif dan Manufaktur Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 1) Jl. Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183 Telp. (0274) 387656 (hunting) Fax.(0274) 387646 E-Mail : ferriawan_y@yahoo.com Abstrak Dalam perencanaan suatu ruang diperlukan pengertian terhadap bising (noise) yang mungkin terjadi pada suatu ruang tertutup. Salah satu kebisingan yang sering terjadi adalah dengung. Dengung oleh suara frekuensi rendah dapat menyebabkan terjadinya penyelubungan pada semua jangkauan frekuensi. Karena itu peredaman bising pada frekuensi rendah merupakan faktor penting dalam perencanaan ruang. Bentuk peredam bunyi yang efektif pada frekuensi rendah adalah menggunakan disain resonator Helmholtz. Dimensi sekat rongga resonator dan diameter lubang leher resonator merupakan variabel penting dalam mendisain resonator Helmholtz. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dimensi sekat rongga resonator dan diameter leher resonator terhadap serapan bising sel akustk. Resonator Helmholtz yang didisain menggunakan kayu olahan (engineering wood) yaitu papan partikel sebagai bahan dasarnya. Sekat rongga resonator didisain berbentuk persegi empat dengan lebar sisi 20x20 dan 50x50 mm. Sedangkan ketinggian sekat rongga resonator yang didisain adalah 10, 20, dan 30 mm. Variabel lain yang digunakan adalah diameter leher resonator 4 dan 10 mm. Penambahan acoustic fill pada rongga resonator dari bahan serat alam yaitu agave, kapas, dan sabut kelapa. Pengujian serapan bising resonator dilakukan dengan menggunakan tabung impedansi satu mikropon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien Serapan Bising (NAC) kayu olahan memiliki hasil yang optimal pada rentang frekuensi rendah. Peningkatan NAC dapat diperoleh dengan cara mendisain resonator Helmholtz. Nilai NAC yang tinggi (sampai dengan 0.90) diperoleh pada frekuensi 700-800 Hz yaitu dengan mendisain Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) dengan dimensi pxl 50 mm dan ketinggian sekat 30 mm dengan tambahan diameter leher resonator sebesar 10 mm. Penambahan volume sekat rongga resonator dengan menambah tinggi menyebabkan kenaikan harga NAC yang cukup signifikan pada frekuensi yang lebih rendah. Penambahan besar diameter lubang leher resonator akan mengakibatkan harga NAC yang tinggi pada frekuensi tertentu dan penambahan acoustic fill akan menyebabkan pergeseran frekuensi ke arah frekuensi yang lebih rendah disertai peningkatan nilai NAC. Penambahan acoustic fill yang paling baik yaitu dengan menggunakan serat sabut kelapa hal ini disebabkan karena sabut kelapa memiliki nilai massa jenis terkecil yaitu 1,03 g/cm 3 sehingga mampu mereduksi bunyi secara optimal karena jumlah serat yang masuk ke dalam rongga semakin banyak. Kata Kunci : Resonator Helmholtz, Koefisien Serapan Bising (NAC), Kayu Olahan, Acoustic Fill, Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) Pendahuluan International Labour Office (ILO, 1984) dan Chanlet (1979), mendefinisikan kebisingan sebagai suara yang tidak menyenangkan atau tidak dikehendaki yang dapat mengganggu kesehatan ataupun kenyamanan. Rentang tingkat suara yang masih dapat didengar oleh suara manusia normal adalah 0 db (suara terlemah), yang disebut threshold of hearing, hingga 120 db yaitu tingkat kebisingan suara di mana sistem pendengaran manusia mulai merasa kesakitan (threshold of pain). Pengaruh kebisingan terhadap manusia dapat berbeda-beda, dari hanya sekedar ketidaknyamanan sampai dengan masalah kesehatan. Berada dalam lingkungan yang bising dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan pendengaran (Hearing Loss). Untuk itu diperlukan suatu aturan yang dapat menjamin kesehatan ataupun kenyamanan orang-orang yang berada disekitar sumber kebisingan.

Untuk mendapatkan suatu ruang yang bebas dari kebisingan diperlukan material yang mampu meredam kebisingan. Penggunaan material porous dari bahan sintetis seperti PVC, poliester, dan polipropilen telah banyak digunakan sebagai panel peredam bising. Walaupun bahan-bahan ini telah mampu meredam bising dengan baik, tetapi bahan-bahan ini tidak ramah lingkungan karena limbahnya tidak dapat terurai secara alami. Oleh karena itu diperlukan bahan alternatif yang dapat menggantikan bahan-bahan sintetis tersebut. Kayu olahan yang sering dikenal sebagai engineering wood merupakan upaya memaksimalkan pemanfaatan kayu yang dibuat di pabrik, yang didesain dan dibentuk dengan tujuan tertentu agar mencapai sifat dan kekuatan structural yang diinginkan. Papan partikel (Particle board) merupakan salah satu jenis engineering wood yang terbuat dari partikel-partikel kayu yang kecil dan berasal dari kelas kayu yang berbeda-beda. Partikel tersebut dipres dan direkatkan menjadi panel. Dengan melakukan disain tertentu, dinding partisi kayu dapat mempunyai kinerja akustik yang cukup tinggi. Salah satu disain yang bisa digunakan adalah dengan mendisain sel akustik yang berfungsi sebagai peredam bising. Dengan melakukan disain sel akustik tersebut maka kayu dapat berfungsi sebagai dinding partisi dan sekaligus sebagai peredam bising, sehingga mampu menciptakan ruang yang memenuhi syarat kesehatan sekaligus kenyamanan. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam banyak memiliki lahan produktif sebagai penghasil serat alam. Penggunaan bahan penyerap (absorptive material) dari bahan serat alam (kapas, agave dan sabut kelapa) sebagai acoustic fill dalam bidang rekayasa teknologi jarang digunakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan penggunaan berbagai jenis serat alam untuk dapat digunakan secara optimal sehingga penggunaan serat tersebut sebagai acoustic fill pada sel akustik kayu dapat menambah nilai ekonomi dan teknologi. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat tuntutan untuk mendapatkan lingkungan yang bebas dari masalah kebisingan. Untuk mendapatkan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan maupun kenyamanan dari masalah kebisingan maka diperlukan peredam kebisingan. Indonesia sebagai negara agraris dengan sumber kayu yang berlimpah mempunyai potensi untuk mengembangkan sel akustik berbahan dasar kayu olahan (engineering wood). Oleh karena itu diperlukan adanya riset untuk menghasilkan sel akustik berbahan dasar kayu sebagai peredam bising dengan koefisien redaman bising (noise absorption coeffficient / NAC) yang optimum. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki serapan bising kayu olahan yaitu papan partikel, pengaruh dimensi rongga resonator terhadap koefisien serapan bising, menyelidiki pengaruh lubang leher resonator terhadap koefisien serapan bising, dan melakukan analisis komparasi pengaruh dimensi rongga resonator dan diameter lubang leher resonator terhadap NAC sel akustik kayu olahan yaitu papan partikel sehingga menghasilkan sel akustik yang optimum. Lee dan Joo (2003) mengklasifikasikan material penyerap bunyi menjadi 3, yaitu porous, resonator, dan panel. Ketiga jenis material ini menerapkan teori transformasi energi, yaitu adanya perubahan energi dari energi bunyi menjadi energi panas. Pengujian dilakukan dengan menggunakan serat poliester daur ulang yang diikat dengan low melting point polyester (LMP). Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan kadar fiber akan meningkatkan harga noise absorption coefficient (NAC), lihat gambar 1a. Sedangkan peningkatan kadar LMP akan menurunkan harga NAC lihat gambar 1b. Hal ini diakibatkan oleh penurunan ketebalan serat dan adanya coincident effect. Poliester LMP tersebut menyebabkan penyusutan pada struktur jaringan serat sehingga merusak porositas serat. (a) Gambar 1. (a). Pengaruh kandungan serat poliester terhadap NAC (b). Pengaruh kandungan LMP terhadap NAC (Lee dan Joo, 2003) Siregar dkk (2006) meneliti pengaruh perubahan panjang dan lebar sekat rongga resonator terhadap Noise Absorption Coeficient (NAC) sel akutik kayu dari bahan kayu sengon laut. Penambahan panjang (p) dan lebar (l) sekat rongga resonator menyebabkan penambahan volume sekat rongga resonator, sehingga kekakuan efektif sistem turun. Turunnya kekakuan efektif udara di dalam sekat rongga resonator menyebabkan frekuensi resonansi SAK (Sel Akustik Kayu) bergeser dari frekuensi tinggi 800 Hz menuju frekuensi rendah yaitu 500 Hz. Nor dkk (2004) melakukan penelitian dengan menggunakan serabut kelapa, seperti yang dapat dilihat pada gambar 3. Pada penelitian digunakan berbagai model pemasangan serabut kelapa. Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa adanya rongga udara dibelakang serabut kelapa akan meningkatkan NAC material pada frekuensi rendah. (b)

Gambar 2. Pengaruh rongga udara dibelakang serabut kelapa (Nor dkk, 2004) Neithalath dkk (2002) melakukan pengujian NAC dengan menggunakan komposit semen berserat selulosa (cellulose-cement composite). Terdapat 3 macam bentuk serat selulosa yang digunakan, yaitu macro nodules, discrete fibers, dan petite nodules seperti yang terlihat pada gambar 3a, 3b, dan 3c. Gambar 3. Serat selulosa (a) macro nodules, (b) discrete fibers, dan (c) petite nodules (Neithalath dkk, 2002) Dari hasil pengukuran porositas diketahui bahwa penggunaan macro nodules menghasilkan komposit dengan porositas paling besar dibandingkan dengan discrete fibers dan petite nodules. Akibatnya komposit dengan macro nodules mempunyai harga NAC paling tinggi. Koefisien absorpsi (α) suatu material didefinisikan sebagai perbandingan antara energi yang diserap material dengan total energi yang mengenai material. Karena energi mempunyai nilai yang proporsional dengan kuadrat dari tekanan bunyi, maka : 2 B 1 (1) A Dengan menggunakan tabung impedansi maka pengukuran rasio antara tekanan maksimum dan minimum (n) akan mudah dilakukan. pmaks A B n (2) p A B min B n 1 A n 1 Dengan memasukkan persamaan (3) kedalam persamaan (1) maka koefisien absorpsi suatu material dapat diukur dengan menggunakan tabung impedansi. n 1 1 n 1 2 (3) (4) Resonator Helmholtz Resonator Helmholtz tersusun atas suatu rongga dengan volume V yang mempunyai leher resonator dengan panjang L dan luas area S, seperti yang terlihat pada gambar 4. Gambar 4. Resonator Helmholtz

Fluida pada leher resonator bergerak sebagai satu kesatuan dan berfungsi sebagai elemen massa (m), adanya tekanan akustik pada rongga resonator berfungsi sebagai elemen kekakuan (s), dan adanya resistansi pada lubang leher resonator berfungsi sebagai elemen resistansi (R m ). s m f(t) R m Gambar 5. Resonator Helmholtz Metodologi Penelitian Material yang digunakan sebagai bahan sel akustik adalah kayu olahan yaitu papan partikel yang didisain dalam bentuk sel akustik kayu. Serat alam (Natural Fibre) yang digunakan sebagai acoustic fill pada rongga resonator Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) yaitu serat kapas, agave dan sabut kelapa. Gambar 6. Bentuk lembaran papan partikel Pengujian dilakukan di Laboratorium Getaran dan Akustik, Universitas Gadjah Mada. Peralatan penelitian yang digunakan adalah tabung impedansi satu mikropon dan peralatan pendukung lainnya measuring amplifier, microphone carriage, specimen holder dan sine generator. Pengujian serapan bising dilakukan dengan menggunakan tabung impedansi satu mikropon, seperti yang terlihat pada gambar 7. 5 4 3 1 2 Keterangan Gambar : 1. Measuring Amplifier 2. Sine Generator 3. Microphone Carriage Gambar 7. Tabung impedansi satu mikropon Spesimen diletakkan pada ujung kiri tabung impedansi. Sine generator akan menghasilkan gelombang sinusoidal dengan frekuensi yang dapat diatur. Ketika gelombang bunyi mengenai spesimen uji maka gelombang bunyi dapat diserap ataupun dipantulkan. Dengan menggeser posisi dari mikropon (microphone carriage) maka harga tekanan akustik gelombang bunyi dapat diukur. Dari hasil pengukuran tekanan akustik maksimum dan minimum ini maka harga NAC pada SAKO (Sel Akustik Kayu Olahan) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4). Variabel pengujian yaitu panjang (p) x lebar (l) dan tebal (t) sekat rongga resonator, dengan variasi lubang leher resonator 4 dan 10 mm. (a) (b) Gambar 8. Sel Akustik tanpa lubang leher resonator (a), dan dengan lubang leher resonator (b)

l p (a) (b) Tebal sekat (t) Gambar 9. Sekat rongga resonator SAK (a) 20x20 mm, dan (b) 50x50 mm Proses pembuatan sel akustik diawali dengan pemotongan papan partikel menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian disusun berdasarkan disain awal rancangan penelitian. Dimensi panjang (p) x lebar (l) sekat rongga resonator yang diuji adalah 20 x 20 mm (Gambar 9 a) dan 50x50 mm (Gambar 9 b) dengan diameter spesimen uji 100 mm. Diameter 100 mm disesuaikan dengan Spesiment Holder pada alat uji Kundts Tube Impedance. Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) yang dibuat diistilahkan dengan sistem sándwich yaitu terdiri dari layer atas, sekat rongga resonator dan kemudian layer bawah atau dengan pengertian lain yaitu sekat rongga resonator yang diapit oleh dua lapisan. Hasil dan Perancangan Pengaruh Perubahan Tinggi Sekat Rongga Resonator Terhadap NAC Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sekat rongga resonator dan dimensi sekat rongga resonator terhadap NAC material. Dimensi disain pertama sel akustik yaitu (panjang x lebar) 20 mm diistilahkan SAKO 20 dan untuk disain kedua dengan dimensi (panjang x lebar) 50 mm distilahkan dengan SAKO 50. Hasil NAC (Noise Absorption Coefficient) pada Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) dengan diameter leher resonator ditemui hal serupa seperti SAKO tanpa leher resonator yaitu dengan kenaikan tebal sekat rongga resonator akan menggeser nilai NAC ke frekuensi yang lebih rendah yaitu efektif pada frekuensi 300 Hz sampai dengan 900 Hz. Pada frekuensi 100 sampai dengan 200 Hz cenderung memiliki frekuensi yang sama, hal ini disebabkan adanya frekuensi resonansi yang sering terjadi pada frekuensi yang sangat rendah. Yudhanto dkk (2007) melakukan penelitian terhadap panel akustik kayu dengan sekat rongga resonator dan didapatkan nilai frekuensi resonansi untuk ketebalan sekat 10 mm yaitu 182,3 Hz dan untuk sekat resonator dengan ketebalan 20 mm yaitu 134,34 Hz. Dibawah ini dapat dilihat pengaruh ketinggian sekat resonator pada SAKO 20 tanpa leher resonator akan menggeser nilai NAC sebesar 10% dari frekuensi rendah 600 Hz Sampai dengan frekuensi 100 Hz dengan nilai NAC tertinggi berada pada frekuensi 600 Hz dengan harga NAC 0,54 (Gambar 10.a). Penambahan ukuran tinggi sekat rongga resonator menyebabkan penambahan volume sekat rongga resonator sehingga menyebabkan pergeseran nilai NAC yang semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah. Hal ini juga dapat dilihat pada SAKO 20 dengan lubang leher resonator 4 mm dan 10 mm. Pada SAKO 20 dengan lubang leher resonator 4 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 17% dan nilai tertinggi berada di 700 Hz dengan nilai 0,82 (Gambar 10.b). Pada SAKO 20 dengan lubang leher resonator 10 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 18,5% dan nilai tertinggi berada di 1100 Hz dengan nilai 0,89 (Gambar 10.c). a b c Gambar 10. Pengaruh ketinggian sekat rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 20 Dibawah ini juga dapat dilihat pengaruh ketinggian sekat resonator pada SAKO 50 tanpa leher resonator akan menggeser nilai NAC sebesar 15% dari frekuensi rendah 600 Hz Sampai dengan frekuensi 100 Hz dengan nilai NAC tertinggi berada pada frekuensi 600 Hz dengan harga NAC 0,6 (Gambar 11.a). Penambahan ukuran tinggi sekat rongga resonator menyebabkan penambahan volume sekat rongga resonator sehingga menyebabkan pergeseran nilai NAC yang semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah. Hal ini juga dapat dilihat pada SAKO 50 dengan lubang leher resonator 4 mm dan 10 mm. Pada SAKO 50 dengan lubang leher resonator 4 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin

baik kearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 12% dan nilai tertinggi berada di 900 Hz dengan nilai 0,81 (Gambar 11.b). Pada SAKO 50 dengan lubang leher resonator 10 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 12% dan nilai tertinggi berada di 700 Hz-800 Hz dengan nilai 0,9 (Gambar 11.c). a b c Gambar 11. Pengaruh ketinggian sekat rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 50 Pengaruh Perubahan Diameter Rongga Resonator Terhadap NAC Hasil pengukuran NAC berdasarkan variasi tanpa dan dengan diameter lubang leher resonator dapat dilihat pada gambar 12 dibawah ini. SAKO 20 tanpa lubang resonator diberi simbol d = 0, SAKO dengan lubang resonator 4 mm diberi simbol d = 4 mm dan SAKO dengan lubang resonator 10 mm diberi simbol atau legenda d = 10. a b c Gambar 12. Pengaruh diameter rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 20 Pengaruh perubahan diameter lubang leher resonator untuk sekat rongga resonator dengan tinggi 10, 20, dan 30 mm akan meningkatkan nilai NAC dan menggeser nilai NAC ke arah frekuensi yang lebih tinggi sedangkan utuk SAKO tanpa lubang leher resonator hanya efektif di frekuensi rendah dangan harga NAC yang kecil. Hal ini berarti penambahan besar diameter resonator akan mengakibatkan naiknya nilai NAC sehingga hasil dari pengujian SAKO menunjukkan diameter 10 mm memiliki hasil yang optimum untuk dapat digunakan sebagai bahan peredam suara khususnya suara bising yang berada pada frekuensi rendah. a b c Gambar 13. Pengaruh diameter rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 50

Perbandingan Nilai NAC SAKO 20 dan SAKO 50 Pada Lubang Resonator Dengan Diameter 10 mm. Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan kundts tube impedance menunjukkan hasil NAC pada SAKO 50 memiliki hasil yang jauh lebih baik terutama pada frekuensi rendah. Frekuensi rendah adalah frekuensi yang sangat sulit untuk dicegah atau dihalangi dalam suatu akustika ruang. Pemilihan SAKO 50 dengan diameter lubang leher resonator 10 mm tepat untuk dikembangkan lebih lanjut dari sel akustik menjadi panel akustik peredam bising. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 14 dibawah ini, SAKO 50 mamiliki nilai NAC yang paling tinggi yaitu 0,9 dan berada pada frekuensi yang rendah yaitu 700 Hz sedangkan SAKO 20 hanya memiliki nilai NAC 0,72 pada frekuensi yang sama. Pada frekuensi 200 Hz sampai dengan 700 Hz SAKO 50 memiliki nilai NAC rata-rata 14% lebih baik dibandingkan dengan SAKO 20. Gambar 14. Pengaruh panjang dan lebar rongga resonator (SAKO 20 dan SAKO 50) dengan diameter lubang resonator 10 mm terhadap nilai NAC Hasil pengujian NAC Acoustic Fill Penggunaan bahan penyerap (absorptive material) dari bahan serat alam (kapas, serat agave dan sabut kelapa) sebagai acoustic fill dalam bidang rekayasa teknologi jarang digunakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan penggunaan berbagai jenis serat alam untuk dapat digunakan secara optimal sehingga penggunaan serat tersebut sebagai acoustic fill pada sel akustik kayu dapat menambah nilai ekonomi dan teknologi. a b c Gambar 15. Grafik NAC dengan penambahan Acoustic fill dari kapas (a), sabut kelapa (b), dan agave (c) Penambahan acoustic fill pada sekat rongga resonator adalah sebagai peredam getaran terutama pada frekuensi rendah. Pada frekuensi rendah masih dipengaruhi oleh efek resonansi suara yang terjadi pada SAKO dan juga perambatan gelombang akibat getaran yang merambat melalui struktur partisi (structure borne) sangat sulit untuk diredam. Penambahan serat alam sebagai acoustic fill sebesar 10%. Pemberian acoustic fill pada sekat rongga sel akustik maksimum sebesar 10% dari luas volume rongga resonator berdasarkan dari jumlah optimum serat masuk dalam sekat rongga resonator dari serat alam. Hasil pengujian SAKO dengan penambahan acoustic fill 10% dilakukan pada 3 jenis serat yang berbeda sehingga memiliki berat dan jumlah serat yang berbeda pula. Berat serat sabut kelapa dalam rongga SAKO 50 adalah 5,15 gram, kapas 5,95 gram dan serat agave 7,25 gram. Jumlah serat dalam rongga resonator akan diisi oleh berat yang paling ringan yaitu sabut kelapa kemudian kapas dan paling sedikit mengisi rongga resonator yaitu serat agave. Hasil pengujian dari ketiga serat ditampilkan dalam bentuk perbandingan grafik NAC (gambar 15). Dari ketiga jenis serat yang digunakan sebagai acoustic fill serat sabut kelapa mempunyai massa jenis yang paling kecil sehingga serat ini dapat mengisi rongga resonator secara optimal. Penambahan acoustic fill sebesar 10 % pada sekat rongga resonator dengan serat sabut kelapa menghasilkan nilai NAC yang paling besar yaitu sebesar 0,98 pada frekuensi 600 Hz. Secara umum pengaruh acoustic fill dari masing-masing serat akan menggeser NAC ke frekuensi yang lebih rendah dan berfungsi sebagai peredam yang merubah energi suara menjadi energi panas di dalam

rongga resonator dan acoustic fill juga menyebabkan distribusi panas dan getaran gelombang terdistribusi secara merata. Serat agave atau sisal mempunyai massa jenis yang paling besar yaitu 1,45 g/cm 3, hal ini menyebabkan SAKO dengan penambahan serat agave mempunyai nilai serapan bising yang paling rendah yaitu sebesar 0,55, berbeda dengan sabut kelapa yang mempunyai massa jenis yang paling kecil yaitu 1,03 g/cm 3 sedangkan pada serat kapas hampir memiliki nilai NAC yang sama dengan serat sabut kelapa hal ini disebabkan karena kapas memiliki massa jenis yang hampir sama dengan sabut kelapa yaitu sebesar 1,19 g/cm 3.Semakin kecil nilai massa jenis serat maka berat serat akan semakin kecil sehingga serat yang masuk ke dalam rongga resonator akan semakin banyak hal ini menyebabkan SAKO dengan penambahan acoustic fill akan baik digunakan pada frekuensi yang rendah. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penambahan leher resonator menyebabkan peningkatan NAC yang signifikan dengan disertai pergeseran frekuensi resonansi ke arah frekuensi yang lebih tinggi dengan bertambah besarnya diameter leher resonator. 2. SAKO tanpa lubang leher resonator mempunyai nilai NAC sebesar 0,47 sampai dengan 0,58 lebih kecil dibandingkan dengan nilai NAC SAKO dengan lubang leher resonator yang berkisar antara 0,6 sampai dengan 0,9 pada frekuensi 600-1000 Hz. 3. Penambahan tebal atau ketinggian sekat rongga resonator akan meningkatkan nilai NAC pada frekuensi rendah sebesar 12% sampai dengan 17%. Nilai optimal didapat dari kenaikan nilai NAC pada frekuensi rendah disertai nilai NAC tertinggi pada frekuensi tertentu. Nilai tersebut didapatkan pada SAKO 50 dengan besar diameter rongga resonator 10 mm dengan nilai NAC 0,9 pada frekuensi 700 dan 800 Hz. 4. Penambahan acoustic fill sebesar 10 % Vf (fraksi volume sekat rongga resonator) pada sekat rongga resonator sangat efektif hal ini akan mengakibatkan kenaikan nilai NAC dan menggeser kenaikan NAC pada frekuensi rendah. Penambahan acoustic fill paling baik didapatkan dengan menggunakan serat sabut kelapa hal ini disebabkan karena massa jenis serat sabut kelapa paling kecil dibandingkan dengan kedua serat lain yaitu sebesar 1,03 g/cm 3. DAFTAR PUSTAKA ASTM, 1998, Annual Book of ASTM Standard, West Conshohocken. Doelle, L.L., 1986, Akustik Lingkungan, Penerbit Erlangga, Jakarta Harris, C.M., 1979, Handbook of Noise Control, 2 edition, Mc Graw Hill Book Company, USA. Kinsler E.L., Frey A.R., Coppens A.B., dan Sanders J.V.,1982, Fundamentals of Accoustics, John Wiley & Sons. Lord, H.W., Gatley, W.S., Evensen, H.A., 1980, Noise Control For Engineers McGraw-Hill Book Company, USA. Lord, P. dan Templeton, D., 1996, Detailling for Acoustics. Lee Y., dan Joo C., 2003, Sound Absorption of Recycled Polyester Fibrous Assembly Absorbers, AUTEX Research Journal, Vol. 3, No.2. Nor M.J.M., Jamaludin N., dan Tamiri F.M., 2004, A Preliminary Study of Sound Absorption Using Multi-layer Coconut Coir Fibers, Univ. Kebangsaan Malaysia. Randall, R.B., 1987, Frequency Analysis, Bruel and Kjaer. Tambunan, S.T.B., 2005, Kebisingan di Tempat Kerja, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, Indonesia. Yudhanto F, Jamasri dan Subagio., 2007, Kajian Kinerja Panel Akustik Dari Bahan Kayu Sengon Laut Sebagai Insulasi Bunyi Berkala Jurnal Penelitian S-2 UGM.