HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Karakteristik adalah sifat-sifat yang ditampilkan oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya di dalam lingkungannya sendiri. Karakeristik individu diantaranya adalah umur, pendidikan, pengalaman, dan status sosial, karakteristik ini akan berpengaruh terhadap kemampuan individu untuk melaksanakan sesuatu, melakukan komunikasi dan memilih suatu kegiatan (Newcomb 1981). Keberhasilan dalam pengelolaan ternak diantaranya dipengaruhi oleh umur peternak, tingkat pendidikan dan pengalaman beternak. Data karakteristik peternak dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik demografis peternak Kelompok Peternak Uraian Margawati H. Osih Jogja Grup Jumlah sample (n) Umur peternak (%) - 15 50 tahun - >50 tahun Tingkat pendidikan (%) - SD - SMP - SLA-PT Pengalaman beternak - < 10 tahun - > 10 tahun Pekerjaan pokok (%) - Pensiunan/pegawai - Petani - Peternak - Pedagang Tujuan pemeliharaan (%) - Usaha pokok - Usaha sambilan/tabungan - Hobby - Lain-lain 30 76.67 23.33 56.67 23.33 20 26.67 73.33 16.67 50 23.33 10 23.33 60.00 0 16.67 30 66 34 60 30 10 20 80 0 33.33 56.67 10 56.67 20.00 13.33 10 25 68 32 48 20 32 24 76 8 48 28 16 22.22 48.15 18.52 11.11 Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar umur peternak berkisar antara 15 sampai 50 tahun, sedangkan diatas 50 tahun kurang dari 35%. Menurut Undang-undang tenaga kerja No 14 Tahun 1969 disebutkan bahwa umur kurang atau sama dengan 14 tahun termasuk belum produktif, umur
15 sampai 54 tahun termasuk produktif dan lebih dari 55 tahun tidak produktif. Banyaknya peternak usia produktif yang aktif dalam usaha pembibitan ternak akan berpengaruh terhadap pengembangan ternak domba tangkas khususnya di kabupaten Garut. Pengalaman merupakan akumulasi dari proses belajar yang dialami seseorang. Pengalaman yang dimiliki peternak menimbulkan minat dan kebutuhan untuk melakukan sesuatu. Peternak dengan rata-rata pengalaman diatas 10 tahun (73% sampai 80%), disertai umur masih produktif, keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa pengalaman memelihara domba cukup baik dan diharapkan akan dapat menerapkan inovasi-inovasi baru dalam pengembangan domba kearah yang lebih baik. Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, makin tinggi pendidikan cenderung akan lebih banyak input dalam struktur kognisinya, dengan memiliki pendidikan formal lebih tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi dan wawasan yang luas dalam menganalisis sesuatu kejadian (Rahmat 1989). Berdasarkan Tabel 5 tampak bahwa pendidikan formal peternak cukup beragam, sebagian besar masih berpendidikan SD (48 sampai 60%), SLTP (20 sampai 30%), dan SLTA-PT (10 sampai 32%). Tujuan beternak domba sebagian besar masih merupakan usaha sambilan, namun untuk peternak binaan H. Osih sudah mulai dijadikan usaha pokok (56.67%). Partisipasi dan Perilaku Peternak dalam Kegiatan Pemuliaan Partisipasi merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri (Mubyarto 1984). Selanjutnya Anchok (1989) mengemukakan bahwa keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan erat kaitannya dengan pengetahuan, motivasi dan sikap. Adanya pengetahuan terhadap manfaat sesuatu hal akan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap hal tersebut, sikap positif selanjutnya akan mempengaruhi motivasi seseorang untuk ikut serta dalam suatu kegiatan. Adanya motivasi untuk melakukan suatu kegiatan sangat menentukan apakah kegiatan tersebut betulbetul dilakukan, kegiatan yang sudah dilakukan disebut perilaku. Skor nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak pada kelompok Margawati, H Osih dan Jogya Grup disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa pengetahuan peternak ke tiga model kelompok peternak memiliki
pengetahuan baik karena memiliki skor dalam kisaran antara 33 dan 41 dari skor minimum 10 dan maksimum 50. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan peternak antara kelompok peternak yang dibentuk oleh pemerintah (UPTD) dengan kelompok peternak rakyat maupun kelompok anggota HPDKI. Umumnya peternak telah memiliki pengetahuan akan pentingnya perbaikan mutu genetik, baik melalui seleksi maupun perkawinan dengan bibit unggul, mereka juga selalu menghindari perkawinan inbreeding. Pengetahun peternak masih kurang mengenai recording, hampir seluruh responden tidak mengetahui cara dan pentingnya recording dalam kegiatan pemuliaan. Recording hanya dilakukan di UPTD-BPPTD Margawati, Pada kelompok H. Osih maupun Jogya Grup tidak ada recording namun mereka mengingat silsilah pejantan serta induk yang digunakan. Tabel 6 Skor perilaku dan partisipasi peternak tiga kelompok pembibit Pengetahuan Motivasi Partisipasi Kelompok Peternak Uraian Margawati H. Osih Jogya Grup 33.07 a ± 6.27 30.30 a ± 3.82 32.93 a ± 4.50 33.67 a ± 5.39 32.83 b ± 5.38 32.87 a ± 4.94 35.84 a ± 6.23 33.08 b ± 3.70 37.72 b ± 6.53 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) (Mann-Whitney Test). Motivasi ke tiga model kelompok peternak termasuk katagori cukup karena memiliki skor dalam kisaran 26 sampai 33 dari skor minimum 10 dan maksimum 50. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa kelompok peternak Margawati memiliki motivasi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok peternak H. Osih maupun kelompok peternak Jogya Grup. Rendahnya motivasi pada kelompok Margawati karena memelihara ternak merupakan paket yang telah ditentukan oleh Margawati semua kebijakan dalam pengadaan bibit, pola pemeliharaan dan penjualan hasil ternak ditentukan oleh Margawati, selain itu tujuan pemeliharaan ternak hanya merupakan usaha sambilan untuk tambahan penghasilan dari usaha tani atau usaha lain. Hal ini berbeda dengan kelompok Jogya Grup dimana peternak bebas dalam melakukan pola pemeliharaan maupun penjualan hasil. Sebagai peternak domba tangkas mereka termotivasi untuk selalu meningkatkan kualitas dombanya, dan menjaga popularitas kelompoknya. Philipsson dan Rege (2002) mengemukakan bahwa partisipasi petani memegang peranan penting dalam pengembangan program pemuliaan yang
berkelanjutan. Keberhasilan program pemuliaan tidak hanya ditentukan oleh model pola pemuliaan, tetapi kesesuaiannya dengan sistem usaha ternak dan keterlibatan peternak. Program pemuliaan yang gagal biasanya direncanakan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan kebutuhan peternak serta akibat jangka panjang dari kegiatan tersebut. Program yang berhasil harus sederhana, pragmatis dan biayanya murah (Kosgey 2004). Berdasarkan Tabel 6 partisipasi peternak dalam kegiatan pemuliaan untuk ketiga kelompok termasuk kategori tinggi. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa partisipasi kelompok Jogya Grup lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Margawati maupun kelompok H. Osih. Tingginya skor partisipasi terutama pada partisipasi dalam perencanaan kegiatan, kehadiran dalam aktivitas serta pemanfaatan dan evaluasi hasil kegiatan. Pola Pemuliaan Domba di Margawati Unit Pelaksana Teknis Dinas-Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Domba (UPTD-BPPTD) Margawati Garut terletak di desa Sukanegla, kecamatan Garut kota kabupaten Garut. Pada awalnya merupakan pilot proyek pembibitan domba Priangan didirikan pada tahun 1975 berdasarkan DIP APBD No. 31523. Selanjutnya pada tanggal 12 Juli 1979 sesuai dengan Perda Dinas Peternakan Jawa Barat diubah menjadi Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Margawati. Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2002, tentang organisasi dan tata kerja sejak bulan Juni 2002 namanya diganti menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas - Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Domba (UPTD-BPPTD) Margawati. Tujuan didirikannya UPTD-BPPTD Margawati antara lain untuk mempertahankan dan meningkatkan populasi, kualitas dan produktivitas domba Priangan sebagai salah satu ternak khas Jawa Barat. Sesuai dengan fungsinya UPTD-BPPTD Margawati berupaya mengembangkan domba Priangan sesuai dengan pola pembibitan yang dianjurkan supaya diperoleh bibit domba Priangan berkualitas unggul untuk disebarkan ke masyarakat luas sehingga diharapkan dapat menjamin pasokan bibit domba Priangan untuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Selain itu balai mempunyai fungsi sosial diantaranya dapat digunakan sebagai tempat pelatihan untuk meningkatkan keterampilan teknik beternak domba.
Kebijakan produksi, reproduksi dan pola pemuliaan di Margawati mengacu kepada tugas pokok dan fungsi UPTD-BPPTD yaitu : peningkatan mutu genetik dan produksi ternak dengan sasaran seperti yang tercantum dalam Tabel 7. Tabel 7 Sasaran peningkatan mutu genetik dan produksi ternak No Sifat Produksi Sasaran 1. Bobot lahir rata-rata 2.5 kg 2. Bobot sapih 11 kg 3. Kematian < 2%/th 4. Lamb crop 150 % 5. Prolifikasi 1.47 6. Lambing rate 1.35 Sebagai UPTD Margawati berkewajiban untuk memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah, untuk itu Margawati membentuk kelompokkelompok peternak sebagai plasma, setiap kelompok memelihara 10 ekor induk dengan satu ekor jantan. Ternak yang dipelihara di plasma merupakan hasil seleksi dari ternak di Margawati. Hubungan antara Margawati sebagai inti dengan kelompok peternak sebagai plasma berdasarkan model pola pemuliaan dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Margawati (Inti)?/??/? Kelompok peternak (Plasma) Peternak lain bukan kelompok Gambar 1 Pola pemuliaan di Margawati Berdasarkan Gambar 1 tampak bahwa pola pemuliaan di Margawati menggunakan pola inti terbuka (Open Nucleus Systems), dua tingkat yaitu tingkat pertama Margawati sebagai inti dan tingkat ke dua peternak (plasma). Plasma berperan sebagai kelompok pembiak (multiplier), semua kebijakan di
plasma baik untuk penentuan induk maupun pejantan yang digunakan ditentukan oleh Margawati demikian pula untuk penjualan ternak. Pola seleksi yang dilakukan di Margawati disajikan pada Gambar 2. Ternak-ternak terseleksi dari plasma masuk ke inti, sebagian dijual ke peternak lain sebagai bibit, sedangkan ternak-ternak yang tidak terpilih dijual sebagai ternak pedaging. Sebagai sumber bibit unggul Margawati tidak hanya menggunakan hasil seleksi dari plasma ataupun Margawati sendiri tetapi juga mengambil bibit-bibit unggul dari peternak diluar kelompok. Kriteria seleksi yang digunakan oleh Margawati meliputi ; bobot lahir, bobot sapih, bobot enam bulan, bobot satu tahun dan litter size. Pola pemuliaan lebih ditekankan kepada tidak terjadinya perkawinan sedarah (Inbreeding). Jantan >< Betina Keturunan Jantan 50% Betina 50% Diseleksi sesuai dengan ternak unggul yang diinginkan Diseleksi sesuai dengan ternak unggul yang diinginkan 10% calon pejantan 90% bakalan 10% bakalan 90% calon bibit digemukkan Ternak yang terus dikembangkan guna menghasilkan bibit unggul Gambar 2 Pola seleksi di Margawati Van Arendonk et al. (1998) mengemukakan bahwa dalam program pemuliaan dua aktivitas perlu diperhatikan, pertama hasil seleksi dari populasi dasar berdasarkan nilai pemuliaan sifat-sifat yang relevan, kedua penyebaran ternak hasil peningkatan genetik ke kelompok komersial. Di negara-negara berkembang dengan jumlah ternak yang dipelihara sedikit, sumber daya terbatas, perbaikan mutu genetik lebih tepat dilakukan pada inti (Nucleus). Semua sifat dicatat dan di evaluasi di inti, hasilnya disebarkan ke kelompok komersial melalui jantan/inseminasi yang dikoordinir oleh inti. Ternak di inti harus merupakan kumpulan ternak unggul. Masalah utama dan penting untuk
keberhasilan implementasi pola pemuliaan pada peternak, harus ada interaksi antar inti dengan kelompok peternak baik dalam masalah teknik maupun sosial ekonomi. Harus selalu diingat bahwa tujuan pemuliaan (breeding objective) pada inti akan berpengaruh keseluruh pola (scheme). Tujuan pemuliaan pada inti harus didasarkan pada apa yang diharapkan peternak. Oleh karena itu Margawati sebagai stasiun pembibitan domba tidak hanya sebagai penghasil bibit tetapi harus mampu berinteraksi dengan peternak dalam meningkatkan produktivitas ternak. Pola Pemuliaan Domba di H. Osih H. Osih merupakan penghasil bibit domba Priangan khususnya domba tangkas yang cukup terkenal di Garut, meskipun pada awalnya domba yang dipelihara dan dijual untuk bibit merupakan hasil dari perkawinan yang tidak terencana namun dalam perjalanan selanjutnya H. Osih melakukan kegiatan pemuliaan melalui perkawinan bibit-bibit unggul yang dihasilkan dari seleksi yang ketat dan terarah. Sistem perkawinan menggunakan kawin alam, seluruh responden telah mengetahui gejala-gejala berahi ternaknya dan kapan waktu yang tepat untuk dikawinkan sehingga keberhasilan perkawinan cukup tinggi. Mereka tidak mengawinkan ternak yang kekerabatannya dekat sehingga kemungkinan inbreeding kecil. Tujuan pemuliaan di kelompok ini adalah menghasilkan domba tangkas unggul melalui seleksi individu. Kriteria seleksi terutama didasarkan pada performa lomba ketangkasan, sifat-sifat yang diseleksi lebih banyak sifat kualitatif, diantaranya pola warna, bentuk tanduk, bentuk telinga, dan bentuk badan. Sifat kuantitatif yang paling diperhatikan adalah bobot lahir, bobot sapih dan bobot umur satu tahun. Silsilah juga menjadi pertimbangan seleksi, untuk jantan lebih disukai berasal dari kelahiran tunggal dan turunan ternak juara. Kelompok peternak H. Osih sangat fanatik dengan pola warna hitam dan atau belang hitam (warna baralak dan baracak), sehingga pola warna jantan dan induk yang dipilih adalah warna-warna tersebut. Bentuk tanduk diarahkan bentuk gayor dan leang, untuk bentuk tanduk tidak jadi kriteria utama, bentuk telinga harus rumpung. Bentuk badan harus nyinga (seperti singa) besar pada bagian depan (dada). Kriteria seleksi berdasarkan sifat kualitatif, urutan pertama bentuk telinga, kedua warna bulu ketiga bentuk tanduk, dan yang terakhir bentuk badan.
Seleksi domba jantan untuk bibit maupun tangkas dilakukan beberapa tahap yaitu pada umur sapih (4 bulan), umur 7 sampai 9 bulan, dan umur 1,5 tahun (gigi seri tanggal 2). Pada umur sapih kriteria seleksi terutama melihat postur tubuh secara umum, diutamakan dari kelahiran tunggal, tidak terlihat cacat tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Pada umur ini pemeliharaan masih disatukan jantan dan betina. Umur 7 sampai 9 bulan sering disebut domba galingan dilakukan seleksi khusus, mulai diperhatikan bagian kepala meliputi raut muka, sorot mata, daun telinga, dan tanduk, postur tubuh, kaki, ekor, serta warna bulu. Pada umur ini domba mulai dikandang pada kandang individu. Pada umur 1,5 tahun dilakukan seleksi terakhir terhadap sifatsifat yang diseleksi pada umur sebelumnya, pada umur ini keserasian antara bentuk tanduk, muka, postur tubuh, warna bulu, serta karakteristik lainnya sudah dapat dilihat dengan jelas. Seleksi domba betina lebih diarahkan pada pola warna bulu, tidak terlihat cacat tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Sama seperti jantan, untuk betina seleksi dimulai sejak lahir namun tidak harus dari kelahiran tunggal, bisa berasal dari kelahiran kembar dua. Sifat kuantitatif yang diperhatikan bobot lahir, pertumbuhan sampai sapih dan pertumbuhan pasca sapih, sampai menjelang dikawinkan. Domba betina dikawinkan pertama kali pada umur satu tahun, biasanya digunakan rata-rata sampai 7 kali beranak. Kegiatan seleksi seluruhnya dilakukan oleh H. Osih dan pak Ade (putra H. Osih), untuk jantan diseleksi 20% terbaik dan betina 70% terbaik. Domba terseleksi dipelihara di kelompok, yang tidak terseleksi dijual untuk domba potong atau sebagai bibit di peternak lain. Domba jantan seluruhnya dimiliki H.Osih, betina disebar ke peternak penggarap angota kelompok H. Osih. Pola pemuliaan yang dilakukan H. Osih dapat dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 3. Berdasarkan hasil pengamatan pola tersebut sesuai dengan pola ram circle. Peternak anggota hanya memelihara betina, pejantan ditentukan oleh H. Osih berdasarkan hasil seleksi di kelompok. Pejantan tersebut kemudian digilir untuk digunakan anggota kelompok. Kosgey ( 2004) mengemukakan bahwa pada pola ram circle ukuran inti dan ratio jantan betina berpengaruh terhadap kemajuan genetik ( G) dan koefisien inbreeding (F). Semakin besar ukuran inti G meningkat dan koefisien inbreeding (F) menurun.
? Peternak? Peternak Peternak???? H. Osih? Peternak??? Peternak? Peternak? Gambar 3 Pola pemuliaan di H. Osih Apabila pada kelompok ini dilengkapi dengan catatan performa (recording) dan inti mampu menseleksi jantan sebagai reference sire, pola ini akan sesuai dengan model sire reference scheme. Anang (2003) mengemukakan bahwa model sire reference scheme cocok digunakan untuk model pola pemuliaan domba priangan. Dengan adanya genetic links antar kelompok, evaluasi genetik antar kelompok dan antar tahun bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kelompok sebagai efek tetap, sehingga nilai pemuliaan dan performa ternak antar kelompok dapat diperbandingkan. Peran inti adalah mengelola dan menseleksi jantan yang akan digunakan sebagai reference sire. Parameter genetik dan fenotip dapat dihitung menggunakan restricted maximum likelihood (REML) dan nilai pemuliaan dapat diduga menggunakan best linear unbiased prediction (BLUP). Pendugaan nilai pemuliaan pada sire reference scheme menggunakan BLUP akan lebih akurat, sebagai akibat dari lebih efektifnya pemisahan pengaruh genetik dan non genetik serta informasi dari kerabat (Simm dan Wray 1991). Selanjutnya Lewis dan Simm (2002) mengemukakan bahwa kemajuan genetik akan meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas seleksi serta peningkatkan jumlah induk dalam kelompok yang dikawinkan dengan reference sire.
Pola Pemuliaan di Kelompok Jogya Grup Sekretariat Kelompok Jogya Grup berlokasi di Desa Laksana Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung. Kelompok ini merupakan kelompok peternak domba tangkas dikukuhkan pada tanggal 18 Agustus 1996, diketuai oleh Oro Suhara, sekretaris Iin Risnawati dan bendahara Erna Erfiana dengan anggota tetap pada saat ini 25 orang. Fungsi kelompok untuk membangun dan mengembangkan potensi kemampuan ekonomi anggota khususnya dan masyarakat umumnya melalui ternak domba, untuk itu kelompok berperan aktif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak domba, memperkokoh perekonomian melalui agribisnis bibit domba, penyediaan pakan, pelayananan kesehatan ternak serta mengadakan kemitraan dengan dinas peternakan, perguruan tinggi, BUMN maupun usahausaha swasta lainnya. Kegiatan utama kelompok melakukan pembinaan terhadap anggota melalui pertemuan-pertemuan rutin mingguan, tukar menukar pengalaman beternak antar sesama anggota, mengikuti kegiatan kontes dan ketangkasan domba baik tingkat regional maupun nasional. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota kelompok sering mendatangkan ahli untuk memberikan ceramah maupun pelatihan. Kegiatan perekonomian kelompok diantaranya membentuk koperasi simpan pinjam, dibidang agribisnis sebagai usaha pokok menjual bibit ternak, mengusahakan pengadaan pakan terutama konsentrat, bekerjasama dengan Perum Perhutani menanam hijauan pakan ternak dilahan kehutanan sebagai tanaman sela. Anggota kelompok adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa, mereka mempunyai wewenang penuh dalam memelihara ternaknya, namun demikian mereka berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh kelompok, mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasarkan azas kekeluargaan serta menanggung kerugian kelompok sesuai yang diatur dalam kesepakatan. Ketua kelompok lebih berperan dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok, serta memberikan arahan dalam kegiatan usaha ternak terutama dalam seleksi bibit, menentukan pejantan yang digunakan dan penjualan ternak. Populasi ternak yang dimiliki kelompok pada bulan September 2003 sebanyak 756 ekor, rata-rata pemilikan 30 ekor/anggota dengan sex ratio jantan : betina yaitu 1 : 5. Anggota kelompok peternak umumnya mempunyai peternak penggarap atau peternak lain yang menjadi mitra dalam kegiatan pemuliaan,
kelompok melakukan seleksi bibit unggul baik pejantan maupun induk, hasil seleksi tetap dipelihara oleh peternaknya. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan ketua serta anggota kelompok model pola pemuliaan di kelompok Jogya Grup termasuk Model Group Breeding Scheme. Model pola pemuliaan kelompok Jogya Grup disajikan pada Gambar 4. Anggota Anggota?? Anggota?? Anggota?? Anggota Anggota Gambar 4 Pola pemuliaan di kelompok Jogya Grup Pola ini hampir sama dengan pola yang dilakukan Chagunda dan Wollny (2005) dalam konservasi sumber genetik ternak lokal di Malawi. Adanya kerjasama dalam kelompok memungkinkan untuk mendapatkan ternak yang memiliki performa baik, dari sekian banyak ternak yang dimiliki kelompok. Kriteria seleksi ditentukan bersama oleh kelompok sesuai dengan kebutuhan. Ternak terpilih tetap dipelihara oleh pemiliknya, peternak berkontribusi dalam program dengan membolehkan ternaknya untuk digunakan dalam kelompok atau menjual ternak terseleksi kepada peternak lain sesama anggota kelompok. Keuntungan pola ini antara lain adalah: inbreeding akan rendah, meningkatkan partisipasi peternak karena peternak berperan langsung dalam program pemuliaan, peternak dapat memelihara/mengontrol ternak unggulnya, dan prasarana yang ada dapat dimanfaatkan bersama. Di New Zealand grup breeding Scheme pertama kali dikembangkan tahun 1967, selanjutnya berkembang sangat pesat (Peart 1979). Pembibit membentuk
kerjasama untuk memanfaat keunggulan ternak yang ada, pengalaman peternak serta prasarana yang dimiliki. Ternak dengan performa baik sesuai dengan yang diharapkan kelompok dipilih dan dipelihara di inti. Recording dilakukan di inti untuk sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomis selanjutnya seleksi didasarkan atas sifat-sifat tersebut, ternak pengganti untuk kelompok anggota umumnya berasal dari inti sehingga perbaikan akan cepat menyebar ke seluruh kelompok. Keberhasilan grup sangat bergantung kepada efektifitas organisasi, partisipasi peternak serta pola pemuliaan yang digunakan. Tujuan seleksi di kelompok Jogya Grup adalah menghasilkan domba tangkas unggul atau domba dengan berat badan tinggi. Kriteria seleksi meliputi : sifat sifat kualitatif diantaranya adalah bentuk badan, warna bulu, bentuk tanduk, serta bentuk telinga. Sifat Kuantitatif terutama adalah bobot lahir, bobot sapih, bobot tujuh bulan, dan bobot satu tahun. Seleksi betina pada umumnya sama dengan jantan, untuk tanduk dicari betina yang memiliki tanduk meskipun kecil (betina bertanduk). Perkawinan menggunakan kawin alam, peternak telah mengetahui gejala-gejala berahi ternaknya dan kapan waktu yang tepat untuk dikawinkan sehingga keberhasilan perkawinan cukup tinggi dan tidak mengawinkan ternak yang kekerabatannya dekat sehingga kemungkinan inbreeding kecil. Rata-rata domba jantan pertama kali dikawinkan pada umur 18 bulan dan domba betina 12 bulan. Umumnya pejantan digunakan sampai umur 7 tahun sedangkan induk digunakan rata-rata sampai 10 kali beranak. Seleksi domba jantan untuk bibit maupun tangkas dilakukan beberapa tahap yaitu pada umur 4 bulan (umur sapih), umur 7 sampai 9 bulan, dan umur 1.5 tahun (gigi seri tanggal 2). Pada umur sapih kriteria seleksi terutama melihat postur tubuh secara umum, diutamakan dari kelahiran tunggal, tidak terlihat cacat tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan kesehatan ternak. Pada umur ini pemeliharaan masih disatukan jantan dan betina. Umur 7 sampai 9 bulan sering disebut domba galingan dilakukan seleksi khusus, mulai diperhatikan bagian kepala meliputi raut muka, sorot mata, daun telinga, dan tanduk. Postur tubuh yaitu kaki, ekor, serta warna bulu. Pada umur ini domba mulai di kandang pada kandang individu. Pada umur 1.5 tahun dilakukan seleksi terakhir terhadap sifatsifat yang diseleksi pada umur sebelumnya, pada umur ini keserasian antara bentuk tanduk, muka, postur tubuh, warna bulu, serta karakteristik lainnya sudah dapat dilihat dengan jelas. Sifat kualitatif paling diperhatikan peternak dalam seleksi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Urutan empat besar sifat kualitatif yang paling diperhatikan dalam seleksi No Sifat Kualitatif Urutan 1 2 3 4 Tanduk Bentuk badan Bulu Telinga I II III IV Berdasarkan Tabel 8 semua responden menjadikan tanduk urutan pertama sebagai dasar seleksi. Pada domba tangkas tanduk merupakan komponen utama kegagahan dan sangat menentukan nilai ternak. Bentuk tanduk yang dikenal diantaranya adalah golong tambang, bendo, gayor, leang, jamplang, sogong, hamin lebe. Istilah bentuk tanduk belum ada kesepakatan yang jelas, masih banyak bentuk sama beda daerah beda istilahnya, namun Mulliadi (1996) mengidentifikasikan bentuk tanduk kedalam empat golongan yaitu (1) golong tambang, (2) Bendo, (3) Sogong, dan (4) Leang. Seleksi tanduk tidak saja bentuknya tetapi unsur keserasian, simetris, dan jenisnya. Jenis tanduk didasarkan pada kekuatan tanduk pada dasarnya ada tiga jenis yaitu (1) porslen, (2) gebog, dan (3) surat. Model bentuk tanduk disajikan pada Gambar 5. Tanduk Gayor Tanduk Japlang Tanduk Ngabendo Tanduk Golong Tambang Tanduk Leang Gambar 5 Berbagai bentuk tanduk domba priangan
Kelompok peternak Jogya grup tidak fanatik terhadap bentuk tanduk namun bentuk tanduk yang disukai dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Bentuk tanduk yang disukai No Bentuk Tanduk Persentase 1 Gayor 37.04 2. Golong tambang 18.52 3 Leang 14.81 4 Ngabendo 22.22 5 Japlang 7.41 Berdasarkan Tabel 9, bentuk tanduk yang paling disukai berturut-turut adalah bentuk gayor (37.04%), ngabendo (22.22%), golong tambang (18.52%), leang (14.81%), dan japlang (7.41%). Martojo (1990) mengemukakan bahwa sifat bertanduk atau tidak bertanduk dipengaruhi oleh satu pasang gen, sedang besar dan bentuknya ditentukan oleh beberapa pasang gen. Sifat pertandukan domba jantan dipengaruhi gabungan tiga alel p, P dan P yang mempunyai kombinasi genotipe yaitu pp, pp, pp, PP, PP dan P P, maka penampilan fenotip yang dihasilkan kemungkinan variasinya besar. Frekuensi bentuk tanduk domba tangkas hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) adalah gayor (51.65%), ngabendo (17.36%), leang (16.53%), golong tambang (9.09%), hamin lebe (3.31%), japlang (1.24%), dan sogong (0.83%). Urutan kedua yang diperhatikan peternak sebagai dasar seleksi adalah bentuk badan. Bentuk badan dikenal tiga bentuk yaitu ngabonteng (badan lurus bulat seperti mentimun), ngabuah randu (seperti buah randu, lonjong kebelakang), nyinga (seperti tubuh singa, dada besar kebelakang kecil). Seluruh responden menyukai bentuk tubuh seperti singa (nyinga). Pola warna bulu pada domba priangan sangat beragam, putih polos, coklat polos, hitam polos, dan gabungan dari warna-warna tersebut Kombinasi warna hitam-putih di peternak dikenal dengan istilah baracak, baralak, belang batu, belang sapi, riben, sambung, pelong, sotong, laken, dan tablo. Kombinasi coklatputih, dikenal kondang dan sambung sedangkan kombinasi hitam-putih-coklat dikenal istilah warna jogja: jogja gelosor dan jogja genjong. Selain istilah-istilah tersebut masih banyak lagi istilah lokal.
Tidak seperti pada kelompok peternak H. Osih yang fanatik dengan warna bulu, pola warna bulu yang disukai kelompok peternak Jogya Grup beragam. Pola warna bulu yang dijadikan dasar seleksi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pola warna yang dijadikan dasar seleksi No Pola Warna Persentase 1. Hitam polos 25.93 2. Putih polos 11.11 3. Kombinasi hitam-putih 59.25 - Baracak 21.95 - Sambung 13.16 - Riben 10.97 - Laken 8.78 - Warna lain 4.38 4. Warna lain 3.71 Pola warna paling disukai peternak berturut turut adalah kombinasi warna hitam-putih (59.25%), hitam polos (25.93%), putih polos (11.11%), dan warna lain (3.71%). Berdasarkan kombinasi warna hitam-putih, pola warna yang sering dijadikan dasar seleksi adalah baracak (21.95%), sambung (13.16%), riben (10.97%), laken (8.78%) dan warna lain (4.38%). Pola warna coklat dan kombinasinya kurang diminati, peternak yang menyukai pola warna coklat dan kombinasinya, mereka yang pernah memiliki domba juara dengan pola warna coklat. Tipe telinga domba Priangan tangkas yang paling disukai dan merupakan ciri khas domba Priangan adalah telinga rumpung. Tipe lain yang disukai adalah ngadaun hiris dan rubak. Tipe telinga rumpung dipengaruhi oleh sepasang gen dalam keadaan homozigot resesif (tt), ngadaun hiris (medium) dalam keadaan heterozigot (Tt) dan telinga panjang dalam keadaan homozigot dominan (TT) (Dwiyanto 1982). Hasil perkawinan domba jantan bertelinga rumpung dengan betina rumpung pasti akan menghasilkan anak bertelinga rumpung. Keragaan Produksi dan Reproduksi Domba Priangan Persentase tipe beranak Berdasarkan banyaknya anak yang dilahirkan seekor induk domba, dapat dikelompokkan kedalam empat tipe beranak yaitu, tunggal (single), kembar dua
(twin), kembar tiga (triple) dan kembar empat (quartet). Pada penelitian ini tidak didapat kelahiran kembar empat. Distribusi tipe kelahiran dan rataan jumlah anak sekelahiran menurut kelompok peternak disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Distribusi tipe kelahiran (%) dan rataan jumlah anak sekelahiran (ekor/kelahiran) menurut kelompok peternak Kelompok Jumlah Tipe kelahiran Jumlah Anak Peternak Kelahiran Tunggal Kembar Dua Kembar Sekelahiran Tiga Margawati 640 39.38 55.16 5.47 1.66 a ±0.62 Lesan Putra 122 40.16 50.82 9.02 1.69 a ±0.63 H. Osih 98 47.96 46.94 5.10 1.57 b ±0.59 Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05 Tabel 11 memperlihatkan bahwa distribusi tipe kelahiran bervariasi antar kelompok peternak. Proporsi kelahiran tunggal tertinggi terdapat pada kelompok peternak domba tangkas yaitu di kelompok H. Osih (47.96%) sehingga menghasilkan jumlah anak sekelahiran (1.57±0.59) lebih rendah (p<0.05) dari kelompok Lesan maupun Margawati. Tingginya persentase kelahiran tunggal pada kelompok domba tangkas disebabkan peternak domba tangkas lebih menyukai jantan maupun induk berasal dari kelahiran tunggal sebagai bibit. Sejalan dengan pendapat Bennet et al. (1991) bahwa induk yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar lebih banyak dibandingkan dengan induk yang berasal dari kelahiran tunggal, demikian juga pejantan yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar yang lebih banyak dibandingkan dengan pejantan yang berasal dari kelahiran tunggal. Jumlah anak sekelahiran domba priangan pada kelompok Margawati, Lesan Putra dan H. Osih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nafiu (2003), jumlah anak sekelahiran domba Priangan 1.91±0.02, hasil penelitian Tiesnamurti (2002) yaitu 1.98±0.94 dan hasil penelitian Inounu et al. (1998) sebesar 1.77±0.64. Bradford et al. (1991) memperlihatkan bahwa sifat beranak banyak secara genetis diatur aditif oleh gen major FecJ F. Segregasi gen FecJ F dalam suatu populasi akan mengelompokkan ternak kedalam tiga galur laju kesuburan yaitu: (1) FecJ F FecJ F induk domba mempunyai kemampuan beranak =4 ; (2) FecJ F FecJ + induk domba mampu mempunyai rataan anak =1.7 dan (3) FecJ + FecJ + induk domba mampu mempunyai rataan anak =1.7.
Bobot lahir Bobot lahir merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kelangsungan usaha peternakan domba, karena bobot lahir berkorelasi positif yang nyata dengan pertumbuhan dan perkembangan ternak setelah lahir. Hasil perhitungan dan analisis data total bobot lahir per induk dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Rataan total bobot lahir anak (kg/induk) pada kelompok peternak Kelompok Peternak Jumlah Pengamatan Bobot Lahir (kg) Standar Deviasi Koefisien Keragaman (%) Margawati 640 3.39 a 0.62 18.29 Lesan Putra 122 3.93 b 1.07 27.22 H. Osih 98 4.47 c 1.23 27.52 Keterangan : huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05 Rataan bobot lahir per induk antar kelompok peternak sangat bervariasi dengan bobot lahir tertinggi di kelompok H. Osih (4.47±1.23 kg/induk) kemudian berturut turut di kelompok Lesan Putra (3.93±1.07 kg/induk) dan kelompok Margawati (3.39±0.62 kg/induk). Kondisi pakan, jenis kelamin anak, tipe kelahiran serta kondisi induk merupakan penyebab tingginya variasi rataan bobot lahir anak. Rataan bobot lahir anak per induk pada kelompok Margawati, Lesan Putra maupun H. Osih lebih rendah dari hasil penelitian Nafiu (2003) yaitu 4.72±0.06. Rataan bobot lahir berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran disajikan pada Tabel 13. Bedasarkan Tabel 13 tampak bahwa pada semua kelompok peternak bobot lahir jantan lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir betina baik pada tipe kelahiran tunggal maupun kembar. Perbedaan pertumbuhan antara ternak betina dengan jantan diantaranya disebabkan pengaruh hormonal. Hormon androgen yang merupakan hormon kelamin yang mengatur pertumbuhan lebih tinggi pada ternak jantan menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat dari ternak betina (Gatenby 1986; Nalbandov 1990). Perbedaan bobot lahir jantan dan betina pada penelitian ini sebesar 12.45% ; 9.84%; 7.11 %; dan 12.46% pada kelompok Margawati, H. Osih, Jogya Grup dan Lesan putra lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nafiu (2003) dan Tiesnamurti (2002) masing-masing 4.7% dan 4%.
Tabel 13 Rataan bobot lahir berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran Kelompok Peternakan Jantan Betina Tunggal Kembar Triplet Tunggal Kembar Triplet Margawati 2.81 a ±0.54 1.90 a ±0.25 1.40 a ±0.15 2.49 a ±0.47 1.61 a ±0.27 1.25 a ±0.15 Lesan Putra 2.76 a ±0.43 1.95 a ±0.26 1.87 b ±0.27 2.47 b ±0.38 1.76 b ±0.26 1.55 b ±0.15 H. Osih 3.59 b ±0.57 2.98 b ±0.45 1.99 b ±0.27 3.09 b ±0.32 2.68 b ±0.35 1.88 b ±0.22 Keterangan : huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05 Tipe kelahiran berpengaruh terhadap bobot lahir baik jantan maupun betina, bobot lahir pada tipe kelahiran tunggal baik jantan maupun betina lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot lahir pada tipe kelahiran kembar. Makin banyak anak yang dilahirkan makin ringan rata-rata bobot lahir anak yang dicapai (Ramsay et al. 2000). Keadaan tersebut terjadi karena volume uterus induk terbatas, sehingga bila di dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka pertumbuhannya akan terganggu karena keterbatasan jumlah makanan dan ruang yang tersedia. Tabel 13 memperlihatkan bahwa bobot lahir domba di kelompok H. Osih lebih tinggi dibandingkan dengan dikelompok-kelompok lainnya demikian juga koevisien variasi dikelompok itu kurang dari 15%. Hal ini sesuai dengan pola pemuliaan yang dilakukan oleh ke dua kelompok peternak tersebut yaitu menghasilkan domba-domba tangkas dengan bobot badan tinggi dan seragam. Bobot sapih Bobot sapih adalah bobot pada saat anak dipisahkan pemeliharaannya dari induknya. Penyapihan pada keempat kelompok peternak yang diamati dilakukan pada umur 4 bulan. Rataan bobot sapih anak per induk di kelompok Margawati, Lesan Putra dan H. Osih masing terdapat pada Tabel 14. Tabel 14 Rataan bobot sapih anak (kg/induk) pada kelompok peternak Kelompok Peternak Jumlah Pengamatan Bobot Sapih (kg) standar Deviasi Koefisien Keragaman (%) Margawati 640 14.31 a 3.71 25.92 Lesan Putra 122 16.14 b 2.88 17.84 H. Osih 98 16.81 b 4.37 28.13 Keterangan : huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p<0.05 Tabel 14 memperlihatkan bahwa bobot sapih pada kelompok domba tangkas yaitu pada kelompok Lesan Putra dan H. Osih nyata lebih tinggi (p<0.05)
dibandingkan dengan kelompok Margawati, sedangkan pada kelompok Lesan Putra dan H. Osih tidak berbeda nyata. Bobot sapih hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Nafiu (2003) yang memperoleh bobot sapih domba priangan per ekor induk adalah 17.09 ± 0.33 kg, namun lebih tinggi dari hasil penelitian Inounu et al. (1998) bobot sapih domba Priangan peridi adalah 13.12±4.33 kg dan hasil penelitian Iniguez et al. (1991) pada domba lokal Sumatera diperoleh bobot sapih per induk 11.45 kg. Rata-rata bobot sapih berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rataan bobot sapih berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran Kelompok Jantan Betina Peternakan Tunggal Kembar Triplet Tunggal Kembar Triplet Margawati 10.81 a ±1.30 8.51 a ±1.35 6.78 a ±1.04 9.97 a ±1.25 8.00 a ±1.36 6.56 a ±0.52 Lesan Putra 11.63 b ±1.19 8.51 c ±1.35 6.78 a ±1.04 9.96 b ±1.25 8.00 b ±1.36 6.56 b ±0.52 H. Osih 12.22 b ±1.96 11.64 b ±1.68 8.75 b ±0.79 10.95 b ±0.67 10.61 b ±1.42 8.48 b ±0.63 Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P<0.05 Berdasarkan Tabel 15 tampak bahwa kelompok Margawati memiliki bobot sapih paling rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya, sementara bobot sapih kelompok H. Osih dengan Lesan Putra tidak berbeda nyata. Tinggi bobot sapih pada kelompok H. Osih dan Lesan Putra diantaranya karena induk dan jantan domba tangkas merupakan hasil seleksi dengan bobot induk rata-rata di atas 35 kg dan jantan di atas 40 kg. Tipe kelahiran berpengaruh terhadap bobot sapih, bobot sapih pada tipe kelahiran tunggal lebih tinggi dibandingkan dengan kelahiran kembar maupun kembar tiga. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Subandriyo dan Vogt (1995) pada domba Suffolk dan Dorset serta hasil penelitian Nafiu (2003) pada domba Priangan dan hasil persilangannya dengan domba St. Croix dan Moulton Charollais. Anak domba jantan memiliki bobot sapih lebih tinggi dibandingkan betina, seperti terlihat pada hasil penelitian ini rata-rata bobot sapih jantan tungal 11.53% lebih tinggi dari bobot sapih betina sedangkan bobot sapih jantan kembar dan kembar tiga masing-masing 8.57% dan 3.88% lebih tinggi dari bobot sapih betina kembar dan betina kembar tiga. Hasil penelitian Nafiu (2003) rataan bobot sapih jantan 11% lebih tinggi dari bobot sapih betina, sementara hasil penelitian Tiesnamurti (2002) diperoleh perbedaan bobot sapih jantan 24% lebih tinggi dari
bobot sapih betina. Bobot sapih domba jantan lebih tinggi dari betina karena adanya keterlibatan hormon kelamin dalam pengaturan pertumbuhan. Hormon androgen yang merupakan hormon kelamin yang mengatur pertumbuhan lebih tinggi pada ternak jantan menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat dari betina (Gatenby 1986; Nalbandov 1990). Heritabilitas Salah satu parameter penting dalam pemuliaan adalah nilai heritabilitas, karena nilai ini menunjukkan berapa besar kekuatan suatu sifat diturunkan dari tetua kepada anaknya. Nilai heritabilitas dapat digunakan untuk menduga nilai pemuliaan serta menduga respon seleksi. Nilai heritabilitas tidak tetap bergantung kepada bangsa ternak, jumlah cuplikan data, waktu dan tempat penelitian, metode analisis yang digunakan, ukuran populasi yang digunakan, jumlah pejantan yang diamati dan cara pengambilan sampel (Hardjosubroto 1994; Anang 1992). Pendugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih domba Priangan telah dilakukan beberapa peneliti terdahulu antara lain Siregar (1981) memperoleh hasil masing masing 0.43 ± 0.02 dan 0.35 ± 0.25, hasil penelitian Setiadi (1983) 0.21 ± 0.15 dan 0.71 ± 0.33 serta hasil penelitian Nafiu (2003) adalah 0.36 ± 0.08 dan 0.22 ± 0.07. Nilai heritabilitas tersebut diduga tanpa memasukkan pengaruh maternal (m 2 ) dan lingkungan bersama (c 2 ) dalam model analisisnya. Schuler et al. (2001) menyatakan bahwa dalam analisis heritabilitas perlu dipisahkan ragam yang timbul karena pengaruh maternal dan lingkungan bersama, dugaan nilai heritabilitas yang tidak memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama memiliki peluang bias yang besar mengingat keragaman pada induk banyak berpengaruh terhadap keragaman anak yang dibesarkan. Pengaruh induk terhadap keragaman genetik anak terjadi sebelum dan sesudah kelahiran. Sebelum kelahiran keragaman terjadi karena perbedaan lingkungan uterus, setelah kelahiran bisa terjadi karena perbedaan produksi susu dan tingkah laku menyusu. Nilai heritabilitas bobot lahir hasil penelitian berkisar antara 0.05 sampai 0.15 sedangkan bobot sapih berkisar antara 0.06 sampai 0.21 termasuk katagori rendah. Dengan memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama ke dalam analisis nilai dugaan heritabilitas yang diperoleh lebih kecil dibandingkan
hasil penelitian sebelumnya yang tidak memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama (Siregar 1981; Setiadi 1983; Nafiu 2003). Dugaan nilai heritabilitas yang memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama pada kelompok Margawati, H. Osih dan Lesan Putra disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Dugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih Kelompok Bobot lahir Bobot sapih Peternak h 2 ±SE m 2 ±SE c 2 ±SE h 2 ±SE m 2 ±SE c 2 ±SE Margawati 0.05±0.03 0.17±0.07 0.72±0.14 0.06±0.04 0.14±0.08 0.66±0.16 H. Osih 0.12±0.05 0.43±0.10 0.32± 0.14 0.13±0.05 0.38±0.11 0.36± 0.17 Lesan Putra 0.15±0.07 0.11±0.07 0.59± 0.18 0.21±0.09 0.08±0.07 0.50± 0.19 Nilai heritabilitas bobot lahir di kelompok Margawati 0.05 hampir sama dengan hasil penelitian Dudi (2003) dengan menggunakan metode yang sama yaitu sebesar 0.09 namun lebih rendah dari hasil penelitian Nafiu (2003) yang mendapatkan nilai heritabilitas bobot lahir domba Priangan 0.12. Hasil penelitian Nafiu mendekati nilai heritabilitas bobot lahir di kelompok H Osih dan Lesan Putra. Untuk bobot sapih nilai heritabilitas terendah di kelompok Margawati yaitu 0.06 dan heritabilitas tertinggi di kelompok Lesan Putra yaitu 0.21. Hasil penelitian Dudi (2003) diperoleh nilai heritabilitas bobot sapih domba Priangan 0.13 sedangkan Nafiu (2003) mendapatkan 0.08. Dengan memisahkan pengaruh maternal dan lingkungan bersama Broomley et al. (2001) mendapatkan heritabilitas bobot sapih domba Columbian, Polipay, Rambouillet, dan Targhee masing-masing sebesar 0.02 ; 0.10 ; 0.11 dan 0.08. Hasil penelitian Jara et al. (1998) heritabilitas bobot lahir, bobot sapih dan bobot umur 14 bulan domba corriedale masing masing adalah 0.24±0.06, 0.38±0.08 dan 0.09±0.03. Bobot lahir dan bobot sapih merupakan sifat-sifat yang dipengaruhi komponen genetik induk (maternal genetic effect). Maternal genetic effec, yaitu pengaruh gen yang mempengaruhi kondisi lingkungan pada induk yang berpengaruh terhadap performa individu (Bourdon 1997). Pendugaan parameter genetik untuk sifat tersebut perlu memisahkan pengaruh maternal (BIF 1996; Jara et al. 1998). Pengaruh maternal genetic terhadap program seleksi antara lain adalah berpengaruh terhadap respon seleksi, bila pengaruh maternal diabaikan respon seleksi dapat menurun tapi biasanya pengaruhnya tidak besar (Haley 1994 dalam Anang 1995).
Pengaruh maternal (m 2 ) hasil penelitian berkisar 0.11 sampai 0.43 untuk bobot lahir dan bobot sapih 0.08 sampai 0.38. Hasil ini lebih tinggi dari hasil Nafiu (2003), m 2 domba priangan dan persilangan berkisar 0.00 sampai 0.19 untuk berat lahir dan 0.00 sampai 0.22 untuk berat sapih. Hasil penelitian Maria et al. (1993) pada domba romanov pengaruh maternal bobot lahir 0.10 dan bobot sapih 0.00. Pengaruh maternal bobot lahir dan bobot sapih domba targhee adalah 0.20 dan 0.11 (Van Vleck et al. 2003). Pada Tabel 16 terlihat c 2 untuk bobot lahir berkisar sekitar 0.32 sampai 0.72 dan untuk bobot sapih berkisar 0.36 sampai 0.66. Nilai c 2 baik untuk bobot lahir maupun bobot sapih tertinggi terdapat di kelompok Margawati, masingmasing 0.72 dan 0.66. Nilai c 2 bobot lahir dan bobot sapih di kelompok H. Osih dan Lesan Putra sesuai dengan hasil yang diperoleh Nafiu (2003), nilai c 2 untuk bobot lahir berkisar 0.41 sampai 0.53 dan bobot sapih berkisar 0.33 sampai 0.47, namun lebih tinggi dari hasil yang dilaporkan Anang (1995) pada domba temperate, nilai c 2 bobot lahir berkisar 0.10 sampai 0.41 dan bobot sapih 0.00 sampai 0.18. Pada semua kelompok m 2 bobot sapih lebih rendah dibandingkan dengan m 2 bobot lahir, demikian juga untuk pengaruh lingkungan bersama (c 2 ). Sejalan dengan hasil penelitian Anang (1995) dan Jara et al. (1998) untuk bobot hidup pengaruh maternal dan pengaruh lingkungan bersama akan menurun sesuai dengan bertambahnya umur ternak. Nilai Pemuliaan Dugaan Pendugaan nilai pemuliaan merupakan salah satu faktor penting dalam mengevaluasi keunggulan genetik ternak, terutama untuk ternak-ternak yang akan digunakan untuk bibit. Besarnya nilai pemuliaan seekor ternak menunjukkan keunggulan potensi genetik yang dimiliki oleh ternak tersebut dari rata-rata populasinya. Johansson dan Rendell (1969) mengemukakan bahwa ternak yang mempunyai nilai pemuliaan lebih besar akan lebih baik bila dijadikan bibit atau ternak pengganti dibandingkan dengan ternak yang mempunyai nilai pemuliaan rendah. Pejantan, induk dan anak yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir di atas rata-rata pada kelompok Margawati masing-masing adalah 41.67% ; 46.99%; dan 44.39%, pada kelompok H. Osih masing-masing 42.86%; 41.18%; dan 33.09% serta pada kelompok Lesan masing-masing 61%; 50.92%; dan 39.41%.
Dugaan nilai pemuliaan pejantan di atas nilai rata-rata dan sepuluh ekor terbaik untuk induk dan anak pada masing-masing kelompok berdasarkan bobot lahir dapat dilihat pada Lampiran 2. Persentase pejantan, induk dan anak yang memiliki nilai pemuliaan untuk bobot sapih di atas rata-rata pada kelompok Margawati masing-masing 37.5%; 36.28%; dan 30.94%, kelompok H. Osih masing masing 5%; 32.56%; dan 33.33% serta pada kelompok Lesan Putra masing-masing 50% ; 48.72% ; dan 36.11%. Dugaan nilai pemuliaan jantan di atas rata-rata dan sepuluh ekor terbaik untuk induk dan anak berdasarkan bobot sapih untuk pejantan, induk, dan anak pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Lampiran 2. Dugaan Respon Seleksi Per Generasi Martojo (1990) mengemukakan bahwa rataan nilai pemuliaan ternak terseleksi di atas seluruh ternak yang tersedia untuk diseleksi tergantung pada tiga faktor yaitu keragaman genetik, intensitas seleksi dan ketepatan pendugaan nilai pemuliaan. Anang et al. (2003) mengemukakan bahwa besarnya kemajuan genetik yang diperoleh sebagai akibat adanya seleksi, dapat diduga dengan menghitung besarnya dugaan respon seleksi. Dugaan nilai respon seleksi sebanding dengan nilai heretabilitas (h 2 ), Intensitas seleksi (i) dan simpangan baku fenotip (σ p ). Respon seleksi yang optimal dapat diperoleh dengan menstimulasi besarnya nilai intensitas seleksi baik jantan maupun betina yang akan digunakan sebagai tetua pada generasi berikutnya. Umumnya di dalam suatu peternakan jumlah pejantan dan induk berbeda, sehingga intensitas seleksi jantan dan betina akan berbeda pula. Menurut Hardjosubroto (1994), besarnya intensitas rata-rata merupakan jumlah intensitas seleksi jantan dan intensitas seleksi betina dibagi dua atau (i j + i b )/2. Dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih pada berbagai intensitas seleksi di kelompok Margawati, H. Osih dan Lesan Putra dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan Lampiran 3, dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih domba di kelompok Margawati apabila dilakukan seleksi 10% jantan terbaik dengan 60% betina akan diperoleh peningkatan bobot lahir sebesar 0.04 kg per generasi dan peningkatan bobot sapih sebesar 0.18 kg per generasi. Rata-rata bobot lahir dan bobot sapih di Margawati sebesar 1.93 kg dan 8.39 kg, dengan kemajuan seleksi sebesar 0.04 kg bobot lahir dan 0.18 kg bobot sapih
sasaran Margawati untuk mendapatkan bobot lahir sebesar 2.5 kg dengan bobot sapih 11 kg akan sulit dicapai. Rendahnya respon seleksi disebabkan karena rendahnya nilai dugaan heritabilitas untuk sifat-sifat tersebut. Dugaan respon seleksi bobot lahir dan bobot sapih untuk kelompok H. Osih dan Lesan putra secara optimum yang menghasilkan kemajuan tertinggi yaitu pada penggunaan proporsi pejantan terseleksi sebesar 5 sampai 20% dan untuk betina sebesar 5 sampai 60%. Pada proporsi tersebut peningkatan bobot lahir dan bobot sapih per generasi masing-masing sebesar 0.30 kg sampai 0.60 kg dan 0.90 kg sampai 1.81 kg pada kelompok Lesan Putra serta 0.11 kg sampai 0.23 kg dan 0.30 kg sampai 0.61 kg. Harjosubroto (1994), mengemukakan semakin sedikit jumlah ternak yang digunakan pada kegiatan seleksi, kemajuan genetiknya akan semakin tinggi. Pengembangan Pola Pemuliaan Berkelanjutan Strategi pengembangan pola pemuliaan merupakan proses berlanjut dimulai dari perencanaan awal, kemudian pelaksanaan strategi diantaranya mencakup penentuan tujuan pemuliaan, kegiatan recording, pendugaan nilai pemuliaan, optimalisasi struktur pemuliaan, dan evaluasi untuk mengetahui hasil yang dicapai. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan berikutnya (Groen 2000). Keberhasilan program pemuliaan sangat ditentukan oleh kejelasan tujuan pemulian serta peran peternak yang terlibat dalam kegiatan pemuliaan (Philippson & Rage 2002; Croston & Pollot 1985; Olivier et al. 2002; Kosgey, 2004). Phillipson dan Rege (2002), mengemukakan bahwa dalam membuat program pemuliaan harus dipertimbangkan kebijakan pembangunan pertanian, sistem produksi, pasar, lingkungan, bangsa ternak, prasarana (infrastruktur) serta peran serta peternak. Selanjutnya dinyatakan dalam pengembangan program pemuliaan harus mencakup komponen: breeding strategis, recording dan data processing, metode reproduksi, analisis parameter genetik dan pendugaan nilai pemuliaan, seleksi dan perkawinan, monitoring kemajuan genetik, kebijakan pembangunan pertanian dan pasar, nilai-nilai sosial dan budaya, sistem produksi, karakteristik populasi, dan infrastruktur. Berdasarkan kerangka di atas komponen yang harus diperhatikan dalam pengembangan program pemuliaan dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal yaitu faktor-faktor yang langsung terlibat dalam pola
pemuliaan dan faktor eksternal yaitu faktor pendukung dalam pola pemuliaan. Faktor internal antara lain sumber daya manusia, sumber daya ternak, tujuan pemuliaan, parameter genetik, seleksi, dan perkawinan, sedangkan faktor eksternal antara lain adalah sarana dan prasarana (infrastruktur), kebijakan pemerintah, pasar, dan sosial budaya. Sumber daya manusia, peternak yang tergabung dalam model Margawati, H. Osih maupun Jogya Grup sebagian besar termasuk dalam usia produktif dengan pengalaman beternak lebih dari 10 tahun. Banyaknya peternak usia produktif serta berpengalaman yang aktif dalam usaha pembibitan ternak akan berpengaruh terhadap pengembangan ternak domba khususnya di kabupaten Garut. Peternak model Jogya Grup sebagian besar (52%) berpendidikan cukup yaitu SMP keatas sedangkan model Margawati dan model H. Osih masih berpendidikan rendah. Berdasarkan tingkat pendidikan model Jogya Grup dapat dipilih untuk dikembangkan, peternak pada model ini selain berpendidikan cukup juga memiliki pengetahuan, motivasi tinggi, dan partisipasi baik dalam kegiatan pemuliaan. Sumber daya ternak. Domba yang dipelihara di kelompok H. Osih, Jogya Grup dan Lesan Putra adalah domba priangan tipe tangkas. Induk dan jantan yang digunakan untuk bibit hasil seleksi cukup ketat, yaitu jantan 20% terbaik dan betina 70% terbaik. Berdasarkan hasil pendugaan nilai pemuliaan, persentase ternak yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir di atas rata-rata untuk pejantan, induk dan anak masing-masing adalah 41.67% ; 46.99%; dan 44.39%, pada kelompok Margawati, 42.86%; 41.18%; dan 33.09% kelompok H. Osih serta pada kelompok Lesan masing-masing 61%; 50.92%; dan 39.41%. Persentase ternak yang memiliki nilai pemuliaan bobot sapih diatas rata-rata untuk pejantan, induk dan anak masing-masing adalah, 37.5%; 36.28%; dan 30.94% pada kelompok Margawati, 5%; 32.56%; dan 33.33% kelompok H. Osih serta pada kelompok Lesan masing-masing 50% ; 48.72% ; dan 36.11% Tujuan pemuliaan, salah satu komponen yang sangat penting merupakan langkah awal dalam kegiatan program pemuliaan adalah menetapkan tujuan pemuliaan (breeding objective). Gibson (2005) mengemukakan bahwa tujuan pemuliaan merupakan keseluruhan sasaran dalam peningkatan mutu genetik ternak, tujuan tersebut harus dapat meningkatkan pendapatan atau meningkatkan efisiensi ekonomi atau mengurangi resiko ekonomi. Tujuan pemuliaan pada tingkat makro harus sejalan dengan kebijakan pembangunan