BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah

Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah)

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persoalan kecenderungan meningkatnya permintaan dan kurangnya penyediaan di

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah 02/04/2013 7:59

PENGARUH SOSIAL EKONOMI PENGHUNI TERHADAP PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN WONOKROMO KOTA SURABAYA. Muhammad Izzudin

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Formal Latar Belakang Material

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. Kota dengan segala macam aktivitasnya menawarkan berbagai ragam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Hadi Prasetyo, 2013

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan yang menciptakan perbedaan tingkatan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar yang sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai pendahuluan yang merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan adalah upaya memajukan, memperbaiki tatanan, meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SEGI SOSIAL DAN EKONOMI PEMUKIMAN KUMUH SEGI SOSIAL DAN EKONOMI PEMUKIMAN KUMUH

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Penelitian

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan negara Indonesia yang lebih identik dengan perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Kampung Aur, Medan. Jika

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

Evaluasi Pemukiman Dan Perumahan Kumuh Berbasis Lingkungan Di Kel. Kalibanteng Kidul Kota Semarang

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

Kata kunci : sanitasi lingkungan, pemukiman nelayan, peran serta masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan keluarga dan malahan menjadi simbol status. Pembangunan tempat tinggal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

BAB I PENDAHULUAN. negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana. diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR

Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh. Direktorat Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas Manado, 19 September 2016

BAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa faktor penyebab pertumbuhannya adalah memiliki fasilitas kota

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ARAHAN PENATAAN KAWASAN TEPIAN SUNGAI KANDILO KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASIR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

Bab ini memberikan kesimpulan dan saran sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan. BAB 2 LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Konsep pembangunan yang berkembang disekitar kita antara lain konsep

INDONESIA NEW URBAN ACTION

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km

Analisa Dampak Negatif Pencemaran Lingkungan Pemukiman Kumuh Dibantaran Sungai Deli-Medan Maimoon

BAB I PENDAHULUAN. besar, dimana kondisi pusat kota yang demikian padat menyebabkan terjadinya

BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI

Penggusuran dan Reproduksi Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tingkat Kebutuhan Hunian dan Kepadatan Penduduk Yogyakarta

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah sangat penting yang dihadapi negara-negara berkembang dewasa ini adalah pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di kota - kota besar yang pesat. Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan di 34 negara sedang berkembang baru 275 juta (atau 38%) dari 724 juta total penduduk perkotaan di seluruh dunia. Pada tahun 2001 penduduk perkotaan di seluruh dunia meningkat menjadi 3 miliar jiwa, dan di negara sedang berkembang dua pertiga diantaranya tinggal di kota-kota metropolitan. Bahkan diperkirakan jumlah penduduk perkotaan di negara-negara yang sedang berkembang akan meningkat menjadi 4,1 miliar atau 80% dari seluruh penduduk perkotaan di dunia.(world Bank, World Development Report,2000). Berbeda dengan negara yang sudah maju di mana urbanisasi terjadi sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur. Urbanisasi di negara-negara berkembang terjadi karena tekanan perubahan yang dahsyat yang terjadi di pedesaan dan mendorong pergeseran akupansi dari sektor pertanian langsung menuju kesektor jasa di daerah perkotaan tanpa melalui fase perkembangan industri manufaktur (Gilbert & Gugler, 1996:14). Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Kaum urban dari kalangan miskin, biasanya menyasar pinggiran kota yang belum memiliki fasilitas ruang kota agar lebih murah. Salah satu akibatnya adalah munculnya permukiman kelompok sosial kota terpinggirkan, yang tidak terencana, tidak memliki fasilitas infrastruktur yang semakin lama semakin berkembang secara alami 1

dan akhirnya tumbuh tidak terkendali menjadi wilayah permukiman yang serba semrawut dan kumuh (Hadi Sabari, 2007) Dampak yang terjadi selanjutnya adalah terjadinya pemadatan bangunan (densifikasi) permukiman yang berakibat menurunnya kualitas permukiman, dengan demikian di daerah perkotaan akan timbul daerah daerah permukiman yang kurang layak huni, sangat padat dan akan membawa suatu akibat pada kondisi lingkungan permukiman yang buruk atau disebut dengan daerah kumuh (slum). Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini, khususnya di kota-kota besar di antaranya wilayah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular, dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Di sisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatan maupun kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh di bawah garis kemiskinan. (Suwasti, 1974 : 123). Permukiman kumuh sebagai manifestasi dari kemiskinan fisik kota sering dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota (Singha 2001:2). Oleh karena itu, mudah dipahami jika lingkungan permukiman kumuh biasannya menjadi sasaran program penataan lingkungan permukiman kota. Di Indonesia, penataan lingkungan permukiman kumuh dilakukan melalui berbagai program perbaikan / peningkatan lingkungan, antara lain Kampung Improvement Program (KIP), KIP Komprehensif, Program Pembangunan Kota Terpadu (P2KT), dan Pembangunan Perumahan yang Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK). Upaya penataan lingkungan permukiman kumuh tampaknya makin ditingkatkan di era pasca reformasi, terutama sejak dicanangkan Gerakan Nasional Penataan Lingkungan Kumuh (GENTA KUMUH) pada tahun 2001 sebagai bentuk kepedulian Indonesia dalam mengambil aksi yang dideklarasikan Bank Dunia dan UNCHS tentang program aksi Cities Without Slums Initiative pada tahun 1999. Program aksi ini bertujuan untuk meningkatkan fasilitas dan pelayanan publik bagi 100 juta 2

penghuni permukiman kumuh hingga tahun 2020, sedangkan pemerintah Indonesia sendiri berniat menghapuskan permukiman kumuh pada tahun 2025. Permukiman kumuh terdiri dari permukiman yang berdiri / berada di atas tanah yang diperuntukkan untuk permukiman (slums) dan permukiman kumuh yang menempati lahan yang peruntukkannya bukan untuk permukiman (squatters). Terdapat banyak istilah untuk permukiman kumuh yang menempati areal public, antara lain disebut dengan permukiman illegal, liar, spontan, informal, disamping masih banyak lagi istilah yang umumnya mengacu pada bahasa local seperti favela di Brazil, ranchos di Venezuela, barong barong di Fillipina, dan kevettits di Burma (Srivinas). Ciri permukiman kumuh menurut Word Bank an UNCHS (2004:1) adalah: 1. Merupakan tempat hunian yang sangat padat 2. Memiliki kualitas lingkungan yang buruk 3. Memiliki keterbatasan terhadap pelayanan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, tempat pertemuan untuk kepentingan social kemasyarakatan 4. Memiliki keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar di lingkungan kota seperti air bersih, sanitasi, tempat pembuangan sampah, saluran drainase, lampu jalan, jalan setapak dan akses jalan apabila ada kejadian darurat. Selain empat kriteria tersebut yang merupakan ciri ciri fisik permukiman kumuh, criteria lain untuk melihat lingkungan permukiman kumuh adalah aspek legalitas (terutama untuk membedakan status permukiman) dan aspek social (kondisi sosial ekonomi penduduk dilihat dari pekerjaan dan pendapatan) (Titisari dan Kurniawan, 1999:8). Penataan lingkungan permukiman kumuh umumnya terbatas pada penataan fisik lingkungan yang mencakup perbaikan sarana prasarana dasar public dan penyediaan fasilitas dasar yang diperlukan oleh penduduk kota, sementara perbaikan tempat tinggal / hunian menjadi tanggung jawab penghuni. Pemilihan lokasi penelitian di Kota Surabaya didasarkan atas pertimbangan bahwa Kota Surabaya merupakan kota terbesar kedua di 3

Indonesia yang juga sebagai daerah tujuan urbanisasi. Meskipun kota kota menengah disekitar Surabaya juga tumbuh / berkembang cepat seperti Jember, Malang, Kediri dan Madiun tetapi tampaknya belum menjadi daya tarik yang kuat bagi orang untuk melakukan urbanisasi sebagaimana Kota Surabaya yang menyediaakan berbagai kesempatan ekonomi. Sejalan dengan adanya urbanisasi ini, Kota Surabaya juga mengalami persoalan lingkungan permukiman kumuh yang cukup serius. Data dari BSHF Word Habitat menunjukkan lingkungan permukiman kumuh di Kota Surabaya menampung 63 persen dari penduduk kota tersebut, tetapi hanya menempati wilayah seluas 7 persen dari total wilayah kota. Tingginya proporsi penduduk slums dan squatters di Surabaya ini sama kondisinya dengan keadaan di kota kota besar lain di negara negara berkembang seperti di Naerobi yang mencapai 60 persen dari total penduduk kota (UN HABITAT Feature, 2003). Pada tingkatan yang lebih makro, data juga menunjukkan bahwa pada tahun 2003, penghuni slums di sub Sahara Afrika mencapai 72 persen, sedangkan di Asia mencapai 60 persen, bahkan di negara negara berpenghasilan tinggi masih sebesar 54 persen (UN HABITAT, 2003). Walaupun tidak diketahui jumlah penghuni permukiman kumuh di Kota Surabaya, data Bappeko Surabaya menunjukkan jumlah hunian kumuh (slums) di Kota Surabaya pada tahun 2002 telah mencapai 37 lokasi, sekitar dua kali lipat dari jumlah hunian liar (squatters) yang berjumlah 18 lokasi. Diluar lokasi yang terdaftar tersebut diperkirakan masih terdapat kawasan permukiman kumuh yang hanya menempati kawasan sempit, sehingga tidak diperhitungkan sebagai satu unit permukiman / hunian (Bappeko,2010) Kecamatan Wonokromo merupakan kawasan yang mempunyai lokasi yang strategis dan penting keberadaannya terhadap kota Surabaya secara keseluruhan, hal ini karena Wonokromo berada pada posisi city gate atau gerbang kota Surabaya bagian selatan disamping keberadaan. Wonokromo 4

merupakan kawasan yang secara historis merupakan jati diri atau identitas kota Surabaya dimasa lalu sampai dengan saat ini. Namun kenyataannya saat ini dapat dilihat bahwa di Kecamatan ini masih banyak dijumpai lokasi lokasi yang kumuh, rumah semi permanen cukup banyak, dan kondisinya saling berhimpitan satu dengan lainnya sehingga sirkulasi keluar masuk udara pun tidak baik. Kondisi ini diperparah dengan perilaku penghuninya yang tidak menerapkan pola hidup yang sehat. Sampah berserakan dimana mana, saluran air tidak terjaga sehingga menimbulkan bau tidak sedap dan air sungai kotor karena dijadikan tempat pembuangan sampah. Permukiman kumuh di bantaran sungai ini bertambah dari waktu ke waktu karena warga membuat kavling kavling di bantaran sungai atau di sungainya dengan cara menimbunnya dengan sampah dan tanah. Ketika bangunan liar (squatter) dan dihuni oleh penduduk pendatang maupun penduduk sekitar maka lokasi tersebut berubah menjadi permukiman yang terlarang karena berada dekat dengan bibir sungai. Permasalahan yang dihadapi penduduk yang tinggal di daerah permukiman kumuh terutama permukiman liar (squatter) lebih kompleks. Selain kumuh, mereka juga menghadapi persoalan legalitas status hunian tempat tinggal. Penataan permukiman liar (squatter) akan berbeda dengan penataan permukiman kumuh (slum), karena tidak terbatas pada penataan fisik saja tetapi juga harus terkait dengan perencanaan tata ruang kota dan kebijakan permukiman lainnya. Penataan atau perbaikan permukiman kumuh harus tetap diupayakan tetapi harus mempertimbangkan adanya konflik dengan penghuni yang telah tinggal di daerah tersebut. Strategi pembangunan yang bersumber pada trickle down teory mengakibatkan pertumbuhan yang tidak merata. Sebagian kecil masyarakat menguasai sebagian besar sumberdaya mengakibatkan timbulnya segregasi sosial semakin tajam. Pertumbuhan tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan terciptanya kesempatan kerja dalam sektor formal menyebabkan tumbuhnya 5

sektor informal yang berkecenderungan mendekati pusat pusat kegiatan. Mekanisasi pertanian menyebabkan pengurangan kebutuhan tenaga kerja di desa dan mendorong urbanisasi semakin cepat. Walaupun kebijaksanaan pembangunan sudah bergeser ke arah usaha pemerataan. Namun kenyataan di atas masih belum sepenuhnya berubah. Keadaan di atas tercermin dalam pola tata ruang dimana wilayah wilayah startegis yang umumnya terletak di sepanjang jalan dikuasai golongan berpenghasilan tinggi, sedangkan golongan berpenghasilan rendah terdorong ke dalam kampung kampung di balik jalan atau ke pinggiran kota, bahkan ke daerah daerah yang kurang layak untuk permukiman. Urbanisasi dari masyarakat pencari kerja yang tidak diimbangi dengan lapangan kerja dalam sektor formal menyebabkan terjadinya pemadatan kampung kampung di dekat pusat kegiatan. Dari segi perencanaan dan pelayana kota, umumnya hanya daerah daerah yang dibangun oleh sektor modern terdapat pola tata ruang dengan pelayanan lengkap, selebihnya, tumbuh dengan sendirinya. Termasuk dalam kategori ini adalah permukiman kumuh yang tumbuh secara liar maupun kampung lama yang mengalami pemadatan penduduk dan penurunan kualitas. Akibat proses sosial yang terjadi, masyarakat yang terkelompok ke dalam permukiman kumuh adalah mereka yang masuk dalam strata sosial ekonomi rendah. Dalam arti tingkat penghasilan, status sosial, pendidikan dan pekerjaan, mereka termasuk dalam kelas rendah. Keadaan sosial ekonomi yang rendah dan lingkungan permukiman yang padat dengan segala macam kekurangan sarana mengakibatkan seolah olah mereka memiliki kebudayaan sendiri. Oscar Lewis (Suparlan,1984) menamakan sebagai kebudayaan kemiskinan. Sebagai usaha adaptasi terhadap keadaan yang mereka derita, mereka mengembangkan perilaku tersendiri. Namun, sekali kebudayaan kemiskinan itu menjadi penyebab kemiskinan berikutnya. Pendapat terakhir tentang masyarakat miskin ternyata berbeda dengan pendapat Lewis. Dari segi penyebabnya, Parker, Kleiner, Gans (Suparlan,1984) dan Periman (1979) sepakat bahwa sistem ekonomi lah yang menjadi 6

penyebabnya. Sistem ekonomi kapitalis yang eksploitatif mengakibatkan kaum miskin makin tereksploitir dan makin miskin. Bukan kebudayaan mereka yang menjadikan mereka miskin. Sementara itu Periman dalam penelitiannyatentang marginalitas permukiman kumuh di Rio De Janiero, Brasil terangkum peryataan benar tidaknya kebudayaan kemiskinan dalam masyarakat miskin di sana menyatakan lebih luas lagi. Penghuni permukiman kumuh bukan marginal tetapi menyatu (integrated) ke dalam masyarakat luas. Mereka terlempar ke dalam kehidupan demikian akibat sistem. Mereka menyumbang dengan kerja keras, penuh harapan dan loyalitas tetapi mereka tidak memperoleh keuntungan dari barang dan pelayanan dari sistem yang berlaku. Penghuni permukiman kumuh secara ekonomi dan politik bukan marginal, tetapi tereksploitir dan tertekan, secara sosial dan budaya bukan marginal tetapi ternoda dan terlempar dari sistem sosial yang tertutup. Bukan secara pasif menjadi marginal akibat sikap dan tingkah laku mereka sendiri, tetapi secara aktif dibuat demikian oleh sistem dan kebijaksanaan yang berlaku. Hal ini juga dikuatkan dengan penemuan Arporn Chancareon Sook (Widyapura 1979), bahwa 60 persen masyarakat penghuni permukiman kumuh di Bangkok mempunyai harapan utama agar dipecahkan masalah sosial ekonomi mereka. Sedangkan masalah fisik lingkungan merupakan prioritas kedua. Untuk masyarakat miskin permukiman kumuh di kota Indonesia di samping memiliki karakteristik seperti di atas juga memiliki unsur tradisional yang masih cukup kuat sehingga faktor kekerabatan dan gotongroyong masih cukup kuat. Hal ini dikuatkan oleh ahli antropologi kota, antara lain Eddward Bruner (Evers,1982) yang telah menganalisa pelestarian organisasi sosial di kalangan orang Batak dari Medan dan di Bandung. Bahkan Lucian Pye (Evers, 1982) berpendapat bahwa dengan bertambahnya migrasi dari desa ke kota, diperkenalkan kembali bentuk bentuk pengawasan sosial tradisional di kampung kota. Efendi (1983) dalam studinya tentang permukiman liar di Wonosito Yogyakarta antara lain menyimpulkan bahwa, dalam upaya mempertahankan 7

kelangsungan hidup, masyarakat hunian liar membentuk semacam sistem ekonomi yang akhirnya mengarah ke suatu sistem kehidupan, atas dasar saling membutuhkan dan ikatan solidaritas terbentuklah suatu masyarakat. Kualitas solidaritas keompok tercermin dari cara mereka menanggapi penggusuran dan gangguan terhadap anggota masyarakat, saling membantu demi kepentingan bersama. Disamping ciri ciri di atas juga terdapat ciri hubungan patron-clien yang sangat mencolok sehingga memperkuat ketertarikan terhadap lingkungan masyarakat itu, juga umumnya mereka yang tinggal disana adalah anggota masyarakat yang gagal dalam memenuhi tuntutan hidup di kota baik sosial maupun ekonomi. Sehingga berdiam diri di permukiman liar itu merupakan satu satunya cara yang bisa ditempuh untuk mempertahankan hidup. Sementara itu cara hidup khusus yang berhubungan dengan rumah dan lingkungan yang telah diungkapkan oleh Kuntjaranigrat (Widyapura,1979), dalam menempati kampung kampung di kota, mereka masih menghargai cara hidup bersama yang luas, selalu bekerjasama dengan tetangga tetangganya dan sebaliknya belum begitu memperhatikan kehidupan pribadi keluarga inti. Walaupun terdapat variasi mengenai luas dan lingkup kehidupan bermasyarakat, namun dapat dianggap secara umum bahwa dikebanyakan desa dan kampung kota, sebuah rumah baik kecil maupun yang besar hanyalah untuk tempat istirahat, tidur, memasak dan makan. Untuk bersantai dan bekerja dilakukan di pekarangan atau di luar rumah. Kehidupan tertutup (private) yang dianggap penting bagi budaya Barat, bagi orang orang Indonesia kurang penting, mereka lebih senang menikmati suasana bersama. Keadaan masyarakat seperti itu dengan tingkat penghasilan yang cukup heterogen meskipun dalam beda strata yang tidak jauh menimbulkan kerjasama antara yang lebih miskin dengan yang cukup berada sehingga menciptakan kesempatan kesempatan yang menguntungkan bagi kehidupan orang miskin. 8

Keadaan sosial ekonomi masyarakat seperti itu digambarkan juga oleh Taylor (Suparlan,1984) bahkan berlaku untuk kampung kota di Asia Tenggara. Fakta mengenai daerah daerah kediaman berpenghasilan rendah umumnya menunjukkan jiwa bersatu, kepercayaan pada diri sendiri dan kestabilan yang kuat. Orang orang rela bekerja sama untuk menanggulangi kesulitas bersama dan dalam banyak kasus telah mengorganisir diri untuk menyelamatkan rumah dan masyarakat mereka. Ada sikap informal dan bertetangga baik yang mendukung serta memperingan beban orang orang itu. Ciri lain adalah adanya banyak kesempatan bagi orang orang untuk mencari penghasilan tambahan dengan kerja sambilan. Dalam keadaan tersebut, bisa dimengerti bila masyarakat miskin itu bersedia tinggal di permukiman kumuh, meskipun keadaan fisik lingkungannya buruk karena dari segi ekonomi sosial, keadaan di permukiman itu membuat mereka bisa bertahan hidup. Keadaan masyarakat miskin untuk tinggal di pemukiman kumuh dengan keadaan lingkungan fisik yang buruk untuk bisa memperoleh kesempatan dalam bidang ekonomi agar bisa bertahan hidup itu bisa dijelaskan dengan teori Maslow tentang perkembangan kebutuhan berdasarkan perkembangan penghasilan. Untuk mengambarkan skala prioritas kebutuhan, Maslow (Turner,1972) menentukan tiga kebutuhan dasar manusia yaitu kesempatan (opprtunity), keamanan (security) dan identitas (identity). Selanjutnya ditentukan lima skala prioritas yaitu: mendasar, penting, layak, tidak penting dan tidak layak. Sedangkan untuk pendapatan, ditentukan lima skala yaitu sangat rendah, rendah, menengah rendah, menengah dan tinggi. Menurut Maslow akan terjadi perubahan skala prioritas kebutuhan dari yang paling mendasar sampai yang tidak layak sesuai dengan perubahan penghasilan dari yang sangat rendah sampai sangat tinggi. Bagi golongan berpenghasilan sangat rendah dan rendah, prioritas kebutuhan dasarnya adalah kesempatan memperoleh kehidupan lebih layak dan keamanan, keduanya terutama bidang ekonomi. Tetapi kesempatan itu memang langka sehingga menjadikan mereka menetap selamanya di permukiman kumuh. 9

Masyarakat berpenghasilan rendah bersedia tinggal di permukiman kumuh, meskipun keadaan lingkungan fisiknya buruk, sebab lingkungan fisik yang baik belum menjadi prioritas kebutuhan mereka atau tidak mungkin menjadi prioritas mereka, sementara dengan tinggal di permukiman kumuh mereka memperoleh kesempatan dalam bidang ekonomi yang menjadi prioritas utama kebutuhan mereka. Bahkan bila perlu mereka bersedia untuk menurunkan standar hidupnya untuk bisa bertahan. 1.2 Rumusan Masalah Salah satu masalah yang dihadapi oleh Kota Surabaya terutama di Kecamatan Wonokromo adalah masalah perkembangan permukiman kumuh yang yang secara signifikan mengalami perluasan dari tahun ke tahun. Semakin banyaknya penduduk yang datang dan tinggal di Kecamatan Wonokromo menjadikan kawasan ini menjadi kawasan bagi para pendatang yang masih tergolong dalam ekonomi rendah dan biasanya bersedia tinggal walaupun dalam kondisi lingkungan fisiknya yang buruk. Hal ini disebabkan karena lingkungan fisik yang baik belum menjadi kebutuhan prioritas mereka, yang lebih diprioritaskan adalah memperoleh kesempatan di bidang ekonomi untuk mencukupi kebutuhan mereka. Ada beberapa masalah yang saat ini masih dihadapi tentang jumlah kaum marjinal yang cukup besar dan tersebar hampir semua bagian kota terbangun, dalam jumlah kecil kecil. Hal ini menyebabkan upaya penataannya juga semakin sulit mengingat gejala ini sudah berlangsung cukup lama, akan tetapi kenyataan jumlahnya masih besar sampai kini, menunjukkan bahwa cara yang ditempuh kurang efektif. Ketidakefektifan penanganan ini tidak berdiri sendiri akan tetapi terkait denga persepsi dan konsep yang dipakai untuk melakukan tindakan pemecahannyabelum cocok untuk keadaan yang berlaku di lapangan. Ini membawa pada masalah tentang persepsi dan konsep yang perlu ada untuk penyelesaian yang hendak ditempuh. Persepsi yang berlaku masih melihat gejala ini lebih banyak sebagai gangguan dari pada konsekuensi yang 10

potensial dari kegagalan mendukung usaha mereka. Bentuk persepsi seperti ini lalu melahirkan bentuk tindakan yang akhirnya kontra produktif seperti penggusuran dan penyitaan alat dan barang milik mereka. Konsep ini lalu menimbulkan banyak kerawanan yang sebenarnya adalah akibat tindakan yang salah tersebut. Dan dalam kenyataannya, gejala permukiman marjinal ini tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik, bila tidak ada perubahan persepsi dan konsep yang lebih mendasar, yang melihat gejala ini sebagai akibat adanya ketidakseimbangan penataan dan pelayanan kota. Di samping tindakan yang bersifat represif tersebut, pemerintah kota juga telah berusaha menampung mereka, baik untuk tempat mereka berusaha sampai penyediaan rumah susun dan perbaikan rumah sewa. Pemberian latihan dan alat kerja juga sudah dilakukan, dengan hasil yang terbatas. Semua usaha ini perlu didudukkan kembali pada persepsi baru yang melihat gejala ini lebih banyak sebagai penyelesaian masalah dari pada masalah yang harus diselesaikan. Dari keterangan tersebut pertanyaan yang muncul adalah: 1. Bagaimana hubungan kondisi sosial ekonomi penghuni dengan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo? 2. Bagaimana pengaruh kondisi sosial ekonomi penghuni terhadap permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo? 3. Bagaimana persepsi penghuni terhadap perbaikan permukiman kumuh dan fasilitas di Kecamatan Wonokromo? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan fenomena permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo. Untuk memudahkan dalam operasionalisasi tujuan penelitian tersebut dapat dirumuskan: 1. Mengetahui hubungan antara kondisi sosial ekonomi penghuni dengan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo. 2. Mengetahui faktor sosial ekonomi yang paling berpengaruh terhadap permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo. 11

3. Mengetahui persepsi penghuni terhadap perbaikan permukiman kumuh dan fasilitas di Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dilakukan adalah : 1. Menerapkan ilmu pengetahuan geografi dalam menganalisa dan dan menjelaskan perkembangan permukiman kumuh beserta factor faktornya di daerah penelitian. 2. Memunculkan pemikiran pemikiran yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam penyusunan penataan lingkungan permukiman kumuh di Kota Surabaya 3. Memberikan informasi dan masukan kepada pemerintah dalam mengontrol berbagai masalah perkotaan akibat cepatnya pertumbuhan penduduk. 12