PROGRAM PENGUATAN PRAKARSA FILANTROPI Riset dan Sosialisasi Kedermawanan Sosial di Lingkungan Gereja Katolik. Laporan Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi

KELUARGA DAN PANGGILAN HIDUP BAKTI 1

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA

KELUARGA KATOLIK: SUKACITA INJIL

RELIGIUS SEBAGAI MISTIK DAN NABI DI TENGAH MASYARAKAT Rohani, Juni 2012, hal Paul Suparno, S.J.

Pendidikan Agama. Katolik IMAN DAN GLOBALISASI ( PEMBAHARUAN KONSILI VATIKAN II ) Modul ke: 12Fakultas Psikologi

dibacakan pada hari Sabtu-Minggu, 1-2 Maret 2014

TAHUN SUCI LUAR BIASA KERAHIMAN ALLAH

SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2018 KELUARGA KATOLIK YANG BERKESADARAN HUKUM DAN MORAL, MENGHARGAI SESAMA ALAM CIPTAAN

ARAH DASAR PASTORAL KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA

(Disampaikan sebagai pengganti Homili, pada Misa Sabtu/Minggu, 28/29 September 2013)

LATAR BELAKANG KEGIATAN

Editorial Merawat Iman

BAB XII MENJAGA KEUTUHAN CIPTAAN. Dosen : Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. Modul ke: Fakultas MKCU. Program Studi Psikologi.

Revitalisasi. Konferensi Umum, Oktober 2014, Canoas, Brazil Suster Mary Kristin Battles, SND

(Dibacakan sebagai pengganti homili pada Misa Minggu Biasa VIII, 1 /2 Maret 2014)

Suster-suster Notre Dame

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

PASTORAL DIALOGAL. Erik Wahju Tjahjana

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

SPIRITUALITAS MISTIK DAN KENABIAN DALAM PRAKSIS PENDIDIKAN SEKOLAH KATOLIK Pertemuan MABRI, Muntilan 22 Maret 2014 Paul Suparno, S.J.

TANTANGAN RELIGIUS DALAM MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DI ZAMAN GADGET

KISI-KISI PENULISAN SOAL. kemampuan

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

EVANGELISASI BARU. Rohani, Desember 2012, hal Paul Suparno, S.J.

MENDENGARKAN HATI NURANI

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pertemuan Pertama. Allah Yang Murah Hati

PERAYAAN HARI HIDUP BAKTI SEDUNIA Rohani, Maret 2012, hal Paul Suparno, S.J.

TATA GEREJA PEMBUKAAN

PANDUAN PENGURUS LINGKUNGAN PAROKI SANTO YUSUP - GEDANGAN STASI SANTO IGNATIUS - BANJARDAWA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

Pendidikan Agama Kristen Protestan

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bertemunya masyarakat yang beragama, yang disebut juga sebagai jemaat Allah. 1

PEMBEKALAN PENGURUS LINGKUNGAN PAROKI ST. YAKOBUS. Jakarta, Agustus-September 2010

GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Selama ini selain bulan Mei, kita mengenal bulan Oktober adalah bulan Maria yang diperingati setiap

Pada waktu itu Musa berkata kepada bangsanya tentang hal-ikhwal persembahan katanya,

BAB I PENDAHULUAN. Harapan merupakan satu syarat yang sangat penting bagi hidup manusia. Tanpa harapan,

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018

NOVENA PENTAKOSTA 2015 ROH KUDUS MEBANGKITKAN SIKAP SYUKUR DAN PEDULI

MARILAH KITA PELAJARI RENCANA KESELAMATAN MENURUT ALKITAB. Kasih Allah Untuk Orang Berdosa

UKDW BAB I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

KEPEMIMPINAN KRISTIANI SEBAGAI PELAYAN DI BIARA Rohani, Juni 2013, hal Paul Suparno, S.J.

Laporan Kongregasi. Konferensi Umum, 5 Oktober Canoas, Brazil, 2014 Suster Mary Kristin Battles, SND

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan atau laba. Untuk mencapai tujuan itu, perusahaan

Suster-suster Notre Dame

Tahun C Hari Minggu Biasa III LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Neh. 8 : 3-5a

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

BAB I MENGENAL GEREJA

Mengapa memberitakan Injil? Kis.14:15-18 Ev. Jimmy Pardede, M.A.

PANDUAN Pengurus Lingkungan Paroki Santo Yusup - Gedangan Stasi Santo Ignatius - Banjardawa Semarang

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

Peranan Perempuan Dalam Gereja. Agnes Widanti

BAB I PENDAHULUAN. memanggil mereka di dalam dan melalui Yesus Kristus. 1 Ada tiga komponen. gelap kepada terang, dari dosa kepada kebenaran.

Pendidikan Agama Kristen Protestan

UKDW. Bab I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN. A.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN 2

RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order

UJIAN SEMESTER I SEKOLAH BINA NUSANTARA Tahun Ajaran

01. Pengantar: Konteks Kemunculan

KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI PERGURUAN TINGGI UMUM

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

Memberi dengan Murah Hati. Di Jemaat Makedonia

Hari Pertama Kerajaan Kristus Bagi Gereja-Nya Bagi Dunia Kita Hari Kedua Doakan Yang Menyatukan Bagi Gereja-Nya Bagi Dunia Kita Hari Ketiga

KONGREGASI IMAM-IMAM HATI KUDUS YESUS (SCJ) KAPITEL JENDERAL XXII

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. SEKAMI adalah gerakan Internasional anak-anak yang tertua di seluruh dunia. Serikat

ARAH DASAR KEUSKUPAN SURABAYA

3. Apa arti keadilan? 4. Apa arti keadilan menurut keadaan, tuntutan dan keutamaan? 5. Apa Perbedaan keadilan komutatif, distributive dan keadilan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

KONTRAK / RENCANA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (MPK 103 / UNI

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB III HIERARKI DAN AWAM A. KOMPETENSI

Gereja di dalam Dunia Dewasa Ini

KONTRAK / RENCANA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (MPK 103 / UNI

Pembaptisan Air. Pengenalan

GEREJA INDONESIA DAN PENDIDIKAN

Kitab Perjanjian Baru tidak memberikan informasi tanggal kelahiran Yesus sehingga pemunculan tanggal 25 Desember menimbulkan berbagai kontroversi

BAB IV. Pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia

Pilihlah jawaban yang paling benar dengan memberi tanda silang (X) pada lembar jawaban yang telah tersedia!

Alkitab. Persiapan untuk Penelaahan

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

TRAINING BERTEMPAT DI GEREJA SESI 1 - Model Untuk Training Pelayanan

BAB IV HIERARKI DAN AWAM

KISI KISI PENULISAN SOAL US TAHUN PELAJARAN

PELAYANAN ANAK. PELAYANAN ANAK Sesi 1: Menjangkau Anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi

Transkripsi:

PROGRAM PENGUATAN PRAKARSA FILANTROPI Riset dan Sosialisasi Kedermawanan Sosial di Lingkungan Gereja Katolik Laporan Penelitian Pola Interaksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial Keuskupan Agung Jakarta & Keuskupan Agung Semarang 2006 Tim Peneliti Kordinator Y. Wasi Gede Puraka Peneliti Soni P. Wibisono Yoseph Hilarius Kerjasama Yayasan KEHATI dengan Institut Riset Sosial dan Ekonomi (INRISE) Jakarta

Daftar Isi Hal Bab I Pendahuluan 1 I.1 Fokus dan Metode Penelitian 3 I.1.1 Fokus Penelitian 3 I.1.2 Metode Penelitian 4 Bab II Perkembangan Aktivitas Filantropi Gereja Katolik 6 II.1 Sekilas Sejarah Filantropi di Tubuh Gereja Katolik 6 II.2 Kritik dan Pandangan Terhadap Kegiatan Filantropi Gereja Katolik tentang Keadilan dan Kasih 8 II.3 Kedermawanan Sosial Gereja Katolik di Indonesia 11 Bab III Organisasi dan Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Katolik di KAJ dan KAS 17 III.1 Jenis-jenis Organisasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik : Kelompok Parokial dan Kategorial 19 III.2 Potensi, Bentuk, dan Metode Aksi Kedermawanan Sosial 29 III.2.1 Potensi Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial 29 III.2.2 Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial 32 III.2.3 Metode Penyebarluasan informasi dan Mobilisasi Sumber Daya Aksi Kedermawanan Sosial 37 III.2.4 Proses Pemetaan Kebutuhan Pelayanan Kelompok Masyarakat 39 III.3 Kesimpulan Umum dan Diskusi 41 Bab IV Penutup dan Rekomendasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik 44 IV.1 Hasil Tinjauan Awal Aksi Kedermawanan Sosial Katolik 45 IV. 2 Refleksi Kedermawanan Sosial Katolik 49 IV.3 Rekomendasi Aksi 50 Daftar Pustaka 52

Bab I Pendahuluan Solidaritas merupakan salah satu nilai pokok yang menjadi landasan peran sosial Gereja Katolik universal. Kontras sosial-ekonomi antara golongan atas/menengah cukup tajam. Sebagian masyarakat menikmati hasil kemajuan ekonomi, sedangkan bagian yang lebih besar lagi menjadi marginal. Untuk itu nilai solidaritas diperlukan sebagai dasar bagi gerak hirarki gereja baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Nilai itu pula yang menjadi semangat kerja kelompok-kelompok umat yang tergabung dalam hubungannya dengan umat beragama lainnya. Terpanggil untuk turut mewujudkan dunia yang seadiladilnya dan diinspirasikan oleh teladan hidup Yesus, maka melalui para Paus, Gereja Katolik universal merumuskan orientasi sosialnya yang dituangkan dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). ASG semula pernah tidak begitu menjadi bahan istimewa dalam refleksi iman Gereja dan seringkali menimbulkan ketegangan serta perbedaan faham dalam Gereja namun akhirakhir ini hampir tidak ada lagi Ajaran Gereja yang tidak berkaitan dengan masalah sosial. Oleh sebab itu ASG menjadi salah satu bidang Ajaran Gereja yang sangat penting. Ajaran itu juga menjadi tantangan Gereja untuk memenuhi panggilan Yesus Kristus: "Untuk menjadi saksinya" (Matius 25) Untuk memenuhi panggilan itu maka gembala (imam) berserta umat Katolik diajak untuk aktif dalam mengembangkan berbagai macam aktivitas sosial di masyarakat. Salah satunya wujud aktivitas iman di masyarakat yaitu aksi kedermawanan sosial. Misalnya saja pada Masa Puasa, umat melakukan pengumpulan dana dan mengadakan berbagai kegiatan yang diperuntukkan bagi sesamanya yang miskin dan tersingkir. Kegiatan itu dikenal dengan Aksi Puasa Pembangunan. Sebagai sebuah program pertobatan nasional maka kegiatan itu ditangani oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi / Aksi Puasa Pembangunan KWI sebagai kordinator pengelola dana APP. Selain melalui struktur dan program dalam hirarki vertikal, Gereja Katolik juga mendorong aksi kedermawanan sosial yang dilakukan oleh umat secara horisontal, atau yang disebut dengan kelompok kategorial. Penyadaran tentang peran penting kedermawanan umat meneruskan upaya penyempurnaan aksi sosial Katolik yang sejak Sinode KWI tahun 1991 berusaha dicari kontekstualisasinya. Dasar-dasar keprihatinan yang telah dibangun kembali dikerucutkan pada tahun 2000 dengan menekankan pembangunan kelompok basis sebagai kendaraan untuk menarik relevansi kehidupan komunitas Gereja Perdana. Salah satu rumusan penting aksi sosial Katolik adalah Nota Pastoral KWI 2004 dengan tema Keadaban Publik : Menuju 1

Habitus Baru Bangsa Keadilan Sosial bagi Semua Pendekatan Sosio-Budaya. Melalui Nota Pastoral ini, Gereja Katolik Indonesia meminta dan mendorong umatnya untuk mewujudkan habitus baru dan membuang habitus lama dalam kaitannya dengan tantangan baru peralihan milenium di Indonesia. Yang dimaksud dengan habitus adalah gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok. Kadang-kadang kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi watak. Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 di Wisma Kinasih, Caringin-Bogor tanggal 16-20 November 2005 menyebutkan bahwa habitus lama tersebut misalnya tidak terbiasa dan tidak membiasakan diri untuk membaca realitas sosial secara kritis dan memecahkan persoalan karena cari aman, mental instan, cari enak dan selamat; merasa tidak berdaya karena merasa minoritas; pemisahan antara sakral-profan, sekulerrohani; lebih banyak mengkritik daripada berbuat; sombong; lebih banyak memperjuangkan agama dan lebih banyak omong daripada hidup beriman. Oleh karena itu habitus lama tersebut harus ditinggalkan. Gereja perlu mencari dan mengembangkan habitus baru. Habitus baru misalnya: melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan positif masyarakat (organisasi dll); perubahan pola pikir (dikotomis, dll); setia pada proses, tekun, militan, selalu membuka diri terhadap semua kelompok; memberi keteladanan, pewartaan nilai, roh memperjuangkan kesalehan sosial. Oleh karena itu dalam mengembangkan partisipasi hidup rohani dalam kehidupan sosial maka berbagai kelompok umat Katolik diminta aktif dalam mengembangkan interaksi dengan umat beragama lainnya dalam berbagai bentuk kegiatan, termasuk kegiatan berderma. Pengembangan interaksi dan dialog antar umat bergama dapat melalui sarana organisasi kategorial yang meliputi berbagai profesi pekerjaan hingga hobi, maupun parokial yang berada di bawah payung gereja setempat. Aktivitas kelompok-kelompok basis dalam kaitannya dengan aksi kedermawanan sosial tidak terpaku hanya pada batasan kategorial maupun teritorial saja namun keduanya bisa saling tumpang tindih. Artinya, inisiatif para pelakunya merupakan faktor penting yang mendukung keberhasilan/ketidakberhasilan aksi kedermawanan sosial. Proses interaksi dinamis aktivitas kedermawanan sosial antara kelompok kategorial dengan parokial serta kelompok masyarakat lainnya itulah yang menjadi tema dasar penelitian. Dengan melihat pada proses interaksi antara dua jenis kategori kelompok basis tersebut maka dapat diperoleh gambaran tentang pola kerja dan potensi apa yang terkandung serta nilai-nilai kedermawanan sosial apa saja yang dapat dikembangkan. Dengan demikian 2

tujuan dari penelitian tentang pola interaksi dan jenis aksi kedermawanan sosial ini yaitu hendak mendeskripsikan hasil (a) identifikasi pola kerja kelompok kedermawanan sosial Gereja Katolik dalam memperluas diri ketika melakukan aksi filantropinya, dan (b) identifikasi bentuk-bentuk interaksi antara pelaku kedermawanan sosial dengan penerima aksi untuk menjejaki keberlanjutan kerja antar keduanya. Pentingnya pencapaian tujuan penelitian ini terletak pada signifikansinya dalam mendorong promosi dan pembelajaran kritis kegiatan kedermawanan sosial di tubuh Gereja Katolik Indonesia maupun masyarakat umum. I.1 Fokus dan Metode Penelitian I.1.1 Fokus Penelitian Tema penelitian di atas diturunkan menjadi beberapa dimensi konsentrasi penelitian kedermawanan sosial Katolik yaitu (a) perkembangan aktivitas kedermawanan sosial Gereja Katolik, (b) organisasi aksi, metode, dan bentuk kedermawanan sosial, (c) pola hubungan antara kelompok kedermawanan kategorial dan teritorial dengan hirarki, dan (d) pandangan para pelaku (individual maupun kelompok) kedermawanan sosial terhadap isu-isu yang menjadi wilayah perhatian kerja mereka. Melalui kilasan perkembangan historis aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik, para pelaku dapat diperoleh gambaran bahwa aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik tidak terlepas dari dan merupakan bentuk tanggapan atas situasi jaman tertentu. Sementara dari uraian tentang organisasi, metode, dan bentuk-bentuk diharapkan dapat menunjukkan letak titik singgung dan titik pisah antara aksi kedermawanan sosial kelompok parokial dan kategorial. Dimensi ketiga disajikan untuk mendapatkan gambaran tentang peran hirarki dalam menjembatani aktivitas kedermawanan sosial paroki dan kategorial. Peran yang dimaksud bukan hanya menyangkut hal-hal yang sifatnya organisasional dan terkait dengan hirarki Gereja Katolik setempat melainkan didalamnya juga terkandung teologi, prinsipprinsip, dan nilai-nilai yang menjadi dasar aktivitas. Dan, dimensi keempat menyoroti bagaimana potensi dan interaksi disemangati oleh nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Gereja Katolik dalam situasi kekinian, terutama yang berkaitan dengan wilayah perhatian kerja dari masing-masing pelaku. Peran pelaku individual juga tidak bisa dikatakan kecil dalam aktivitas kedermawanan sosial karena celah-celah yang tidak tercakup oleh pelayanan lembaga parokial maupun kategorial kemudian diisi oleh para pelaku ini. 3

Melalui dimensi-dimensi di atas maka penelitian ini pada saat yang sama juga menyiratkan kandungan praktisnya, yaitu penyediaan informasi dan analisis yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi para pelaku kegiatan kedermawanan sosial baik pelaku dalam maupun di luar institusi Gereja Katolik. I.1.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua daerah keuskupan yaitu Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dan Keuskupan Agung Semarang (KAS). Kedua wilayah ini dipilih dengan pertimbangan bahwa ciri sosiologis umat Katolik pada dua wilayah ini dinilai dapat memberikan gambaran perbedaan, disamping kesamaan, karakteristik aksi kedermawanan sosial yang akan diteliti. Dari KAJ dipilih 4 paroki yang dapat dianggap mewakili beberapa wilayah di Jakarta yaitu paroki Trinitas Cengkareng, paroki Philipus Rasul Teluk Gong, paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran, dan paroki St Anna Duren Sawit. Paroki dipilih karena umumnya aktivitas kedermawanan sosial Katolik antara kelompok parokial dan kategorial akan bersinggungan atau bertemu di unit gereja terkecil. Dari situ diharapkan informasi tentang pola hubungan antara kelompok parokial dan kategorial dapat dicari. Untuk wilayah KAS, paroki Maria Assumpta dan paroki Wedi di Kabupaten Klaten merupakan unit gereja terkecil yang dipilih atas dasar di dua paroki inilah konsentrasi aksi kedermawanan sosial Katolik khususnya pasca gempa Mei 2006 dilakukan. Studi ini bersifat etnografis dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui indepth interview dan focus group discussion (FGD). Berasal dari antropologi, etnografi adalah metode riset yang menggunakan observasi langsung terhadap kegiatan manusia dalam konteks sosial dan budaya sehari-hari. Etnografi berusaha mengetahui kekuatan-kekuatan apa saja yang membuat manusia melakukan sesuatu. Informasi utama digali dengan teknik indepth interview dan untuk melengkapi informasi yang terkumpul maka dilakukan focus group discussion. Informan yang akan dijaring melalui indepth interview terdiri dari : 1. Ketua-ketua Komisi KWI / Keuskupan yang berwenang membawahi bidang-bidang kerja yang terkait dengan aksi-aksi filantropi. 2. Ketua lembaga kedermawanan sosial katolik kategorial dan teritorial. 3. Pelaku-pelaku aksi kedermawanan sosial katolik. 4. Pemimpin kelompok-kelompok masyarakat (Katolik dan Non-katolik) yang dibantu aksi kedermawanan sosial katolik. 4

Metode penjaringan informan dilakukan melalui snow ball sampling. Pemilihan metode ini dilakukan karena tidak semua lembaga kedermawanan sosial Katolik yang telah diidentifikasi dapat dijajaki geliat aktivitasnya. Ada lembaga, khususnya kategorial, yang telah berpindah sekretariat, ada yang para pengurusnya sudah lama tidak hadir di sekretariat sehingga hanya bisa menemui penjaga sekretariat yang tidak menguasai informasi yang diperlukan, dan ada pula lembaga yang sudah tidak dapat dilacak keberadaannya. Pertimbangan-pertimbangan itu yang turut mempengaruhi keputusan penggunaan snow ball sampling. Melalui teknik snow ball jaringan informasi yang membentuk keseluruhan kerangka gejala dapat diketahui. Selain itu, informasi yang menyangkut persepsi subyektif pelaku juga dapat diperoleh karena seorang informan besar kemungkinan dapat menaruh kepercayaan besar terhadap peneliti berdasarkan referensi informan sebelumnya. Diakui bahwa penelitian ini baru menyentuh tataran permukaan (tap the surface). Keterbatasan itu muncul dari situasi penelitian dimana bahan-bahan tentang aktivitas kedermawanan sosial Katolik belum banyak terdokumentasi dengan sistematis sehingga menyulitkan dalam menentukan lembaga dan jenis aktivitas seperti apa yang mau dituju. Implikasinya yaitu penelitian ini belum dapat dikatakan komprehensif karena, misalnya, halhal seperti kekuatan potensi jaringan finansial aksi kedermawanan Katolik belum dapat dicakup. Meski terbatas, penelitian ini sekurang-kurangnya mencoba mencapai apa yang mau dibidik dalam tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi pola kerja dan bentuk interaksi kedermawanan sosial Katolik. Jadi, fakta bahwa penelitian ini belum komprehensif tidak serta merta mengabaikan kontribusi perannya dalam mengisi khazanah pengetahuan tentang filantropi Gereja Katolik di Indonesia yang masih terserak. Keterbatasan lainnya terkait dengan posisi peneliti dalam rangkaian proses penelitian yang dilakukan. Sebagai peneliti total maka ada jarak antara pelaku penelitian dengan gejala yang diteliti. Kesenjangan ini pada gilirannya akan berpengaruh pada validitas data yang diperoleh. Untuk dapat memperkecil kesenjangan informasi maka instrumen focus group discussion adalah sarana yang digunakan untuk memeriksa ecological validity dan member validation. 1 Ecological validity adalah tingkat kesesuaian antara penggambaran dunia sosial oleh peneliti dengan masyarakat yang ditelitinya; penelitian valid jika suatu fenomena muncul tanpa kehadiran peneliti. Sementara member validation dipahami sebagai proses validasi penelitian oleh masyarakat yang diteliti dan mengerti isi deskripsi penelitian serta mengenalinya sebagai gambaran dunia sosial mereka. 1 Indriati Yulistiani, Ragam Penelitian Kualitatif : Penelitian Lapangan, dalam Modul Metode Penelitian Sosial FISIP UI, 2001, hal. 139 5

Bab II Perkembangan Aktivitas Filantropi Gereja Katolik II.1 Sekilas Sejarah Filantropi di Tubuh Gereja Katolik Kegiatan filantropis bukanlah merupakan hal yang baru dalam tubuh gereja Katolik. Meski secara teoritis, konsep tersebut kembali memperoleh tempatnya di dalam berbagai kegiatan pemberian bantuan belakangan ini namun secara praktis kegiatan filantropi telah dimulai sejak abad-abad awal berdirinya gereja Katolik. Konsepsi filantropis Gereja Katolik merupakan proyeksi vertikalitas iman kepada dimensi horisontal hubungan antar manusia yang terkait dengan kondisi nyatanya di dunia seperti kesejahteraan dan keadilan. Gereja Katolik memandang bahwa filantropi bukan hanya terkait dengan dimensi horisontal hubungan antar manusia melainkan juga hubungan yang dilandasi oleh iman hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Bagian ini akan melihat kembali wujud dari kegiatan filantropis Katolik di abad-abad awal pembentukannya. Kegiatan yang secara historis dibangun dan melekat erat dengan ajaran-ajaran iman Katolik tidak hanya telah meletakkan nilai-nilai dasar, bentuk-bentuk organisasi, metode-metode, dan tujuan yang mau dicapai, melainkan juga aspek kritis kegiatan itu sendiri. Untuk itu bagian ini akan memuat sebagian besar isi kandungan ensiklik 2 yang pertama dari Paus Benediktus XVI tentang Deus Caritas Est, khususnya Bagian Ke-2. Bagian ini bisa dikatakan memberikan orientasi dasar bagi pemahaman dan etos aktivitas pelayanan karitatif gereja Katolik universal. 3 Melalui dokumen ini karya karitatif Gereja Katolik yang telah dilakukan berabad-abad memperoleh pendasaran teoritisnya. Kiranya akan sangat membantu untuk mencermati sekilas lintasan historis pelayanan kasih di dalam tubuh Gereja Katolik. Sampai pada pertengahan abad ke-4 terlihat perkembangan bibit-bibit kegiatan karitatif di Mesir yang diwakili konsepsi tentang "diaconia" yaitu institusi dalam setiap biara yang bertanggungjawab akan karya-karya bantuan bagi pelayanan kasih. Sampai pada abad ke-6 institusi ini berkembang dalam suatu 2 Ensiklik (dari bahasa Yunani: egkuklios, lingkaran ) artinya sebenarnya ialah sebuah surat edaran Uskup. Tetapi dewasa ini ensiklik artinya adalah surat Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katholik dunia. Ensiklik berisi ajaran Sri Paus mengenai iman dan kesusilaan. Biasanya ensiklik ditulis dalam Bahasa Latin, bahasa resmi Vatikan namun sekarang banyak pula keluar terjemahan dalam lain-lain bahasa. Surat edaran ini dikirim oleh Paus kepada para Uskup. Oleh para Uskup dikirim kepada bawahannya. Ensiklik bukanlah dokumen tertinggi dalam Gereja Katolik. Dokumen yang tertinggi dan mengandung ajaran iman terdapat dalam Konstitusi Dogmatis. Rumusan Konstitusi Dogmatis ditaati oleh umat beriman, sedangkan rumusan ensiklik dihormati. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/ensiklik. Diakses tgl 13 September 2006. 12.44 bbwi 3 Ensiklik Paus Benediktus XVI 25 Desember 2005, Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, April 2006, hal.25-28, 30 6

badan, yang secara yuridis berdiri sendiri, di mana otoritas sipil kemudian yang dipercaya untuk menjalankan pembagiannya untuk umum. Di Mesir tidak hanya tiap biara, akan tetapi setiap keuskupan pada kenyataannya memiliki diaconia-nya masing-masing. Institusi ini kemudian berkembang baik di gereja Timur maupun di Barat. Paus Gregoris Agung (604 M) memberitakan tentang adanya diaconia di Napoli, sementara di Roma diaconiae dicatat tumbuh pula di abad-7 dan 8. Akan tetapi pelayanan karitatif pada mereka yang miskin dan menderita pada dasarnya telah menjadi bagian utama Gereja Roma sejak awal mulanya, berdasar pada prinsip hidup Kristiani yang dicontohkan oleh murid-murid Yesus Kristus dalam injil Kisah Para Rasul. Dapat ditemukan ungkapan yang jelas akan hal ini dalam kasus Laurensius (258 M). Penuturan dramatis akan kemartiran Laurensius telah dikenal lewat Santo Ambrosius (397 M) yang memberikan gambaran otentik tentang Laurensius. Sebagai orang yang bertanggungjawab untuk memperhatikan orang-orang miskin di Roma, Laurensius, setelah Paus dan diakon lainnya ditahan, disuruh untuk dalam waktu tertentu mengumpulkan seluruh harta milik gereja dan menyerahkannya pada otoritas pemerintahan sipil kekaisaran. Akan tetapi dia membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin apapun yang ada dan membawa orang-orang miskin itu kepada penguasa sebagai kekayaan Gereja. Meskipun data historis semacam itu masih membuka ruang debat yang luas namun simbolisme terhadap Laurensius telah menjadi bagian dari jejak historis gereja Katolik sebagai salah satu tokoh pelayanan kasih Gereja. Catatan kaisar Yulianus Apostatus (363 M) juga dapat pula dipakai untuk menunjukkan bagaimana secara mendasar gereja-awal telah membangun fondasi-fondasi penataan praktek karitatif. Meski demikian upaya membangun karya karitatif itu lebih berdasar pada motivasi politis Yulianus sebagai kaisar. Sebagai seorang anak berusia 6 tahun, dia telah menyaksikan pembunuhan ayah, saudara dan anggota keluarga lainnya oleh penjaga istana; entah benar atau tidak, dia melemparkan tuduhan akan tindakan brutal ini pada Raja Konstantinus, orang besar yang telah menjadi Kristen. Iman Kristiani dianggap oleh Yulianus Apostatus sebagai terkutuk. Ketika menjadi kaisar, Yulianus memutuskan untuk memulihkan paganisme, agama Romawi kuno. Memperbaharuinya dengan harapan menjadi sumber kekuatan penyokong pemerintahannya. Dalam maksud ini dia sepenuhnya terinspirasikan oleh Kristianisme. Dia membentuk hirarki metropolitan dari imam-imam yang didorong untuk menumbuhkan kasih akan Allah dan sesama. Dalam salah satu suratnya, dia menuliskan bahwa satu-satunya unsur dari agama Kristiani yang mengesan baginya adalah karya karitatif gereja. Maka dia kemudian memikirkan bahwa hal itu adalah penting pula bagi 7

agama baru yang dibangunnya kembali, sehingga di samping sistem karitatif gerejani, karya yang serupa olehnya dibentuk pula. Dalam pandangannya, usaha-usaha semacam inilah yang menjadikan alasan mengapa agama Kristen menjadi dikenal luas. Mereka perlu ditiru untuk dikalahkan. Dengan demikian, jelas kaisar mengakui bahwa karitas atau pelayanan kasih adalah ciri yang sangat menentukan dalam kehidupan komunitas Kristiani. Sejauh ini bisa ditarik adanya dua fakta penting muncul dari refleksi historis pandangan gereja Katolik atas, yaitu : a) Hakekat terdalam gereja Katolik terwujud alam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan pewujudan pelayanan kasih (diakonia). Masing-masing tugas ini mengandaikan satu sama lain dan tidak saling terpisahkan. Maka bagi gereja Katolik, aktivitas filantropis atau karitas sebagai bagian dari tugas diakonia bukanlah bentuk pelayanan sosial yang dapat dengan begitu saja dilalaikan demi yang lain, namun merupakan bagian dari hakekat dirinya. b) Gereja adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun dapat dibiarkan tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini pada saat yang sama caritasagape berkembang melampaui batas gereja. Perumpamaan mengenai orang Samaria yang murah hati tetap merupakan patokan yang mendorong diwujudkannya kasih universal pada mereka yang membutuhkan, mereka yang ditemukan secara kebetulan 4, siapapun dia. Namun tanpa bermaksud mengabaikan perintah cinta universal ini, gereja Katolik juga mengingatkan tugasnya secara khusus: jangan sampai di dalam keluarga Gereja ada orang yang mengalami penderitaan apapun juga. Ajaran dari surat Galatia secara jelas menegaskannya, "Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman" 5 II.2 Kritik dan Pandangan Terhadap Kegiatan Filantropi Gereja Katolik tentang Keadilan dan Kasih Sejak abad 19, gugatan ditujukan pada kegiatan karitatif gereja Katolik, sebagai konsekuensi dari berkembangnya klaim khas dari Marxisme: orang miskin tidak membutuhkan kasih, melainkan keadilan. Karya karitatif - derma - tampak menjadi cara bagi orang-orang kaya untuk pada menghindar dari kewajiban mereka untuk berkarya bagi keadilan, dan menjadi sarana untuk menenangkan suara hati orang miskin, sambil tetap 4 Bdk Lukas 10:31 5 Bdk Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia 6:10 8

mempertahankan status mereka dan mengambil hak-hak orang-orang miskin. Lebih daripada terlibat melalui karya-karya kasih individual yang mempertahankan status quo manusia perlu lebih membangun tata sosial yang adil, di mana semua menerima bagian dari harta dunia dan tidak lagi bergantung pada belas kasih. Memang dapat ditemukan beberapa hal yang benar dari argumen ini, akan tetapi juga tidak luput dari kekeliruan. Benar bahwa upaya untuk menegakkan keadilan harus menjadi norma dasar negara dan bahwa tujuan dari tata sosial yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi, sesuai prinsip subsidiaritas, agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. Hal ini senantiasa ditekankan oleh ajaran gereja mengenai pemerintahan dan Ajaran Sosial Gereja (ASG). Secara historis, persoalan tata keadilan masyarakat mendapatkan dimensi baru di tengah industrialisasi masyarakat di abad 19. Tumbuhnya industri modern menyebabkan struktur sosial lama runtuh, sementara tumbuhnya kelas pekerja yang bergaji mendorong suatu perubahan radikal dalam struktur masyarakat. Kaitan antara kapital dan pekerja kini menjadi issu penting - persoalan yang semula tidak dikenal. Kapital dan sarana-sarana produksi kini menjadi sumber baru kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang hingga akhirnya mengarah pada penindasan hak kelas pekerja. Inilah sesuatu yang hendak dilawan oleh para aktivis Marxist. Harus diakui bahwa pimpinan Gereja Katolik universal lambat menyadari bahwa persoalan keadilan dinilai membutuhkan suatu pendekatan baru. Akan tetapi ada beberapa pionir yang muncul, seperti misal Uskup Ketteler dari Mainz, Jerman (1877 M), yang turut mendorong muncul dan tumbuhnya berbagai kelompok, asosiasi, liga, dan federasi umat Katolik. Secara khusus, juga bermunculan tarekat-tarekat religius baru yang didirikan di abad 19 untuk melawan kemiskinan, penyakit dan kebutuhan akan pendidikan yang lebih baik. Hirarki Gereja Katolik Universal sendiri baru pada tahun 1891 menjawab situasi dan kondisi jaman antara lain melalui dokumen-dokumen Kepausan. Melalui magisterium kepausan ensiklik Rerum Novarum (Hal-hal Baru) disebarluaskan oleh Paus Leo XIII yang garis besar isinya memuat tentang keadaan kaum buruh. 6 Pada tahun 1931 keprihatinan itu diteruskan dengan ensiklik Pius XI, Quadragesimo Anno (Ulang Tahun Ke-40 Rerum Novarum). Di tahun 1961, Beato Yohanes XXIII mengeluarkan ensiklik Mater et Magistra (Ibu dan Guru), sementara Paulus VI pada tahun 1967 mengeluarkan ensiklik Populorum Progressio(Perkembangan Bangsa-bangsa) dan dalam surat apostolis Octogesima Adveniens (Ulang Tahun Ke-80 Rerum Novarum tahun 1971) menanggapi problem sosial yang pada saat 6 F.X Yono Hascaryo Putro. Silih Pantang dan Puasa : Salah satu bentuk religious giving dalam Gereja Katolik, dalam Galang : Jurnal Filantropi dan masyarakat Madani, Vol.1, No.3, PIRAC, Depok, April 2006, hal. 51 9

itu telah menjadi persoalan akut di Dunia Ketiga, terutama di Amerika Latin. 7 Paus Yohanes Paulus II juga meninggalkan trilogi ensiklik yang menekankan nuansa sosialitas Katolik lewat Laborem Exercens (Dengan Bekerja) tahun 1981. Dokumen tentang kerja manusia ini melihat keadaan jaman, diantaranya kecederungan manusia sebagai alat produksi dan ancaman perang nuklir. Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial) tahun 1987 tentang meningkatnya jumlah penderita kemiskinan dan akhirnya Centesimus Annus (Ulang tahun Ke-100 Rerum Novarum) tahun 1991. Dokumen yang lahir pada ulang tahun ke-100 Rerum Novarum ini menanggapi keruntuhan komunis internasional dan masyarakat barat yang konsumtif. Menghadapi situasi dan persoalan-persoalan baru, Ajaran Sosial Gereja secara terusmenerus berkembang, dan kini menemukan suatu sajian komprehensifnya dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja yang diterbitkan di tahun 2004 oleh Dewan Kepausan Iustitia et Pax. Dalam situasi kompleks dewasa ini, paling tidak karena berkembangnya globalisasi ekonomi, Ajaran Sosial Gereja menjadi suatu kumpulan penuntun langkah yang secara mendasar memberikan pendekatan yang valid yang melampaui batas Gereja: dalam menghadapi perkembangan yang terus berjalan maka orientasi yang disajikannya perlu digumuli dalam konteks dialog dengan semua orang yang sungguh peduli akan umat manusia dan dunia tempat manusia hidup. 8 Untuk dapat merumuskan secara lebih tepat kaitan antara kebutuhan komitmen akan keadilan dan pelayanan kasih, dua situasi mendasar yang dijadikan pertimbangan Gereja Katolik dalam mewujudkan karya karitatif 9 : a) Tata keadilan dalam masyarakat dan negara merupakan tugas tanggungjawab utama politik. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Augustinus, sebuah negara yang tidak dipimpin sesuai dengan keadilan hanya akan menjadi kumpulan para pencuri, "Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia?". Yang menjadi sesuatu yang fundamental bagi umat Kristiani adalah pembedaan antara apa yang milik kaisar dan 7 Ada banyak dokumen Kepausan yang memberikan perhatian pada dimensi sosialitas kehidupan iman katolik. Namun hanya ada beberapa yang secara tegas menyebutkan tentang peran iman Katolik terhadap dimensi sosioekonomi kehidupan manusia. KAJ sekurang-kurangnya menyebut Gaudium Et Spes (1965) tentang gereja di dunia modern ini. Dokumen ini lahir karena keadaan jaman yang ditandai dengan adanya kelaparan, kemiskinan, dan buta huruf yang masih banyak dialami sebagian besar warga dunia, tentang perang nuklir, ketidakadilan ekonomi, ketergantungan antar-warga dunia, dan tumbuhnya ateisme. Lalu Populorum Progressio (1967), Sollicitudo Rei Socialis, dan Centesimus Annus sebagai dokumen-dokumen dasar keterlibatan umat dalam kehidupan sosio-ekonomi Gereja di masyarakat. Untuk dokumen-dokumen lain dapat dilihat pada : http://www.papalencyclicals.net/. Tony D. Widiastono (ed), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman : Refleksi Keuskupan Agung Jakarta, Tim Penyusun Buku Yubileum Mgr. Leo Soekoto S.J, KAJ, 1995, hal.251 8 Tekanan dari penulis 9 Deus Caritas Est, hal. 28-31 10

apa yang milik Tuhan. 10 Dengan kata lain, ada pembedaan antara Gereja dan negara atau sebagaimana dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, adanya otonomi ruang dunia. Negara tidak dapat mengatur agama, namun harus menjamin adanya kebebasan beragama dan harmoni antar para pemeluk agama-agama yang berbeda. Dari sisinya, Gereja Katolik, sebagai wujud sosial iman Kristiani, memiliki indepedensi sepenuhnya dan hal itu distrukturkan berdasarkan dasar imannya sebagai komunitas yang harus diakui oleh negara. Keduanya berada dalam dua wilayah yang berbeda, namun tetap saling berkaitan satu sama lain. b) Kasih Caritas selalu perlu, bahkan dalam masyarakat yang paling adil. Tidak ada tatanan negara yang adil, yang dapat membuat pelayanan kasih berlebihan. Barangsiapa mau menghapus kasih mulai menghapus manusia sebagai manusia. Selalu akan ada penderitaan yang membutuhkan penghiburan dan bantuan. Selalu juga akan ada keadaan kekurangan jasmaniah yang membutuhkan bantuan dalam arti kasih akan sesama yang dihayati. Negara pengurus segalanya, yang mau mengatur segalanya, akhirnya menjadi instansi birokratis yang tak dapat memberikan apa yang hakiki yang diperlukan manusia yang menderita setiap manusia : perhatian pribadi penuh kasih sayang. Gereja Katolik tak membutuhkan negara yang mengatur dan menguasai segalanya, melainkan negara yang menurut prinsip subsidiaritas dengan murah hati mendukung dan mengakui prakarsa yang muncul dari berbagai kekuatan masyarakat sambil menghubungkan spontanitas dengan kedekatan pada manusia yang membutuhkan bantuan. II. 3 Kedermawanan Sosial Gereja Katolik di Indonesia Gambaran tentang bagaimana dinamika karya karitatif awal gereja Katolik di Indonesia tidak begitu jelas. Namun jika karya karitatif merupakan bagian dari hakikat Gereja Katolik maka bisa disimpulkan bahwa dinamika karya karitatif awal gereja Katolik di Indonesia dimulai sejak misionaris-misionaris Katolik dari Eropa menjejakkan kakinya di Nusantara. Aksi-aksi filantropi gereja Katolik di Indonesia misalnya ditandai dengan berdirinya sekolah bagi perempuan yang idenya diinisiasi oleh Mgr Vrancken selaku Vikaris Apostolik II Batavia dan dikelola oleh suster-suster Ursulin di Batavia sekitar tahun 1856. Contoh lain adalah keikutsertaan para suster Fransiskanes dari Heythyusen dalam mendirikan 10 Bdk Injil Matius 22:21 11

rumah yatim piatu, rumah sakit, dan sekolah di tahun 1870-1879. 11 Suster-suster Santo carolus Boromeus (CB) dari Maastricht membuka rumah sakit yang terletak di antara Batavia dan Meester Cornelis dan kini dikenal sebagai RS St. Carolus. Tokoh karya karitatif yang dikenal luas dalam bidang pendidikan dan mengandung unsur penghargaan terhadap pluralisme adalah pastor van Lith, S.J. Sekolah yang didirikannya tidak hanya menerima murid-murid yang sudah beragama Katolik. Pastor van Lith menyadari bahwa pendidikan dan pengajaran bukan hanya dibutuhkan oleh anak yang beragama Katolik, melainkan juga yang non-katolik. 12 Ia juga mendirikan sekolah guru baik untuk yang beragama Katolik maupun non-katolik. Sebelum terbentuk struktur hirarki Gereja Katolik yang mandiri di Indonesia, aksi-aksi filantropi waktu itu banyak dilakukan oleh para misionaris dari luar Nusantara. Dari kilasan sejarah kedermawanan sosial Katolik di Indonesia terlihat bahwa fokus utama aksiaksi filantropi di masa itu adalah pada bidang pendidikan dan kesehatan. Aksi-aksi filantropi belum berkembang luas di tubuh Gereja Katolik di Hindia- Belanda pada masa penjajahan Belanda. Meski Paus Leo XIII telah mengeluarkan Rerum Novarum 1891 yang berisikan anjuran pentingnya batas-batas kekayaan pribadi agar si kayak membantu si miskin dan pemerintah mengusahakan kesejahteraan umum agar didirikan perserikatan buruh dan gaji yang adil, mengakui sahnya hak milik pribadi dimana hak milik pribadi itu bermakna sosial, dan menganjurkan hubungan yang setara antara modal dan kerja. Lalu dilanjutkan oleh Paus Pius XI yang mendorong perwujudan dan tumbuhnya Aksi Katolik dalam bentuk organisasi-organisasi umat sebagai upaya implementasi ensiklik Quadragesimo Anno (1931). 13 Salah satu hambatan yang waktu itu dirasakan oleh para misionaris dan pelaku-pelaku aksi karitatif adalah persoalan yang menyangkut masalah rivalitas politik penyebaran Protestanisme dan Katolisisme yang beririsan dengan kepentingan ekonomi-politik ketika VOC berkuasa maupun setelahnya. Keadaan penyebaran agama Katolik dan aksi-aksi karitatif itu amat dipengaruhi oleh perang yang berkecamuk antara Belanda dan Portugis serta keterlibatan dua negara tersebut dalam perang-perang lokal, khususnya di wilayah Nusantara bagian Timur. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen menulis, orang-orang Portugis (baca : misionaris Katolik) kuat sekali di kepulauan Solor (dan Flores). Dengan senjata-senjata rohani, mereka mampu menarik penduduk daripada kita dengan para prajurit.. 14 Masalah itu pula yang menjadi salah satu faktor keterlambatan 11 Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal.27 12 Anhar Gonggong, Mgr Albertus Soegijapranata S.J : Antara Gereja dan Negara, PT Grasindo, Jakarta, 1993, hal.10-11 13 Berkhof, H & Enklaar, I.H, Sedjarah Geredja, BPK Jakarta, 1962, hal. 288 14 Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 15 12

pengakuan karena adanya larangan atau hambatan-hambatan yang dikenakan terhadap keberadaan agama Katolik di seluruh wilayah jajahan VOC, termasuk sebagian Indocina dari pemerintah Belanda. 15 Masuknya balatentara kerajaan Jepang ke Nusantara juga turut menjadi faktor penghambat pertumbuhan karya dan kehidupan Gereja Katolik di Nusantara. 16 Sejumlah tokoh Katolik dan imam ditahan dengan tuduhan penyebaran propaganda anti-jepang. Misalnya pada 15 Agustus 1943 pastor Djajaseputra, van Kalken, Noyons, Paulus Djojosoemarto dikenakan tuntutan hukuman mati oleh pengadilan militer Jepang di Yogyakarta. Adanya hubungan antara Jepang dengan Vatikan turut menyelamatkan sebagian tokoh-tokoh itu dari hukuman mati. Gereja Katolik Jepang pun turun tangan membantu Gereja Katolik Indonesia dengan mengirim Mgr Yamaguchi dan Mgr A. Ogihara SJ. Bahkan keduanya menentang kebijakan politik Jepang sendiri. Masa-masa Perang Kemerdekaan juga merupakan masa sulit untuk mengembangkan karya karitatif karena kekurangan sumber daya diserap untuk kepentingan perang. Situasi dan kondisi itu juga memunculkan korban-korban dari pihak umat Katolik Indonesia dan para misionaris. Misalnya 8 orang imam Serikat Yesus ditembak mati di Magelang oleh tentaratentara muda Republik Indonesia, dan Pastor Sandjaja dibunuh oleh gerombolan Hisbullah di Muntilan. Situasi semacam itu dijawab oleh tindakan tegas Mgr Wilkens, gereja-gereja dan RS Carolus tidak disita dan tetap dilayani secara bergiliran oleh imam-iman yang tidak masuk kamp interniran. Peran Mgr. Wilkens amat besar tidak saja bagi perkembangan Gereja Katolik Indonesia melainkan juga bagi munculnya inisiatif-inisiatif karya karitatif. Misalnya pada tahun 1943 ia turut memprakarsai pembentukan tarekat relijius bersuasana lokal-jawa untuk suster-suster bernama Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK) yang berkarya di sekolahsekolah dan perawatan orang sakit di desa-desa. Situasi dan kondisi jaman yang demikian merupakan suatu ujian terhadap denyut gerak kedermawanan sosial Gereja Katolik. Meksi tertatih-tatih namun denyut itu terus ada dirasakan pada periode perjalanan Gereja Katolik Indonesia berikutnya. Pada tanggal 26-30 April 1954 para Waligereja se Jawa mengadakan pertemuan di Lawang. 17 Di sana diungkapkan keinginan untuk mengadakan konferensi bagi semua Waligereja. Sidang itu dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober sampai 2 November 1955 15 http://en.wikipedia.org/wiki/catholicism_in_indonesia. diakses tgl. 13 November 2006. 18.18 Bbwi 16 Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 38-39 17 Bagian perjalanan hirarki Gereja Katolik Indonesia serta bagian yang menangani aksi karya karitatif ini diambil, kecuali bila disebut lain, dari http://www.kawali.org/profilkwi.html. Diakses tgl 1 November 2006. 10.32AM 13

di Bruderan, Surabaya dan dihadiri oleh 22 orang Waligereja (dari 25 orang Waligereja yang ada). Inilah sidang konferensi para uskup dari seluruh Indonesia yang pertama sesudah perang. Salah satu keputusan yang penting ialah bahwa untuk selanjutnya konferensi para Waligereja Indonesia ini dinamakan Majelis Agung Waligereja Indonesia, disingkat MAWI, suatu terjemahan dari Raad van Kerkvoogden. Tanggal inilah dipandang sebagai tanggal berdirinya MAWI dengan ketua pelaksana tugas hariannya adalah Mgr. A. Soegijapranata, S.J. (Uskup Semarang). Untuk memperbaiki pelaksanaan tugasnya, dibentuklah berbagai "Panitia" / PWI (Panitia Waligereja Indonesia) yang berada di bawah payung dan menjadi anggota DEWAP (Dewan Waligereja Indonesia Pusat). DEWAP mengadakan sidang sekali dalam setahun untuk menetapkan langkah-langkah pelayanan iman dan kasih bagi umat serta masyarakat umum. Bidang-bidang pelayanan dibawah PWI itu adalah PWI Sosial, PWI Aksi Katolik dan Kerasulan Awam, PWI Seminari dan Universitas, PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama, PWI Katekese Umat dan Penyebaran Iman, PWI Pers dan Propaganda. Dalam sidang di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah (09-16 Mei 1960) para Uskup Indonesia menulis surat kepada Bapa Suci Yohanes XXIII, memohon secara resmi agar beliau meresmikan berdirinya hirarki Gereja di Indonesia. Maka dengan Dekrit "Quod Christus Adorandus" tertanggal 03 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia. MAWI mengadakan sidang-sidang paripurna pada tahun 1960, 1965, 1968 dan 1970. Pada Sidang tahun 1968 terjadi perubahan-perubahan dalam pembentukan PWI: PWI Universitas dihapuskan dan tugas diambil alih oleh Bagian Pendidikan-KWI. Pada Sidang MAWI tahun 1968 dibentuk Struktur Sekretariat Jenderal yang tercakup antara lain: Bagian Umum, Bagian Pendidikan, dan Bagian Pastoral KWI. Dalam tahun ini pula dibentuk suatu lembaga baru yaitu: Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS). Maka bentuk lembaga baru yang ada didalam MAWI saat itu adalah LPPS-KWI dan LBI-KWI. Pada tahun 1970 tepatnya pada tanggal 3 Desember, dalam sidangnya MAWI membuat suatu keputusan Pedoman Kerja Umat katolik Indonesia. Hal ini dilakukan karena para Uskup Indonesia melihat bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, sering timbul persoalan-persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Melalui pedoman tersebut para Uskup ingin memberi petunjuk-petunjuk kepada umat sehingga diharapkan dapat membantu pemecahan masalah yang ada. Salah satu bentuk kontribusi pemecahan masalah pembangunan adalah program Aksi Puasa Pembangunan (APP). Program ini secara melembaga telah dimulai sejak tahun 1970. Meski demikian, dasar-dasar kelembagaan telah dibangun sebelumnya ketika tahun 1955 Mgr 14

Soegijapranata SJ (Uskup Agung Semarang) ditunjuk oleh MAWI menjadi ketua Panitia Sosial Waligereja Indonesia. Program ini muncul sebagai bagian dari upaya pertobatan Gereja. Melalui pembacaan atas tanda-tanda jaman, Gereja setiap tahunnya merumuskan arah tobat yang menghasilkan tema-tema gerakan pertobatan. Sehingga, Gereja Katolik di Indonesia betatapun kecil jumlahnya mampu menyumbang gerakan untuk membangun habitus baru bagi terwujudnya tujuan bangsa yakni kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga Indonesia. 18 Program APP terdiri dari berbagai kegiatan, salah satunya adalah pengumpulan dana yang dipergunakan untuk menunjang rencana-rencana kegiatan sesuai tema gerakan pertobatan yang dipilih tiap tahunnya. Pengumpulan dana itu dipergunakan antara lain untuk melakukan karya-karya karitatif oleh masing-masing keuskupan. Selanjutnya sebagaimana diketahui bahwa sebutan Konferensi Waligereja Indonesia adalah sesuai dengan nama dalam bahasa latin maupun bahasa-bahasa lain di seluruh dunia. Perubahan nama juga bertepatan dengan saat proses penyusunan sebuah statuta KWI yang baru dan diselaraskan dengan Kitab Hukum Kanonik yang baru serta Undang-undang RI No. 8 tahun 1985 mengenai Organisasi Kemasyarakatan. Statuta baru ini disahkan oleh Vatikan pada tanggal 24 April 1992. Sejak tahun 1987, MAWI berganti nama menjadi KWI (Konferensi Waligereja Indonesia / Bishop s Conference of Indonesia). Dengan konsepsi konferensi dari para waligereja maka jelas nampak bahwa KWI bukan merupakan organisasi hirarki komando yang sentralistis seperti dibayangkan melainkan lebih berbentuk federasi yang desentralis. Ada beberapa contoh yang dilakukan Gereja Katolik untuk memasyarakatkan keprihatinan dan keterlibatan sosial. 19 Misalnya, tahun 1966 MAWI menghimbau agar para katekis atau guru agama dibekali secukupnya untuk mengintegrasikan ajaran sosial-ekonomi Gereja dalam pengajarannya. Sidang MAWI 1979 mencanangkan perlunya teologi kerasulan sosial untuk mengembangkan motivasi peran-serta sosial yangtepat pada umat. MAWI menugaskan Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi (PSE) untuk menyediakan contohcontoh kotbah dan ulasan-ulasan serta mengusulkan penyelenggaraan seminar-lokakarya tentang ajaran sosial Gereja itu. Pembentukan lembaga-lembaga filantropi di luar hirarki Gereja Katolik untuk menyebarluaskan misi solidaritas sosial kristiani turut dirintis. Misalnya saja keberadaan lembaga Institut Sosial Jakarta (ISJ) yang dipimpin oleh Pastor I. Sandyawan Sumardi SJ dibentuk tahun 1974. Lembaga ini pada awalnya bergerak di bidang penelitian sosial. 18 F.X Yono Hascaryo Putro, loc.cit, hal. 52-53 19 Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 252 15

Kesadaran akan adanya masalah-masalah baru di masyarakat akhirnya mendorong lembaga ini bertransformasi tidak lagi menjadi lembaga karitatif yang melakukan konsultasi ketenagakerjaan murni tetapi juga terlibat dalam pengorganisasian komunitas basis. Kendati kini telah menjadi sebuah LSM yang tidak berbendera Katolik, ISJ tetap berikhtiar untuk mewujudkan gerakan solidaritas kristiani dalam kegiatan-kegiatannya. Model transformasi bentuk kegiatan dan lembaga semacam itu juga nampak pada beberapa organisasi seperti Lembaga Daya Dharma (LDD) milik Keuskupan Agung Jakarta dan Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) milik Keuskupan Agung Semarang. Kisah jatuh-bangunnya lembaga sosial milik Gereja juga mewarnai dinamika kedermawanan sosial Katolik di tanah air. Untuk tingkat nasional, salah satu lembaga di tubuh KWI yang menangani penggalangan dan penggunaan dana karitatif adalah Yayasan LPPS-KWI (Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial-KWI). Lembaga ini dinilai telah berjasa menjadi penghubung antara lembaga penyandang dana, seperti Caritas International, dengan mereka yang memerlukannya. Namun lembaga yang berkiprah dalam aksi filantropi sejak tahun 1968 akhirnya dibubarkan melalui Sidang KWI 23-26 April 2002. Dalam sidang yang bertema Mengembangkan Kredibilitas Gereja/KWI melalui Pelayanan Administrasi Kelembagaan dan Keuangan yang Transparan dan Akuntabel dilakukan evaluasi atas kinerja LPPS oleh para pengurus lembaga dan pejabat gereja. Setelah mempertimbangkan dalam-dalam dampak negatif kemelut yang sudah bertahun-tahun sekitar transparansi dan akuntabilitas LPPS-KWI bagi kredibilitas Gereja Katolik Indonesia umumnya dan KWI khususnya di hadapan para penyandang dana baik dalam maupun luar negeri, khususnya bagi masyarakat yang dilayani, maka KWI dalam sidang tersebut menerima usulan Badan Pengurus Yayasan Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS) agar lembaga tersebut dibubarkan. 20 ================================= 20 Pengumuman Komisi Komunikasi Sosial KWI, 28 Juni 2002 pk 16:21 bbwi. Sumber http:www.mirifica.net diakses tgl 22 November 2006 pk.11.15. Lihat pula Suara Pembaharuan, 4 juli 2002 dan Kompas, 6 Juli 2002. 16

Bab III Memberi dari Kekurangan, Memberi dari Kelebihan : Organisasi dan Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Katolik di KAJ dan KAS Gereja Katolik Indonesia mendorong umat untuk terlibat aktif dalam hidup sosial bersama dengan umat agama lain. Dorongan ini merupakan wujud dari tiga bidang hakikat Gereja Katolik universal yaitu pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan perwujudan pelayanan kasih (diakonia). Ketiga bidang hakikat itulah yang mewarnai berbagai dokumen Gereja Katolik Indonesia setidaknya selama 5 tahun. Sebagai bentuk perwujudan dari semangat semacam kedermawanan sosial selama berabad-abad, Gereja Katolik Indonesia mengintegrasikan aksi kedermawanan sosialnya ke dalam tubuh struktur organisasinya. Struktur organisasi itu dibentuk hingga ke tingkat komunitas umat yang paling bawah. Bidang dalam hirarki yang melakukan tugas pelayanan kasih atau kedermawanan sosial itu disebut dengan Seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi (seksi PSE). Gereja Katolik Indonesia juga mengakui dan mendorong munculnya kelompokkelompok kedermawanan sosial Katolik atas inisiatif umat sendiri yang otonom dari hirarki. Bab ini mendeskripsikan karakteristik pelaku kedermawanan sosial dan potensi apa saja yang dimiliki serta bagaimana potensi-potensi itu didayagunakan oleh kelompok basis (kelompok parokial dan kategorial). Disamping itu penghayatan para pelaku kedermawanan sosial terhadap makna subyektif tindakan yang dilakukan juga tidak dapat diabaikan. Makna subyektif di sini mengacu pada bagaimana peran teologi Kristiani, dimana Injil jadi acuannya, diterjemahkan menjadi praxis religiositas oleh para pelaku kedermawanan sosial. Religiositas mempunyai dua aspek 16 yaitu dalam arti luas, religiositas terkait dengan peran dimensi sosiologis dalam mempengaruhi tindakan hidup keagamaan, pembaktian-diri (dedikasi) bagi agama, dan kepercayaan terhadap doktrin-doktrin agama suatu kelompok. Dalam arti sempit, religiositas lebih menekankan pada seberapa relijiuskah seseorang yang beragama alih-alih bagaimana seseorang itu beragama. Beragama disini artinya tindakan yang diarahkan terutama pada pemenuhan kewajiban partikular agama seperti ritual, penggunaan simbolsimbol, dan ortodoksi ajaran agama. Jadi religiositas adalah perasaan dan kesadaran akan hadirnya ikatan hubungan dengan Allah. 17 Kehadiran Allah dalam pandangan Kristen nampak pada wajah orang-orang yang miskin, papa, dan tersingkir. Beberapa kelompok kategorial yang diteliti yaitu organisasi Wanita Katolik, Asosiasi Pengusaha Katolik, dan Persatuan Guru Katolik, serta Tim Kesehatan di lima paroki yaitu 16 Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/religiosity, diakses tgl : 20 September 2006 17 Agus M.Hardjana. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal.47 17

Paroki Trinitas Cengkareng (wilayah Jakarta Barat), Paroki Philipus Rasul Telukgong (wilayah Jakarta Utara), Paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran-Cideng (wilayah Jakarta Pusat), Paroki St. Anna Duren Sawit (wilayah Jakarta Timur), dan Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu (wilayah Jakarta Selatan). Selain itu sebagai bahan perbandingan, bagian dari hirarki gereja yang turut menangani kegiatan aksi kedermawanan sosial, yaitu seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi (Seksi PSE) di tiap paroki juga akan diuraikan. Untuk wilayah Keuskupan Agung Semarang, kelompok yang dipilih adalah Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang, POSKA (Pos Kasih) Paroki Maria Assumpta Klaten, Karina (Karitas Indonesia) Kidul Loji Yogyakarta yang merupakan sentral aktivitas kordinasi bantuan gempa bagi wilayah Yogya dan Klaten, Karina Pos Klaten serta Pos Wedi. Disamping itu untuk menambah kekayaan informasi, beberapa rohaniwan Katolik yang menjadi pejabat gereja juga diwawancara untuk memperoleh dimensi teologis dari aktivitasaktivitas kedermawanan sosial yang dilakukan oleh umat melalui lembaga-kelompok itu. Tingkat kelompok kelompok kategorial yang dipilih dari lingkungan KAJ dan KAS adalah tingkat ranting. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa aktivitas kedermawanan sosial yang paling menyentuh komunitas baik Katolik maupun non-katolik berada di tingkat ini. Titik singgung aktivitas kedermawanan sosial bersama dengan organisasi-organisasi diluar tubuh Gereja Katolik juga bisa dikatakan banyak terjadi pada tingkat ini. Adanya dorongan dan ajakan dari Gereja Katolik Indonesia kepada umat selama 5 tahun terakhir untuk turut memberdayakan komunitas basis juga menjadi dasar bagi dipilihnya kelompok kategorial tingkat ranting. Baik kelompok parokial maupun kategorial oleh Gereja Katolik disebut sebagai komunitas basis. 18 Komunitas basis dapat dipahami sebagai "satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci". 19 Komunitas basis ini diinspirasikan oleh teladan hidup umat Kristen perdana seperti dilukiskan dalam Kitab Suci seperti misalnya Kisah Rasul. Dengan demikian, komunitas basis bukan sekadar istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis dalam pergumulan iman. Komunitas basis akan memberi wajah baru hidup menggereja umat yang mampu berbelarasa dengan saudara yang miskin dan 18 Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005. 19 Bdk Injil Kisah Para Rasul 2:1-47 18

tertindas. Dengan komunitas basis yang berada di tataran akar rumput, Gereja Katolik tidak akan mengalami 'irelevansi eksternal' atau 'insignifikansi sosial'. 20 III.1 Jenis-jenis Organisasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik : Kelompok Parokial dan Kategorial Organisasi aksi kedermawanan sosial yang inheren dalam tubuh hirarki tertinggi Gereja Katolik Indonesia adalah Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Berdasarkan hasil Sidang Sinodal KWI yang berakhir 16 November 2006, komisi PSE saat ini diketuai oleh Mgr Petrus Turang dari Keuskupan Agung Kupang. Tugas komisi ini antara lain menampung dan mengalokasikan dana hasil program Aksi Puasa Pembangunan yang tiap tahunnya dilakukan oleh Gereja Katolik Indonesia. Oleh karenanya dalam program APP alokasi dana yang terkumpul tidak seluruhnya disentralisasi ke KWI pusat. Ada komposisi alokasi 21 yaitu 70% dikelola sebagai dana penyertaan kegiatan sosial tingkat keuskupan setempat. Lalu 20% diserahkan ke Solidaritas APP Nasional, dan 10% digunakan untuk dana solidaritas antarkeuskupan. Pengelolaan di tingkat pusat dilakukan oleh Komisi Pengembangan Sosial- Ekonomi/APP KWI (Komisi PSE/APP KWI). Alokasi dana APP yang terkumpul di masingmasing keuskupan dimanfaatkan melalui program Aksi Nyata Paskah (ANP). Melalui program ini aktivitas sosial dan kemasyarakatan diwujudkan dalam kerjasama antara umat Katolik dengan pihak-pihak lain yang berkehendak baik. Kegiatan itu dapat dilakukan oleh paroki-paroki dengan melakukan kegiatan karitatif melalui seksi-seksinya ataupun oleh keuskupan melalui komisi-komisinya. Beberapa bidang yang bisa memanfaatkan dana penyertaan APP yaitu : 1. Aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup seperti pengembangan kerjasama kelompok produktif seperti koperasi dan Credit Union. 2. Usaha pengembangan sumber daya manusia seperti kursus-kursus penyadaran dan keterampilan bagi masyarakat, perempuan, dan kaum muda. 3. Usaha pengembangan pelayanan dan sadar hidup sosial seperti pengkajian Ajaran Sosial Gereja, penyadaran membangun solidaritas dan penegakan keadilan sosial, advokasi bagi masyarakat diperlakukan 20 Hasil-hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000 No.10. Pengalokasian ini merupakan cerminan dari struktur organisasi KWI. Lihat Bab II hal.15 di atas 21 F.X Yono Hascaryo Putro, loc.cit., hal.54-55 19