BAB I PENDAHULUAN. langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi. regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PENUTUP. terkait dengan judul penelitian serta rumusan masalah penelitian. yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

POLA HUBUNGAN CIVIL SOCIETY DAN PEMERINTAH LOKAL

Pola Hubungan Politik Civil Society dan Pemerintah Lokal Dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik di Kota Mataram

Partnership Governance Index

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. Keterbukaan informasi akan mendorong partisipasi publik karena dengan

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA. A. Lukman Irwan, SIP Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan Fisip UNHAS

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB III METODE PENELTIAN. Penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu. dengan cara mengintegrasikan metode analisis isi (content

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pembahasan ini difokuskan pada dimensi-dimensi yang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

MENGENAL KPMM SUMATERA BARAT

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. membuat isu-isu semacam demokratisasi, transparansi, civil society, good

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BENGKULU

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

MODEL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI DI KOTA SALATIGA) PERIODE

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BALI

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BANTEN

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia.

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

Good Governance. Etika Bisnis

KISI-KISI MATERI SEMINAR NASIONAL PEMBANGUNAN APARATUR NEGARA Jakarta, 4 Agustus 2008

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

Kertas Posisi Lima Tahun Pemberlakukan UU KIP di bidang LH SDA, April 2015.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RENCANA STRATEGIS FREEDOM OF INFORMATION NETWORK INDONESIA (FOINI)

BAB I PENDAHULUAN. terjaganya kualitas kehidupan manusia kini dan nanti.

Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

Good Governance: Mengelola Pemerintahan dengan Baik

INDEKS TATAKELOLA PEMERINTAHAN PROVINSI RIAU

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan fungsinya. Menurut World Bank, Good Governance adalah

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

KATA PENGANTAR. Mataram, Februari KEPALA BADAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT,

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB VI KESIMPULAN DAN REFLEKSI TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

PEMBINAAN ORGANISASI MITRA PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. (DPRD) mempunyai tiga fungsi yaitu : 1) Fungsi legislatif (fungsi membuat

Pendidikan Kewarganegaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. selaku pejabat publik dengan masyarakat. Dan komunikasi tersebut akan berjalan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN. monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. mampu memberikan informasi keuangan kepada publik, Dewan Perwakilan. rakyat Daerah (DPRD), dan pihak-pihak yang menjadi stakeholder

SILABUS TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK SEMESTER VI TAHUN AKADEMIK 2014/2015. Dosen Pengampu : Hendra Wijayanto, S.Sos, M.

BAB I PENDAHULUAN. Daerah yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan hak-hak DPRD, menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang kemudian

LANDASAN PEMIKIRAN. Apa itu akuntabilitas LSM? Mengapa akuntabilitas penting bagi LSM? Sejarah akuntabilitas LSM

Penerapan E-Government Untuk Integrasi dan Transformasi Pemerintahan

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

LAPORAN. Pelayanan Informasi Publik Tahun 2014 KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN BANYUMAS

RENCANA AKSI KETERBUKAAN PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi.

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya terdapat berbagai kepentingan negara dan masyarakat sipil

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini bertujuan menganalisis komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman

LAPORAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK TAHUN 2015 PPID PPATK

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak dan penerimaan Negara lainnya, dimana kegiatannya banyak

BAB I PENDAHULUAN. Peran aparat pengawasan di daerah yang tidak efektif merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dan Wakil Bupati dan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Bagi daerah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. organisasi, baik pada organisasi profit maupun non-profit, organisasi publik dan

Kebebasan dan keterbukaan tentu merupakan anugrah yang diharapkan. banyak pihak, terutama dalam iklim demokrasi yang ditandai dengan adanya

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3

BAB I PENDAHULUAN. warganya, dan pasar dengan warga. Dahulu negara memposisikan dirinya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

konsil lsm indonesia

BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN PROGRAM PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. paradigma baru yang berkembang di Indonesia saat ini. Menurut Tascherau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (Good

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK

Indeks Kepuasan Masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh penganggaran partisipatif..., 1 Amaliah Begum, FE Universitas UI, 2009 Indonesia

REFORMASI BIROKRASI SEBAGAI SYARAT PENEGAKAN DAN PEMBERANTASAN KKN OLEH:

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pembangunan politik demokratik berjalan semenjak reformasi tahun 1998. Perkembangan tersebut dapat dilihat melalui sejumlah agenda; penyelenggaraan demokrasi langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi serta kebebasan dalam berasosiasi, menyampaikan pendapat dan pikiran di depan umum, kebebasan dalam mendirikan partai politik, kebijakan desentralisasi, serta dikeluarkannya berbagai regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan demokratis dan bebas KKN. Namun, demokratisasi yang berjalan nampaknya masih prosedural, belum menyentuh kepada konsolidasi menuju demokrasi substantif. Menurut Diamond (2003:93) konsolidasi demokrasi di negara-negara dunia ke-tiga justru menghadapi sejumlah tantangan khas. Syarat penting agar demokrasi terkonsolidasi di 1

negara demokrasi baru tersebut adalah: (1) penguatan demokrasi, (2) pelembagaan politik, dan 3) kinerja rezim. Oleh karena itu dibutuhkan suatu prakondisi sosial yang dapat mendukung kearah konsolidasi demokrasi tersebut. Menurut Jepsen dalam Ishiyama (2013) salah satu prakondisi sosial penting adalah argumen tentang kultur politik, kultur warga sipil (civil society) dan nilai-nilai, serta dalam konteks ini ada masyarakat tertentu yang, pada level makrokultural, memiliki atribut dan tendensi untuk mendukung proyek demokrasi. Penguatan nilai demokrasi seperti; partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, ruang publik yang dapat menjamin pengawasan dalam pemerintahan sebagai prasyarat berjalannya proses konsolidasi menuju demokrasi substantif nampaknya masih berjalan lamban. Hal tersebut disebabkan karena masih terdapatnya kendala-kendala, baik berupa lemahnya komitmen elite, kesadaran politik masyarakat yang masih rendah, belum berdayanya masyarakat sipil serta aspek teknik regulatif yang belum mampu menjawab tantangan perkembangan demokrasi ke depan. 2

Peran civil society dalam penyelenggaraan kekuasaan khususnya dalam tata kelola pemerintah daerah menjadi salah satu tolak ukur pemerintah pusat dalam memberikan penilian kinerja (governance assesment) pemerintah provinsi di seluruh Indonesia. Instrumen tersebut adalah Indonesia Governance Index (IGI). IGI merupakan instrumen untuk menakar kinerja tata kelola pemerintah daerah dengan menggunakan kriteria obyektif dan terukur, khsusunya terhadap empat arena, yaitu: arena pemerintah (legislatif dan eksekutif), birokrasi, masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat ekonomi. Hasil dari IGI menyajikan (1) Profil kinerja tata kelola pemerintahan di masingmasing provinsi, (2) Peringkat secara keseluruhan dari semua provinsi, (3) Peringkat provinsi berdasarkan arena tata kelola, (4) Data-data komprehensif terkait dengan isu-isu tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) (www. Kemitraan.or.id/igi/). 3

Tabel I.1 Indonesian Governance Index Arena Pemerintahan, Birokrasi, Civil Society dan Masyarakat Ekonomi Provinsi Arena Pemerintahan Birokrasi Civil Society Masyarakat Ekonomi Indeks Kategori DIY 6.52 7.46 6.72 6.12 6.80 Tertinggi Nusa Tenggara Barat Maluku Utara 5.17 5.84 6.40 5.76 4.06 3.53 6.12 48.4 5.74 Sedang 4845 Terendah Sumber: diolah dari Governance Index Report, Indonesia Patnership Program, Jakarta, 2013 Tabel di atas menunjukkan bahwa Provinsi DIY menduduki peringkat tertinggi pada kinerja tata kelola pemerintahan di Indonesia dengan indeks (6.80), yang didukung oleh indeks kinerja civil society (6.72). Peringkat terendah adalah Provinsi Maluku Utara dengan indeks tata kelola pemerintahan (4845), sementara indeks kinerja civil society (6.12). Sementara Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berada pada posisi menengah dengan indeks kinerja tata kelola pemerintahan (5.74), didukung oleh indeks kinerja civil society (6.40). Posisi menengah indeks kinerja tata kelola pemerintahan Provinsi NTB (khususnya kinerja civil society) mengindikasikan 4

peran civil society masih perlu ditingkatkan dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang akuntabel, terbuka serta adanya partisipasi publik dalam pengawasan. Peningkatan kinerja civil society sangat diperlukan seiring dengan makin menguatnya isu keterbukaan serta partisipasi publik dalam pembangunan daerah. Civil society sendiri dimaknai sebagai kumpulan institusi atau organisasi diluar pemerintah dan sektor swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan bergerak (Sumarto, 2004:5). Sementara menurut Gaffar (2006: 199) bahwa yang paling banyak diharapkan dapat memainkan peranan dalam civil society di Indonesia adalah kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau sering juga disebut dengan Non Government Organization (NGO). Salah satu peran NGO yang paling menonjol dalam meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan di Provinsi NTB, khususnya Kota Mataram adalah kegiatan mendorong implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). NGO yang terlibat aktif dalam mendorong KIP tersebut adalah Forum Indonesia 5

untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB, Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB dan Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) NU Kota Mataram. Kegiatan NGO dalam mendorong KIP di Kota Mataram dapat dilihat dari maraknya pemberitaan media lokal. Pada kategori topik pemberitaan tentang gerakan NGO dalam mendorong KIP di Kota Mataram dalam kurun waktu tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun 2015 terdapat 22 kali pemberitaan atau 45,84 %. Sementara isi berita tentang KIP pada Surat Kabar dan media online berdasarkan subyek berita menunjukkan dominasi pemberitaan NGO. Fitra NTB menempati 20 kali atau 42% dari total berita, sedangkan Somasi NTB sebanyak 15 kali atau 32%. Peran NGO dalam mendorong KIP dapat juga dilihat dari asistensi teknis yang dilakukan NGO dalam penyusunan Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) serta membuka ruang konsultasi pembahasan rancangan (draft) Peraturan Walikota (Perwal) Mataram Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pedoman 6

Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintahan Kota Mataram. Selain itu menjadikan Pemerintahan Kota Mataram sebagai proyek percontohan (pilot project) pelaksanaan Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Provinsi NTB. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam mendorong kualitas tata kelola pemerintahan melalui implementasi UU KIP di Kota Mataram sangat ditentukan oleh keterlibatan aktif NGO dan pemerintahan lokal. Karakteristik hubungan dua lembaga tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor yang dapat membentuk pola hubungan tersebut. Sehingga terdapat kerjasama yang saling membutuhkan atau bakan sebaliknya saling meniadakan satu dengan lainnya. Pada konteks interaksi kedua lembaga tersebut, NGO dapat mempengaruhi agenda pemerintahan dengan berbagai kegiatan seperti advocacy, activism, advising dan lobbying khsusnya dalam mendorong KIP. Sehingga sejumlah produk kebijakan yang dihasilkan berkaitan dengan implementasi UU 7

KIP pada badan publik di Kota Mataram merupakan produk dari hubungan antara civil society dan Pemerintahan Kota Mataram. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti melakukan penelitian dengan judul Pola Hubungan Civil Society dan Pemerintah Lokal (Studi Kasus Kegiatan NGO dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik di Kota Mataram Tahun 2011-2015) dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di Kota Mataram. Alasan pemilihan Kota Mataram sebagai lokasi penelitian karena menjadi pusat aktivitas gerakan civil society dan pemerintahan di Provinsi NTB. Selain itu, Kota Mataram juga menjadi barometer gerakan NGO dalam mendorong implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang KIP karena telah berhasil mendorong pembentukan Komisi Informasi NTB beserta sejumlah regulasi yang berkaitan pelaksanaan KIP. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah pola hubungan civil society dan pemerintah lokal pada kegaiatan NGO dalam mendorong KIP di Kota Mataram Tahun 2011-2015? 8

I. 3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola hubungan politik civil society dan pemerintah lokal pada kegaiatan NGO dalam mendorong KIP di Kota Mataram Tahun 2011-2015. Selanjutnya, manfaat penelitian ini adalah: a. Memberikan kontribusi dalam pengembangan diskursus mengenai ruang publik yang bebas bagi dinamika civil society di ranah lokal khususnya kegiatan dalam mendorong KIP. b. Memberikan masukan kepada NGO agar tidak hanya menjadi pengawal dan pengontrol, tetapi juga sebagai mitra pemerintah daerah dalam memberikan gagasangagasan penting bagi terciptanya prakarsa pembangunan inovatif dan demokratis. c. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber rujukan penting bagi pemerintahan daerah dalam pengambilan kebijakan pelayanan dasar berbasis partisipasi publik khsusunya dalam hal pelayanan informasi. 9

d. Selanjutnya penelitian ini diharapakan juga menjadi rujukan teoritis akademis bagi peneliti selanjutnya sehingga makin memperkaya khazanah pengembangan ilmu sosial dan politik khususnya kajian tentang civil society. 10