4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematik. Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut: 1. Eksplorasi. 2. Pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energy. 3. Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman. 4. Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan. 5. Pengolahan bijih dan operasional. 6. Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya. Sistem penambangan batubara di Indonesia pada umumnya adalah sistem tambang terbuka dengan metode konvensional yang merupakan kombinasi penggunaan excavator/shovel dan truk. Urutan kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi: 1. Pembukaan lahan. 2. Pengupasan dan penimbunan tanah tertutup. 3. Pengambilan dan pengangkatan batubara serta pengecilan ukuran tanpa proses pencucian batubara (Setyawan, 2004). Setyawan (2004) juga mengemukakan bahwa sistem penambangan ini belum memungkinkan untuk dilaksanakan pengisian lubang bekas tambang (back filling) sehingga tanah pucuk yang terkumpul segera disebarkan pada lahan yang sudah siap direklamasi (brech final). Apabila brech final belum tersedia, maka
5 tanah pucuk tersebut harus dikumpulkan keluar batas daerah penimbunan atau diamankan ke tempat kumpulan tanah pucuk. Kemudian lapisan tanah penutup ditimbun di luar areal tambang dengan sistem terasering dan recountoring. Pada kaki daerah penimbunan (waste dump) dibuat kolam pengendapan (settling pond) untuk menangkap air permukaan dan mengendapkan lumpur yang terangkut. 2.2 Lanskap Pasca Tambang Kegiatan penambangan terbuka (open mining) dapat mengakibatkan gangguan seperti: 1. Menimbulkan lubang besar pada tanah. 2. Penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian. 3. Penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan mengakibatkan permasalahan. 4. Bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir. 5. Mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organik/humus atau unsur hara telah tercuci. Dampak terhadap komponen lingkungan fisik-kimia dan biologi tersebut tidak dapat dihindarkan namun dapat ditekan seminimal mungkin. Selain dampak negatif, proyek pertambangan batubara di wilayah Batulicin akan menimbulkan dampak positif terhadap lingkungan sosial dan ekonomi dalam bentuk terbukanya peluang kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat setempat, serta meningkatkan pendapatan daerah (ANDAL PT Arutmin, 2003). Kegiatan pasca tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan (UU RI No 4 Tahun 2009).
6 2.3 Kegiatan Reklamasi Pasca Tambang Reklamasi adalah usaha memperbaiki memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang telah rusak (kritis) sebagai akibat dari kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu: 1. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya. 2. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Melalui upaya reklamasi lahan dengan menggunakan teknologi dan pemberdayaan masyarakat, maka diharapkan dapat menambah luas areal taman yang pada gilirannya dapat meningkatkan produksi tanaman (Pedoman Teknis Reklamasi Lahan, 2006). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 76 tahun 2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Pada pasal 19 tertulis bahwa rencana reklamasi kawasan hutan pada lahan bekas tambang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan sebagai pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan sesuai dengan proposal yang diajukan oleh perusahaan pertambangan. 2.4 Ekowisata Ekowisata/pariwisata alam dalam PP No.18/1994 adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha terkait di bidang tersebut. Secara umum pariwisata alam dalam kawasan hutan mengandung ciri-ciri utama sebagai berikut: 1) Meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, 2) Menyediakan sebuah pengalaman wisata dengan lingkungan yang masih alami dan kesempatan menambah pengetahuan, 3) Secara aktif melibatkan masyarakat dalam proses pelaksanaan pariwisata alam, sehingga mereka memperoleh keuntungan, 4)
7 Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat dalam arti penting konservasi, dan 5) Peluang pendapatan bagi pemerintah (Subadia, 2003). Ekowisata merupakan sarana yang sangat baik untuk orang lokal dan kawasan alami yang bersangkutan. Ekowisata merupakan komponen ideal yang mendukung strategi pengembangan berkelanjutan dimana sumber daya alam dapat dimanfaatkan sebagai atraksi wisata tanpa merusak area alami tersebut (Drumm dan Moore, 2005). Menurut Lindberg et al.(1997), terdapat beberapa pihak atau actor dalam sebuah ekowisata, yaitu: 1. Pengunjung. 2. Area alami dan pengelolanya, baik area umum maupun pribadi. 3. Masyarakat. 4. Pebisnis, yang mencakup, hotel dan penyediaan penginapan, restoran dan lain sebagainya. 5. Pemerintah, termasuk perannya dalam pengelola area alami. 6. NGO (Non-Governmental Organizations) atau LSM. Pada definisi ekowisata, faktor keberlanjutan menjadi faktor terpenting yang harus diterapkan. Keberlanjutan suatu wisata ditunjukan dari hasil keseimbangan positif dari dampak lingkungan, pengunjung, sosio-budaya dan ekonomi. The Ecotourism Society (dalam Drumm dan Moore, 2005) menyebutkan ada delapan prinsip ekowisata, yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan
8 conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. 5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. 7. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak untuk mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 8. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 2.5 Perencanaan Lanskap Lanskap berdasarkan Simonds (2006) merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana suatu lanskap dikatakan alami jika area atau kawasan tersebut memiliki keharmonisan dan kesatuan antar elemen-elemen pembentuk lanskap. Rachman (1984) menyatakan bahwa lanskap sebagai wajah karakter lahan atau tapak dan bagian dari muka bumi dengan segala sesuatu dan apa saja yang ada di dalamnya, baik yang bersifat alami maupun buatan manusia yang merupakan total dari bagian hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap, dan sejauh imajinasi dapat menangkap dan membayangkan. Perencanaan lanskap merupakan penataan lanskap berdasarkan potensi, amenity, kendala dan bahaya lanskap tersebut guna mewujudkan suatu bentukan lahan yang berkelanjutan, indah, fungsional dan memuaskan bagi penggunanya.
9 Proses perencanaan meliputi proses pengumpulan dan penginterpretasian data, proyeksi ke masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam suatu bentang alam. Menurut Gold (1980), perencanaan adalah suatu alat yang sistematis, yang digunakan untuk menentukan saat awal suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain: 1. Pendekatan sumber daya, yaitu penentuan tipe cara alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya. 2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang. 3. Pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan lokasi kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi. 4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia. Menurut Rachman (1984), perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alami yang bergerak dalam kegiatan penelitian atas lahan yang luas dalam mencari ketepatan tata guna tanah di masa yang akan datang.