TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons)

dokumen-dokumen yang mirip
INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

(Association Analysis of Daun Sang by Some Kind of Palem in Sei Betung Ressort, Gunung Leuser National Park, North Sumatera)

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

PEMETAAN SEBARAN DAUN SANG (Johannesteijsmannia spp) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom :

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu ekosistem yang jumlahnya cukup luas di Indonesia,

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

BAB I. PENDAHULUAN A.

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam tangale yang terdapat di

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi ,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

Soal ujian semester Ganjil IPA kelas X Ap/Ak. SMK Hang Tuah 2

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

111. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober tahun 2000 selama kurang lebih

BAB IV METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian

IV. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati

II. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara. Pembangunan pariwisata mulai digalakkan, potensi potensi wisata yang

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai negara megabiodiversity. Sekitar 10 % jenis-jenis tumbuhan

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. METODOLOGI. A. Metode survei

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan

Cynodon dactylon (L.) Pers.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

I. PENDAHULUAN. Taman Hutan Raya (Tahura) Tongkoh terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons) Daun Sang yang merupakan genus tanaman unik, pertama kali ditemukan di pedalaman Sumatera, Indonesia pada awal abad ke- 19 oleh Profesor Teijsman (Elias Teymann Johannes) seorang ahli botani dari Belanda. Nama ilmiah Daun Sang diambil dari nama Profesor Teijsman (Elias Teymann Johannes). Tanaman Daun Sang yang mempunyai nama ilmiah Johannestijsmania altifrons, disebut juga sebagai Daun Payung Sal, Sal (Malaysia), Bang Soon (Thailand), Joey Palm, Diamond Joey Palm, Umbrella Leaf Palm (Inggris) (Mutia, 2003). Menurut Sudarnadi (1996), tumbuhan Daun Sang merupakan tumbuhan bawah pada hutan lebat, dan merupakan tumbuhan tunggal, tegak, daun lebar berbentuk belah ketupat dengan tepi daun yang bergerigi, batang yang kecil setinggi satu kaki dengan diameter antara 30-40 cm. Daun Sang merupakan salah satu dari 4 spesies anggota genus johannestijsmania yang hanya tumbuh di kawasan Asia Tenggara. Daun Sang merupakan anggota famili Arecaceae (Pinang - pinangan atau Palem). Daun Sang hidup secara berkelompok membentuk rumpun, namun penyebarannya sangat terbatas. Perkembangbiakan Daun Sang lebih banyak berasal dari anakan dari pada bijinya yang tertutup oleh kulit tebal yang berbentuk bulat bergerigi. Daun Sang ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di punggung bukit. Tingkat kemiringan lereng bukit yang menjadi lokasi tempat tumbuhnya Daun Sang memiliki kemiringan 45%. Tinggi Daun Sang pada saat kegiatan inventarisasi di lapangan memiliki ketinggian yang bervariasi yaitu antara 2 3,5 meter dari permuka an tanah. Hasil pengukuran yang dilakukan terhadap

beberapa individu Daun Sang yang mewakili, diperoleh data ukuran panjang daun antara 180 257 cm dengan lebar daun 56 98 cm (Indriani dkk., 2009). Gambar 1 merupakan tumbuhan Daun Sang yang ditemukan di lokasi penelitian. Gambar. 1. Daun Sang (Johannestejsmania altifrons) Berdasarkan klasifikasi ilmiah, Daun Sang tersusun dalam sistematika berikut (Krempin, 1993): Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Monokotil : Arecales : Arecaceae : Johannesteijsmannia : Johannesteijsmannia altifrons Tempat Tumbuh Daun Sang Daun Sang adalah salah satu jenis palem langka di Sumatera, biasanya terjadi sangat lokal pada populasi kecil. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, sebagai spesies tumbuhan langka Daun Sang harus mendapat prioritas untuk

pelestarian karena populasi di alam kecil (langka) dan merupakan spesies endemik, peka terhadap adanya gangguan habitat. (PP No. 7 Tahun 1999) Menurut Qomar, dkk (2005), habitat mikro Palem ini memiliki karakteristik sebagai berikut : Daun Sang telah ditemukan pada ketinggian 175 85 mdpl dan sebagian besar didistribusikan pada ketinggian 110 mdpl dan tersebar pada lereng yang sangat curam dengan kemiringan > 60% dan ditemukan pada jenis tanah latosol atau tanah paleudult yang memiliki konsentrasi agak asam (ph 5,6 5,9) dengan kandungan unsur N dan K yang tinggi, dengan persentase cakupan kanopi > 70%, intensitas cahaya 13-19 lux, suhu udara 27 o C, dan kelembaban relatif udara 84%. Daun Sang ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di punggung bukit. Hubungan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dengan Lingkungan Lingkungan adalah suatu sistem yang kompleks dimana berbagai faktor berpengaruh timbal balik satu sama lain dengan masyarakat tumbuh-tumbuhan. Faktor-faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang berbeda pada saat yang berlainan terhadap kelangsungan hidup setiap jenis tumbuhan. Faktor lingkungan dikatakan penting apabila pada suatu waktu tertentu mempengaruhi hidup dan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan. Karena terdapat pula taraf minimal, optimum, atau maksimal menurut batas-batas toleransi dari masing-masing dari masing-masing masyarakat tumbuh-tumbuhan. Kisaran toleransi untuk setiap masyarakat tumbuhtumbuhan tidak sama. Ada yang memiliki batas toleransi yang sempit (steno) dan ada yang luas (euri). Pada tumbuhan yang batas toleransinya steno, titik minimum, optimum, dan maksimum berdekatan. Sehingga perbedaan yang sedikit saja dapat menjadi kritis untuk pertumbuhannya. Setiap keadaan atau jumlah sesuatu faktor

fisik yang berbeda sedikit dapat melampaui batas-batas toleransi dikatakan menjadi faktor penghambat/limiting factor ( Kusmana, 1995). Menurut Indriani (2009), menyatakan bahwa kondisi biotik habitat tumbuhan Salo didominasi oleh tumbuhan meranti-merantian dan jenis lipai (Licuala spinosa). Lipai merupakan jenis tumbuhan yang ditemukan tumbuh bersama dengan Salo, sehingga bila kita menemukan tumbuhan Salo maka di sekitarnya akan dapat ditemukan Lipai namun sebaliknya tidak selalu ditemukan adanya Salo di areal yang ditumbuhi Lipai. Analisis Vegetasi Pengenalan terhadap vegetasi tertentu biasanya digunakan istilah istilah umum misalnya padang rumput, savana, hutan jati dan sebagainya. Pada saat sekarang cara ini dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu ditambah cara deskripsi yang lebih memadai. Kebutuhan untuk melukiskan suatu vegetasi tergantung pada vegetasi yang bersangkutan, baik untuk maksud ilmiah maupun keperluan praktis. Oleh karena vegetasi dapat bertindak sebagai indikator habitat, maka dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan Land use planning. Jika vegetasi ini dipetakan maka kesatuan-kesatuan vegetasi diperlukan di dalam mengadakan deskripsi (Marsono, 1977). Menurut Dauserau (1958), yang dikutip Marsono (1977) deskripsi terhadap suatu tipe vegetasi ini dapat didekati dengan berbagai cara, tergantung tujuan yang hendak dicapai. Di antaranya deskripsi yang berdasarkan fisiognomi vegetasi, yaitu deskripsi yang didasarkan atas kenampakan luar suatu vegetasi atau aspek-aspek suatu komunitas tumbuh-tumbuhan. Sedangkan cara lain yang dapat dikembangkan adalah deskripsi berdasarkan komposisi floristik vegetasi yaitu dengan membuat

daftar jenis suatu komunitas. Cara ini disebut analisis vegetasi. Untuk cara ini selain diperlukan pengetahuan taksonomi juga dipelajari tentang dominansi dan penyebaran. Pada dasarnya analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara, 1972). Suatu vegetasi terbentuk oleh adanya kehadiran dan interaksi dari beberapa jenis tumbuhan di dalamnya. Salah satu bentuk interaksi antar jenis ini adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi. Asosiasi dicirikan dengan adanya komposisi floristik yang mirip, memiliki fisiognomi yang seragam dan sebarannya memiliki habitat yang khas (Daubenmire, 1968; Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Barbour et al., 1999). Asosiasi antar Jenis Asosiasi adalah kekariban antara dua spesies dalam komunitas, yang selalu hadir bersama-sama. Menurut Kusmana (1995) assosiasi ini terjadi bila: a. Kedua spesies tumbuh pada lingkungan yang serupa. b. Distribusi geografi kedua spesies serupa dan keduanya hidup di daerah yang sama. c. Bila salah satu spesies hidupnya bergantung pada yang lain. d. Bila salah satu spesies menyediakan perlindungan terhadap yang lain. Chi- square hitung dilakukan dengan tujuan untuk dapat menentukan terjadi atau tidaknya asosiasi antara spesies. Nilai Chi-square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 1% dan 5% (nilai 3,84). Apabila nilai Chi-square Hitung > nilai Chi-square tabel,

maka asosiasi bersifat nyata. Apabila nilai Chi-square Hitung < nilai Chi-square tabel, maka asosiasi bersifat tidak nyata (Ludwig dan Reynold, 1988). Kershaw (1964) menyatakan bahwa ada dua macam tipe asosiasi, yaitu asosiasi positif dan asosiasi negatif. Apabila kejadian bersama antara jenis tersebut positif berarti kejadian bersama antara jenis yang berasosiasi lebih besar dari yang diharapkan, sebaliknya berasosiasi negatif bila kejadian bersama antara jenis yang berasoasi lebih kecil dari yang daharapkan. Menurut Cole (1949) dalam Bratawinata (1998) menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat tumbuhan beberapa spesies sering menunjukkan adanya asosiasi positif dan negatif. Apabila terjadi asosiasi positif, spesies yang berasosiasi mempunyai respon yang sama terhadap perbedaan lingkungan dalam komunitas, dan apabila terjadi asosiasi negatif berarti spesies yang berasosiasi mempunyai respon yang tidak sama terhadap adanya perubahan lingkungan dalam komunitas. Faktor-faktor yang menentukan kuat atau lemahnya suatu asosiasi adalah jumlah jenis yang ada, keadaan tempat dimana tumbuh-tumbuhan itu berada, dan banyaknya kejadian bersama antara jenis-jenis yang berasosiasi, sedang ukuran yang digunakan untuk menentukan kuat lemahnya suatu asosiasi adalah koefisien asosiasi yang mempuyai nilai antara 1 sampai + 1. Apabila nilai koefisien sama dengan + 1 berarti terjadi asosiasi maksimum dan sebaliknya apabila nilai koefisien asosiasi sama dengan 1 maka terjadi asosiasi minimum. Resort Sei Betung Resort Sei Betung berada di Kabupaten Langkat, Kecamatan Besitang. Desa -desa yang berdampingan dengan resort tersebut adalah Desa Halaban, Desa Bukit Selamat dan Desa Bukit Mas. Besitang dapat ditempuh dengan waktu ± 3 jam dari

Medan, kearah perbatasan Sumatera Utara dan Aceh, selanjutnya ke lokasi diperlukan waktu ± 1,5 jam menuju Dusun Aras Napal (daerah Sekundur) (Dephut, 2011). Hutan alam TNGL Sei Betung memiliki topografi datar dan berbukit, dan sebagian terdapat daerah yang curam. Vegetasinya masih alami, tumbuhan khas hutan tropis banyak dijumpai dalam kawasan ini khususnya suku Dipterocarpaceae. Begitu juga dengan keanekaragaman hayatinya juga masih dapat terlihat tegakan dengan diameter 1-2 meter juga masih dapat dijumpai (Dephut, 2011). Kawasan hutan Aras Napal termasuk dalam kawasan TNGL, Seksi Besitang dan Resort Sei Betung. Kawasan hutan di Aras Napal termasuk pada tipe hutan dataran rendah dengan ketinggian antara 75-100 mdpl. Topografi kawasan umumnya dataran landai hingga perbukitan yang landai hingga curam. Iklim di kawasan ini sangat basah tanpa bulan kering. Di kawasan TNGL Aras Napal dijumpai hutan primer dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik flora maupun fauna. Di hutan tropis ini hidup spesies satwa langka yaitu Orang Utan (Pongo pigmeus), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan beberapa satwa yang masuk ke dalam kategori satwa dilindungi seperti Kedih (Presbytis thomasi) dan Rangkong (Buheros rhinoceros). Terdapat beberapa spesies flora endemik yang hanya ditemukan di hutan Sekundur dekat dengan Aras Napal yakni Daun Sang. (Thoha, 2009). Menurut Manurung (2012) klasifikasi kesesuaian habitat tinggi berdasarkan kemiringan lereng yang diperoleh dari titik pengukuran kemiringan lereng dimana terdapat Daun Sang di dalamnya. Daun Sang yang tersebar paling banyak di

kawasan dengan kemiringan lereng sangat curam" dengan rata-rata kemiringan lereng 45% karena pada kemiringan lereng tersebut optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan Daun Sang di Resort Sei Betung. Selain itu, pada kemiringan lereng sangat curam di Resort Sei Betung tersebut juga ditemukan Daun Sang dengan kondisi yang cukup baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Indriani dkk, (2009) bahwa individu Daun Sang ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di punggung bukit. Kondisi Lokasi Penelitian Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Penelitian dilakukan di Resort Sei Betung yang merupakan bagian dari kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Resort Sei Betung memiliki luas 9.734 Ha. Berdasarkan letak geografis, lokasi penelitian adalah 03 94 03 95 Lintang Utara dan 98 08 98 09 Bujur Timur. (Manurung, 2012) Menurut Manurung (2012), kawasan tersebut memiliki keadaan topografi yang sulit untuk dilalui, ketinggian punggung bukit yang paling tinggi adalah 104 mdpl dan yang paling rendah adalah 29 mdpl. Sehingga pembuatan petak contoh dilakukan pada kedua kawasan tersebut. Di dalam kawasan hutan Resort Sei Betung terdapat kawasan hutan yaitu Sekundur Kecil dan Sekundur Besar. Kondisi jalan menuju lokasi penelitian tergolong terjal, melewati lembah yang curam. Sehingga untuk dapat mencapai lokasi penelitian harus ditempuh dengan cara berjalan menelusuri jalan setapak. Gambar 2 merupakan akses jalan menuju lokasi penelitian.

Gambar 2. Akses Jalan Menuju Lokasi Penelitian