BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan pola-pola pertumbuhannya juga menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari karakteristik pesisir pada wilayah itu baik unsur abiotik, biotik, dan culture. Seperti halnya wilayah lain di Indonesia, Provinsi Bali memiliki beberapa wilayah kekotaan yang berawal, tumbuh, dan berkembang pada kawasan pesisir, seperti kota Singaraja dan pinggirannya, Amlapura, Semarapura, Negara, serta beberapa wilayah yang berfungsi sebagai kawasan satelit kota Denpasar. Kota yang terakhir disebutkan pada dasarnya bukan merupakan kota pesisir namun secara empirik menunjukkan perkembangan ke arah pesisir seperti Sanur, Kuta, Jimbaran, dan berbagai kawasan lainnya. Kota Denpasar juga merupakan salah satu dari 9 kota besar di Indonesia yang mengalami konurbasi. Tingkat urbanisasi di kota ini tergolong sangat besar, sehingga tidak sulit ditemui mobilitas penduduk yang tinggi pada saat hari-hari besar keagamaan dari wilayah kota ke pedesaan. Tingginya tingkat urbanisasi ini otomatis menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan ruang baik untuk tempat bermukim maupun untuk beraktivitas. Sementara ketersediaan lahan untuk pemenuhan manusia akan ruang semakin lama semakin terbatas. Ketersediaan lahan yang tidak sebanding dengan kebutuhan ini menyebabkan penambahan ruang untuk pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan di luar lahan kekotaan atau di lahan terbuka yang masih berupa lahan-lahan pertanian (Yunus, 2008). Pemenuhan kebutuhan ruang di luar wilayah kekotaan ini umumnya dikenal dengan nama perambatan kota (urban sprawl). Pemenuhan akan kebutuhan ruang yang semakin meningkat di Kota Denpasar ini perkembangannya cenderung mengarah pada wilayah pesisir di sekitarnya. Wilayah kepesisiran yang terkena dampak dari menigkatnya aktivitas dan kebutuhan ruang ini 1
memiliki karakteristik campuran antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan atau yang lebih dikenal dengan wilayah peri urban. Peri urban sendiri menurut Andreas (1942) dalam Yunus (2008) adalah suatu zona yang di dalamnya terdapat percampuran antara struktur lahan kedesaan dan lahan kekotaan. Dengan demikian pemanfaatan lahan yang ada pada wilayah pesisir selatan Pulau Bali ini merupakan percampuran antara pemanfaatan lahan yang bercorak kekotaan (seperti industri, permukiman, gedung-gedung pelayanan jasa, dan sebagainya) dengan pemanfaatan lahan yang bercorak kedesaan (seperti lahan sawah, tegalan, dan sebagainya). Fenomena perambatan kota ini juga mumunculkan pusat-pusat kegiatan baru yang secara fisik maupun fungsional memiliki keterkaitan dengan kota inti (Denpasar). Tingginya aktivitas ekonomi dan sosial serta keterkaitan antara kota inti yang dalam hal ini adalah Denpasar dan pusatpusat kegiatan atau kota penyengga di sekitarnya seperti Gianyar dan Tabanan menyebabkan terbentuknya sebuah kawasan strategis nasional yang dinamakan sebagai kawasan SARBAGITA yang merupakan kependekan dari nama kota inti Denpasar serta kota/wilayah satelit di sekitarnya yaitu Badung, Gianyar, dan Tabanan. Kawasan Perkotaan Denpasar-Badung- Gianyar-Tabanan (Sarbagita) merupakan kawasan strategis nasional dengan sudut kepentingan ekonomi yang berbentuk kawasan metropolitan, yang merupakan rencana rinci dari Rencana Tata Ruang Nasional (Perpres no.45, 2011). Wilayah kawasan perkotaan Sarbagita sesuai dengan Peraturan Presiden no.45 tahun 2011 adalah Kota Denpasar dan kawasan perkotaan di tiga wilayah Kabupaten (Badung, Gianyar, Tabanan) yang berdekatan dan berjarak maksimal ±30 km, memiliki kecenderungan penglaju (commuter) dari/ke Kota Denpasar dan kawasan sekitarnya (Kuta, Nusa Dua, Tabanan, Gianyar, Ubud) dan sebaliknya. Jika ditinjau dari nilai strategisnya, kawasan perkotaan Sarbagita merupakan tulang punggung perekonomian Provinsi Bali dan salah satu pusat perkembangan nasional dengan tiga sektor utama yaitu pariwisata, pertanian dan industri pendukung pariwisata. Metropolitan Sarbagita berbeda dengan metropolitan lain, di mana sektor pertanian masih dipertahankan keberadaannya untuk kepentingan pariwisata maupun 2
kepentingan ekonomi. Struktur sosial budaya masyarakat dipengaruhi oleh tata kehidupan berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang unik dan berjati diri akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan Bali. Kawasan perkotaan Sarbagita ini secara empiris perkembangannya didominasi pada kawasan pesisir selatan seperti Kuta, Sanur, dan Nusa Dua. Tingginya dinamika ruang pada wilayah pesisir ini secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya nilai lahan. Semakin dekat dengan pusat kegiatan, semakin tinggi pula nilai lahannya. Pusat-pusat kegiatan pada wilayah pesisir selatan Pulau Bali ini pada umumnya berupa kawasan wisata. Data spasial seperti citra satelit menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pada wilayah pesisir ini sangat pesat setelah akhir dekade 1990an. Jika kondisi tersebut terus berlangsung, bukan tidak mungkin wilayah pesisir selatan Pulau Bali ini akan semakin bercorak kekotaan dan dapat mengancam eksistensi lahan pertanian yang ada di dalamnya. 1.2. Permasalahan Kota Denpasar yang merupakan salah satu kota dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang sangat tinggi di Indonesia berdasarkan kenampakan data citra satelit dalam kurun waktu 2 dekade ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Salah satu indikator dari pesatnya perkembangan kota adalah bertambahnya luasan lahan terbangun di kota ini sehingga mengakibatkan kenampakan fisik kota lebih besar dibandingkan dengan batas administrasinya. Pesatnya pertumbuhan kota Denpasar sebagian besar dilatarbelakangi oleh aktivitas pariwisata yang mau tidak mau membutuhkan sumberdaya yang lebih besar dari waktu ke waktu. Dampak keruangan yang ditimbulkan dari perkembangan ini adalah adanya kecenderungan kompetisi pemanfaatan lahan baik di sekitar kota atau di daerah pinggiran. Daerah dengan adanya kecenderungan kompetisi pemanfaatan lahan ini menyebabkan semakin meluasnya fungsi kekotaan, di mana di satu sisi semakin banyak bermunculan struktur untuk mendukung kegiatan kekotaan, sementara di sisi lain masih banyak lahan pertanian yang 3
dipertahankan baik untuk kepentingan pariwisata maupun hasil pertanian itu sendiri. Penduduk dan kegiatannya menurut Yunus (2008) merupakan 2 faktor yang menyebabkan kota sangat dinamis. Peningkatan jumlah penduduk di Kota Denpasar dan sekitarnya tentu saja berimplikasi pada semakin meningkatnya kebutuhan ruang, baik itu untuk hunian maupun untuk mendukung berjalannya aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Akibat terbatasnya lahan pada Kota Denpasar ini maka cenderung mengakibatkan tiga gerakan yang semuanya mengarah pada sekitar kota yakni sentrifugal, sentripetal, dan lateral. Gerakan yang paling dominan terjadi adalah gerakan sentrifugal, di mana perkembangan kota Denpasar cenderung terjadi pada wilayah pesisir daratan di sekitarnya. Wilayah pesisir daratan yang dulunya memiliki corak pedesaan lambat laut memiliki corak kekotaan, telah banyak berubah dari lahan pertanian atau tanah kosong menjadi ruang yang dimanfaatkan untuk menunjang aktivitas masyarakat seperti pemukiman, hotel, dan berbagai sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Perkembangan ruang pada wilayah pesisir selatan Pulau Bali ini jika hanya ditinjau dari aktivitas ekonomi yang melatarbelakanginya cenderung memiliki perkembangan ruang yang konsentris dan memanjang di sepanjang wilayah kepesisiran. Perkembangan ruang di wilayah pesisir selatan Pulau Bali dalam 2 dekade terakhir ini tercermin dari pola perubahan pemanfaatan ruang, proses perubahan pemanfaatan lahan, dan faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan. Jika melihat dari proses perkembangan spasialnya, wilayah kepesisiran ini cenderung berkembang secara horisontal. Hal ini dipengaruhi oleh kearifan lokal masyarakat Bali mengenai ketinggian bangunan yang tidak boleh melebihi dari pohon kelapa. Perkembangan ruang pada sepanjang wilayah pesisir selatan Pulau Bali ini jika dilihat sekilas dari data penginderaan jauh dipengaruhi oleh aksesibilitas fisikal yang memadai serta tempat wisata yang sebagian besar berada pada wilayah pesisir. Wilayah pesisir yang mengalami perkembangan ruang yang begitu pesat adalah Sanur, Kuta, dan Nusa Dua. 4
Perkembangan ruang di wilayah pesisir selatan Pulau Bali yang telah mengarah kepada gejala unmanaged growth, yang dibarengi oleh pesatnya pertumbuhan penduduk akan mengancam keberadaan lahan pertanian. Hal ini didasarkan pada data yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Pertanian Jakarta (Suradisastra, 2010) yang menunjukkan telah terjadi konversi lahan sawah seluas 6.361 Ha selama kurun waktu 1997-2008. Semakin banyak penduduk suatu wilayah tentu saja akan membutuhkan pangan yang cukup. Meskipun persediaan pangan dapat dipenuhi dari daerah lain, namun menjaga lahan pertanian agar tetap produktif dan lestari sangat mutlak dilakukan. Perkembangan wilayah kepesisiran yang begitu pesat dan tanpa rencana tata ruang yang baik dikhawatirkan dapat menghilangkan sebagian besar lahan pertanian produktif yang ada di kawasan ini serta dapat mengancam kelestarian ekosistem pesisir baik itu mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Selain itu perkembangan fisik kekotaan ini dapat menyebabkan perubahan pranata sosial masyarakat baik itu pekerjaan masyarakat pedesaan, aktivitas budaya dan keagamaan, serta perubahaan pola pikir ekonomi yang berimbas pada perubahan karakter dan ego masyarakat. Perencanaan ruang yang baik dapat dirumuskan jika kondisi ruang wilayah kepesisiran ini dapat diprediksi arah perkembangannya, pola perubahan pemanfaatan lahannya, proses perubahan pemanfaatan lahannya, serta faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan pemanfaatan lahan. Berdasarkan permasalahan tersebut muncul beberapa pertanyaan penelitian (research question) yang sangat penting untuk dikaji antara lain sebagai berikut; 1. Seperti apa dinamika jenis pemanfaatan ruang wilayah pesisir (daratan) selatan Pulau Bali dalam rentang waktu tahun 1995 sampai tahun 2030? 2. Bagaimana arah dan pola perkembangan pemanfaatan ruang wilayah pesisir (daratan) selatan Pulau Bali dalam rentang waktu tahun 1995 sampai tahun 2030? 3. Bagaimana pengaruh dari nilai lahan, akses, dan aktivitas masyarakat terhadap perubahan pemanfaatan ruang pada wilayah pesisir selatan Pulau Bali? 5
1.3. Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah; 1. Mengetahui dinamika jenis pemanfaatan ruang wilayah pesisir selatan Pulau Bali dalam rentang waktu tahun 1995 sampai tahun 2030. 2. Mengetahui arah dan pola perkembangan pemanfaatan ruang wilayah pesisir selatan Pulau Bali dalam rentang waktu tahun 1995 sampai tahun 2030. 3. Mengetahui pengaruh dari nilai lahan, akses, dan aktivitas masyarakat terhadap perubahan pemanfaatan ruang pada wilayah pesisir selatan Pulau Bali. 1.4. Kegunaan Penelitian ini akan memberikan beberapa kegunaan atau manfaat antara lain; 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang tata ruang khususnya dalam prediksi perkembangan ruang serta dampak yang menyertainya. 2. Dengan mengetahui arah perkembangan ruang serta pola, proses dan dampak perubahan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir selatan Pulau Bali, dapat menjadi refrensi bagi peneliti atau praktisi tata ruang untuk mengkaji atau membuat rencana tata ruang yang lebih baik. 6