BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI ALTERNATIF KELOLA SOSIAL OLEH PEMEGANG KONSESI IUPHHK-HA CV

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam dari sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

BAB I PENDAHULUAN. beragam sehingga menjadikan Negara Indonesia sebagai negara yang subur

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

Ditulis oleh Administrator Senin, 11 November :47 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 29 November :16

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hasil Hutan Non Kayu Hasil hutan dibagi menjadi dua bagian yaitu hasil hutan kayu dan hasil

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

MENGGALAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI PRODUK UNGGULAN

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

TOPIK: PERTANIAN NON PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994).

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, Peningkatan pengembangan sektor pertanian menuntut perhatian khusus dari

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Biomassa adalah segala material yang berasal dari tumbuhan atau hewan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

beragam kegunaan, maka tak heran bahwa tanaman ini dikenal juga sebagai tanaman surga. Bagian daun sampai tulang daunnya bisa dijadikan kerajinan dan

BAB I PENDAHULUAN. non kayu diantaranya adalah daun, getah, biji, buah, madu, rempah-rempah, rotan,

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

Ekonomi Pertanian di Indonesia

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

TINJAUAN PUSTAKA. tropika yang terdiri dari sub ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah, sub

PELUANG BISNIS KERAJINAN BAMBU. Wahyu Indriyani D3TI 2B. Abstrak

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi bukanlah merupakan hal yang baru bagi kita. Globalisasi

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

I. PENDAHULUAN. yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

PELUANG PENGEMBANGAN HHBK PRIORITAS DAERAH DI WILAYAH KPH MODEL DI INDONESIA. TIM PENELITI HHBK DR. TATI ROSTIWATI, M.Si. YETTI HERYATI, S.HUT, M.Sc.

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. jangkauan pemasaran mencakup dalam (lokal) dan luar negeri (ekspor). Kopi

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

HHBK, Potensi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan KUNJUNGAN DPRD BOALEMO KE KAMPUS BADAN LITBANG KEHUTANAN BOGOR, 3 JULI 2014

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

TINJAUAN PUSTAKA Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL

I. PENDAHULUAN. usaha perkebunan mendukung kelestarian sumber daya alam dan lingkungan

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.21/Menhut-II/2009 TANGGAL : 19 Maret 2009 I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

PENDAHULUAN Latar Belakang

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang potensial sebagai sumber bahan baku

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JUNI 2017

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hutan Menurut undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan pengertian hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2.2 Hasil Hutan Bukan Kayu Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan hasil alam yang diambil dari kawasan hutan dan bukan berupa kayu serta mencakup benda-benda nabati atau hewani yang ada di hutan. Hasil alam ini dapat berasal dari lingkungan alam, tapi bisa juga berasal dari lingkungan yang dibudidayakan manusia. HHBK mencakup hasil alam yang sangat beragam baik dari bentuk fisik, sifat dan kegunaanya. Oleh karena itu terminologi mengenai HHBK juga beragam dan didefinisikan dalam berbagai bentuk istilah (Sofyan dan Silalahi 1998). Menurut Sumadiwangsa dan Setyawan (2006) jenis tumbuhan penghasil HHBK yang dapat dimasukan sebagai jenis tumbuhan serbaguna dan bila diusahakan dapat memberikan aneka ragam manfaat, yaitu : 1) Sebagai penghasil khusus komoditi HHBK yang bernilai tinggi dan sebagai sumber devisa negara (gaharu, jernang, rotan, bambu, nilam, cendana, shellak, vanili, kapol, lada, masoyi, damar, ylang-ylang, madu, sutra alam, lengkuas dan temu lawak); 2) Memberikan manfaat sosial ekonomi terutama pada peningkatan pendapatan rutin bagi masyarakat sekitar hutan (damar, getah pinus, kayu putih, sagu, kemiri, jelutung, gemor, nilam, lada, kapol, vanili, ylang-ylang, madu, sutra alam); 3) Pengembangan jenis penghasil produk HHBK dalam skala relatif besar pada area perbukitan, dataran tinggi dan lahan kritis dapat berfungsi untuk merehabilitasi lahan hutan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air (agathis, kemiri, pinus, meranti, kayu putih, mimba, ekaliptus, kilemo, akasia, casia); 4) Mencegah atau mengurangi perladangan berpindah dan perubahan hutan lain yang disebabkan oleh ulah masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan

secara aktif kegiatan masyarakat setempat dalam aspek budidaya, pemanenan, dan pengolahan produk HHBK unggulan setempat (rotan, jernang, kemiri, shorea, meranti, nilam, ylang-ylang, terubuk, vanili, lada, aneka tumbuhan obat, aneka tumbuhan hias); 5) Menekan laju urbanisasi karena di lokasi pedesaan telah tersedia lapangan kerja yang memadai dan menjanjikan (kemiri, shorea, nilam, lada, vanili, tumbuhan obat, madu, sutra alam, shellak, ylang-ylang, kenanga). 2.3 Rotan Menurut hasil penelitian Gautama (2008) diketahui bahwa teknik pemanenan rotan yang dilakukan oleh pemanen di Desa Mambue, Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan meliputi kegiatan persiapan sebelum berangkat dan memanen rotan, pencarian rotan dan proses pemanenan rotan sendiri. Biaya pemanenan rotan di Desa Mambue selama setahun sebesar Rp 1.737.000 dengan produksi rotan sebanyak 21.335 kg dengan rata-rata 1.067 kg per pemanenan atau besar biaya pemanenan rotan per kilogramnya adalah Rp 81,4. Keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan rotan di Desa Mambue dapat memberikan penghasilan tambahan dengan pendapatan selama setahun sebesar Rp 16.146.000 dengan rata-rata Rp 807.000 per tahun. Laju pemanenan yang begitu cepat perlu diimbangi dengan upaya pelestarian berupa pemanenan dan efisiensi pemanfaatan. Hal tersebut sangat diperlukan agar kesinambungan pasokan bahan baku terjamin. Berdasarkan hasil wawancara diketahui model pemasaran rotan di Desa Mambue seperti pada Gambar 1. Petani pengumpul Pedagang pengumpul Gambar 1 Model pemasaran rotan di Desa Mambue dalam Gautama (2008). Menurut Baharuddin dan Taskirawati (2009) perdagangan rotan antar pulau atau dalam negeri sebagian besar dikuasai oleh produsen yaitu Kalimantan (69%), Sulawesi (23%) dan daerah lainnya (8%). Daerah yang menjadi tujuan perdagangan rotan antar pulau sebagian besar jawa (57%), Makassar (31%) dan daerah lainnya (12%).

Pada tahun 1996, pemasaran rotan antar pulau melonjak kembali hingga 58%, yakni dari total 174.759 menjadi 332.432 ton. Jumlah tersebut terbagi berdasarkan asal tujuan antar pulau, yaitu Kalimantan sebesar 29,8% dari Sulawesi (69%) dan dari daerah lainnya sebesar 1,2%. Tujuan pemasaran rotan antar pulau terbesar masih Surabaya (69%), Jakarta (6%), Sampit (16%) dan daerah lain (10%). Rotan Indonesia sampai dengan tahun 1980 telah memberikan konstribusi terbesar dalam memenuhi kebutuhan rotan dunia, yaitu sebesar 73,8 % atau sebesar 81,26 ribu ton dari total 111,2 ribu ton perdagangan rotan dunia. Negara tujuan utama perdagangan rotan adalah Hongkong, Singapura, Taiwan dan Negara maju lainnya. Menurut hasil penelitian Sumarlina (2002), sekarang ini Indonesia merupakan salah satu produsen rotan utama di dunia dan menguasai lebih dari 80% hasil rotan di dunia. Nilai ekonomis dari rotan sangat tinggi dan permintaan dari konsumen baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat besar. Ekspor rotan Indonesia menurut negara tujuan meningkat setelah krisis tahun 1998. Negara tujuan ekspor ditempati urutan negara Jepang, Amerika, dan Belanda. Masih banyak negara tujuan ekspor furnitur rotan dari Indonesia, seperti Cina, Korea, Malaysia, Singapura bahkan mencakup negara-negara dari timur tengah dan juga mencakup benua Afrika. Masih banyaknya negara-negara lain tersebut dapat membuka peluang bagi pemasaran rotan dari Indonesia untuk meningkatkan ekspor rotan ke luar negeri. Pengembangan potensi rotan harus dapat terus ditingkatkan dan hal ini berhubungan dengan faktor pemasaran dan lingkungannya. 2.4 Durian Menurut BAPPENAS (2000) durian merupakan tanaman buah berupa pohon. Durian termasuk Famili Bombaceae sebangsa pohon kapuk-kapukan. Pada umur sekitar 8 tahun, tanaman durian sudah mulai berbunga. Musim berbunga jatuh pada waktu kemarau, yakni bulan Juni-September sehingga bulan Oktober- Februari buah sudah dewasa dan siap dipetik. Panen durian diusahakan sebelum musim hujan tiba karena air hujan dapat merusak kualitas buah. Buah yang sudah masak umumnya ditandai dengan bau harum yang menyengat. Pada durian yang

sudah masak bila diketuk duri atau buahnya akan terdengar dentang udara antara isi dan kulitnya. Peluang bisnis durian sangat bagus. Pada tahun 1983 1987, durian dikirim ke negara Taiwan, Singapura, Malaysia dan Hongkong. Pada tahun 1989, permintaan meningkat ke negara Prancis, Belanda, Brunei, Australia, Saudi Arabia dan Jepang. Pada tahun 1999 di Jepang, harga durian dapat mencapai 10.000 yen (Rp 700.000). Peluang pasar di Indonesia juga sangat bagus, harga durian berkualitas baik dapat mencapai Rp 30.000/kg. Sedangkan untuk buah durian dengan kualitas sedang adalah Rp 15.000/buah. Selama ini perdagangan durian lebih dikuasai oleh negara Thailand, hal ini disebabkan oleh mutu buah yang bagus. Indonesia dapat melakukan hal yang sama apabila mutu ditingkatkan. Bahkan Indonesia memiliki varietas yang beragam dan berbuah sepanjang tahun. Dengan penanganan yang profesional dan dibantu oleh kemudahan-kemudahan dari pemerintah, durian Indonesia mampu menguasai pasar dunia. 2.5 Kayu Bakar Menurut hasil penelitian Dwiprabowo et al. (2010) konsumsi kayu energi dipengaruhi oleh harganya, harga barang lain (barang substitusi), dan pendapatan rumah tangga. Selain beberapa faktor tersebut juga diuji peubah lain, yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, luas kepemilikan lahan, jumlah anggota rumah tangga dan lokasi. Pada pemasaran kayu bakar di Kab. Lebak, Kab. Sukabumi dan Kab. Banjarnegara ada 3 4 lembaga yang terlibat. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam rantai tataniaga yang terbentuk diantaranya adalah pencari kayu bakar (produsen kayu bakar), pedagang pengepul, pabrik, pedagang pengecer, dan konsumen akhir (rumah tangga dan industri). Untuk industri (terutama industri rumah yang berproduksi kontinyu) biasanya kayu bakar yang digunakan adalah kayu-kayu limbah penggergajian kayu. Gambar 2 adalah rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak.

1. Produsen juga konsumen kayu bakar Konsumen (rumah tangga) 2. Produsen dan pedagang pengecer kayu bakar 3. Produsen kayu bakar Pedagang pengepul Pedagang pengecer 4. Produsen kayu bakar Pedagang pengepul Konsumen Gambar 2 Rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak. Pada Gambar 2, saluran ke satu, ke dua, dan ke tiga, yang terbesar adalah saluran yang ke satu, dengan perbandingan 65 : 20 : 15. Perbandingan ini merupakan rasio jumlah pemanfaat kayu bakar di Kabupaten Lebak. Hal ini berarti saluran ke satu adalah saluran yang terbanyak dilakukan masyarakat pedesaan pengguna kayu bakar dalam memperoleh kayu bakar yang akan dikonsumsinya. Saluran tataniaga ke empat adalah saluran untuk kayu bakar yang kayunya dikonsumsi oleh pabrik pembakaran batu bata dan genting (konsumen akhir). 2.6 Bambu Menurut hasil penelitian Indriyani (2011) kerajinan bambu adalah peluang bisnis yang menguntungkan. Perkembangan zaman belum tentu selalu meninggalkan produk hasil perkembangan tempo dulu. Kerajinan bambu salah satunya. Walaupun bisnis kerajinan bambu ini masih berjalan sampai sekarang, namun perkembangannya tidak pesat. Perkembangan kerajinan bambu ini hanya konstan saja. Tetapi pada akhirnya peluang bisnis ini diambil karena prospek kedepannya akan lebih baik. Terlebih lagi bisnis membuat kerajinan bambu ini adalah bisnis yang ramah lingkungan. Kerajinan bambu ini dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari tambir untuk membersihkan beras dan

gorong-gorong untuk tempat sampah atau tempat baju kotor ataupun kerei sebagai hiasan. Menurut hasil penelitian Indriyani (2011) untuk membuat kerajinan bambu ini terkadang harus membeli bambu yang sesuai. Dalam pembuatan tambir, untuk satu batang bambu dengan panjang sekitar 4 m yang dibeli dengan harga Rp 7.500 dapat diproduksi lebih kurang 30 tambir. Pembuatan 30 tambir tersebut dapat diselesaikan selama 2 hari oleh dua orang pekerja. Jika harga jual satu buah tambir Rp 2.700 dan biaya produksi diperkirakan Rp 1.000 per tambir, pendapatan perajin per tambir sebesar Rp 1.700. Dalam waktu satu bulan perajin bambu bisa memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut sebesar Rp 765.000. Bila home industry ini mempekerjakan lebih dari 2 orang tenaga kerja, dapat diperkirakan bahwa usaha ini mampu menghidupi seluruh anggota keluarga. 2.7 Damar Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) pemasaran getah damar mata kucing di Desa Pahmungan tergolong masih sederhana. Umumnya petani penyadap maupun pemilik repong damar menjual getah yang masih berupa asalan kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Repong damar adalah kebun yang didominasi oleh tanaman damar, sedangkan tegakan tanaman lainnya merupakan selingan. Hanya sebagian kecil petani penyadap yang menjual getah langsung kepada pedagang pengumpul di pasar kecamatan. Pelaku pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan terdiri dari penghadang, pengumpul tingkat desa, pengumpul di pasar Krui, pengumpul di luar pasar Krui dan eksportir. Gambar 3 adalah pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan.

Petani penyadap Pengumpul tingkat Desa Penghadang Pengumpul tingkat pasar Krui Industri domestik Pengumpul dari luar pasar Krui Eksportir Gambar 3 Alur pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan. Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) damar hasil pemungutan merupakan damar asalan berupa campuran butiran dari ukuran besar sampai kecil, bahkan sampai berupa serbuk yang tercampur dengan kotoran berupa abu dan potongan kulit kayu. Damar asalan masih harus dibersihkan dari kotoran dan dipilah kualitasnya berdasarkan besar butir dan warnanya. Proses pemilahan getah damar dikenal dengan istilah penyortiran. Melalui proses tersebut dihasilkan getah berkelas dengan ciri-ciri sebagai berikut: Kelas A = sebesar telur ayam dan berwarna putih Kelas B = sebesar ibu jari dan berwarna putih Kelas C = sebesar ujung jari kelingking dan berwarna putih Kelas D = sebesar biji jagung dan berwarna putih Kelas E = sebesar butir beras dan berwarna putih Kelas KK = seukuran dengan kelas A, B, C namun warnanya hitam Kelas abu = seukuran kelas D dan E namun berwarna hitam atau ukurannya lebih kecil dari kelas E Kayu = serpihan kulit kayu damar yang tercampur dengan getah saat penyadapan Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) penyortiran tiap kilogram getah asalan biasanya menghasilkan getah kelas A, B, C sekitar 60 %, kelas D dan E 6 %, kelas KK 10 %, abu 16 % dan selebihnya (8 %) merupakan kayu dan penyusutan. Damar kelas A dan B dikenal sebagai kualitas ekspor dan kelas C, D, E, KK dan debu merupakan kelas Iokal yang pemasarannya ditujukan

untuk bahan baku industri domestik. Sedangkan, kayu dipandang sebagai bagian yang tidak berguna sehingga tidak dipasarkan (dibuang). Rata-rata harga beli getah asalan dari petani penyadap pada saat penelitian dilaksanakan adalah Rp 2600-2900/kg dan harga jual pada tingkat pengumpul di pasar Krui adalah Rp 3100-3200/kg. Biaya angkut dan biaya-biaya lainnya rata-rata Rp 50/kg, sehingga keuntungan pedagang pengumpul tingkat desa berkisar Rp 250-450/kg. Penghadang memperoleh keuntungan rata-rata per kg getah asalan sekitar Rp 50-100. Harga getah kelas A, B, C rata-rata Rp 4200/kg dan rata-rata harga getah kelas lainnya Rp 2500/kg (D dan E), Rp 2000/kg (KK) dan Rp 1400/kg (abu). Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001), biasanya damar kelas A, B, C disortir kembali oleh pedagang pengumpul tingkat pasar kecamatan untuk menghasilkan getah kelas ekspor dan dijual dengan harga yang disesuaikan dengan nilai Rupiah terhadap Dollar AS. Hasil penyadapan getah damar mata kucing dari repong masyarakat Desa Pahmungan diperkirakan mencapai 50-70 ton/bulan. 2.8 Interaksi Masyarakat dengan Hutan Interaksi merupakan sebuah keterkaitan atau hubungan antar komponen dalam suatu sistem yang dapat bersifat saling meniadakan, saling mendukung dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Mangandar (2000) menjelaskan bahwa keterkaitan/interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena keberadaan hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat sekitar hutan, keberadaan hutan sangat berarti untuk keberlangsungan hidupnya, mereka bergantung pada sumberdaya-sumberdaya yang ada di hutan seperti kayu bakar, bahan makanan, bahan bangunan dan hasilhasil hutan lainnya, yang akan memberikan nilai tambah bagi kehidupannya. Interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan, dapat terlihat dari ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan akan sumber-sumber kehidupan dasar seperti air, sumber energi (kayu dan bahan-bahan makanan yang dihasilkan hutan), bahan bangunan, dan sumberdaya lainnya. Darusman (1992) dalam Karisma (2010) menjelaskan bahwa hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan dengan kawasan hutan di sekitarnya

merupakan hubungan yang sangat erat, khususnya aspek ekonomi, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kesehatan. Hutan telah memberikan berbagai keperluan rumah tangga, baik sumber energi, vitamin, mineral, dan kalori bagi kehidupan sehari-hari. Secara ekologis, hutan merupakan lingkungan hidup bagi masyarakat sekitarnya. Secara ekonomi, hutan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan dan menjual hasil hutan non kayu. Ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap keberadaan sumberdaya hutan terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjadikan hutan sebagai sumber pekerjaan dan pendapatan. 2.9 Nilai dan Manfaat Bahruni (1999) menjelaskan bahwa nilai merupakan suatu persepsi manusia tentang makna suatu objek bagi seorang/individu pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan penilaian adalah penentuan nilai manfaat dari suatu barang/jasa yang dimanfaatkan oleh individu atau masyarakat. Proses pembentukan nilai ditentukan oleh persepsi individu/masyarakat terhadap setiap komponen/komoditi tertentu yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan besarnya nilai ditentukan oleh kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Nilai sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh persepsi dari suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu akan beragam, tergantung kepada persepsi dari setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Kegunaan, manfaat, kepuasan dan rasa senang merupakan suatu ungkapan makna dari suatu nilai sumberdaya hutan yang diperoleh dan diarasakan oleh individu/masyarakat. Ukuran nilai ini dapat dapat diespresikan melalui pengorbanan waktu, tenaga, barang/uang, yang dilakukan oleh individu/masyarakat untuk memperoleh, memiliki dan menggunakan barang/jasa tersebut. Darusman (1992) dalam Karisma (2010) menjelaskan bahwa metode penilaian manfaat hutan maupun peranan dan keterkaitan ekonomi sumberdaya hutan terhadap sektor ekonomi lainnya dalam pembangunan ekonomi wilayah dan nasional, pada dasarnya ada dua yaitu metode atas dasar pasar dan metode pendekatan terhadap pasar/pendekatan terhadap kesediaan membayar (Willingness to pay/willingness to accept)

Gregory (1979) dalam Bahruni (1999), menyatakan bahwa nilai manfaat sumberdaya hutan dapat diklasifikasikan berdasarkan perilaku pasar atas barang dan jasa yang dinilai tersebut. Klasifikasi tersebut antara lain: 1. Nilai manfaat nyata (tangible benefits), yaitu manfaat yang diperoleh dari barang atau jasa yang dapat diukur secara nyata, karena berlaku mekanisme pasar yang baik. nilai manfaat nyata/nilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh masyarakat tehadap komoditi hasil hutan,berupa flora, fauna dan komoditi lainnya. Jenis penggunaan manfaat langsung ini dikelompokan menjadi: bahan pangan, bahan bangunan, sumber energi, obat, dan produk-produk lainnya yang dapat dijual. 2. Nilai manfaat tidak nyata (intangible benefits), yaitu nilai manfaat yang tidak dapat diukur secara langsung, karena mekanisme pasar tidak berjalan. Nilai manfaat tidak nyata/nilai guna tidak langsung merupakan manfaat yang diperoleh individu atau masyarakat melalui suatu penggunaan secara tidak langsung terhadap sumberdaya hutan yang memberikan pengaruh ekonomi/produksi yang mendukung kehidupan manusia. Nilai sumberdaya hutan yang termasuk ke dalam kategori nilai guna tidak langsung adalah berbagai fungsi jasa hutan seperti pengendalian erosi, pencegahan banjir, dan penyerapan CO 2. Menurut hasil penelitian Karisma (2010) diketahui bahwa nilai total pemanfaatan sumberdaya hutan di Desa Malasari yang berupa kayu bakar, rumput, aren dan emas adalah sebesar Rp 157.506.000 per tahun atau sebesar Rp 3.150.000 per kepala keluarga per tahun. Sebagian besar wilayah Desa Malasari masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pengendalian akses dilakukan dengan patroli rutin oleh pihak Taman Nasional. Penindakan berupa teguran hingga penahanan terhadap oknum masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya secara ilegal. Pihak Taman Nasional memiliki tanggung jawab untuk membina masyarakat atau memberdayakan masyarakat. Menurut hasil penelitian Setyani (2010) diketahui bahwa tingkat ketergantungan responden di Desa Lampeong terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan tergolong tinggi. Sebagian besar pendapatan rumah tangga berasal dari hasil

hutan khususnya hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan, diantarannya kayu bakar, rotan, karet, gaharu, buah dan satwa liar. Besarnya rata- rata total pendapatan rumah tangga yang berasal dari hasil hutan sebesar Rp 13.424.000 atau 75,1% dan bukan hasil hutan sebesar Rp 4.464.000 atau 24,9%. Berdasarkan BPS 67% responden Desa Lampeong berada dalam keadaan miskin dan 33% berada dalam keadaan tidak miskin (sejahtera). Menurut hasil penelitian Bahruni et al. (2002), dalam Bahruni (2008) diketahui bahwa nilai guna (use value) flora di Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan Hutan Lindung Gunung Salak bagi masyarakat lokal adalah sebesar Rp 575.118/tahun/rumah tangga, dimana sebagian besar disumbang oleh pemanfaatan agathis, puspa, rasamala, dan bambu sebagai bahan bangunan, sedangkan nilai guna fauna (satwa liar) oleh masyarakat adalah sebesar Rp 269.806/tahun/rumah tangga, dimana kontribusi terbesar berasal dari kumbang yang diperdagangkan untuk ekspor ke Jepang, dan pemanfaatan satwa kancil. Rofiko (2002) dalam Bahruni (2008) melakukan penelitian pada cakupan wilayah desa yang lebih luas yaitu sebanyak enam desa, yang terletak di dalam kawasan, di perbatasan kawasan dan di luar kawasan TNGH yang masih memiliki interkasi dengan kawasan TNGH. Diperoleh hasil bahwa nilai guna flora di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat lokal sebesar Rp 23.421.420/tahun/rumah tangga. Nilai ini lebih besar dari penelitian Bahruni et al. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh besar, ukuran contoh (responden) yang mencakup lebih banyak variasi pemanfaatan jenis hasil hutan di desa-desa sekitar TN Gunung halimun tersebut. 2.10 Pemasaran Tataniaga atau pemasaran (marketing) merupakan suatu kegiatan di dalam mengalirkan produk mulai dari petani (produsen primer) sampai ke konsumen akhir. Dalam aktivitas mengalirnya produk sampai ke tangan konsumen, banyak kegiatan produktif yang terjadi dalam upaya menciptakan dan atau menambah nilai guna (bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan) (Asmarantaka 2009). Menurut Purcell dalam Asmarantaka (2009) tataniaga atau pemasaran produk HHBK menganalisis semua aktivitas bisnis yang terjadi dengan produk

HHBK, setelah produk tersebut dari petani produsen sampai ke tangan konsumen akhir. Dari aspek ilmu ekonomi, tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem fungsi-fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Fungsi-fungsi ini merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa kehutanan dari petani produsen sampai konsumen akhir. Dari aspek manajemen, tataniaga adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Manajemen tataniaga, merupakan suatu proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan individu dan organisasi (Asmarantaka 2009) Strategi tataniaga dari McCarthy, dalam Kotler, dalam Asmarantaka (2009) yang dikenal dengan konsep empat P, yaitu Bauran Tataniaga (Marketing Mix) yang terdiri dari product mix, price mix, place mix and promotion mix. Schaffner et al. (2006) dalam Asmarantaka (2009) mengatakan pendekatan manajemen tataniaga, merupakan proses dari suatu perusahaan untuk perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk dan jasa untuk memuaskan konsumen. Pengusahaan HHBK di Indonesia dan distribusi HHBK berdasarkan sistem pemasarannya Soenardi (1990), dalam Sumadiwangsa (2006) dapat diilustrasikan dalam Gambar 4.

Hutan 1, 2, 6 Produksi/Bahan Baku 1, 7, 4 Produk Setengah Jadi 1, 3, 4, 5, 8, 10 1, 3, 4, 7, 8, 9 Produk Jadi Pasar Internasional Pasar Domestik Gambar 4 Skema pemasaran HHBK di Indonesia. Keterangan : 1. Rotan; 2. Terpentin; 3. Kopal; 4. Damar; 5. Jelutung; 6. Arang; 7. Bambu ; 8. Madu; 9. Minyak kayu putih; 10. Biji tengkawang 2.11 Ekonomi dan Finansial HHBK Sumadiwangsa (2006) pembedaan aspek dan finansial berkaitan dengan ruang lingkup pembahasannya, di mana aspek ekonomi lebih berbicara tentang pelaksanaan dan kontribusi perdagangan HHBK terhadap perekonomian nasional (makro ekonomi), sedangkan aspek finansial lebih menekankan kepada kegiatan ekonomi di tingkat pelaksana usaha HHBK terhadap tingkat keuntungan usaha tersebut (mikro ekonomi) Kelayakan finansial usaha HHBK bertujuan untuk menentukan apakah usaha HHBK secara finansial menguntungkan atau apakah usaha tersebut mampu memenuhi kewajiban finansialnya berupa pendapatan yang layak atas modal usaha yang dikeluarkan dan sebagian dari keuntungan tersebut digunakan untuk pengembangan usaha yang dikeluarkan dari sebagian dari keuntungan tersebut digunakan untuk pengembangan usaha lainnya di masa depan. Hutan menghasilkan produk kayu dan produk bukan kayu atau dikenal dengan HHBK, demikian juga produk jasa lainnya. Meskipun pemerintah Indonesia dalam pengurusan hutannya lebih mementingkan produk kayu, namun perkembangan produksi beberapa HHBK pada tahun 2005-2006 telah menunjukan hasil yang signifikan sebagaimana dalam Tabel 2.

Tabel 2 Ekspor HHBK tahun 2005 dan 2006 2005 2006 No Produk Volume (kg) Nilai (US$) Volume (kg) Nilai (US$) 1 Sirlak, Getah dan Damar 5.671.000 4.667.000 6.814.000 7.692.000 2 Bahan penyamak/gambir 16.149.000 22.670.000 15.714.000 22.235.000 3 Terpentin 5.582.000 3.142.000 8.033.000 7.376.000 4 Rosin spritus oil 514.000 374.000 464.000 253.000 5 Ter kayu 36.000 22.000 6.000 6.000 6 Barang anyaman rotan 11.527.000 25.273.000 11.271.000 25.658.000 7 Rotan setengah jadi 19.795.000 16.514.000 23.088.000 21.106.000 8 Arang tempurung kelapa 6.784.000 607.000 1.524.000 121.000 9 Arang kayu lainnya 163.064.000 23.783.000 152.587.000 27.539.000 10 Arang untuk karbon aktif 269.299.000 30.156.000 2.012.676.000 70.738.000 11 Briket arang 345.823.000 34.042.000 567.853.000 43.763.000 Sumber : Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dephut 2009 Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa produksi HHBK berupa sirlak, getah, damar, terpentin, rotan setengah jadi, arang untuk karbon aktif, dan briket arang meningkat pada tahun 2006 dibandingkan dengan produksi HHBK tahun 2005. Hal ini menunjukan bahwa produksi HHBK mempunyai peluang untuk ditingkatkan. Selain peningkatan produksi, analisis finansial HHBK juga perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keuntungan suatu usaha HHBK. Pada Tabel 3 disajikan analisis finansial usaha HHBK di Indonesia.

Tabel 3 Analisis finansial usaha HHBK di Indonesia dalam Sumadiwangsa (2006) No Bidang Usaha HHBK Pendapatan (Rp) Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) 1. Temulawak (1 ha 500.000 274.175 225.000 selama 1 musim) BCR = 1,824 2. Ganyong (1 ha) 900.000 684.000 216.000 BCR = 1,32 3. Garut (1 ha) 1.200.000 684.000 516.000 BCR = 1,75 4. Kapolaga (1 ha, 3.600.000 2.000.000 1.600.000 3 tahun) BCR = 1,8 5. Penyulingan 947.200.000 451.220.500 495.979.500 Kemedangan BCR = 2,10 6. Penyulingan Gaharu 2.005.600.000 987.476.500 1.018.123.500 Teri BCR = 2,03 7. Budidaya Gaharu (10 305.230.628 107.508.515 197.722.112 tahun, terinfeksi BCR = 2,84 60%) IRR = 34,9% 8. Industri Minyak Kayu Putih di Gundih (Rp/tahun) 9. M. Kayu Putih di Sedangmole Yogyakarta (Rp/tahun) 10. Minyak Nilam (Rp/ha/tahun) 11. Minyak Usar/akar wangi (Rp/ha/tahun) 12. Minyak sereh Wangi (Rp/ha/tahun) Sumber Rukmana (1995) Suhardi, et al. (2002) Suhardi, et al. (2002) Santoso (1988) Yusliansyah (2004) Yusliansyah (2004) ) Suryanto (2004) 1.259 juta Perum Perhutani (2001) 3.139 juta IRR = 32% BCR = 1,54 PSA UGM (2003) 20-30 juta Sumadiwang sa (2001) 13-17 juta Sumadiwang sa (2001) 4-6 juta Sumadiwang sa (2001) 13. Budidaya Rotan di Jawa (Rp/ha) 812.903 325.160 487743 BCR = 2,5 Wiryodar modjo, et al. (1986) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa potensi HHBK di Indonesia sangat baik. Hal ini dapat menjadi acuan untuk pengembangan HHBK di Indonesia. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa perkembangan ekspor beberapa produk HHBK pada tahun 2000-2005.

Tabel 4 Data ekspor produk HHBK dalam beberapa tahun terakhir dalam Sumadiwangsa (2006) Komoditi Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rotan (ton) 94.752,0 23.860,0 17.779,0 - - - Gondorukem 4162, 8 5685,8 4719,6 4881,6 863,4 - (ton) Kayu putih (l) 63.465,0 - - - - - Damar/resin 5,224,0 30,1 28,9 - - - (ton) Terpentin (ton) 3.570,0 4.076,0 3,0 - - - Arang 174.338,0 157.417,0 188.264,0 5178,1 12436,3 - Gambir 33256,0 8691,9 7104,7 588,0 5) 849,0 5) USD.622,5 Minyak atsiri (t) 2,7-33,2 4) - - - Gaharu (ton) 263,3 333,28 1) 539,3 540,0 *) 1408,8 - Jelutung 9,7 ton 2) - - - - - Kolang-kaling 471,8 677,1 230,0 204,2 7,1 - Kopal 6,3 juta $US 7) 7,6 juta - - - - $US 7) Sumber : Badan Pusat Statistik (2000;2003); Pustanling(2003); 1)Harian Bisnis Jakarta (2005); 2)BPEN ekspor khusus dr Jambi; 4) Frans Hero K. Purba (2000), 3)FWI (2004); 5)ekspor Sumbar; 6) Suara Merdeka (2004); 7)Statistik DPRIN (2000) Dari tabel di atas, potensi pasar HHBK Indonesia baik. Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengembangan HHBK untuk keperluan ekspor oleh produsen di Indonesia.