Penampilan Reproduksi (Service Per Conception, Lama Kebuntingan Dan Selang Beranak) Kambing Boerawa Di Kecamatan Gedong Tataan Dan Kecamatan Gisting

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR PUSTAKA. Akoso, B.T Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta. pp: Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Blakely, J dan D. H. Bade Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

EFISIENSI REPRODUKSI KAMBING PERANKAN ETAWA DI LEMBAH GOGONITI FARM DI DESA KEMIRIGEDE KECAMATAN KESAMBEN KABUPATEN BLITAR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

SELEKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWA BERDASARKAN NILAI INDEKS PRODUKTIVITAS INDUK DI KECAMATAN METRO SELATAN KOTA METRO

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

Performan reproduksi pada persilangan Kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE)

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

PERTUMBUHAN PRA-SAPIH KAMBING PERANAKAN ETAWAH ANAK YANG DIBERI SUSU PENGGANTI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

KORELASI BOBOT BADAN INDUK DENGAN LAMA BUNTING, LITTER SIZE, DAN BOBOT LAHIR ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. atau peternak kecil. Meskipun bukan sebagai sumber penghasilan utama, kambing

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi untuk

FLUKTUASI BOBOT HIDUP KAMBING KACANG INDUK YANG DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN BOER DARI KAWIN SAMPAI ANAK LEPAS SAPIH

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG

Evaluasi Atas Keberhasilan Pelaksanaan Kawin... Afghan Arif Arandi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

KEADAAN UMUM LOKASI Peternakan Kambing Perah Cordero

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

Moch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p Online at :

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

I. PENDAHULUAN. Lampung (2009), potensi wilayah Provinsi Lampung mampu menampung 1,38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

Lama Kebuntingan, Litter Size, dan Bobot Lahir Kambing Boerawa pada Pemeliharaan Perdesaan di Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor : 2915/Kpts/OT.140/6/2011 (Kementerian Pertanian, 2011),

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG

AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA

PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN SKRIPSI. Disusun oleh: DEDDI HARIANTO NIM:

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE)

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

Study Characteristics and Body Size between Goats Males Boerawa G1 and G2 Body in Adulthoodin the Village Distric Campang Gisting Tanggamus

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

PENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

Pengaruh Manajemen Peternak Terhadap Efesiensi Reproduksi Sapi Bali Di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BOBOT LAHIR DAN PERTUMBUHAN ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH SAMPAI LEPAS SAPIH BERDASARKAN LITTER ZISE DAN JENIS KELAMIN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

Transkripsi:

Penampilan Reproduksi (Service Per Conception, Lama Kebuntingan Dan Selang Beranak) Kambing Boerawa Di Gedong Tataan Dan Gisting The Reproduction Performance (Service Per Conception, Conception Rate and Calving Interval) of Boerawa Goat In Gedong Tataan District and Gisting District Adi Sulaksono (1), Sri Suharyati 2), dan Purnama Edy Santosa 2) Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Lampung--35145 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penampilan reproduksi (service per conception, lama kebuntingan dan selang beranak) kambing Boerawa di Gedong Tataan dan Gisting. Penelitian ini menggunakan metode survei. Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder yang hasilnya dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan service per conception di kecamatan Gedong Tataan sebesar 1,35 sedangkan service per conception di Gisting sebesar 1,34, lama kebuntingan di Gedong Tataan sebesar 157,1 hari sedangkan di Gisting sebesar 154,7 hari dan Selang beranak di Gedong Tataan sebesar 277,123 sedangkan di Gisting sebesar 240,245 hari. Kata kunci: Kambing Boerawa, service per conception, lama kebuntingan, selang beranak ABSTRACT The purpose of this research is to know data about the reproduction performance (service per conception, conception rate and calving interval) of Boerawa goat in Gedong Tataan and Gisting District. This research used survey method. The primary and secondary data was used analyzed by descrptively. The result showed that the service per conception in Gedong Tataan District is 1,35 and in Gisting District is 1,34; conception rate in Gedong Tataan District is 157,1 days and in Gisting District in 154,7 days; and calving interval in Gedong Tataan District is 277,123 days and in Gisting District is 240,245 days. Key words: Boerawa Goat, service per conception, conception rate, calving interval PENDAHULUAN Provinsi Lampung merupakan salah satu wilayah yang potensial sebagai sumber bibit maupun bakalan ternak potong. Salah satu ternak yang dikembangkan dengan serius dan bertumpu pada kekuatan ekonomi masyarakat adalah ternak kambing. Bangsa kambing yang banyak dipelihara masyarakat pedesaan di Provinsi Lampung adalah kambing Peranakan Etawa (PE). Kambing PE merupakan tipe kambing dwiguna yaitu tipe pedaging dan tipe perah. Kambing PE lebih diarahkan sebagai tipe pedaging karena mengikuti kebutuhan daging kambing yang masih belum tercukupi (Achjadi, 2007). Upaya untuk peningkatan produktivitas kambing PE di Provinsi Lampung ditempuh melalui persilangan dengan Kambing Boer jantan. Pemerintah Daerah Provinsi Lampung mendatangkan kambing Boer jantan yang berasal dari 1) Mahasiswa Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung 2) Dosen Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Afrika Selatan yang selanjutnya dipelihara di Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Balai Inseminasi Buatan Daerah Lampung, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung untuk dikoleksi semennya dan diolah menjadi semen beku. Semen beku selanjutnya akan diinseminasikan pada kambing-kambing PE betina milik petani pedesaan, seperti di Gedong Tataan dan Gisting, kedua kecamatan tersebut merupakan pusat pengembangan kambing Boerawa di Provinsi Lampung. Tipe ternak kambing dapat dibedakan menjadi kambing perah dan potong. Daging kambing selain mengandung protein yang tinggi, juga mengandung lemak dan zat-zat yang lain yang berguna untuk tubuh seperti kalsium, fosfor, zat besi dan vitamin B 1 (Cahyono, 1998). Jenis kambing yang banyak diternakkan untuk diambil dagingnya adalah kambing Boerawa. Kambing Boerawa merupakan kambing tipe pedaging hasil persilangan antara kambing Boer dan kambing PE. Kambing Boerawa saat ini berkembang dengan pesat di Gisting dan Gedong Tataan. Untuk memperoleh produksi peternakan kambing yang baik dan bernilai ekonomis tinggi, perlu diperhatikan berbagai aspek penunjang baik yang bersifat dari kambing itu sendiri, maupun eksternal seperti lingkungan, kesehatan, nutrisi dan faktor lainnya. Aspek internal berhubungan dengan genetis kambing tersebut. Sifat genetis dapat dimanifestasikan dari kelakuan kelamin, dan sifatnya berbeda tergantung tipe dan ras ternak tersebut. Salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk meningkatkan produksi ternak adalah proses reproduksi. Penampilan reproduksi kambing jantan dapat diukur dengan skor libido dan kualitas semen sedangkan pada kambing betina dapat diukur dengan jumlah perkawinan untuk setiap kebuntingan (service per conception), lama kebuntingan dan selang beranak (Davendra dan Mcleroy, 1988). Saat ini masih belum banyak data mengenai penampilan reproduksi (service per conception, lama kebuntingan dan selang beranak) kambing Boerawa. Hasil persilangan antara kambing Boer dan kambing PE tersebut diharapkan akan menghasilkan keturunan dengan penampilan reproduksi yang jauh lebih baik dan dapat menghasilkan ternak yang unggul. Dengan studi kasus mengenai penampilan reproduksi persilangan antara kambing Boer dan kambing PE diharapkan akan melengkapi segala kekurangan pada data yang telah ada. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang penampilan reproduksi (service per conception, lama kebuntingan dan selang beranak) kambing Boerawa di Gedong Tataan dan Gisting. MATERI DAN METODE MATERI Materi yang digunakan adalah rekording penampilan reproduksi (service per conception, lama kebuntingan dan selang beranak) kambing Boerawa milik peternak di Gedong Tataan dan Gisting Provinsi Lampung, dengan ketentuan sampel diambil dari rekording peternak yang sudah berternak minimal 2 tahun dan kambing yang sudah pernah beranak minimal 2 kali. Data yang diambil sebanyak-banyaknya. Cara pengambilan data dengan pengamatan langsung di kedua lokasi penelitian yaitu di Gedong Tataan dan Gisting. METODE Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei di Gedong Tataan dan Gisting, Provinsi Lampung. Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari rekording milik peternak yang meliputi service per conception, lama kebuntingan dan selang beranak. Data sekunder diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian yang meliputi manajemen pemeliharaan (sistem perkandangan, frekuensi pemberian pakan dan jenis pakan yang digunakan) serta wawancara dengan peternak. Data hasil service per conception, lama kebuntingan dan selang beranak ini dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Topografi Lokasi Penelitian 1. Gedong Tataan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu wilayah pengembangan kambing di Provinsi Lampung. ini terletak diantara kota Bandar Lampung dan Pringsewu. Gedong Tataan terletak sekitar 140,5 m di atas permukaan laut dan termasuk daerah dataran rendah. Secara umum memiliki hujan tropis sebagaimana iklim Provinsi Lampung pada umumnya, curah hujan per tahun berkisar antara 2.264 mm sampai dengan 2.868 mm, hari hujan antara 90 sampai dengan 176 hari/tahun. Arus angin di Gedong Tataan bertiup dari Samudra Indonesia dengan kecepatan rata-rata 70 km/hari atau 5,83 km/jam, sedangkan temperatur udara berkisar antara 26 C sampai dengan 29 C dan suhu rata-ratanya adalah 28 C (Monografi Gedong Tataan, 2007). 2. Gisting Gisting, Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu wilayah pengembangan kambing di Lampung yang terletak sekitar 700 m di atas permukaan laut dan termasuk daerah dataran tinggi. Gisting merupakan ibukota kecamatan, berjarak 30 km dari Kota Agung yang merupakan ibukota kabupaten dan berjarak 110 km dari Bandar Lampung yang merupakan ibukota provinsi (Pemerintahan Gisting, 2006). Iklim di Gisting termasuk tipe iklim tropis basah. Suhu udara harian 18--28 o C dengan suhu rata-rata 26 o C, curah hujan 3.500 mm/tahun dengan rata-rata 2.500 mm/ tahun (Monografi Gisting, 2006). Lahan pada umumnya berupa lahan kering namun cukup subur sehingga mampu menghasilkan hijauan pakan berkualitas tinggi. B. Service Per Conception Service per conception (S/C) adalah jumlah perkawinan yang diperlukan sampai terjadinya kebuntingan. Nilai angka perkawinan per kebuntingan (service per conception) dapat dicapai dengan mengatur waktu manajemen perkawinan yang tepat. (Slama, et al., 1976). Rata-rata service per conception kambing Boerawa di Gedong Tataan dan kambing Boerawa di Gisting berdasarkan hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Service per conception kambing Boerawa di Gedong Tataan dan kambing Boerawa di Gisting. Uraian Service Per Conception tertinggi Service Per Conception terendah Rata-rata Service Per Conception Gedong Tataan Gisting 3 3 1 1 1,35 1,34 Standar deviasi 0,513 0,497 Hasil penelitian menunjukkan bahwa service per conception di Gedong Tataan didapatkan nilai rata-rata 1,35 ± 0,513 dan di Gisting didapatkan nilai rata-rata 1,34 ± 0,497. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Kostaman, et al., (2003) yaitu 1,16 pada kambing PE, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Suryatiningrum (2009) yang menunjukkan service per conception pada kambing PE sebesar 1,77 ± 0,41. Semakin rendah nilai service per conception maka semakin efisien sistem perkawinan. Menurut Achjadi (2007) nilai service per conception optimal berkisar antara 1,1--1,3, sedangkan menurut Atabany (2000), nilai service per conception berkisar antara 1,0 sampai 2,0. Nilai service per conception di kedua kecamatan tergolong ideal. Tinggi rendahnya nilai service per conception juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya nilai service per conception adalah keterampilan inseminator dan waktu dalam melakukan inseminasi buatan, pakan dan pemberian pakan, pengetahuan peternak mendeteksi birahi, dan alasan beternak (Kurniadi, 2009).

Petugas inseminator di kedua lokasi penelitian sudah cukup terampil. Ketepatan waktu inseminator melakukan IB pada kambing sudah baik misalnya gejala birahi terlihat di pagi hari maka inseminator harus melakukan IB kambing yang birahi pada sore hari dengan hari yang sama sedangkan apabila gejala birahinya terlihat di sore hari maka inseminator melakukan IB pada pagi hari berikutnya. Faktor kualitas pakan yang diberikan dan manajemen pemberian pakan juga mempengaruhi tinggi rendahnya service per conception. Di Gisting manajemen dalam pemberian pakan dalam sehari rata-rata diberikan sebanyak tiga kali yaitu pada pagi hari, siang hari dan malam hari, sedangkan di Gedong Tataan manajemen pemberian pakan ratarata diberikan pada kambing Boerawa sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari dan sore hari. Kualitas pakan yang digunakan di kedua tersebut hampir sama yaitu pakan yang diberikan hanya dedaunan (daun nangka, daun lamtoro, daun mindi, daun gamal, dan daun dadapan) tanpa tambahan konsentrat sebagai sumber protein. Pengetahuan peternak dalam mendeteksi birahi juga merupakan faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya service per conception. Di Gedong Tataan dan Gisting rata-rata pengetahuan peternak mendeteksi birahi masih kurang baik. Hal ini dikerenakan para peternak di kedua kecamatan tersebut rata-rata pendidikan terakhirnya lulusan SD sampai SMP. Peternak yang berpendidikan tinggi pada umumnya memiliki pengetahuan beternak yang lebih baik sehingga akan lebih cepat dalam memahami cara beternak dan dapat langsung diterapkan pada ternaknya. Menurut Sudono, et al., (2003) yang menyatakan bahwa salah satu syarat menjadi peternak adalah mempunyai ketekunan bekerja dalam waktu yang lama, serta memiliki motivasi untuk memajukan peternakannya dan pengetahuan birahi yang baik sehingga akan meningkatkan kemampuan reproduksi dan pada akhirnya dapat menurunkan nilai service per conception. Selain faktor pengetahuan peternak dalam mendeteksi birahi, alasan beternak juga dapat menyebabkan tinggi rendahnya service per conception. Peternak yang menjadikan beternak sebagai pekerjaan pokok lebih banyak waktu untuk memperhatikan dan memelihara ternaknya dengan baik sehingga tatalaksana reproduksinya akan menjadi lebih baik (Kurniawan, 2009). Keadaan ini akan memudahkan peternak dalam mengawasi kambing sehingga dapat mengetahui kondisi sakit dan atau sedang estrus sehingga akan membantu mengurangi masalah-masalah yang dapat meningkatkan nilai service per conception. Di kedua lokasi penelitian yaitu Gedong Tataan dan Gisting, rata-rata masyarakatnya pekerjaan pokoknya tidak berternak melainkan bertani, sehingga berternak kambing Boerawa sebagai pekerjaan sampingan saja. Semakin rendah nilai service per conception maka semakin efisien sistem perkawinan. Service per conception juga menjadi bahan pertimbangan bagi peternak di kedua lokasi penelitian. Nilai rata-rata service per conception di kedua kecamatan hampir sama, ini dikarenakan faktor-faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya service per conception seperti pakan yang digunakan, keterampilan inseminator, pengetahuan dalam mendeteksi birahi dan alasan beternak rata-rata hasilnya sama, sehingga rata-rata nilai service per conception di kedua kecamatan tersebut hampir sama. C. Lama Kebuntingan Kebuntingan merupakan suatu interval waktu yang disebut dengan periode kebuntingan, terentang dari fertilisasi hingga lahir anak. Lama kebuntingan diperoleh dengan menghitung dari perkawinan yang fertil sampai partus (Hafez, 2000). Rata-rata Lama kebuntingan kambing Boerawa di Gedong Tataan dan kambing Boerawa di Gisting berdasarkan hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Lama kebuntingan kambing Boerawa di Gedong Tataan dan kambing Boerawa di Gisting. Uraian Lama kebuntingan tertinggi (hari) Lama kebuntingan terendah (hari) Rata-rata lama kebuntingan (hari) Gedong Tataan Gisting 160 162 154 150 157,1 154,7 Standar deviasi 1,483 2,347 Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama kebuntingan kambing Boerawa di Gedong Tataan sebesar 157,1 ± 1,483 hari dan di Gisting 154,7 ± 2,347 hari. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sutama, et al., (2000) yang menunjukkan bahwa kambing PE yang dikawinkan dengan pejantan Saanen mempunyai lama kebuntingan yang lebih pendek daripada kambing PE yang dikawinkan dengan pejantan PE, yaitu berturut-turut 145,9 dan 146,8 hari. Loliwu (2002) melaporkan bahwa lama kebuntingan kambing Kacang adalah sekitar lima bulan (150 hari), sedangkan menurut Astuti, et al., (2007), lama kebuntingan kambing PE adalah 5--6 bulan (150--180 hari), sedangkan menurut Partodihardjo (1982), lama masa kebuntingan pada kambing dan domba 148 hari dengan kisaran 140--159 hari. Di Gedong Tataan lama kebuntingan rata-rata sebesar 157,1 ± 1,483 hari, sedangkan lama kebuntingan di Gisting rata-rata sebesar 154,7 ± 2,347 hari. Lama kebuntingan di kedua lokasi penelitian tergolong ideal. Di kedua lokasi penelitian terdapat perbedaan lama kebuntingan pada kambing Boerawa. Beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan lama kebuntingan kambing Boerawa antara lain bobot lahir dan jenis kelamin. Faktor bobot lahir merupakan faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan pada kambing Boerawa di kedua lokasi penelitian. Anderson dan Plum (1965) umur kebuntingan yang pendek akan menghasilkan bobot lahir yang lebih ringan, sedangkan menurut Jainudeen dan Hafez (2000), besar fetus mempengaruhi lamanya kebuntingan, besar fetus dapat diartikan sebagai bobot lahir fetus sewaktu dilahirkan. Rata-rata bobot lahir di lokasi penelitian hampir sama, di Gedong Tataan rata-rata bobot lahir anak jantan sebesar 3,23 ± 0,167 kg dan rata-rata bobot lahir di Gisting sebesar 3,13 ± 0,153 kg. Hal ini dikarenakan pakan yang diberikan induk yang sedang bunting di kedua lokasi penelitian yaitu sama, pakan yang diberikan hanya dedaunan tanpa tambahan konsentrat sebagai sumber protein, sehingga bobot lahir di kedua penelitian hampir sama. Menurut Liggins (1982), suplai makanan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan fetus selama masa kebuntingan, sedangkan Akoso (1996) menyatakan bahwa kambing yang sedang bunting memerlukan pakan yang kandungan nutrisinya lebih baik, karena sangat diperlukan untuk pertumbuhan janin yang sedang dikandungnya. Selain faktor bobot lahir, faktor jenis kelamin juga dilaporkan mempengaruhi lama kebuntingan. Toelihere (1985) melaporkan bahwa anak jantan yang dikandung satu sampai dua hari lebih lama daripada anak betina, sedangkan menurut Abdulgani (1981), jenis kelamin anak mempengaruhi lama kebuntingan, dimana untuk anak jantan lama kebuntingannya 152,62 hari dan anak betina 147,82 hari. Pada penelitian ini, rata-rata jenis kelamin anak jantan di Gedong Tataan sebesar 1,31 ± 0,61 ekor dan rata-rata jenis kelamin anak jantan kambing Boerawa di Gisting sebesar 1,05 ± 0,57 ekor. D. Selang Beranak Selang beranak atau jarak beranak adalah periode antara dua beranak yang berurutan dari melahirkan sampai melahirkan berikutnya (Devendra dan Burns, 1994). Selang beranak merupakan faktor yang sangat menentukan tinggi rendahnya rata-rata produksi anak yang dihasilkan per tahun (Abdulgani, 1981). Rata-rata selang beranak kambing Boerawa di Gedong Tataan dan

kambing Boerawa di Gisting berdasarkan hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Selang beranak kambing Boerawa di Gedong Tataan dan kambing Boerawa di Gisting. Uraian Selang beranak tertinggi (hari) Lama Selang beranak terendah (hari) Rata-rata selang beranak (hari) Gedong Tataan Gisting 307 275 240 210 277,123 240,245 Standar deviasi 22,859 15,710 Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata selang beranak kambing Boerawa di Gedong Tataan sebesar 277,123 ± 22,859 hari dan di Gisting sebesar 240,245 ± 15,710 hari. Selang beranak hasil penelitian ini lebih pendek dari hasil yang dilaporkan oleh Devendra dan Burns (1994) pada kambing yaitu 327 hari ( 10,9 bulan) maupun Setiadi, et al., (1995) yakni 10 bulan (300 hari), tetapi masih lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Dahlan (2006) pada induk kambing PE yaitu 11,82 ± 0,48 bulan dengan tertinggi 12,5 bulan (360 hari) dan terendah 11 bulan (330 hari). Menurut Sodiq dan Sumaryadi (2002), rata-rata selang beranak pada kambing PE sebesar 240 hari dan pada kambing kacang sebesar 320 hari, sedangkan Djajanegara dan Chaniago (1988) menyatakan bahwa rata-rata selang beranak pada kambing-kambing yang ada di pedesaan sebesar 360--450 hari, sedangkan Nurrohmawati, 2008 dalam Anna Rica Lestari (2009) menyatakan bahwa hampir semua kambing jarak waktu yang dibutuhkan untuk bunting kembali sekitar tiga bulan, sehingga nilai selang beranak kambing secara normal delapan bulan (240 hari). Di Gedong Tataan nilai selang beranak sebesar 277,123 ± 22,859 hari, sedangkan di Gisting sebesar 240,245 ± 15,710 hari. Hasil penelitian ini meskipun terdapat perbedaan tetapi nilai selang beranak di kedua lokasi penelitian tergolong ideal, mengingat panjang pendeknya selang beranak ini mempengaruhi tingkat produktifitas rata-rata kelompok populasi kambing dalam satu tahun. Perbedaan selang beranak di kedua lokasi penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang memengaruhi panjang pendeknya selang beranak adalah masa kosong (days open), sistem manajemen dan iklim. Astuti (1983) menyatakan bahwa jarak antara waktu induk beranak sampai waktu induk dikawinkan kembali (days open) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi selang beranak. Menurut Sumadi (2001), masa kosong (days open) adalah jangka waktu sejak kambing beranak sampai dikawinkan kembali dan terjadi kebuntingan. Panjang dan pendeknya masa kosong di pengaruhi oleh waktu perkawinan induk kambing setelah beranak, tingkat kesuburan induk dan service per conception atau kegagalan dalan fertilitas. Jarak waktu dari saat melahirkan sampai birahi pertama setelah melahirkan dilaporkan beragam dari satu sampai tiga bulan atau bahkan lebih lama lagi (Devendra dan Burns, 1994). Atabany (2001) melaporkan kambing PE di peternakan Barokah dikawinkan kembali setelah melahirkan dengan jarak waktu ratarata 64,20 hari dan rata-rata masa kosong 3,66 bulan (90 hari). Di Gedong Tataan hasil wawancara dengan peternak didapat jarak antara waktu induk beranak sampai waktu induk dikawinkan kembali rata-rata sebesar 120,153 ± 22,375 hari. Hal ini disebabkan oleh sistem manajemen yang dilakukan oleh peternak di Gedong Tataan yaitu kambing Boerawa di Gedong Tataan sedang menyusui anaknya dan para peternak menunda induk dikawinkan kembali apabila sedang menyusui karena peternak di Gedong Tataan tidak menginginkan apabila terjadi pertumbuhan anak yang kurang baik, Sedangkan di Gisting jarak antara waktu induk dikawinkan kembali setelah beranak ratarata sebesar 90,169 ± 14,583 hari. Hal ini dikerenakan peternak di Gisting menginginkan induk kambing Boerawa dalam dua tahun dapat beranak sebanyak tiga kali, sehingga induk yang sudah birahi kedua setelah beranak dapat dikawinkan kembali walaupun induk

kambing Boerawa sedang menyusui anaknya. Bearden dan Fuquay, (1997) menyatakan bahwa induk yang sedang menyusui akan mengalami anestrus dua sampai tiga kali lebih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu, ketika sedang menyusui aktivitas ovarium dan estrus tidak dapat diamati selama dua atau tiga bulan lebih terutama bila konsumsi energi rendah, sehingga akan mempengaruhi selang beranak. Selain faktor masa kosong dan sistem manajemen, faktor iklim atau pengaruh cekaman stres suhu udara yang panas juga akan mempengaruhi panjang dan pendeknya selang beranak kambing Boerawa di Gedong Tataan dan Gisting. Menurut Rahardja (2005), cekaman suhu udara yang panas dapat menyebabkan memanjangnya siklus birahi yang secara langsung juga memperpanjang selang beranak. Tekanan panas pada hewan betina memperpanjang periode anestrus. Stres panas pada ternak dapat menyebabkan pelepasan adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dari anterior pituitary. Adrenocorticotrophic hormone ini menstimulasi pelepasan hormon cortisol dan glucocorticoids dari adrenal cortec. Glucocorticoids menghambat pelepasan luteotropic hormone (LH) yang akan menyebabkan periode anestrus lebih panjang dan pada akhirnya memperpanjang selang beranak. Di Gedong Tataan suhu udara rata-rata adalah 30 o C sedangkan di Gisting suhu udara rata-rata adalah 25 o C. Perbedaan suhu udara di kedua lokasi penelitian ini menyebabkan selang beranak kambing Boerawa di Gedong Tataan lebih tinggi dibandingkan selang beranak kambing Boerawa di Gisting. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan; 1. Penampilan reproduksi kambing Boerawa di Gedong Tataan sebagai berikut; service per conception sebesar 1,35 ± 0,513, lama kebuntingan sebesar 157,046 ± 1,483 hari dan selang beranak sebesar 277,123 ± 22,859 hari; 2. Penampilan reproduksi kambing Boerawa di Gisting sebagai berikut; service per conception sebesar 1,34 ± 0,497, lama kebuntingan sebesar 154,745 ± 2, 347 hari dan selang beranak sebesar 240,245 ± 15,710 hari; 3. Penampilan reproduksi kambing Boerawa di kedua lokasi penelitian yaitu di Gedong Tataan dan Gisting tergolong ideal karena sudah sesuai dengan standar penampilan reproduksi pada kambing. DAFTAR PUSTAKA Abdulgani, I.K. 1981. Beberapa Ciri Populasi Kambing di Desa Ciburuy dan Cigombong serta Kegunaannya Bagi Peningkatan Produktivitas. Tesis Magister. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Achjadi, K. 2007. Manajemen Pengembangan Bioteknologi Reproduksi pada Kambing. Karya Ilmiah. Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian. Bogor. Akoso, B.T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta. pp: 43. Anderson H, Plum TV. 1965. Gestation Length And Birth Weight in Cattle And Buffaloes. J Dairy Sci 48:1224. Astuti, M., A. Agus, I.G.S. Budisatria, L.M. Yusiati, dan M.U.M. Anggriani. 2007. Peta Potensi Plasma Nutfah Ternak Nasional. Edisi 1, Cetakan 1, Ardana Media, Yogyakarta. Atabany, A., Abdulgani, I.K., Sudono, A., dan Mudikdjo. 2000. Performa Produksi, Reproduksi Dan Nilai Ekonomis Kambing Peranakan EtawahDi Peternakan Barokah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor. Volume 1. No.1, hal : 1-7. Atabany, A. 2001. Studi Kasus Produksi Kambing Peranakan Etawah dan Kambing Saanen pada Peternakan Kambing Perah Barokah dan PT. Taurus Dairy Farm. Tesis. Program

Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bearden, H.J. and J.W. Fuquay, 1997. Applied Animal Reproduction. 4 th ed., Prentice-Hall, inc. USA. Cahyono, B. 1998. Berternak Domba dan Kambing. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 100 pp. Dahlan, A. 2006. Performan dan Indeks Produktivitas Induk Kambing Boerawa dan Kambing Peranakan Etawah pada Pemeliharaan Rakyat. Skripsi. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Devendra, C dan G. B. Mc. Leroy, 1988. Goat and Sheep Production in The Tropics. Longman Grup ltd, England. 271 pp. Devendra, C. dan Mc. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Djajanegara, A. & T. D. Chaniago. 1988. Goat meat production in Indonesia. In : C. Devendra (ed). Goat Meat Production in Asia. Intemational Developm nt Research Centre, Ottawa. Hafez, E. S. E. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7 th Ed. Williams & Wilkins. USA. Kurniadi, R. 2009. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Servis Per Conception pada Sapi Perah Laktasi di Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pengalengan Bandung Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Kurniawan, H. 2009. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Calving Interval pada Sapi Perah Laktasi di Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pengalengan Bandung Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Lestari, A. R. 2009. Penampilan Reproduksi Kambing Jawarandu. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Liggins, G. C. 1982. The Fetus and Birth in Reproduction in Mammals 2 nd Ed in Embrionic and Fetal. Development: 2. C. R. Austin and R.V. Short (Ed). Cambridge Univ. Press. Cambridge. pp: 114-142. Loliwu, Y.A. 2002. Pengaruh Pemberian Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotrophin dan Human Chorionic Gonadotrophin Terhadap Beberapa Sifat Reproduksi Kambing Kacang di Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Partodihardjo, S. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Edisi 1. Mutiara Sumber Widjaya. Jakarta. Pemerintahan gedong Tataan, 2007. Buku Monografi. Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Pesawaran. Pemerintahan Gisting, 2006. Buku Monografi. Gisting, Kabupaten Tanggamus. Tanggamus. Rahardja, D.P. 2005. Relationship Between Nutrition and Reproductive Function in Ruminant: Review. Bull. Junal Ilmu Petern. Perik. 9: 1-20. Setiadi, B., Subandriyo, dan L.C. Inigues. 1995. Reproductive Performance of Small Ruminants in an Outreach Pilot Project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner I(2):73-80. Slama, H., M.E. Wells, G.D.Adams dan R.D. Morrison. 1976. Factors Effecting Calving Interval in Dairy Herds. J. Dairy Sci.59 : 1334-1337.

Sodiq, A dan M. Y. Sumaryadi. 2002. Reproductive Performance of Kacang and Peranakan Etawah Goat in Indonesia. J. Animal Production: 52-59. Sudono, A., R. F. Rosdiana dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Angromedia Pustaka. Bogor. Sumadi, 2001. Estimasi Dinamika Populasi dan Out Put Kambing Peranakan Etawah di Desa Cibening Campaka Kabupaten Purwakarta. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryatiningrum, C. 2009. Prediksi Potensi Bibit Kambing Peranakan Etawah di Wilayah Bibit Dusun Argosuko Desa Argoyuwono Ampelgading Kabupaten Malang. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang. Sutama, I. K., R. Dharsana, B. Setiadi, U. Adiati, RSG. Sianturi, IGM. Budiarsana, Hartono dan A. Anggraeni. 2000. Respon Fisiologi dan Produktivitas Kambing Peranakan Etawa yang Dikawinkan dengan Kambing Saanen. Buku II. Penelitian Ternak Ruminansia Kecil. PP. 49-63. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Toelihere, 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa. Bandung.