BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makanan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Selain harus memenuhi kebutuhan zat gizi, makanan juga harus aman dari mikroorganisme dan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, makanan harus ditangani dan dikelola dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh (Khomsan, 2004). Pengelolaan makanan yang baik dan benar pada dasarnya adalah mengelola makanan berdasarkan kaidah-kaidah dan prinsip higiene dan sanitasi makanan. Prinsip-prinsip ini penting diketahui karena berperan dalam keberhasilan usaha penyelenggaraan makanan (Depkes RI, 2009). Penyelenggaraan makanan yang higiene dan sehat menjadi prinsip dasar penyelenggaraan makanan institusi. Makanan yang tidak dikelola dengan baik dan benar oleh penjamah makanan dapat menimbulkan dampak negatif seperti penyakit dan keracunan akibat bahan kimia, mikroorganisme, tumbuhan atau hewan, serta dapat pula menimbulkan alergi (Fatmawati, Rosidi, & Handarsari, 2013). Pondok pesantren merupakan salah satu institusi yang memiliki fungsi penyelenggaraan makanan dan minuman untuk para santri dan orang-orang di lingkungan pondok. Selain itu, pondok pesantren juga merupakan salah satu institusi khusus yang memberikan bimbingan kepada anak-anak yang selayaknya perlu diberikan pengawasan dan pelatihan secara periodik dalam hal penyelenggaraan makanannya (Aryanti, 2012). 1
Pengawasan dan pelatihan ini perlu dilakukan terutama pada pengolahan bahan pangan sumber protein hewani, seperti telur yang konsumsinya lebih besar daripada bahan pangan hewani lain, karena telur cukup terjangkau bagi masyarakat yang mempunyai daya beli rendah (Saliem dkk, 2001). Kandungan protein ini yang menyebabkan bahan pangan hewani berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba yang berbahaya bagi kesehatan (Afifah, 2013). Selama tahun 2011, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 128 kasus keracunan pangan dari 25 provinsi. Keracunan makanan juga banyak terjadi di lingkup pesantren. Pada tahun 2012, kasus keracunan menimpa ratusan santri pesantren di Bangkalan, Madura. Kemudian tahun 2014 lalu, kejadian serupa terjadi di Ponorogo. Dari keterangan beberapa santri diduga penyebab keracunan massal tersebut diakibatkan karena konsumsi nasi bungkus dan makanan yang sudah basi (Tribunnews, 2014). Salah satu faktor yang berperan dalam proses penyelenggaraan makanan adalah penjamah makanan. Tenaga penjamah makanan adalah seorang tenaga yang terlibat langsung dalam proses penyediaan makanan mulai dari proses menyiapkan hingga menyajikan makanan. Pengetahuan, sikap dan perilaku penjamah makanan selama menjalankan tugasnya dapat mempengaruhi kualitas makanan yang dihasilkan (Meikawati, Astuti, & Susilawati, 2010). Selain itu, menurut Rohani (2009), kebersihan penjamah makanan juga sangat diutamakan karena berhubungan dengan pengolahan bahanbahan makanan yang tidak diinginkan, penjamah makanan harus dapat 2
menjaga kebersihan diri juga peralatan yang digunakan dalam mengelola bahan makanan tersebut. Agar dapat menimbulkan kepercayaan konsumen terhadap kebersihan dan kualitas makanan yang diolah karyawan dapur, pengelola pondok pesantren harus menerapkan higiene dan sanitasi bagi karyawan dapur khususnya. Jika prinsip higiene dan sanitasi ini dapat diterapkan, diharapkan pertumbuhan kuman dan bertambahnya bahan aditif pada makanan dan minuman yang disajikan dapat dicegah supaya tidak menjadi mata rantai penularan penyakit dan gangguan kesehatan. Sehingga makanan yang dihasilkan dapat bermanfaat dan tidak membahayakan bagi orang yang memakannya (Sujatmiko, 2009). Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Kadati (2012) mengenai hubungan antara pengetahuan tenaga pengolah makanan dengan skor keamanan pangan (SKP) dan uji mikrobiologi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta. Hal ini yang membuat peneliti tertarik meneliti institusi non komersial seperti pondok pesantren, karena sejauh ini penelitian mengenai penerapan higiene dan sanitasi penyelenggaraan makanan di pondok pesantren masih jarang dilakukan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tindakan preventif untuk mencegah risiko kurangnya praktik higiene dan sanitasi yang belum memadai. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimana hubungan pengetahuan penjamah makanan dengan keamanan pangan berdasar SKP dan uji mikrobiologi di pondok pesantren? 3
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya hubungan antara pengetahuan tentang keamanan pangan penjamah makanan dengan skor keamanan pangan dan angka kuman. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya tingkat pengetahuan penjamah makanan di pondok pesantren. b. Diketahuinya tingkat keamanan pangan makanan pondok pesantren berdasarkan SKP. c. Diketahuinya kategori uji angka kuman makanan pondok pesantren berdasarkan uji mikrobiologi. d. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan penjamah makanan dengan SKP. e. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan penjamah makanan dengan angka kuman. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Dapat menambah wawasan keilmuan dan menambah pengetahuan pengalaman peneliti mengenai penyelenggaraan makanan di pondok pesantren. Selain itu, peneliti juga dapat berbagi ilmu 4
mengenai penyelenggaraan makanan kepada para pengelola pondok pesantren, khususnya penjamah makanan di pondok pesantren. 2. Bagi Pondok Pesantren Dapat memberikan informasi serta dapat digunakan sebagai sarana menentukan kebijakan dan perbaikan penyelenggaraan makanan di pondok pesantren. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Sebagai sumber informasi bagi dunia pendidikan dan dapat menambah referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai penyelenggaraan makanan institusi, khususnya di pondok pesantren. E. Keaslian Penelitian 1. Alhusna (2000), dengan judul Tinjauan Perilaku Petugas Pengelola Makanan Terhadap Sanitasi Pengelolaan Makanan di Pondok Pesantren Modern Babussalam Desa Teluk Bakung Tanjung Pura Langkat 1999. Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif dengan kesimpulan bahwa pengetahuan yang bersifat umum telah baik, sikap yang cukup baik, tindakan yang hanya bersifat praktis tanpa memperhatikan kualitas pengelolaan dan lingkungan tempat pengelolaan itu dilakukan. Persamaan dengan penelitian ini adalah subyek penelitian dan samasama meneliti pondok pesantren, sedangkan perbedaannya adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. 2. Hardono (2011), dengan judul Kajian Tingkat Pengetahuan Penjamah Makanan tentang Penerapan Higiene dan Sanitasi pada 5
Penyelenggaraan Makanan di Sheraton Mustika Hotel Yogyakarta. Penelitian bersifat deskriptif dengan kesimpulan tingkat pengetahuan penjamah makanan tentang penerapan higiene dan sanitasi penyelenggaraan makanan sudah baik yang ditandai oleh hasil checklist semi kualitatif, checklist higiene penjamah makanan dan form FGD yang mayoritas menunjukkan kriteria baik. Persamaan dengan penelitian adalah sama-sama meneliti higiene dan sanitasi makanan, sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini adalah subyek penelitian, metode penelitian dan lokasi penelitian. 3. Aryanti (2012), dengan judul Higiene dan Sanitasi Pengelolaan Makanan di Pesantren Modern Unggulan Terpadu Darul Mursyid dan Pesantren KH. Ahmad Dahlan Tahun 2011. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan kesimpulan enam prinsip higiene dan sanitasi pengelolaan makanan belum memenuhi syarat kesehatan, begitu juga dengan uji kelaikan fisik belum memenuhi syarat kesehatan. Persamaan dengan penelitian adalah sama-sama meneliti higiene dan sanitasi makanan, sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. 4. Kadati (2012), dengan judul Tinjauan Pengetahuan Tenaga Pengolah dan Keamanan Pangan Lauk Hewani Berdasarkan Skor Keamanan Pangan (SKP) dan Uji Mikrobiologi di RSU Bethesda Lempuyangwangi Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif analitik. Hasil dari penelitian ini adalah rata-rata skor pengetahuan tentang pemilihan dan penyimpanan bahan makanan (PPB) 0,90; higiene pemasak (HGP) 0,82; pengolahan bahan makanan (PBM) 6
0,90; dan distribusi makanan (DMP) 0,86. Tingkat keamanan pangan lauk hewani berdasarkan skor keamanan pangan (SKP) untuk olahan ayam (98,02%), ikan (99,21%), dan daging sapi (98,29%) dalam kategori baik, sedangkan telur (96,24%) dalam kategori rawan tapi aman dikonsumsi. Jumlah angka kuman berdasarkan uji mikrobiologi keempat jenis olahan rendah, olahan hewani aman untuk dikonsumsi. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel penelitian dan desain penelitian, sedangkan perbedaannya adalah lokasi dan subjek penelitian. 7