BAB IV ANALISIS KINEMATIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

DAFTAR PUSTAKA. Bieniawski, Z. T., Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling. A.A. Balkema, Amsterdam. 272 hal.

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Analisis Kestabilan Lereng Batuan

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

ANGGUNING DIAH FAHMI NIM

STUDI KEKUATAN GESER TERHADAP PENGARUH KEKASARAN PERMUKAAN DIAKLAS BATU GAMPING

PENGARUH BIDANG DISKONTINU TERHADAP KESTABILAN LERENG TAMBANG STUDI KASUS LERENG PB9S4 TAMBANG TERBUKA GRASBERG

BAB IV SIMULASI PENGARUH PERCEPATAN GEMPABUMI TERHADAP KESTABILAN LERENG PADA TANAH RESIDUAL HASIL PELAPUKAN TUF LAPILI

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

DAFTAR ISI... RINGKASAN... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. PENDAHULUAN

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR...i. SARI...iv. ABSTRACT...v. DAFTAR ISI...vi. DAFTAR TABEL...ix. DAFTAR GAMBAR...x. DAFTAR LAMPIRAN...

BAB II LANDASAN TEORI

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

PENENTUAN PENGARUH AIR TERHADAP KOHESI DAN SUDUT GESEK DALAM PADA BATUGAMPING

BAHAN AJAR. MEKANIKA BATUAN (Semester 6 / 2 SKS / TKS 1607)

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

ANALISIS STABILITAS LERENG TEBING SUNGAI GAJAHWONG DENGAN MEMANFAATKAN KURVA TAYLOR

Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit

ANALISIS TIPE LONGSOR DAN KESTABILAN LERENG BERDASARKAN ORIENTASI STRUKTUR GEOLOGI DI DINDING UTARA TAMBANG BATU HIJAU, SUMBAWA BARAT

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA

Gambar 1 Hubungan antara Tegangan Utama Mayor dan Minor pada Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown dan Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb (Wyllie & Mah, 2005)

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar

Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten

TUGAS PRAKTIKUM GEOLOGI TEKNIK ROCK QUALITY DESIGNATION (RQD) & SCANLINE

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar

BAB II RUANG LINGKUP PENELITIAN

GEOTEKNIK TAMBANG DASAR DASAR ANALISIS GEOTEKNIK. September 2011 SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL (STTNAS) YOGYAKARTA.

ANALISIS KESTABILAN LERENG BATU DI JALAN RAYA LHOKNGA KM 17,8 KABUPATEN ACEH BESAR

GRAFIK HUBUNGAN ( angka pori dengan kadar air) Pada proses pengeringan

BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING

DAFTAR ISI. SARI... i. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN... xiv

TEKANAN TANAH LATERAL

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

5.1 ANALISIS PENGAMBILAN DATA CORE ORIENTING

BAB III KARAKTERISTIK PELAPUKAN ANDESIT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB IV STUDI LONGSORAN

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956)

DAFTAR ISI. RINGKASAN... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN...

ANALISIS KINEMATIKA KESTABILAN LERENG BATUPASIR FORMASI BUTAK

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Parameter geomekanika yang dibutuhkan dalam analisis kestabilan lereng didasarkan

PAPER GEOLOGI TEKNIK

Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32 Inderalaya Sumatera Selatan, 30662, Indonesia Telp/fax. (0711) ;

Pada ujung bawah kaki timbunan terlihat kelongsoran material disposal yang menutup pesawahan penduduk seperti terlihat pada Gambar III.27.

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

KARAKTERISASI DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEKUATAN BATUAN BERDASARKAN PENGUJIAN SCHMIDT HAMMER

GEOLOGI STRUKTUR PRINSIP GAYA & DEFORMASI

Kornelis Bria 1, Ag. Isjudarto 2. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Jogjakarta

KUAT GESER 5/26/2015 NORMA PUSPITA, ST. MT. 2

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

ANALISA STABILITAS LERENG PADA CAMPURAN PASIR DAN TANAH LEMPUNG DENGAN MENGGUNAKAN PERMODELAN DI LABORATORIUM ABSTRAK

UJI KUAT GESER LANGSUNG TANAH

matematis dari tegangan ( σ σ = F A

BAB III TEORI DASAR. Longsoran Bidang (Hoek & Bray, 1981) Gambar 3.1

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T.

III. KUAT GESER TANAH

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI

Strain, Stress, dan Diagram Mohr

GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR

INVESTIGASI GEOLOGI POTENSI LONGSOR BERDASARKAN ANALISIS SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

TOPIK BAHASAN 8 KEKUATAN GESER TANAH PERTEMUAN 20 21

4 BAB VIII STABILITAS LERENG

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

AWAL GERAK BUTIR SEDIMEN

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

ANALISIS KETIDAKSTABILAN LERENG PADA KUARI TANAH LIAT DI MLIWANG PT. SEMEN INDONESIA (PERSERO) TUBAN JAWA TIMUR

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS KINEMATIK Pada prinsipnya terdapat dua proses untuk melakukan evaluasi kestabilan suatu lereng batuan. Langkah pertama adalah menganalisis pola-pola atau orientasi diskontinuitas yang dapat menyebabkan ketidakstabilan lereng batuan. Proses ini pada umumnya dilakukan dengan menggunakan metode stereografi dan analisis kinematik (Piteau dan Peckover, 1978 op cit. Hoek, 2000). Kemudian langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap kestabilan lereng itu sendiri, berdasarkan hasil dari analisis kinematik yang akan dilakukan secara terpisah pada bab V. Berdasarkan hal tersebut, pada bab ini dibahas mengenai analisis kinematik yang merupakan langkah awal dalam suatu keseluruhan proses evaluasi kestabilan lereng batuan. Namun, sebelum kita masuk pada inti pembahasan bab ini, tahapan lainnya yang perlu dilakukan dijabarkan pada subbab-subbab berikut ini. 4.1 Data Diskontinuitas 4.1.1 Metode Pengambilan Data Diskontinuitas Pengamatan dan pencatatan terhadap orientasi diskontinuitas dilakukan dengan secara sistematis dengan menggunakan metode scanline sampling. Dalam metode ini, pencatatan atribut diskontinuitas dilakukan sepanjang garis pengamatan dengan batasan 30 centimeter ke atas dan 30 centimeter ke bawah dari garis pengamatan. Diskontinuitas yang dicatat dan diobservasi adalah diskontinuitas yang memotong garis pengamatan. Salah satu ujung dari garis pengamatan menjadi datum dalam pengukuran jarak diskontinuitas. Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengamatan adalah nomor identitas diskontinuitas, posisi diskontinuitas (jarak dari datum), kedudukan diskontinuitas (jurus dan kemiringan), bukaan diskontinuitas (aperture), panjang, tipe material pengisi, kondisi pelapukan diskontinuitas, dan kondisi keairan. 30

4.1.2 Lokasi Pengambilan Data Pengukuran dilakukan pada lereng yang memiliki panjang lebih kurang 150 meter dan tinggi lebih kurang 25 meter. Kemudian lereng tersebut dibagi menjadi delapan segmen berdasarkan perubahan arah dan sudut kemiringan lereng, serta untuk menjaga konsistensi level garis pengukuran. Kedelapan segmen tersebut adalah sebagai berikut : a. Segmen 1 (Foto 4.1) Posisi awal : 107º 40 02,8 BT dan 07º 01 41,7 LS Arah garis pengukuran : N 198º E Arah dan kemiringan lereng : N 288º E, 68º Ketinggian rata-rata : ± 6 meter Panjang lereng : 9,95 meter b. Segmen 2 (Foto 4.2) Posisi awal : 107º 40 02,9 BT dan 07º 01 42,1 LS Arah garis pengukuran : N 137º E Arah dan kemiringan lereng : N 225º E, 75º Ketinggian rata-rata : ± 7 meter Panjang lereng : 13,13 meter c. Segmen 3 (Foto 4.3) Posisi awal : 107º 40 03,0 BT dan 07º 01 42,7 LS Arah garis pengukuran : N 179º E Arah dan kemiringan lereng : N 269º E, 70º Ketinggian rata-rata : ± 25 meter Panjang lereng : 19,40 meter d. Segmen 4 (Foto 4.4) Posisi awal : 107º 40 02,9 BT dan 07º 01 43,2 LS Arah garis pengukuran : N 118º E Arah dan kemiringan lereng : N 208º E, 74º Ketinggian rata-rata : ± 23 meter Panjang lereng : 16,10 meter 31

e. Segmen 5 (Foto 4.5) Posisi awal : 107º 40 03,0 BT dan 07º 01 43,8 LS Arah garis pengukuran : N 144º E Arah dan kemiringan lereng : N 234º E, 73º Ketinggian rata-rata : ± 25 meter Panjang lereng : 11,77 meter f. Segmen 6 (Foto 4.6) Posisi awal : 107º 40 03,0 BT dan 07º 01 44,0 LS Arah garis pengukuran : N 207º E Arah dan kemiringan lereng : N 297º E, 83º Ketinggian rata-rata : ± 20 meter Panjang lereng : 5,80 meter g. Segmen 7 (Foto 4.7) Posisi awal : 107º 40 02,7 BT dan 07º 01 44,2 LS Arah garis pengukuran : N 152º E Arah dan kemiringan lereng : N 242º E, 73º Ketinggian rata-rata : ± 18 meter Panjang lereng : 6,00 meter h. Segmen 8 (Foto 4.8) Posisi awal : 107º 40 02,0 BT dan 07º 01 45,0 LS Arah garis pengukuran : N 214º E Arah dan kemiringan lereng : N 304º E, 76º Ketinggian rata-rata : ± 15 meter Panjang lereng : 22,71 meter 32

A Foto 4.1. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 1 (A A adalah scanline) B Foto 4.2. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 2 (B B adalah scanline) 33

C Foto 4.3. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 3 (C C adalah scanline) D Foto 4.4. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 4 (D D adalah scanline) 34

E Foto 4.5. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 5 (E E adalah scanline) F Foto 4.6. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 6 (F F adalah scanline) 35

G Foto 4.7. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 7 (G G adalah scanline) H Foto 4.8. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 8 (H H adalah scanline) 36

4.1.3 Data Diskontinuitas Hasil Pengukuran Lapangan Data dari hasil pengukuran diskontinuitas pada setiap segmen diberikan pada Lampiran A. 4.1.4 Intepretasi Set Diskontinuitas Utama Dalam pengamatan diskontinuitas, suatu hal yang penting dilakukan adalah melakukan pemilahan data antara diskontinuitas alami dengan diskontinuitas yang terbentuk akibat aktivitas manusia (induced fractures). Induced fractures pada daerah penelitian umumnya berupa diskontinuitas akibat aktivitas penambangan, seperti peledakan (blasting) atau pemotongan batuan. Namun dalam penelitian ini, pemilahan data diskontinuitas yang didasarkan atas tipe genetisnya tidak dilakukan. Hal terebut berdasarkan atas asumsi bahwa seluruh jenis diskontinuitas yang terdapat di lereng penelitian ikut berpengaruh terhadap tipe keruntuhan yang terjadi. Pemilahan didasarkan atas orientasi diskontinuitas, meliputi jurus dan kemiringan bidang diskontinuitas. Diskontinuitas-diskontinuitas yang sejenis dan memiliki orientasi yang relatif sama dikelompokkan menjadi satu set diskontinuitas tertentu. Dari proses pengelompokkan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Stereonet dan Rockworks v 2.1, didapatkan dua set diskontinuitas untuk segmen 1 (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1), tiga set diskontinuitas untuk segmen 2 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.2), tiga set diskontinuitas untuk segmen 3 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.3), tiga set diskontinuitas untuk segmen 4 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.4), tiga set diskontinuitas untuk segmen 5 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.5), empat set diskontinuitas untuk segmen 6 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.6), dua set diskontinuitas untuk segmen 7 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.7), dan empat set diskontinuitas untuk segmen 8 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.8). 37

JSA 1 JSA 2 JSA 2 JSA 1 Gambar 4.1 Intepretasi set diskontinuitas di segmen 1 JSB 1 JSB 1 JSB 2 JSB 3 JSB 2 JSB 3 Gambar 4.2. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 2 JSC 1 JSC 1 JSC 2 JSC 2 JSC 3 JSC 3 Gambar 4.3. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 3 38

JSD 2 JSD 2 JSD 3 JSD 1 JSD 3 JSD 1 Gambar 4.4. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 4 JSE 3 JSE 2 JSE 1 JSE 1 JSE 2 JSE 3 Gambar 4.5. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 5 JSF 2 JSF 1 JSF 3 JSF 4 JSF 1 JSF 2 JSF 3 JSF 4 Gambar 4.6. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 6 39

JSG 2 JSG 1 JSG 1 JSG 2 Gambar 4.7. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 7 JSH 1 JSH 2 JSH 3 JSH 4 JSH 1 JSH 2 JSH 4 JSH 3 Gambar 4.8. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 8 40

Tabel 4.1. Set dan orientasi umum yang hadir dalam setiap segmen Lokasi Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3 Segmen 4 Segmen 5 Segmen 6 Segmen 7 Segmen 8 Kedudukan Umum Kode Strike Dip N... ºE (...º) JSA 1 178 60 JSA 2 221 38 JSB 1 1 69 JSB 2 308 24 JSB 3 256 70 JSC 1 7 80 JSC 2 329 71 JSC 3 280 79 JSD 1 243 77 JSD 2 283 29 JSD 3 283 69 JSE 1 237 84 JSE 2 307 41 JSE 3 335 58 JSF 1 14 35 JSF 2 345 63 JSF 3 264 83 JSF 4 153 67 JSG 1 335 58 JSG 2 63 58 JSH 1 339 45 JSH 2 313 62 JSH 3 143 80 JSH 4 173 70 4.2 Pengujian Laboratorium 4.2.1 Pengamatan Petrografi Dalam kegiatan penelitian geologi teknik, pengenalan batuan adalah bagian yang sangat penting. Karena jenis batuan yang berbeda akan memberikan karakteristik keteknikan yang berbeda pula. Beberapa jenis batuan memang memerlukan pengamatan mikroskopik untuk mengidentifikasinya, namun adakalanya batuan masih dapat dikenal dengan hanya bantuan lensa pembesar. 41

Pengamatan secara makroskopik menunjukkan bahwa batuan penyusun lereng merupakan andesit. Kemudian pada hasil uji petrografi didapatkan bahwa batuan penyusun lereng penelitian adalah andesit piroksen (lihat Lampiran B). 4.2.2 Pengujian Densitas dan Porositas Andesit Densitas merupakan ukuran dari massa per unit volume. Nilai densitas dari material batuan sangat bervariasi dan seringkali berkaitan dengan porositas batuan itu sendiri. Dari pengujian laboratorium, didapatkan densitas kering (oven) dari batuan andesit adalah 2,66 gr/cm 3 (lihat Lampiran C). Porositas menggambarkan perbandingan antara ruang kosong di antara butiran dengan total keseluruhan volume batuan. Dari hasil pengujian, didapatkan porositas sebesar 2,12% (lihat Lampiran C). Densitas dan porositas seringkali berkaitan dengan kekuatan dari batuan itu sendiri. Pada umumnya semakin kecil nilai densitas dan semakin besar porositas, maka batuan tersebut akan mempunyai kekuatan yang semakin kecil. 4.2.3 Pengujian Kuat Geser Langsung Andesit Shear strength (kuat geser) digunakan untuk menggambarkan kekuatan dari material batuan terhadap proses deformasi (keruntuhan) akibat gaya berarah sejajar atau hampir sejajar terhadap bidang lemah dari batuan tersebut. Pada prinsipnya, ketika batuan menahan gaya geser yang dikenakan terhadap dirinya, mekanisme perlawanan dikontrol oleh sudut geser dalam ( ) dan kohesi (c) dari batuan tersebut. Sudut geser dalam disebabkan karena kontak yang terjadi antar partikel batuan, sedangkan kohesi adalah gaya ikatan antar material batuan. Batuan yang berbeda umumnya memiliki nilai sudut geser dalam dan kohesi yang berbeda pula. Pengujian ini dilakukan untuk memperoleh nilai sudut geser dalam dan kohesi dari andesit. Benda uji sebelumnya telah dipecah dengan pukulan palu, dan hal tersebut dilakukan karena keterbatasan pada alat pengujian. Oleh karena itu, digunakan asumsi nilai sudut geser puncak dari benda uji dapat dianggap sebagai basic friction angle 42

b ) dengan nilai kohesi mendekati nol (Hoek, 2000). Dari hasil pengujian laboratorium, didapatkan nilai basic friction angle ( b ) sebesar 30,2º dengan nilai kohesi sebesar 0,00021 MPa (lihat Lampiran D). 4.3 Perhitungan Sudut Geser Dalam Efektif ( i ) Untuk mencari sudut geser dalam efektif ( i ) dari masing-masing set bidang diskontinuitas, sebelumnya terlebih dahulu dilakukan perhitungan parameterparameter yang dibutuhkan sebagai berikut. 4.3.1 Joint Roughness Coefficient (JRC) Joint roughness coefficient (JRC) merupakan suatu nilai yang didapatkan dengan membandingkan kenampakan permukaan diskontinuitas di lapangan dengan profil standar yang dipublikasikan oleh Barton dan Choubey (1977). Kenampakan permukaan diskontinuitas di lapangan dibandingkan secara visual terhadap profil standar (Gambar 4.9), kemudian didapatkan nilai JRC berdasarkan profil standarnya. Lebih lanjut lagi, Barton (1982 op cit. Hoek, 2000) mempublikasikan metode alternatif perhitungan JRC dengan cara membandingkan panjang profil pengamatan terhadap amplitudo asperities dari permukaan diskontinuitas (Gambar 4.10). Barton (1982 op cit. Franklin dan Dusseault, 1991) memberikan nilai JRC yang bervariasi antara 0 sampai 20. Nilai JRC 5 dikategorikan sebagai permukaan yang hampir rata (nearly planar surface), sedangkan nilai 10 dikategorikan kedalam permukaan yang bergelombang lemah (smooth undulating surface), begitu pula halnya dengan nilai JRC 20 yang dikategorikan kedalam permukaan yang bergelombang terjal (rough undulating surface). 43

Gambar 4.9. Nilai JRC terhadap profil roughness (Barton dan Choubey, 1977 op cit. Hoek, 2000) 44

Gambar 4.10. Metoda alternatif untuk pengukuran JRC (Barton, 1982 op cit. Hoek, 2000) Data yang didapat dari pengukuran lapangan adalah amplitudo asperities dan panjang profil pengukuran (Foto 4.9). Kemudian untuk mendapatkan nilai JRC dari setiap set dikontinuitas, digunakan grafik di atas (lihat Gambar 4.10). Perhitungan nilai JRC untuk setiap set diskontinuitas dapat dilihat pada Lampiran E, dan diberikan Tabel 4.2 yang merupakan rekapitulasi hasil perhitungan JRC. 45

Foto 4.9. Pengukuran amplitudo asperities di lapangan 4.3.2 Joint Wall Compressive Strength (JCS) Metode untuk mendapatkan joint wall compressive strength telah dipublikasikan oleh ISRM (1978). Sebelumnya, penggunaan nilai Schmidt rebound hammer terhadap berat jenis batuan untuk mengukur JCS ini telah dipublikasikan oleh Deere dan Miller (1966 op cit. Hoek, 2000) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.11. Data yang didapat dari pengukuran lapangan adalah nilai Schmidt hammer dan arah pengukuran selalu tegak lurus bidang diskontinuitas (Foto 4.10). Foto 4.10. Pengukuran JCS dengan menggunakan Schmidt hammer. 46

Gambar 4.11. Metode untuk mendapatkan nilai JCS dari Schmidt hammer (Deere dan Miller, 1966 op cit. Hoek, 2000) 47

Untuk mendapatkan nilai JCS dari setiap set dikontinuitas, digunakan grafik di atas (Gambar 4.11). Perhitungan nilai JCS diberikan pada Lampiran F, dan Tabel 4.2 memperlihatkan rekapitulasi hasil perhitungan JCS. Tabel 4.2. Rekapitulasi nilai dari hasil pengukuran JRC dan JCS Lokasi Kode Set Rekahan Nilai JRC Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3 Segmen 4 Segmen 5 Segmen 6 Segmen 7 Segmen 8 Nilai JCS (MPa) JSA 1 5 72,5 JSA 2 4,73 62,91 JSB 1 4,67 70,17 JSB 2 4,38 51,63 JSB 3 5,2 70,6 JSC 1 4,9 76,7 JSC 2 5,6 75,8 JSC 3 4,5 95 JSD 1 5,07 76,64 JSD 2 5,13 68,44 JSD 3 6,33 64 JSE 1 5 78,5 JSE 2 5,38 71,38 JSE 3 5,14 56,57 JSF 1 5,25 47,25 JSF 2 5,38 41,38 JSF 3 5,24 44,4 JSF 4 5,29 45 JSG 1 4,71 67,86 JSG 2 5,11 77,44 JSH 1 4,78 48 JSH 2 5 49,71 JSH 3 4,55 48,55 JSH 4 5,17 45,33 Dari tabel di atas, terlihat nilai JRC untuk tiap set bidang diskontinuitas berada dalam kisaran 4 6. Berdasarkan profil standar JRC yang dipubliskasikan oleh Barton dan Choubey (1977 op cit. Hoek 2000) pada Gambar 4.9 dapat diartikan bahwa seluruh set diskontinuitas yang ada memiliki tingkat roughnessdalam kategori slightly rough. Lain halnya dengan nilai JRC, nilai JCS memberikan kisaran nilai yang beragam, dan hal tersebut mungkin dikarenakan tingkat kekerasan permukaan diskontinuitas 48

(surface hardness) yang berbeda pula. Lebih lanjut lagi, perbedaan tingkat kekerasan mengindikasikan tingkat pelapukan yang berbeda pada tiap permukaan diskontinuitas. 4.3.3 Kohesi dan Sudut Geser Dalam untuk Masing-Masing Set Diskontinuitas Barton (1973 op cit. Hoek, 2000) memperkenalkan hubungan antara kuat geser (τ ) dengan normal stress ( σ ) yang direpresentasikan oleh hubungan non-linier (Gambar n 4.12). Hubungan tersebut (Persamaan 4.1) tidak dinyatakan dalam variabel kohesi (c) dan sudut geser dalam ( ). Oleh karena itu, Hoek (2000) memberikan persamaan yang dinyatakan dalam variabel kohesi efektif (c i ) dan sudut geser dalam ( i ) untuk setiap nilai JRC, JCS dan stress normal ( σ ) tertentu (Persamaan 4.2a, 4.2b, dan 4.3). n Gambar 4.12. Grafik yang menggambarkan hubungan kohesi efektif (c i ) dan sudut geser efektif ( i ) terhadap kriteria keruntuhan non-linear (Hoek, 2000) 49

JCS τ = σ n tan φb + JRC log10 (4.1) σ n τ φ i = arctan (4.2a) σ n dengan τ σ n JCS πjrc 2 JCS = tan JRC log + φ tan b JRC log10 σ n 180ln 10 + φ 10 b σ n + 1 (4.2b) Kemudian kohesi efektif (c i ) didapatkan dengan persamaan sebagai berikut : ci = τ σ tanφ (4.3) n i Perhitungan sudut geser efektif ( i ) dan kohesi efektif (c i ) dijabarkan pada Lampiran G. Kemudian hasil perhitungan kohesi efektif dan sudut geser dalam efektif untuk setiap bidang diskontinuitas yang didapatkan dari persamaan-persamaan di atas, diberikan oleh Tabel 4.3. Dari tabel tersebut, untuk mempermudah analisis kinematik yang akan dilakukan, dapat disederhanakan bahwa nilai rata-rata sudut geser dalam efektif ( i ) untuk keseluruhan bidang diskontinuitas yang ada adalah 41,5º. 50

Tabel 4.3. Hasil perhitungan kohesi (c i ) dan sudut geser dalam efektif ( i ). Lokasi Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3 Segmen 4 Segmen 5 Segmen 6 Segmen 7 Segmen 8 Kode Set φ b σ n τ φ i c i Rekahan (º) (MPa) (MPa) (º) (MPa) JSA 1 30,2 0,13 0,890 41,68 0,775 JSA 2 30,2 0,13 0,860 40,77 0,750 JSB 1 30,2 0,13 0,865 40,86 0,753 JSB 2 30,2 0,13 0,827 39,62 0,720 JSB 3 30,2 0,13 0,903 42,07 0,785 JSC 1 30,2 0,13 0,887 41,57 0,772 JSC 2 30,2 0,13 0,937 43,15 0,816 JSC 3 30,2 0,13 0,871 41,07 0,758 JSD 1 30,2 0,13 0,899 41,96 0,782 JSD 2 30,2 0,13 0,896 41,85 0,779 JSD 3 30,2 0,13 0,977 44,35 0,850 JSE 1 30,2 0,13 0,896 41,85 0,779 JSE 2 30,2 0,13 0,916 42,51 0,797 JSE 3 30,2 0,13 0,883 41,45 0,768 JSF 1 30,2 0,13 0,878 41,27 0,764 JSF 2 30,2 0,13 0,877 41,24 0,763 JSF 3 30,2 0,13 0,873 41,11 0,759 JSF 4 30,2 0,13 0,877 41,25 0,763 JSG 1 30,2 0,13 0,866 40,89 0,753 JSG 2 30,2 0,13 0,903 42,08 0,786 JSH 1 30,2 0,13 0,849 40,33 0,738 JSH 2 30,2 0,13 0,865 40,86 0,753 JSH 3 30,2 0,13 0,835 39,87 0,727 JSH 4 30,2 0,13 0,870 41,02 0,757 4.4 Analisis Kinematik Metode stereografi banyak digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis longsoran yang mungkin terjadi pada suatu lereng batuan. Berdasarkan perajahan data jurus dan kemiringan bidang diskontinuitas dan muka lereng, beserta besarnya sudut geser dalam pada suatu stereonet akan segera dapat diketahui tipe dan arah potensi longsorannya. Oleh karena itu, analisis kinematik untuk segmen lereng penelitian dibahas satu-persatu sebagai berikut. 51

Segmen 1 A=334º N Ap2=311º i=36º Slope Af=288º Ap1=268º p= 60º =41º JSA 2 JSA 1 Gambar 4.13. Analisis kinematik pada segmen 1 Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng menunjukkan adanya model longsoran baji dan planar (Gambar 4.13). Pada longsoran baji, yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSA 1 dan JSA 2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) i sebesar 36º dengan sudut geser dalam efektif ( i ) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f ) adalah 68º. Berdasarkan salah satu dari syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu i < i < f, dapat dikatakan bahwa tidak terjadi longsoran baji pada segmen 1 karena tidak memenuhi syarat tersebut. Selanjutnya untuk tipe longsoran planar, dengan bidang gelincir JSA 1 dan arah kemiringan (Ap1) sebesar N 268º E, memiliki perbedaan sebesar 20º dengan arah kemiringan lereng (Af). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu i < p < f, dapat dikatakan bahwa longsoran planar dapat terjadi karena seluruh syarat kinematika terpenuhi. 52

Segmen 2 N Af+160º Ap=38º p = 24º Af-200º JSB 3 =41º Slope JSB 2 Af+20º Pole of JSB 2 JSB 1 Af-20º Gambar 4.14. Analisis kinematik pada segmen 2 Stereografi pada segmen 2 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSB 2 dengan muka lereng (Gambar 4.14). Berdasarkan syarat kinematik yang diusulkan oleh Goodman dan Bray s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSB 2 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan kata lain, arah kemiringan JSB 2 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af-200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSB 2 (90º- p ) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dari nilai kemiringan muka lereng dikurangi dengan sudut geser dalam efektif dari JSB 2 ( f -39,62º). Atau dengan kata lain, pole of JSB 2 (titik biru pada Gambar 4.14) berada dalam zona kritis. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa segmen 2 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat adalah JSB 2. 53

Segmen 3 N =41º Af+20º Af+160º JSC 3 Pole of JSC 1 p= 80º Ap=97º Af-20º Af-200º JSC 2 Slope JSC 1 Gambar 4.15. Analisis kinematik pada segmen 3 Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 3 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSC 1 (Gambar 4.15). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSC 1 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan kata lain, arah kemiringan JSC 1 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af- 200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSC 1 (90º- p ) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dari nilai kemiringan muka lereng dikurangi dengan sudut geser dalam efektif dari JSC 1 ( f - 41,57º). Atau dengan kata lain, pole of JSC 1 (titik hijau pada Gambar 4.15) berada dalam zona kritis. Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa segmen 3 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat adalah JSC 1. 54

Segmen 4 JSD 2 N Af+160º Ap2=Ap3=13º p3 = 69º p2=29º Af-200º JSD 1 JSD 3 Pole of JSD 2 Af+20º Pole of JSD 3 =41º Slope Af-20º Gambar 4.16. Analisis kinematik pada segmen 4 Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 4 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSD 2 dan JSD 3 (Gambar 4.16). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSD 2 dan JSD 3 memiliki arah kemiringan (Ap2 dan Ap3) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), pole of JSD 2 (titik biru pada Gambar 4.16) berada di luar zona kritis, sedangkan pole of JSD 3 (titik coklat pada Gambar 4.16) berada di dalam zona kritis. Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa segmen 4 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat adalah JSD 3. 55

Segmen 5 JSE 2 Slope N JSE 3 Af+160º p2=41º Ap2=37º p3= 58º Ap3=65º Af-200º =41º JSE 1 Af+20º Pole of JSE 3 Pole of JSE 2 Af-20º Gambar 4.17. Analisis kinematik pada segmen 5 Stereografi dari pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 5 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSE 2 dan JSE 3 (Gambar 4.17). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSE 2 dan JSE 3 memiliki arah kemiringan (Ap2 dan Ap3) yang hampir paralel (perbedaan maksimal 18º JSE 2) dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), pole of JSE 2 (titik biru pada Gambar 4.17) berada di luar zona kritis, sedangkan pole of JSE 3 (titik coklat pada Gambar 4.17) berada dalam zona kritis. Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa segmen 5 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat adalah JSE 3. 56

Segmen 6 Af+20º N JSF 3 Af-20º Pole of JSF 1 JSF 1 JSF 4 A=278º i= 63 º =41º JSF 2 Af+160º Ap=104º Slope Af-200º Gambar 4.18. Analisis kinematik pada segmen 6 Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 6 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSF 1 dan model longsoran baji oleh JSF 3 dan JSF 4 (Gambar 4.18). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSF 1 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Namun berdasarkan syarat kinematik lainnya, pole of JSF 1 (titik hijau pada Gambar 4.18) berada di luar zona kritis, yang artinya longsoran jungkiran tidak mungkin terjadi. Kemudian untuk analisis kinematik longsoran baji yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSF 3 dan JSF 4, sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua set bidang diskontinuitas tersebut (plunge intersection) i sebesar 63º dengan sudut geser dalam efektif ( i ) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f ) adalah 83º. Atau dengan kata lain, i < i < f. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa longsoran baji terjadi pada segmen 6 karena memenuhi semua syarat kinematik yang ditetapkan. 57

Segmen 7 N JSG 1 Af+160º p=58º Ap=65º Slope Af-200º =41º JSG 2 Pole of JSG 1 Af+20º Af-20º Gambar 4.19. Analisis kinematik pada segmen 7 Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 7 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSG 1 (Gambar 4.19). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diajukan oleh Goodman dan Bray s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSG 1 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan kata lain, arah kemiringan JSG 1 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af- 200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSG 1 (90º- p ) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dari nilai kemiringan muka lereng dikurangi dengan sudut geser dalam efektif dari JSC 1 ( f 40,89º). Atau dengan kata lain, pole of JSG 1 (titik hijau pada Gambar 4.19) berada dalam zona kritis. Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa segmen 7 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat adalah JSG 1. 58

Segmen 8 A3=349º A2=337º i2=38º 3 N i3= 11 º A1=300º i1=65º 2 JSH 1 1 =41º Slope JSH 2 JSH 3 JSH 4 Gambar 4.20. Analisis kinematik pada segmen 8 Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 8 menunjukkan adanya tiga model longsoran baji. Model longsoran baji 1 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 3 dan JSH 4, model longsoran baji 2 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 2 dan JSH 4, serta model longsoran baji 3 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 4 dan JSH 1 (Gambar 4.20). Pada Gambar 4.20 di atas, terlihat bahwa hanya perpotongan set bidang diskontinuitas JSH 3 dengan JSH 4 yang berada di zona kritis (daerah yang dibatasi oleh muka lereng dan lingkaran sudut geser dalam), sedangkan kedua perpotongan set diskontinuitas JSH 2 dengan JSH 4, dan JSH 1 dengan JSH 4 berada di luar zona kritis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada segmen 8 terjadi longsoran baji dengan set diskontinuitas yang terlibat adalah JSH 3 dan JSH 4. 59

Berdasarkan analisis kinematik longsoran baji yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 3 dan JSH 4, sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua set bidang diskontinuitas tersebut (plunge intersection) i1 sebesar 65º dengan sudut geser dalam efektif ( i ) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f ) adalah 76º. Dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat kinematik berupa i < i < f untuk terjadinya longsoran baji terpenuhi. Dari hasil analisis kinematik terhadap keseluruhan segmen lereng, dapat dibuat suatu tabel yang menginformasikan jenis-jenis longsoran yang terjadi pada tiap segmen lereng beserta set diskontinuitas yang terlibat dalam proses longsoran (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Rekapitulasi hasil analisis kinematik Segmen Tipe Longsoran Set Diskontinuitas Terlibat 1 Planar JSA 1 2 Jungkiran JSB 2 3 Jungkiran JSC 1 4 Jungkiran JSD 3 5 Jungkiran JSE 3 6 Baji JSF 3 dan JSF 4 7 Jungkiran JSG 1 8 Baji JSH 3 dan JSH 4 60