BAB I PENDAHULUAN. Menurut Piaget anak-anak pada umumnya menguasai keterampilan basic intellectual

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN. atau timbulnya variabel terikat sedangkan variabel terikat adalah variabel yang

BAB I PENDAHULUAN Desi Nurdianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Anak tunagrahita ringan merupakan kelompok anak yang memiliki

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Inne Yuliani Husen, 2013

ilmu-ilmu yang lain. Oleh karena itu, mata pelajaran matematika telah dituangkan untuk mempelajari matematika di tingkat sekolah lanjutan.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang menangani anak berkebutuhan khusus, termasuk di dalamnya yaitu

BAB II KONSEP DASAR TUNAGRAHITA, MEDIA TANGGA BILANGAN, KEMAMPUAN BERHITUNG PENJUMLAHAN

PROGRAM PENYELARASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mendefiniskan pendidikan anak usia dini sebagai. boleh terpisah karena ketiganya saling berkaitan. Aspek kognitif berkaitan dengan

A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. menangani anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak tunagrahita ringan

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MEMBANGUN KONSERVASI MATERI PELAJARAN Dudung Priatna*)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asep Zuhairi Saputra, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Karena pada hakikatnya, pendidikan merupakan usaha manusia untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. memegang peranan penting, tanpa memiliki kemampuan membaca yang memadai

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak adalah makhluk sosial sama seperti dengan orang dewasa. Anak

BAB I PENDAHULUAN. sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan usia dini dilakukan melalui

BAB I PENDAHULUAN. jamak (multiple intelegence) maupun kecerdasan spiritual. yaitu usia 1-6 tahun merupakan masa keemasan (golden age), yang pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Wahyuni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dipelajari oleh setiap anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya sadar yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. Beragam kebutuhan yang dimiliki anak tunagrahita baik kebutuhan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Tahap Sensori Motor (0 2 tahun) 2. Tahap Pra-operasional (2 7 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. rentangan usia lahir sampai 6 tahun. Pada usia ini secara terminologi disebut

BAB III ANALISA MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, dunia pendidikan sangat berperan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. sejak lahir sampai usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Materi Operasi Hitung Campuran (Perkalian dan Pembagian) di Kelas II SDN Ngaban

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan proses penting dalam kehidupan, manfaat dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fifit Triana Dewi, 2013

ETIK KURNIAWATI NIM : A53H111070

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Erma Setiasih, 2013

2015 PENGARUH METODE DRILL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS 3 SDLB DI SLB C YPLB MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. seseorang kepada suatu organisasi tingkah laku yang lebih tinggi berarti

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Kegiatan Belajar 2 HAKIKAT ANAK DIDIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indriani, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. baik dalam proses penyembuhan maupun dalam mempertahankan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak. Masa ini disebut sebagai the golden age, yaitu saat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan anak sejak lahir

BAB I PENDAHULUAN. mengarah pada arti yang sama yaitu mereka yang kecerdasannya dibawah rata-rata

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 1, Juni 2017

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hani Epeni, 2013

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Langkah pertama dalam pengambilan data ialah melakukan pengukuran

BAB I PENDAHULUAN. terpadu (integrated learning) yang menggunakan tema untuk mengaitkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anak memiliki masa emas untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi 2, yakni :

BAB I PENDAHULUAN. tenaga profesional untuk menanganinya (Mangunsong,2009:3). Adapun pengertian tentang peserta didik berkebutuhan khusus menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak-anak. Upaya

I. PENDAHULUAN. Pendidikan dilakukan secara terencana dalam mewujudkan proses pembelajaran agar

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka. 1. Tinjauan tentang tunagrahita ringan

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak autis merupakan salah satu anak luar biasa atau anak berkebutuhan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. melakukan kegiatan. Semiawan (1990:1) mengemukakan bahwa kemampuan

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. pesat saat ini, baik menyangkut materi sebagai penunjang ilmu-ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ali Murtadho Fudholy, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan

INTERVENSI DINI (EARLY INTERVENTION) ANAK MDVI (MULTIPLE DISABILITY VISUALY IMPAIRMENT) Sukinah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saputro (2012), soal matematika adalah soal yang berkaitan

Menurut Djamarah (1994) hasil belajar adalah hasil yang diperoleh berupa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN MELALUI MEDIA PERMAINAN KARTU. Suparman

BAB I PENDAHULUAN PENERAPAN METODE MONTESSORI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PENGURANGAN PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS I SDLB

PENINGKATAN KEMAMPUAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN BERHITUNG DI TK GIRIWONO 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB VI PENUTUP. dirumuskan kesimpulan seperti di bawah ini. 1. Kondisi anak tunagrahita di SDLB-C PGRI Among Putra Ngunut,

BAB I PENDAHULUAN. Putro (2008) mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak adalah masa keemasan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Depdiknas (2006) memaparkan bahwa salah satu tujuan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Ingatan adalah salah satu bagian dalam kognisi. Kata ingatan merupakan

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN UNTUK ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DALAM BIDANG BERHITUNG

MATEMATIKA ITU MENYENANGKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak Usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki manusia menjadikan manusia sebagai

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL BANGUN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Piaget anak-anak pada umumnya menguasai keterampilan basic intellectual activities sebelum mereka menginjak usia tujuh tahun. Keterampilan ini meliputi keterampilan klasifikasi, ordering, korespondensi dan konservasi. Keterampilan ini diproses pada tahap pre-operational period (usia 1,5 tahun hingga 7 tahun) dan mengalami kematangan penuh pada awal tahap concrete operational period (Hughes, 2003:14). Pada anak-anak dengan tanpa hambatan intelektual keterampilan ini diperoleh secara langsung dalam proses interaksi sehari-hari dalam waktu yang relatif cepat. Jika saya visualisasikan, kedudukan seorang individu terhadap lingkungannya adalah seperti dua benda terapung di udara yang dihubungkan oleh dua jembatan yang terhubung. Satu benda bernama individu dan benda lainnya bernama lingkungan. Jembatan yang menghubungkan keduanya terdiri dari dua jembatan, jembatan pertama bernama jembatan intelektual sedangkan jembatan kedua bernama jembatan kesempatan. Kokoh dan kuatnya jembatan intelektual ditentukan oleh potensi intelektual yang dimiliki oleh individu tersebut sedangkan panjang dan lebarnya jembatan kesempatan ditentukan oleh jalinan keberadaan individu-individu lain di luar individu tersebut terhadapnya. Pada anak dengan tanpa hambatan intelektual, jembatan intelektual yang dimilikinya kuat dan kokoh dan jembatan kesempatan yang dijalinnya pendek dan lebar. Sedangkan bagi anak-anak dengan hambatan intelektual jembatan intelektual yang dimilikinya lemah dan rapuh dan

2 jembatan kesempatan yang dimilikinya pun panjang dan sempit. Bagi anak-anak dengan tanpa hambatan intelektual dunia yang terbentang di hadapannya (untuk dijelajahi dan dikuasai) begitu dekat dan luas sedangkan bagi anak-anak dengan hambatan intelektual dunia yang harus ditempuhnya begitu jauh dan sempit, sulit untuk dijelajahi dan dikuasai. Sehingga pada anak dengan hambatan intelektual, akibat dari adanya hambatan tersebut, keterampilan basic intellectual activities tidak dapat mereka peroleh secara langsung dan cepat. Mereka tidak dapat memperkokoh dan memperkuat jembatan intelektual yang telah dibawanya sejak lahir tanpa bantuan orang lain. Dan mereka juga tidak dapat memperpendek dan memperlebar jembatan kesempatan tanpa adanya uluran tangan orang lain. Mereka memerlukan suatu system yang khusus dan intensif dengan bantuan orangorang di sekitarnya, khususnya dalam setting pendidikan bagi anak-anak dengan hambatan intelektual, untuk dapat membantunya mencapai lingkungannya. Basic intellectual activities merupakan suatu kegiatan intelektual paling dasar yang dapat dilakukan oleh seorang individu dalam menyerap informasi dari lingkungannya. Aktifitas tersebut melibatkan semua indera (sensoris) yang kita miliki, contohnya dalam kegiatan membedakan, memilah, menghubungkan, mengurutkan, mengelompokkan dan lain-lain. Keterampilan basic intellectual activities banyak diajarkan di sekolah-sekolah untuk anak-anak di bawah usia 7 tahun sebelum mereka mempelajari matematika, khususnya bilangan. Sehingga dengan demikian basic intellectual activities ini disebut juga sebagai keterampilan pra akademik matematika yang mencakup klasifikasi, seriasi, korespondensi 1-1 dan konservasi. Matematika adalah cabang ilmu yang banyak dikaitkan dengan masalah angka, kuantitas dan ruang. Padahal menurut Courant dan Robbins (1996), selama lebih dari 2000 tahun matematika dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap orang-orang

3 yang berbudaya. Artinya selama itu juga matematika menjadi bagian penting dari pembangun budaya suatu masyarakat. Jika kita amati maka akan kita dapati bahwa Matematika ada dalam seluruh proses kehidupan. Matematika dipraktekkan di rumah kita, di pasar, di tempat-tempat umum dan lingkungan tetangga. Dengan demikian maka setiap orang tanpa kecuali perlu sedikitnya menguasai keterampilan dasar dari Matematika seperti yang diajarkan di pra sekolah dan sekolah tingkat dasar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, anak-anak dengan hambatan intelektual mengalami kesulitan dalam memahami Matematika. Hampir semua kompetensi dasar yang terdapat dalam pelajaran Matematika, seperti konsep bilangan, geometri dan pengukuran serta mata uang, merupakan materi yang tidak mudah dicerna oleh anak-anak dengan hambatan intelektual. Anak-anak dengan hambatan intelektual tingkat dasar mempelajari konsep bilangan dan geometri dengan terbata-bata, perlahan-lahan dan berulang-ulang tanpa mengetahui lebih jauh manfaat penggunaannya. Mereka berjuang memahami konsep-konsep dasar operasi bilangan dengan susah payah dan sebagian besar siswa menghentikan pelajarannya di keterampilan menulis angka, sebagian kecilnya lagi di keterampilan menjumlahkan angka sederhana. Seorang siswa dengan hambatan intelektual yang menyelesaikan masa studinya pada usia di atas 20 tahun, didapati beberapa bulan kemudian siswa ini telah kehilangan semua kemampuan akademiknya bahkan yang paling dasar sekalipun. Padahal jika asesmen Matematika dilakukan maka bukti akan menunjukkan bahwa pembelajaran mereka mengenai bilangan kurang cukup ditunjang oleh pemahaman mereka atas konsep-konsep yang berkaitan dengan basic intellectual activities. Dalam penggunaan jangka panjang kemampuan basic intellectual activities dapat menuntun anak pada kemampuan berfikir terstruktur. Ketika anak dengan hambatan

4 intelektual tidak dapat menguasai kemampuan basic intellectual activities, maka kemampuan berfikirnya tidak mengalami strukturisasi. Dan mungkin ini salah satu penyebab mengapa anak-anak dengan hambatan intelektual mengalami banyak masalah social seperti yang dituturkan Mary Beirne-Smith, et.al (2002) bahwa individu dengan hambatan intelektual cenderung menjadi korban kejahatan dan dituduh atas suatu kejahatan. Pengajaran Matematika bagi anak-anak dengan hambatan intelektual pada dasarnya mengikuti prinsip umum pengajaran bagi anak-anak dengan hambatan intelektual. Dimana materi disampaikan dengan bantuan media-media kongkrit. Namun pada akhirnya seringkali prinsip tersebut terlupakan dan guru terjebak dengan sistem pengajaran Matematika seperti yang pernah diterimanya pada masa-masa pendidikan dahulu. Guru memberikan pengajaran Matematika menggunakan media yang cenderung semi abstrak dan bahkan abstrak serta tidak bersifat didaktik (memberikan pengajaran dengan sendirinya). Penggunaan media mengajar pada pengajaran Matematika seharusnya mengikuti tahapan kongkrit, semi kongkrit, semi abstrak, abstrak. Peggunaan media belajar yang berbentuk geometri dua dimensi, bilangan, simbol operasi bilangan, gambar, kartu dan lain-lain haruslah diberikan setelah siswa dengan hambatan intelektual dapat mentransformasi kemampuan berfikirnya dari mencerna materi dengan media konkrit ke media semi konkrit kemudian semi abstrak dan selanjutnya abstrak. Dimana media konkrit terdiri dari media konkrit fungsional dan non fungsional. Tahap-tahap tersebut harus dilewati hingga anak menguasai materi pembelajaran dengan baik. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus telah dirintis sejak dahulu kala, yaitu sejak sekitar abad ke-16. Perkembangan sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus saat ini merupakan hasil jerih payah para pionir pendidikan khusus saat itu. Pencetus

5 pendidikan bagi anak dengan hambatan intelektual adalah seorang dokter Perancis bernama Jean Marc Gaspard Ittard pada akhir abad XVIII. Upaya Ittard dilanjutkan oleh penerusnya yang bernama Edouard Seguin. Buku yang dikarang oleh Ittard dan Seguin menjadi rujukan bagi pengembangan pendidikan anak dengan hambatan intelektual. Ittard dan Seguin menitikberatkan pendidikan bagi anak dengan hambatan intelektual melalui stimulus saraf sensorial dan latihan otot-otot tubuh pada latihan kehidupan sehari-hari. Pada akhir abad ke XIX, buku yang dikarang Ittard dan Seguin menjadi inspirasi bagi seorang dokter muda yang sangat besar minatnya pada pendidikan anak-anak dengan hambatan mental dan intelektual, Maria Montessori. Persentuhannya dengan anak-anak yang mengalami hambatan (defective) dimulai ketika Montessori ditugaskan di sebuah rumah sakit jiwa. Di rumah sakit tersebut anak-anak dengan, yang saat itu diistilahkan sebagai idiot dan anak-anak yang mengalami gangguan jiwa (insane), dirawat. Hasil observasinya terhadap anak-anak tersebut menghasilkan suatu pemahaman baru bagi Montessori, bahwa, masalah anak-anak yang dirawat di rumah sakit jiwa tersebut lebih bersifat pedagogis dibanding medis. Maria Montessori berkeyakinan bahwa pendidikan khusus dapat memperbaiki kondisi mental mereka. Pandangan ini merupakan buah inspirasi dari karya Jean Itard and Edouard Seguin (Standing, 1998:28). Metode yang dirancang oleh Maria Montessori dikenal hingga sekarang dan dipraktekkan di sekolahsekolah Montessori sebagai metode Montessori. Metode Maria Montessori sangat lengkap dan menyeluruh, mencakup sistem pendidikan yang melayani anak mulai dari anak masuk kelas hingga anak pulang sekolah. Digunakannya beragam media didaktik Montessori yang mengembangkan seluruh potensi fisik dan mental anak serta pengembangan kemampuan basic intellectual activities yang mendasari pengembangan seluruh kemampuan akademis anak. Pelaksanaan keseluruhan

6 sistem didasarkan pada filosofi dasar yang dikembangkan oleh Montessori dan harus dikuasai oleh semua guru di sekolah-sekolah Montessori. Dengan metodenya tersebut dunia mencatat bahwa anak-anak dengan hambatan mental dan intelektual yang ditangani dan dididik dengan metode Montessori selama dua tahun, berhasil memiliki kemampuan intelektual yang menyamai anak-anak umumnya pada saat itu, dengan dibuktikan oleh hasil memuaskan yang mereka raih dalam suatu ujian nasional bersama-sama dengan anak umum (Magini, 2013:39). Seperti yang telah dibahas di atas Maria Montessori menemuciptakan alat alat yang digunakan dan diperuntukkan bagi anak-anak dengan hambatan intelektual (pada masa itu disebut sebagai anak-anak idiot). Media didaktik Montessori memiliki ciri yang khas; diwarnai dengan warna-warna khas Montessori (contoh warna merah muda untuk pink tower) sempurna buatannya dengan control of error yang tinggi (pada alat tipe ini anak tidak akan melakukan kesalahan yang diakibatkan oleh alat yang dibuat tidak sempurna) dan bersifat didaktik (Ahmad, 2014). Menurut Wendy Fidler (2006) Maria Montessori memang mendesain media didaktik yang secara original diciptakan untuk anak-anak dengan kemampuan koordinasi yang tidak sempurna. Berdasarkan latar belakang tersebut maka disusunlah suatu rencana penelitian yang ditujukan untuk mengetahui pengaruh dua jenis media didaktik Montessori dalam meningkatkan kemampuan basic intellectual activities siswa dengan hambatan intelektual dalam aspek korespondensi 1-1 dan basic intellectual activities aspek seriasi. Dimana keberhasilan media didaktik ini diukur dengan menggunakan suatu instrumen pengukur yang merepresentasikan suatu aktifitas sehari-hari di dalam rumah. Dengan pertimbangan bahwa anak-anak dengan hambatan intelektual perlu mengaktualisasikan kemampuan basic intellectual activities-nya dalam konteks kehidupan sehari-hari sebagaimana yang

7 dinyatakan oleh Hughes (2003, p.10) bahwa selain menguasai keterampilan dasar matematis, anak-anak juga harus mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Dalam penelitian ini dua macam alat Montessori yaitu block cylinder dan pink tower akan diujicobakan untuk mengajari siswa dengan hambatan intelektual mengenai basic intellectual activities aspek korespondensi dan seriasi. B. Identifikasi Masalah Di sekolah anak-anak dengan hambatan intelektual, yang dikatagorikan sebagai anakanak dengan ketunagrahitaan seringkali mengalami ketertinggalam dalam pelajaran Matematika. Hal ini disebabkan karena anak-anak ini mengalami hambatan dalam memproses informasi yang disampaikan guru akibat adanya masalah dalam system saraf pusat di otak. Masalah bertambah ketika system pengajaran yang digunakan kurang mengoptimalkan kerja indera-indera tubuh lainnya dalam meningkatkan kemampuan dalam memproses informasi. Contohnya pengajaran Matematika di sekolah seringkali diajarkan dengan cara yang kurang terstruktur, kurang efektif dan tidak tepat sesuai dengan kemampuan awal yang dimiliki siswa. Siswa yang belum memiliki kemampuan pra akademik Matematika dipaksa untuk mencerna materi aritmatika (operasi bilangan). Metode Montessori dalam praktek pengajarannya menyediakan media-media didaktik yang mengoptimalkan fungsi area sensorial dalam meningkatkan kemampuan pra akademik, khususnya pra akademik Matematika. Dengan demikian maka penggunaan media didaktik Montessori area sensorial diujicobakan guna meningkatkan kemampuan pra akademik Matematika.

8 C. Batasan Masalah Masalah dibatasi hanya pada kemampuan pra akademik basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi. Alat intervensi yang digunakan adalah media didaktik Montessori pada area sensorial, yaitu block cylinder (blok silinder) dan pink tower (menara pink). Media didaktik Montessori block cylinder adalah media didaktik Montessori yang digunakan untuk melatih kemampuan basic intellectual activities aspek korespondensi 1-1 sedangkan Pink Tower adalah media didaktik yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan basic intellectual activities aspek seriasi, yaitu kemampuan mengurutkan suatu benda, berdasarkan ukuran. D. Rumusan Penelitian Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan keefektifan media didaktik Montessori block cylinder dan pink tower guna meningkatkan kemampuan basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi siswa SDLB dengan hambatan intelektual di SLBN Kab. Tasikmalaya. Pengukuran keefektifan media didaktik Montessori blok silinder dan menara pink akan diukur dalam tiga kondisi, yaitu kondisi sebelum media didaktik Montessori diaplikasikan, saat media didaktik Montessori diaplikasikan dan pasca media didaktik Montessori diaplikasikan. Pengukuran ketiga kondisi tersebut untuk mengetahui berapa besar pengaruh media didaktik Montessori blok silinder dan menara pink terhadap kenaikan skor kemampuan basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi siswa SDLB dengan hambatan intelektual di SLBN Kab. Tasikmalaya.

9 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan media didaktik Montessori area sensorial guna meningkatkan kemampuan basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi siswa SDLB dengan hambatan intelektual di SLBN Kab. Tasikmalaya. Sedangkan tujuan umumnya adalah: a. Untuk mengetahui kemampuan basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi siswa SDLB dengan hambatan intelektual di SLBN Kab. Tasikmalaya sebelum menggunakan media didaktik Montessori. b. Untuk mengetahui kemampuan basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi siswa SDLB dengan hambatan intelektual di SLBN Kab. Tasikmalaya setelah menggunakan media didaktik Montessori. c. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh media didaktik Montessori blok silinder dan menara pink dalam meningkatkan kemampuan basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi siswa SDLB dengan hambatan intelektual di SLBN Kab. Tasikmalaya. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat dirinci seperti di bawah ini:

10 a. Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai efektifitas penggunaan media didaktik Montessori blok silinder dan menara pink terhadap pengajaran basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi. b. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi mengenai ruang lingkup media pembelajaran dalam pengajaran basic intellectual activities aspek korespondensi dan basic intellectual activities aspek seriasi bagi siswa dengan hambatan intelektual.