BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 561/KMK.04/2000 TENTANG

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Erwis (2012) menyatakan, bahwa penagihan pajak dan pencairan

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Implementasi merupakan tahap

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada Negara berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan. ditunjuk atau digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan pasal 1 undang undang No.6 tahun 1983 tentang kententuan

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 LANDASAN TEORI Pengertian, Unsur, dan Fungsi Pajak. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. pajak, tentunya perlu dipahami dulu apa yang dimaksud dengan pajak.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. memberikan berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Istilah pajak berasal dari bahasa Jawa yaitu ajeg yang berati pungutan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan usaha mengadakan perubahan-perubahan menuju keadaan yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Waluyo (2008) adalah:

BAB III GAMBARAN DATA. akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

PENETAPAN DAN KETETAPAN

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan hal tersebut yang terbagi menjadi 3 (tiga) bagian pokok yaitu

BAB II KAJIAN TEORI PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Makalah Pemeriksaan Pajak Page 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perpajakan. Menurut Soemitro (2010:1), pengertian pajak adalah sebagai berikut:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 24/PMK.04/2011 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut P.J.A. Adriani yang dikutip oleh Diana Sari (2013:34) :

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

BAB II TELAAH PUSTAKA. Pada dasarnya pajak merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut beberapa ahli dalam Sari (2013:33) adalah

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

BAB 2 LANDASAN TEORI. berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi

BAB II TINJUAN PUSTAKA

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS EFEKTIFITAS PENERAPAN SURAT PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN POLONIA

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4.

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Pada dasarnya Negara adalah sebuah rumah tangga yang besar, dan

BAB II BAHAN RUJUKAN

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak merupakan sumber pendapatan kas negara yang digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pajak menurut beberapa ahli antara lain :

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Definsi Pajak Pengertian Pajak

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian pajak sehingga mudah untuk dipahami. Perbedaannya hanya terletak

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Cuma-Cuma) yang diberikan rakyat kepada Negara, namun seiring dengan

PENGANTAR PERPAJAKAN. Pengantar Pajak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

Sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self. administrasi di bidang perpajakan. Self Assessment System merupakan sistem

BAB II BAHAN RUJUKAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Pengertian pajak Pengertian pajak menurut para ahli memberikan definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Rochamat Soemitro dalam Mardiasmo (2011:1), pengertian pajak adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 12

13 Pengertian pajak menurut P.J.A. Adriani dalam Waluyo (2013:2) adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Diana Sari (2013:37) dari berbagai definisi tersebut di atas, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: 1. Adanya iuran masyarakat kepada Negara, yang berarti bahwa pajak hanya boleh dipungut oleh Negara (pemerintah pusat dan daerah). 2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. 3. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. 4. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar

14 pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. 5. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. Apabila ada kelebihan hasil pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran rutin maupun pembangunan), maka sisanya digunakan untuk public investment. 6. Pajak dipungut karena adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang. 2.1.1.2 Fungsi Pajak Dari pengertian pajak yang telah dijelaskan oleh beberapa para ahli di atas, secara teoritis dan praktis dapat dilihat bahwa pajak memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Menurut Diana Sari (2013:20) terdapat dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Selain dua fungsi diatas, pajak juga memiliki fungsi lain yaitu :

15 1. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 2. Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, tang pada akhirnya akan dapat meningkatkan penapatan masyarakat. 3. Fungsi Demokrasi Pajak yang sudah dipungut oleh negara merupakan wujud sistem gotong oyong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak. 2.1.1.3 Jenis-Jenis Pajak Menurut Mardiasmo (2011:5) pajak dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu menurut golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutnya. 1. Menurut Golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

16 b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2. Menurut Sifatnya a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. 3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. 2.1.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Dalam memungut pajak dikenal tiga sistem penggolongan pemungutan yang dapat digunakan, menurut Siti Resmi (2013:11), tiga kelompok sistem pemungutan tersebut adalah : a. Official Assessment System Sistem ini memberi kewenangan kepada aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

17 b. Self Assessment System Sistem ini memberikan wewenang kepada wajib pajak dalam menghitung, melaporkan, serta menyampaikan kewajiban pajaknya sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. c. With Holding System Sistem ini memberikan wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk oleh wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.1.1.5 Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka menurut Mardiasmo (2008:2) pemungutan pajak harus memunuhi syarat sebagai berikut: a. Pemungutan Pajak Harus Adil (syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada pertimbangan Pajak.

18 b. Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis). Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya. c. Tidak Mengganggu Perekonomian (syarat ekonomi). Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. d. Pemungutan Pjak Harus Efisien (syarat finansial) Sesuai dengan anggaran, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana Sistem pemungutan sederhana akan memudahkan dalam mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. 2.1.1.6 Hambatan Pemungutan Pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua (Mardiasmo, 2011:8), yaitu: 1. Perlawanan pasif Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:

19 a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. 2. Perlawanan aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuknya antara lain: a. Tax avoidance, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. b. Tax evasion, yaitu meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak). 2.1.2 Pemeriksaan Pajak 2.1.2.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak Asas perpajakan Indonesia menganut self-assessment, tetapi pemerintah melalui pemeriksaan pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap kewajiban yang dilakukan oleh wajib pajak. Pengertian pemeriksaan dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :

20 Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun, mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan pengertian pemeriksaan pajak menurut Mardiasmo (2011:52) adalah sebagai berikut : Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk memberikan dasar hukum dan untuk memberikan rasa keadilan kepada wajib pajak dalam menghadapi pelaksanaan pemeriksaan pajak, maka ketentuan dan tata cara pemeriksaan pajak diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011. Ketentuan baru mengenai pemeriksaan pajak ini berlaku sejak 3 Mei 2011. Hal penting dalam perubahan peraturan ini adalah hasil pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) beserta lampirannya. Batas waktu tanggapan tertulis dari wajib pajak atas SPHP menjadi paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima oleh wajib pajak. Perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan cara menyampaikan pemberitahuan tertulis sebelum jangka waktu berakhir. Selain itu, dalam rangka

21 pembahasan akhir, wajib pajak harus diberikan undangan tertulis yang berisi hari dan tanggal pelaksanaan pembahasan akhir tersebut. 2.1.2.2 Tujuan Pemeriksaan Pajak Tujuan pemeriksaan pajak diatur pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan antara lain : 1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak, yang dapat dilakukan dalam hal : a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi. c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan. d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktiorat Jenderal Pajak. e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada poin (c) tidak dipenuhi. 2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dapat dilakukan dalam hal :

22 a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan. b. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak. c. Pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. d. Wajib Pajak mengajukan keberatan. e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Perhitungan Penghasilan Netto. f. Pencocokan data dan/atau alat keterangan. g. Penentuan wajib pajak berlokasi di daerah terpencil. h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai. i. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain selain poin (a) sampai dengan poin (h). 2.1.2.3 Jenis Pemeriksaan Pada prinsipnya pemeriksaan dapat dilakukan terhadap semua wajib pajak namun karena keterbatasan sumber daya manusia atau tenaga pemeriksa di Direktorat Jenderal Pajak, maka pemeriksaan tidak dapat dilakukan terhadap semua wajib pajak. Pemeriksaan hanya akan dilakukan terutama terhadap wajib pajak yang SPT-nya menyatakan Lebih Bayar karena hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Di samping itu pemeriksaan

23 dilakukan juga terhadap wajib pajak tertentu dan wajib pajak yang tingkat kepatuhannya dianggap rendah (Nur Hidayat, 2013:33). Jenis-jenis pemeriksaan pajak menurut Siti Rahayu Kurnia (2010:42), yaitu : 1. Pemeriksaan rutin adalah pemeriksaan terhadap wajib pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada umumnya pemeriksaan ini didasarkan hal-hal seperti SPT Tahunan orang pribadi atau badan yang menyatakan lebih bayar, SPT Tahunan PPh wajib pajak badan yang menyatakan rugi tetapi tidak lebih bayar, wajib pajak yang mengajukan permohonan untuk pemusatan tempat pajak (PPN) terutang, dan lain-lain. 2. Pemeriksaan kriteria seleksi adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak yang dipilih untuk diperiksa berdasar sistem kriteria seleksi atau sampling yang dimaksudkan untuk mengurangi unsur subjektivitas dalam suatu pemilihan wajib pajak karena proses pemilihan berdasarkan atas variabel-variabel terukur dalam suatu program aplikasi komputer. Variabel tersebut adalah rasio antara elemen dalam SPT yang dilaporkan dengan informasi atau data yang terdapat pada Ditjen Pajak. Dengan digunakannya sistem ini, Wajib Pajak yang mempunyai potensi tinggi dan menunjukkan indikasi kuat melakukan pelanggaran terhadap kewajiban pajaknya dapat diperiksa. 3. Pemeriksaan khusus adalah pemerikasaan yang dilakukan terutama terhadap wajib pajak sehubungan dengan adanya keterangan atau masalah yang berkaitan dengannya dan sifatnya sangat efektif dan dilakukan demi

24 terciptanya keadilan dalam suatu pemungutan pajak. Pemeriksaan ini dapat dilakukan terhadap wajib pajak yang diduga melakukan tindak pidana pajak, wajib pajak yang diadukan oleh masyarakat, dan wajib pajak tertentu berdasarkan pertimbangan Ditjen Pajak. 4. Pemeriksaan wajib pajak lokasi adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan atas cabang, perwakilan, pabrik dan/atau tempat usaha pada umumnya yang berbeda lokasinya dengan wajib pajak domisili. 5. Pemeriksaan tahun berjalan adalah pemeriksaan terhadap wajib pajak yang dilakukan dalam tahun berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis pajak. Pemeriksaan ini dapat dilakukan terhadap wajib pajak domisili atau wajib pajak lokasi. 6. Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. 7. Pemeriksaan terintegrasi, pemeriksaan ini diperuntukkan bagi perusahaan yang memiliki kelompok usaha yang biasanya dalam bentuk grup ditemukan adanya indikasi keterkaitan dengan anggota grup lain maka dimungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan secara terintegrasi. 2.1.2.4 Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Tahapan pelaksanaan pemeriksaan pajak menurut Waluyo dan Wiryawan H. Ilyas (2007) melalui tiga tahapan pemeriksaan, yaitu :

25 1. Persiapan Pemeriksaan Pajak Persiapan pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemeriksa sebelum melaksanakan tindakan pemeriksaan dan meliputi kegiatan sebagai berikut : a. Mempelajari berkas wajib pajak atau berkas data b. Menganalisis SPT dan laporan keuangan wajib pajak c. Mengidentifikasi masalah d. Melakukan pengenalan lokasi wajib pajak e. Menentukan ruang lingkup pemeriksaan f. Menentukan buku-buku dan dokumen yang akan dipinjam g. Menyediakan sarana pemeriksaan Tujuan dari tahap persiapan pemeriksaan ini adalah agar pemeriksa dapat memperoleh gambaran umum mengenai kondisi dan profil wajib pajak yang akan diperiksa. Hal ini akan mempermudah penyusunan program pemeriksaan, dan juga akan mempermudah pencapaian sasaran dari dilakukannya pemeriksaan. 2. Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pemeriksa pajak, pemeriksaan dan wajib pajak. pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa pajak yang tergantung dalam Tim Pemeriksa Pajak

26 yang susunannya terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota. Pelaksanaan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan pemeriksa yang meliputi : a. Memeriksa di tempat wajib pajak b. Melakukan penilaian atas sistem pengendalian intern c. Memutakhirkan ruang lingkup dan program pemeriksaan d. Melakuakan pemeriksaan atas buku-buku, catatan-catatan, dan dokumendokumen e. Melakukan konfirmasi kepada pihak ketiga f. Memberitahukan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak g. Melakukan sidang tertutup 3. Pembuatan Laporan Pemeriksaan Laporan pemeriksaan pajak adalah laporan yang dibuat oleh pemeriksa pada akhir pelaksanaan pemeriksaan. Laporan pemeriksaan merupakan ikhtisar dan penuangan semua hasil pelaksanaan tugas pemeriksaan sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Laporan pemeriksaan pajak menyajikan penilaian serta pengujian atas ketaatan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak yang diperiksa, yang disajikan dari

27 kertas kerja pemeriksaan. Laporan pemeriksaan pajak digunakan sebagai dasar untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP). 2.1.2.5 Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak Hal-hal yang melatarbelakangi kebijakan umum pemeriksaan pajak adalah konsekuensi kepatuhan perpajakan, untuk meminimalisir adanya Tax Avoidance dan Tax Evasion, mengurangi tingkat kebocoran pajak penghasilan, serta pengenaan sanksi dari hasil pemeriksaan. Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:13) menjelaskan tentang kebijakan umum pemeriksaan pajak : Sebagai pedoman pelaksanaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan beberapa kebijakan umum yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan pajak terbatas 2. Setiap wajib pajak mempunyai peluang yang sama untuk diperiksa 3. Setiap pemeriksaan yang dilakukan harus dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) yang mencantumkan tahun pajak yang diperiksa 4. Pemeriksaan ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama, tidak diperkenankan

28 5. Wajib pajak bersifat kooperatif terhadap pemeriksa pajak seperti mementingkan dokumen-dokumen, buku-buku, catatan-catatan dalam pelaksanaan pemeriksaan wajib pajak dan tidak harus asli dapat berupa fotocopy yang sesuai aslinya 6. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pemeriksa (untuk pemeriksaan sederhana) atau di tempat wajib pajak (untuk pemeriksaan sederhana lapangan atau pemeriksaan lengkap) 7. Dapat dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun sebelumnya maupun tahun sesudahnya 8. Setiap hasil pemeriksaan pajak harus diberitahukan kepada wajib pajak secara tertulis, yaitu mengenai hal-hal yang berbeda antara SPT wajib pajak dengan hasil pemeriksaan, dan selanjutnya untuk ditanggapi oleh wajib pajak. 2.1.2.6 Produk Hukum Hasil Pemeriksaan Pajak Berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Pajak kewenangan mengeluarkan SKP dilimpahkan kepada KPP. SKP adalah Surat Ketetapan yang meliputi SKPKB atau SKPKBT atau SKPN atau SKPLB (pasal 1 angka 15 UU KUP). Ketetapan pajak ini dapat diterbitkan berdasarkan pemeriksaan atau penelitian pajak.

29 Jenis Surat Ketetapan Pajak (SKP), antara lain : 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapann pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih dibayar. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah yang ditetapkan (SKPKB, SKPN, SKPLB). 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah SKP yang menunjukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah yang diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan restitusi, SPT LB yang tidak diajukan restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB. 4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan yang diterbitkan dalam hal jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak. SKPN diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT Nihil, SPT KB, maupun SPT LB.

30 5. Surat Tagihan Pajak (STP) Adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan penagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKP sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. STP diterbitkan setelah dilakukan penelitian administrasi perpajakan atau berdasarkan hasil pemeriksaan pajak. 2.1.3 Penagihan Pajak menggunakan Surat Paksa 2.1.3.1 Pengertian Penagihan Pajak Pengertian penagihan pajak menurut Pasal 1 angka 9 dalam UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah: Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau rnemperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. 2.1.3.2 Dasar Penagihan Pajak Sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), bahwa Surat Ketepatan maupun Surat Keputusan yang menjadi dasar penagihan pajak seperti sebagai berikut: 1. Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

31 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 4. Surat Keputusan Pembetulan Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

32 5. Surat Keputusan Keberatan Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 6. Putusan Banding Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 2.1.3.3 Tindakan Penagihan Pajak Sesuai dengan sistem perpajakan yang dianut di Indonesia, maka tindakan penagihan pajak dilakukan setelah adanya pemeriksaan pajak dan setelah diterbitkannya Surat Ketetapan maupun Surat Keputusan Pajak (STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak yang harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan). Menurut Suandy (2005:173) penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Penagihan pajak pasif Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi maka 7 hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan

33 penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan Surat Teguran. 2. Penagihan pajak aktif Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam upaya penagihan ini fiskus lebih berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim STP atau SKP tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Pelaksanaan penagihan aktif dijadwalkan berlangsung selama 58 hari yang dimulai dengan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, dan Pengumuman Lelang. 2.1.3.4 Tahapan Dan Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak Dasar hukum pelaksanaan penagihan pajak diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2000. Dalam melaksanakan penagihan pajak terdapat alur dan urutan proses pelaksanaannya, dengan alasan dilakukannya penagihan pajak tersebut, dan waktu pelaksanaannya. Tahapan serangkaian proses penagihan pajak dalam upaya menekan tunggakan pajak antara lain: 1. Surat Teguran Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), SKPKB Tambahan tidak

34 dilunasi sampai melewati 7 hari dari batas waktu jatuh tempo (1 bulan sejak tanggal diterbitkannya). 2. Surat Paksa Apabila utang pajak tidak dilunasi setelah 21 hari dari tanggal Surat Teguran, maka akan diterbitkan Surat Paksa yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pajak Negara dengan dibiayai biaya penagihan paksa sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam. 3. Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Apabila utang pajak Anda belum juga dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam dapat dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang Wajib Pajak, dengan dibebani biaya pelaksanaan sita sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). 4. Lelang Dalam waktu 14 hari setelah tindakan penyitaan utang pajak belum dilunasi, maka akan dilanjutkan dengan tindakan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara; dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelasanaan sita belum dibayar, maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.

35 Untuk dapat melakasanakan proses penagihan ini, maka petugas Jurusita Pajak harus memilki pemahaman yang memadai atas peraturan perpajakan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan penagihan pajak. 2.1.3.5 Pengertian Surat Paksa Surat Paksa sesuai Pasal 1 angka 21 (UU KUP) dan Pasal 1 angka 12 (UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa) menyatakan bahwa Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Pengertian Surat Paksa menurut Mardiasmo (2011:121): Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi Surat Paksa merupakan surat yang berisi mengenai perintah kepada penanggung pajak untuk segera melakukan pembayaran pajak terutang disertai dengan biaya penagihan tersebut, dimana kedudukan hukum Surat Paksa tersebut setara dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut Dirjen Pajak (2009:19), menjelaskan mengenai pelaksanaan penagihan dengan surat paksa : Apabila atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu pelunasan, dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa. Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran

36 pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam Pasal 7 ayat 2 (UU Penagihan Pajak), disebutkan bahwa Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat: 1. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan penanggung pajak. 2. Dasar penagihan. 3. Besarnya utang pajak. 4. Perintah untuk membayar. 2.1.3.6 Pemberitahuan Surat Paksa Pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam pasal 10 (UU Penagihan Pajak) yaitu Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Pemberitahuan Surat Paksa kepada penanggung pajak oleh jurusita pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada penanggung pajak dan Surat Paksa yang asli diserahkan disimpan di kantor pejabat. Pemberitahuan Surat Paksa dituangkan dalam berita acara yang sekurang kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama jurusita pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.

37 Berdasarkan Pasal 10 ayat 3 (UU Penagihan Pajak), Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada: 1. Penanggung pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan. 2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak tidak dapat dijumpai. 3. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi. 4. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi. Berdasarkan Pasal 10 ayat 4 (UU Penagihan Pajak), Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita pajak kepada: 1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan, atau 2. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau di tempat usaha badan yang bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf ( a ). Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan jika Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, maka Surat Paksa diberitahukan kepada

38 orang atau badan yang dibebani untuk pemberesan atau likuidasi. Jika tidak dapat dilaksanakan Surat Paksa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat. Dalam hal Wajib Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, maka penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan oleh keputusan menteri atau keputusan kepala daerah. 2.1.3.7 Dasar Hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Penagihan pajak di Indonesia harus didasarkan pada hukum yang jelas dan mengikat, sehingga Wajib Pajak dan pihak yang terkait dapat mematuhinya. Undang-undang dan peraturan serta keputusan-keputusan yang mengatur tentang penagihan pajak dengan Surat Paksa adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007. 2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. 3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana telah diubah

39 terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/PMK.03/2010. 4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa. 2.1.3.8 Daluwarsa Penagihan 2.1.3.8.1 Jangka Waktu Hak Penagihan Sesuai Pasal 22 ayat 1 (UU KUP) menyebutkan bahwa hak untuk malakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah malampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan: 1. Surat Tagihan Pajak 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan 4. Surat Keputusan Pembetulan 5. Surat Keputusan Keberatan 6. Putusan Banding 7. Putusan Peninjauan Kembali

40 2.1.3.8.2 Tertangguhnya Daluwarsa Penagihan Pajak Dalam Pasal 22 ayat 2 (UU KUP), daluwarsa penagihan pajak tertangguh jika: 1. Diterbitkan Surat Paksa. 2. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung. 3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. 4. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. 2.1.4 Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 27 Undang-Undang PPN tahun 2009, pemungut pajak pertambahan nilai adalah bendaharawan pemerintah, badan, instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak kepada bendaharawan pemerintah, badan atau instansi pemerintah tersebut. Menurut Waluyo (2009:2) pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah adalah : Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan penjualan atas barang mewah atau disingkat PPN dan PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi didalam negeri (di dalam daerah pabean), baik konsumsi barang maupun jasa.

41 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditetapkan UU No. 42 Tahun 2009 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau jasa pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. 2.1.4.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai berikut: Menurut Waluyo (2009:9) penggolongan atas objek PPN adalah sebagai 1. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha meliputi pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak. 2. Impor Kena Pajak, pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan barang kena pajak tersebut pada butir 1 di atas, maka siapa pun yang memasukan barang kena pajak ke dalam daerah pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak. 3. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya oleh orang pribadi atau badan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPN 1984, terdapat dua jenis objek PPnBM, yaitu :

42 1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. 2. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. 2.1.4.2 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Subjek pajak PPN adalah Pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak (pasal 1 ayat 14 UU PPN) yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, pemanfaatan barang tidak berwujud dari luar pabean, melakukan usaha jasa, atas pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean. Subjek pajak PPnBM adalah pengusaha kena pajak yang menghasilkan barang kena pajak tergolong mewah dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dan pengusaha yang mengimpor barang yang tergolong mewah. Pengertian Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut : Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

43 2.1.4.3 Tarif Pajak Pertambahan Nilai Menurut Waluyo (2009:13) tarif Pajak Pertambahan Nilai, yaitu : 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif pajak pertambahan nilai yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak adalah tarif tunggal, sehingga mudah dalam pelaksanaannya dan tidak memerlukan daftar penggolongan barang atau jasa dengan tarif berbeda sebagaimana berlaku pada pajak atas barang mewah. 2. Tarif pajak pertambahan nilai atas ekspor barang kena pajak sebesar 0% (nol persen). Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak di dalam daerah pabean, dikenakan pajak pertambahan nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, pajak masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan. Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif PPnBM adalah sebagai berikut : 1. Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah paling rendah 0 (nol persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). 2. Atas ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).

44 2.1.4.4 Dasar Pengenaan Pajak Menurut Waluyo (2009:11) pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang. a. Harga Jual Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. b. Penggantian Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan. c. Nilai Ekspor Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir.

45 d. Nilai Impor Nilai berupa uang yang menjadi dasar bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM. 2.2 Kerangka Pemikiran Penerimaan pajak pertambahan nilai merupakan salah satu penopang kegiatan pemerintahan di Indonesia karena penerimaan pajak pertambahan nilai merupakan salah satu bagian dari sektor pajak yang memberikan pendapatan negara yang paling besar di antara pendapatan negara lainnya. Seperti yang didefinisikan oleh Suryadi (2006:105) bahwa penerimaan pajak merupakan sumber pembiayaan negara yang dominan baik untuk belanja rutin maupun pembangunan. Penerimaan pajak tidak lepas dari masalah yang menyebabkan penerimaan pajak tidak dapat mencapai target yang sudah ditentukan. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor terutama kepatuhan wajib pajak. Banyak wajib pajak di Indonesia yang masih belum mengerti seberapa pentingnya pajak dalam kegiatan pemerintahan, sehingga kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih sangat rendah. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan dilakukannya pemeriksaan pajak. Menurut Sari dan Ni Nyoman (2011:3) menjaga agar wajib

46 pajak tetap berada dalam koridor peraturan perpajakan, maka diantisipasi dengan melakukan upaya intensifikasi pemeriksaan terhadap wajib pajak yang memenuhi kriteria untuk diperiksa. Selain itu berdasarkan hasil penelitian Dewi (2014) menyatakan bahwa pemeriksaan pajak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai. Selain dilakukannya pemeriksaan pajak, upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak pertambahan nilai adalah dengan melakukan penagihan pajak, yang dimaksud penagihan pajak dalam penelitian ini adalah penagihan pajak dengan surat paksa. Menurut Kusumo (2013:12) Penagihan dengan surat paksa mempunyai peran yang cukup penting dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini dikarenakan dengan adanya penagihan, wajib pajak yang masih mempunyai utang pajak akan segera membayar utangnya sehingga penerimaan pajak dapat bertambah. Selain itu berdasarkan hasil penelitian Syahab dan Gisijanto (2008) menyatakan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak. Pelaksanaan pemeriksaan pajak dan penagihan pajak dengan surat secara tidak langsung akan meningkatkan penerimaan pajak pertambahan nilai, karena setelah dilakukan pemeriksaan pajak dan penagihan pajak dengan surat paksa, wajib pajak harus segera melunasi pajak yang sebelumnya tidak akan dibayar. Hasil penelitian Hasiana (2010) menyatakan bahwa pemeriksaan pajak dan penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai.

47 2.3 Hipoteis Penelitian Menurut Uma Sekaran (2009:135) hipotesis adalah suatu hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Maksud diuji disini adalah dengan pernyataan tersebut memungkinkan pengumpulan data yang digunakan untuk membuktikan atau menjelaskan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah peneliti selanjutnya. Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, hipotesis yang diajukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah : H1 : Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai. H2 : Penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai. H3 : Pemeriksaan pajak dan penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai. Variabel X1 Pemeriksaan Pajak H 1 Variabel Y Variabel X2 Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa H 2 H 3 Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Gambar 2.1 Paradigma Penelitian