BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
yang lainnya, maupun interaksi dengan orang sekitar yang turut berperan di dalam aktivitas OMK itu sendiri,. Interaksi yang sifatnya saling

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap pasangan yang telah menikah tentu saja tidak ingin terpisahkan baik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peneitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan individu menghadapi persaingan global yang menuntut adanya

BAB V PENUTUP. Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan. kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk belajar bagi setiap individu dengan mengembangkan dan mengasah keterampilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peluang kegagalan akan semakin tinggi (dalam Yusuf & Nurihsan J,

BAB I PENDAHULUAN. ini, hal ini dapat kita temui di berbagai negara. Dari negara maju seperti Amerika

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

A. Latar Belakang Kondisi keyakinan seseorang yang tidak menentu akan membuat kinerja menjadi tidak stabil, sedangkan untuk mencapai keberhasilan

1. Kegiatan selama liburan

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ANGGOTA KOMUNITAS ORANG MUDA KATOLIK (OMK) KEVIKEPAN SURABAYA BARAT SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

Lampiran 3. Verbatim Subjek 1. Waktu Wawancara : Sabtu, 08 Februari 2014 PENELITI (P) SUBJEK1 (YS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi sangat pesat khususnya di bidang informasi dan

BABI PENDAHULUAN. Sepanjang rentang kehidupan, setiap individu melewati beberapa fase

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

Usia yang Tinggal di Panti Werdha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB III GAMBARAN UMUM VARIABEL SOSIALISASI KELUARGA DAN PERILAKU PROSOSIAL ANAK

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh karyawan lebih dari sekedar kegiatan yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya menuju dewasa. Remaja cenderung memiliki peer group yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. Sekolah merupakan tempat bergabung atau kumpulan orang-orang sebagai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Motivasi merupakan suatu dorongan yang dapat membantu seseorang. melakukan dan mencapai sesuatu aktivitas yang diinginkannya, jadi

PERAN SIGNIFICANT OTHERS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan ini khususnya dalam melatih kemampuan verbal, kuantitatif, berpikir

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

Informan S1 S2 S3 S4 S5

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang memiliki bentuk tubuh yang ideal memang menjadi

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya masyarakat, tanggung jawab penjagaan, perawatan, dan pengasuhan anak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase

BAB I PENDAHULUAN. setiap aspek kehidupan seperti menjadi lebih terbuka menerima teknologi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Ekonomi Asean (MEA) untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di. bidang ekonomi antar negara ASEAN (

ANALISIS MARKET RESEARCH UNEJ

Kak Rya = Batak Admin service

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang OMK (Orang Muda Katolik) merupakan sebuah wadah yang dapat menghimpun para pemuda Katolik untuk terus melayani Tuhan dan sesama, sebagai sebuah komunitas keagamaan. Pelayanan itu diwujudkan oleh berbagai macam program sosial dan keagamaan yang dibuat komunitas ini, misalkan bakti sosial, membentuk komunitas doa, serta seminar atau pelatihan bertemakan pendalaman iman. Seseorang yang terlibat dalam komunitas ini dapat mengisi waktu luang mereka dengan berinteraksi dengan sesama anggota OMK, dan membentuk berbagai pengalaman iman di dalam program-program sosial-keagamaan. Pengalaman-pengalaman tersebut memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan psikologis (psychological well-being), yakni sebagai bahan evaluasi seseorang akan kondisi dirinya dalam hal menyadari potensi diri, merasakan kebahagiaan, berusaha mencapai tujuan hidupnya, serta memiliki kepedulian dengan orang sekitarnya (Snyder & Lopez, 2007:71). Dengan mengangkat tema sosial-keagamaan, program-program komunitas OMK juga turut menanamkan nilai-nilai gereja yang mengajarkan anggota OMK untuk bisa terus berkembang, mengasihi diri sendiri dan orang lain (Gracia, 2013). Dengan demikian, keterlibatan seseorang di komunitas OMK secara langsung maupun tidak, dapat berkontribusi dalam perkembangan kondisi kesejahteraan psikologis seseorang. Akan tetapi, tidak semua pengalaman bisa dievaluasi oleh seseorang sebagai suatu kondisi yang positif. Seorang anggota OMK bisa saja memiliki penilaian negatif atas pengalamannya ketika terlibat di kegiatan komunitas tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan Ryff, dimana hasil 1

evaluasi pengalaman seseorang dapat mengarah kepada dua macam kondisi, yakni pada kesejahteraan (well being) atau mengarah pada ketidaksejahteraan (Snyder & Lopez, 2007:70-71). Anggota OMK yang mengevaluasi pengalamannya di OMK sebagai suatu hal yang positif atau sebagai suatu pembelajaran kehidupan dapat digolongkan ke arah kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, seorang anggota yang mengevaluasi pengalamannya dengan negatif akan mengarah pada ketidaksejahteraan psikologis. Ketidaksejahteraan psikologis inilah yang perlu diwaspadai, karena kondisi seorang anggota OMK yang cenderung mengalami hal tersebut akan berpengaruh pada kondisi komunitas, terutama yang membutuhkan interaksi antar-anggotanya. Mereka yang cenderung mengalami ketidaksejahteraan psikologis dapat membawa evaluasi negatifnya ke dalam aktivitas OMK. Hal ini dapat dilihat dari kutipan singkat wawancara dengan ketua OMK salah satu wilayah di salah satu paroki Kevikepan Surabaya Barat yang menunjukkan adanya evaluasi negatif anggotanya yang terbawa ke dalam aktivitas OMK. Terkadang ada sih Mas, anggota yang pesimis saat dikasih tugas di kegiatan OMK gitu. Alasannya itu selalu banyak. Entah itu takut salah lah, merasa gak bisa lah, dan mereka malah lempar ke anak lain akhir-akhirnya. Padahal mereka lo belum pernah ditugasi sebelumnya. Biasanya sih anak-anak yang modelnya gitu yang nantinya kayak bermasalah sama anggota lainnya (D, anggota OMK, 20 tahun) Untuk lebih memperjelas fenomena ini, Ryff telah mengemukakan enam aspek kondisi kesejahteraan psikologis seseorang. Enam aspek tersebut ialah penerimaan diri, pengembangan diri, relasi positif dengan orang lain, otonomi atau kemandirian, tujuan hidup, serta penguasaan lingkungan (Snyder & Lopez, 2007: 70-71). Berdasarkan data wawancara di atas, setidaknya telah menunjukkan bahwa terdapat anggota OMK yang 2

memiliki kendala dalam mencapai kesejahteraan psikologis, terutama dalam dimensi pengembangan diri dan relasi positif dengan orang lain. Apabila ia telah mengembangkan diri secara baik dan membangun relasi positif dengan orang lain, seharusnya ia dapat menerima tanggung jawab serta tidak menimbulkan masalah dengan anggota lainnya. Selain data wawancara di atas, ada pula data dari seorang anggota OMK yang terlihat mengalami ketidaksejahteraan psikologis dalam lingkungan OMK. Saya sadar sih mas kalau saya ini anggota OMK, tapi saya agak males ikut kegiatan-kegiatannya, soalnya kapan lalu pernah ikut itu disuruh-suruh macem-macem, kayak jualan lah, sementara saya sukanya jalan-jalan, main, nonton film gitu. Makanya saya memilih untuk pasif saat ada kegiatan atau proyek di OMK (I, anggota OMK, 23 tahun) Berdasarkan data tersebut, nampak bahwa terdapat anggota komunitas yang secara sadar memilih untuk pasif, daripada turut mengambil bagian di dalam komunitas OMK. Anggota tersebut jelas memiliki kekurangan dalam aspek kesejahteraan psikologis, terutama pada aspek tujuan hidup. Berdasarkan aspek tujuan hidup, ia belum dapat melihat tujuan hidupnya di dalam komunitas OMK, sehingga ia tidak tertarik dengan kegiatan-kegiatan di dalamnya. Apabila ia sudah melihat tujuan hidupnya di dalam OMK, seharusnya ia bisa lebih antusias dalam menjalankan aktivitas yang ada di OMK. Secara tidak langsung, sikap-sikap anggota yang seperti ini dapat mempengaruhi proses tercapainya tujuan utama dari OMK itu sendiri. Tujuan utama OMK seperti yang dikemukakan Komisi Kepemudaan dalam Konferensi Waligereja Indonesia ialah menghasilkan anggota yang tangguh dan tanggap dalam hidup sebagai umat Katolik/Gereja maupun sebagai masyarakat (Gracia, 2013). Ketika seorang anggota memilih pasif, maka ia kurang berkontribusi dalam mewujudkan 3

anggota OMK yang tangguh dan tanggap dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Temuan lain yang berbeda dengan kondisi ketidaksejahteraan anggota OMK, yakni terdapat data yang menunjukkan kondisi anggota OMK yang mengalami kesejahteraan psikologis, seperti yang dikemukakan oleh informan berikut. Saya mah memilih untuk join di OMK ini karena saya sendiri memang memilih untuk berkontribusi dalam melayani Allah dan sesama tanpa disuruh orang tua atau romo pas pembinaan komuni pertama. Bukannya omong kosong ya Kak, tapi ya ketimbang saya harus menghabiskan waktu di rumah main sendiri gitu kan kelihatan nggak produktif, makanya lebih baik saya bersosialisasi dengan teman-teman dalam karya pelayanan, gini aja saya udah seneng kak. Malah saya ini istilahnya kayak nulari mereka dalam arti bisa bikin anak-anak yang tadinya males ikut pertemuan jadi mau. Dalam hati saya mikir sih, padahal saya ini kan orang biasa yang masih punya salah dan kekurangan di samping kelebihan saya, tapi kok bisa mereka mempercayakan jabatan ketua OMK ke saya. Mungkin sudah putusan Tuhan lah. Trus apa kak? Relasi dengan anggota? Dari segi relasi, kami juga kompak, saling jaga, saling peduli lah kalo ada yang lagi ada masalah. (R, anggota OMK, 20 tahun) Data wawancara di atas menunjukkan bahwa selain terdapat anggota yang mengalami ketidaksejahteraan psikologis, ada pula anggota yang terlihat sejahtera secara psikologis. Hal ini terlihat dari kondisi-kondisi informan yang telah memenuhi keseluruhan aspek kesejahteraan psikologis. Secara aspek otonomi, informan tersebut telah menunjukkan bahwa keputusannya bergabung dengan OMK didasarkan pada pilihannya sendiri tanpa adanya pengaruh dari pihak lain. Secara aspek tujuan hidup, informan telah memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan OMK itu sendiri, yakni melayani sesama. Secara aspek pengembangan diri, informan telah aktif bersosialisasi dan terlibat dalam karya pelayanan daripada hanya sekedar 4

5 bermain sendiri di rumah. Secara aspek relasi positif dengan orang lain, informan telah menunjukkan bahwa relasi dengan anggota OMK lainnya tetap kompak dan saling menjaga satu dengan yang lainnya. Secara aspek penguasaan lingkungan, informan telah memberikan pengaruh bagi orang lain (teman-temannya) untuk ikut terlibat dalam mewujudkan tujuan OMK. Secara aspek penerimaan diri, informan juga sudah menunjukkan bahwa dirinya mengakui adanya kekurangan di samping kelebihan dalam dirinya. Terkait dengan data-data awal temuan peneliti terkait dengan kondisi kesejahteraan psikologis anggota OMK, Prilletensky (2006: 123-133) mengungkapkan empat faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis seseorang, yakni: kepribadian (biological and constitutional factors), pengalaman awal pola asuh orangtua terhadap anak, kecerdasan emosi, dan hubungan kasih dengan orang lain (loving relationship). Peneliti mengelompokkan keempat faktor tersebut menjadi dua bagian, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor kepribadian dan kecerdasan emosi, sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor pengalaman awal pola asuh orang tua dan hubungan kasih dengan orang lain. Dalam faktor eksternal, dijelaskan bahwa pengalaman awal pola asuh orangtua yang memiliki kelekatan dengan anak, akan membantu anak merasa aman dan nyaman di lingkungan sekitar saat tumbuh dewasa. Selain itu, kondisi hubungan yang penuh kepedulian dan cinta kasih juga dapat membuat individu merasa nyaman di dalam lingkungannya (Prilletensky, 2006: 123-133). Bentuk perilaku orang tua mengasuh anaknya, serta kepedulian dan cinta itulah yang dapat digolongkan sebagai dukungan sosial. Menurut Uchino (dalam Sarafino & Smith, 2007: 81), dukungan sosial merupakan sebuah bentuk kepedulian, harga diri, atau ketersediaan

pertolongan terhadap seseorang, yang berasal dari orang lain atau kelompok, yang dapat mengarahkan seseorang ke dalam kondisi nyaman dengan lingkungan sekitarnya. Dengan adanya keterkaitan faktor eksternal kesejahteraan psikologis dengan pengertian dukungan sosial, peneliti melihat bahwa dukungan sosial memiliki kontribusi dalam membentuk kesejahteraan psikologis seseorang. Dukungan sosial itu sendiri dapat teramati dalam komunitas OMK, yang bisa berasal dari sesama anggota maupun dari luar OMK (keluarga dan anggota komunitas lain), sebagaimana tergambar dari pengalaman informan berikut. OMK itu aktif banget kok kak untuk bantu sesama anggotanya yang lagi kesulitan. Kayak kapan lalu ada anggota yang sakit habis kecelakaan, kami semua bareng-bareng jenguk dan kumpulin dana untuk bantu biaya pengobatan.. Trus nggak jarang juga orang tua dari anak-anak OMK ini ikutan nyumbang.. Trus ada juga saat ada anggota yang lagi UNAS gitu, kita kakak kakaknya ikutan bantu ngajarin pelajaannya.. (Y, anggota OMK, 25 tahun) 6 Data wawancara di atas sudah cukup menggambarkan bentuk-bentuk dukungan sosial yang ada di dalam OMK. Terdapat bentuk dukungan materi (instrumental), dimana sesama anggota OMK menyumbangkan dana untuk biaya pengobatan. Ada pula dukungan informasi, dimana anggota OMK yang lebih tua mengajarkan anggota yang lebih muda saat hendak menghadapi ujian sekolah. Dukungan-dukungan di atas yang sejauh ini dipercaya telah memberikan kontribusi bagi kesejahteraan psikologis anggota OMK. Terkait dengan hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being, terdapat sejumlah penelitian yang telah dilakukan, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Milatina dan Yanuvianti (2014). Dalam penelitian yang berjudul Hubungan antara

7 Dukungan Sosial dengan Psychological well-being pada Wanita Menopouse (di RS Harapan Bunda Bandung), ditemukan adanya hubungan positif yang cukup kuat antara dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis dengan angka koefisien korelasi sebesar 0,658. Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2016) yang berjudul Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological well-being pada Guru Honorer Daerah, ditemukan hubungan positif dengan kategori cukup di antara kedua variabel tesebut, dengan angka koefisien korelasi sebesar 0,395. Kedua hasil penelitian tersebut memang telah mendukung adanya hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being. Akan tetapi, peneliti masih menemukan kesenjangan yang membuat penelitian ini penting untuk dilakukan, yakni dalam sebuah lingkungan pembinaan OMK yang seharusnya menerapkan nilai kepedulian dan nilai kasih, peneliti masih menemukan kondisi ketidaksejahteraan psikologis seperti yang didapatkan pada data preliminari sebelumnya. Inilah yang kemudian menjadi daya tarik peneliti untuk menguji kembali hubungan antara variabel dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis, terutama terhadap anggota komunitas OMK. 1.2. Batasan Masalah Melihat luasnya ruang lingkup penelitian dalam hal pembagian kelompok populasi, maka peneliti menerapkan batasan sebagai berikut: a. Partisipan dalam penelitian ini merupakan anggota komunitas OMK kevikepan Surabaya Barat, yang terdiri dari kelompok rentang usia taruna, usia madya, dan usia karya (16-35 tahun), serta berstatus lajang atau belum menikah. Pembagian usia ini

8 ditetapkan untuk menghindari kerancuan keanggotaan dengan komunitas ReKat (Remaja Katolik) yang memiliki aktivitas berbeda. b. Partisipan pernah terlibat dalam aktivitas OMK setidaknya satu kali. c. Penelitian ini berfokus untuk menguji hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being anggota OMK. 1.3. Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dan psychological well-being pada anggota komunitas Orang Muda Katolik Kevikepan Surabaya Barat? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara dukungan sosial dan psychological well-being pada anggota komunitas Orang Muda Katolik. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat teoritik Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu psikologi, terkhusus pada bidang psikologi klinis terkait dengan dukungan sosial dan psychological well-being pada anggota komunitas Orang Muda Katolik.

9 1.5.2. Manfaat praktis a. Bagi Responden Memberikan pemahaman bagi responden terkait dengan peran dukungan sosial dalam kesejahteraan psikologis diri, serta menjadi bahan evaluasi diri dalam pengembangan kondisi kesejahteraan psikologis dan dukungan sosial. b. Bagi Komunitas OMK Hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi masukan komunitas Orang Muda Katolik terkait dengan peran dukungan sosial dalam kesejahteraan psikologis anggota komunitas, serta menjadi bahan evaluasi komunitas terkait dengan pengembangan kondisi kesejahteraan psikologis dan dukungan sosial anggotanya. c. Bagi gereja Memberikan gambaran kondisi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan dukungan sosial anggota komunitas OMK yang juga bagian dari umat gereja, sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terkait pengembangan kesejahteraan psikologis dan dukungan sosial umat gereja, khususnya pada usia muda.