BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menonjol di dunia karena jumlahnya cukup banyak. Sapi FH berasal dari negeri

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

disusun oleh: Willyan Djaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Sapi Perah Produksi Susu Sapi Perah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah dan Kondisi Lingkungan Fisik Perusahaan. PT. UPBS Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS) Pangalengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland,

TINJAUAN PUSTAKA. dan dikenal sebagai Holstein di Amerika dan di Eropa terkenal dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode pemerintahan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Coturnix coturnix japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Pemberian Pakan Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

PERFORMANS PERTUMBUHAN DAN BOBOT BADAN SAPI PERAH BETINA FRIES HOLLAND UMUR 0-18 Bulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Karakteristik Sapi Perah Bangsa sapi perah Fries Holland (FH) adalah bangsa sapi perah yang sangat menonjol di dunia karena jumlahnya cukup banyak. Sapi FH berasal dari negeri Belanda yaitu propinsi Holand Utara dan Friesland Barat (Blakely and Bade, 1994). Bangsa sapi FH murni memiliki bulu berwarna hitam dan putih atau merah dan putih dengan batas warna yang jelas. Sapi FH memiliki karakteristik pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga, bagian perut dan kaki mulai dari teracak sampai lutut berwarna putih, berbadan besar (large breeds), mempunyai kapasitas makan yang banyak, sapi betina mempunyai ambing yang besar, bentuk kepala panjang, sempit dan lurus, tanduknya relatif pendek mengarah ke depan dan membengkok ke dalam (Makin dkk., 1980 dan Mukhtar, 2006). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah berproduksi tinggi bila dibandingkan dengan bangsa sapi perah lain, dengan kadar lemak susu rendah. Produksi susu berkisar antara 5.750 6.250 kg per laktasi dengan kadar lemak 3,65% (Blakely dan Bade, 1994). Sapi FH betina mempunyai temperamen yang tenang dan jinak sedangkan jantan agak liar. Dewasa kelamin (sexual maturity) sapi FH ini tergolong agak lambat. Sapi FH betina umumnya baru dapat dikawinkan pertama kali pada 6

7 umur 15-18 bulan dengan bobot badan berkisar 275 300 kg, sehingga beranak pertama kali pada umur 24 27 bulan (Sudono, dkk., 2003). Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, akan tetapi dengan kadar lemak susu yang rendah. Produksi susu sapi FH di Amerika Serikat rata-ratanya sekitar 7.245 kg per laktasi dengan kadar lemak 3,65%, sementara itu produksi susu sapi FH saat ini di Indonesia memiliki produksi rata-rata 10 liter/ekor/hari atau sekitar 3.471 kg per laktasi (Anggraeni, 2012). 2.1.2. Performans Pertumbuhan 1) Pertumbuhan Konsep pertumbuhan secara sederhana adalah bertambah besar. Ternak merespon apa yang didapatkan dari lingkungannya, yaitu dengan performans yang melekat pada ternak tersebut. Respon yang diperhatikan dalam pemeliharaan ternak salah satunya adalah pertumbuhan (Lawrence dan Fowler, 2002). Pertumbuhan adalah manifestasi dan perubahan perubahan dalam unit pertumbuhan terkecil, yakni sel yang mengalami hiperplasi (bertambah jumlah) dan hipertrofi (pembesaran ukuran). Sapi perah yang masih muda dapat berubah bentuknya, bertambah besar bobot badannya dan bertambah ukuran tubuhnya (Soeharsono, 1980). Melalui pemahaman yang baik pada sifat pertumbuhan, dapat diperkirakan kapan saat pubertas tercapai, sehingga dapat ditentukan waktu dan bobot badan yang tepat untuk perkawinan pertama pada sapi dara. Hal tersebut dikarenakan umur

8 pubertas dan kawin pertama sapi dara akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan bobot badan yang dicapai selama masa prepubertas (Sejrsen dan Purup, 1997) Tazkia dan Anggraeni (2009) menyatakan bahwa kurva pertumbuhan ukuranukuran tubuh dan bobot badan secara umum berpola sigmoid S yang mencerminkan pertumbuhan ternak dari awal dilahirkan, kemudian fase percepatan sampai mencapai titik infleksi, selanjutnya ternak mencapai dewasa tubuh dan pada fase ini sudah mulai terjadi fase perlambatan sampai pertumbuhannya relatif konstan. Pertumbuhan dimulai sejak terjadinya pembuahan dan berakhir pada saat dicapainya kedewasaan tubuh sesuai dengan Gambar 1. Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati. Gambar 1. Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati (Suarsana, 2010) Keterangan: Y = Bobot hidup, Pertambahan bobot badan harian atau persen laju pertumbuhan; X=Umur; C=Pembuahan; B=Kelahiran; P=Pubertas; M=Dewasa tubuh; D=Mati

9 Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah kelahiran (postnatal). Pertumbuhan prenatal dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu periode ovum, periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai saat ovulasi sampai terjadinya implantasi, periode embrio dimulai dari implantasi sampai terbentuknya organ-organ utama seperti otak, kepala, jantung, hati dan saluran pencernaan, periode fetus berlangsung sejak hari ke- 34 masa kebuntingan sampai kelahiran. Pertumbuhan postnatal biasanya dibagi menjadi pertumbuhan prasapih dan pascasapih. Pertumbuhan prasapih dipengaruhi oleh genetik, bobot lahir, jumlah susu yang dikonsumsi, bobot lahir, umur induk, dan jenis kelamin anak. Pertumbuhan pascasapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan, umur dan bobot sapih serta lingkungan (suhu udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan penyakit lainnya) (Lawrence dan Fowler, 2002 dan Suarsana, 2010). 2) Bobot Badan Bobot badan dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam pengukuran laju pertumbuhan yang mencakup perubahan dalam bentuk dan berat jaringan pembangun tubuh seperti urat daging, tulang, otak dan jaringan tubuh lainnya kecuali jaringan lemak dan alat alat tubuh (Anggorodi, 1994). Ternak yang memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi akan mencapai usia pubertas lebih awal. Hal ini dikarenakan pubertas lebih dipengaruhi oleh bobot badan dari pada pengaruh umur. Pertambahan

10 bobot badan merupakan pencerminan dari penambahan bobot organ dan struktur jaringan yang dapat dipengaruhi oleh zat gizi dalam ransum (Tillman dkk., 1998). Bobot badan suatu ternak biasanya dijadikan ukuran dalam penilaian ternak. Bobot badan merupakan sifat kuantitatif yang penting secara komersil dan diperhatikan sebagai evaluasi pemeliharaan yang telah dilakukan. Sapi perah mempunyai bobot badan yang perlu diperhatikan, hal ini terkait dengan umur kawin pertama (Sudono, 1999) Salah satu aspek yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk menunjukkan kondisi ternak adalah pertambahan bobot badan sejak ternak dilahirkan. Pertambahan bobot badan seekor ternak meliputi dua hal yaitu peningkatan struktur kerangka dan pembangunan perdagingan. Pertambahan bobot badan seekor ternak dari lahir sampai dewasa tubuh, yang dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin, pakan dan bobot lahir (Heinrich, 1993). 3) Bobot Lahir Bobot lahir sapi perah Fries Holland (FH) yang normal berkisar antara 25 sampai 40 kg (Makin dkk., 1980. Bobot lahir anak jantan 8,5% lebih berat daripada bobot lahir anak betina (Kertz dkk., 1997). Bobot lahir anak sapi betina yang lahir dari induk pada kelahiran ketiga atau keempat lebih berat 7-8% daripada anak betina yang lahir pada kelahiran pertama. Bobot badan anak sapi kembar lebih ringan 15% daripada anak sapi yang lahir tunggal (Johanson dan Berger, 2003).

11 Bobot lahir yang berat biasanya diasosiasikan dengan kemampuan bertahan hidup yang lebih baik. Hal tersebut disebabkan dengan bobot lahir yang besar merupakan salah satu indikasi kematangan fisiologis, cadangan dan efisiensi energi yang lebih baik (Lawrence dan Fowler, 2002). Rasio antara bobot badan anak dengan bobot badan induknya adalah 1:13,8 sehingga bobot lahir anak sebesar 40,3 kg harus dilahirkan oleh induk dengan bobot badan 556,14 kg. Hal tersebut untuk mencegah kematian prenatal (Johanson dan Berger, 2003). Berdasarkan Lawrence dan Fowler (2002), faktor utama yang menyebabkan perbedaan bobot lahir adalah (1) genetik dari pejantan dan induk, (2) umur dan ukuran kondisi tubuh sapi ketika konsepsi, (3) kualitas dan kematangan sel telur saat dibuahi, (4) jumlah anak yang lahir, (5) nutrisi dari induk selama bunting, (6) adanya infeksi penyakit dan (7) tingkat stress dari induk. Menurut Purwanto dkk (2013) menyatakan bahwa besarnya bobot lahir dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan relatif mencukupi kebutuhan, sehingga energi yang diberikan untuk hidup pokok, produksi susu dan pertumbuhan fetus terpenuhi. 4) Bobot Sapih Bobot sapih yaitu bobot pada saat pedet mulai diberhentikan pemberian air susunya, baik susu yang berasal dari induk sendiri maupun dari induk lain (Sudono, 1999), sedangkan menurut Makin dkk., (1980) bobot sapih adalah bobot badan pada saat pedet sudah tidak diberi lagi susu dan sudah mampu mengkonsumsi konsentrat sebnayak 1 kg per hari dan mengkonsumsi rumput yang berkualitas baik. Berikut

12 adalah Tabel 1. yang memperlihatkan periode pertumbuhan bobot lahir berbagai bangsa sapi perah sampai dengan disapih. Tabel 1. Bobot Badan Normal Sapi Pedet Sampai dengan Disapih (Periode Pertumbuhan) Bobot Badan Umur (bulan) Holstein Ayrshire Guernsey Jersey Lahir 1 2 3 4 5 6 Sumber : Bath (1985)...kg 43,5 53,5 73,0 97,0 123,4 151,9 179,6 32,7 44,5 59,9 81,2 107,1 132,0 154,2 30,0 40,0 55,3 74,4 98,4 120,2 137,9 25,4 32,7 46,3 65,6 82,1 103,4 125,6 Bobot lahir dan bobot sapih sapi FH lebih tinggi dibandingkan dengan bobot sapi perah lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa bobot sapih setiap bangsa sapi berbeda, untuk sapi Fries Holland mencapai 178 kg, Guernsey 121 kg, dan Ayrshire 127 kg (Schmidt, dkk., 1988). Perbedaan bobot badan pada saat sapih dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga terjadi perbedaan diantara penelitian yang satu dengan yang lainnya. Faktor yang mempengaruhi perbedaan bobot sapih yaitu faktor genetik, bobot lahir, kuantitas susu induk, umur induk dan umur sapih (Heinrich, 1993). 5) Bobot 6-18 Bulan Bobot badan umur 12 bulan merupakan bobot badan yang paling menentukan untuk produktivitas ternak selanjutnya, karena pada umur 12 bulan merupakan masa pubertas, bila pada umur ini ternak memiliki bobot badan yang besar maka akan

13 menyebabkan ternak tersebut dapat berproduksi secara optimal, karena setelah masa pubertas, pertumbuhan akan lambat kembali sampai mencapai dewasa. Bobot badan pada umur 12 bulan yaitu 197-210 kg (McDowell, 1989). Melalui pemberian pakan dan pemeliharaan yang baik, pada umur 12 bulan sapi FH dapat mencapai bobot badan antara 150 250 kg (Heinrich, 1993). Sapi perah akan mencapai dewasa tubuh apabila bobot tubuhnya telah mencapai 30 40% dari bobot badan dewasa (Bath, 1985). Umur kawin pertama pada sapi perah ditentukan oleh kesiapan dewasa kelamin dan kondisi tubuh yang sipa untuk dikawinkan, biasanya disebut layak kawin setelah berumur 15-18 bulan dengan bobot badan 275-300 kg (Sudono, 1999), sejalan dengan pendapat McDowell (1989) bahwa bobot badan sapi FH umur 18 bulan dapat mencapai 283 300 kg. Penting pada umur 12 18 bulan untuk mengoptimalkan potensi bobot badannya. Bobot badan yang besar akan menunjang sapi untuk mengkonsumsi pakan yang banyak, sehingga lebih banyak zat zat gizi makanan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan kelenjar susu yang lebih baik dan pada akhirnya dapat meningkatkan produksi susu (Anggorodi, 1994). 6) Pengaruh Hormon terhadap Pertumbuhan Hormon adalah zat kimia yang diproduksi oleh kelenjar endokrin yang mempunyai efek tertentu pada aktifitas organ-organ lain dalam tubuh yang dibawa oleh aliran darah. Secara hormonal, pertumbuhan dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh hormon. Turner dan Bagnara (1976) mengemukakan bahwa

14 pertumbuhan dipengaruhi oleh GH (somatotropin) disamping melibatkan hormonehormon lainnya seperti tiroksin, epinephrine, insulin, glucagon, androgen, estrogen dan glukokortikoid. Hormon-hormon tersebut mempengaruhi dimensi dan massa tubuh, terutama melalui perubahan pertulangan (skeleton) ataupun melalui metabolism nitrogen. Pengaruh hormon terhadap pertumbuhan disajikan pada tabel berikut: 1. Tabel 2. Pengaruh Hormon-Hormon terhadap Pertumbuhan Hormon Pengaruh Terhadap Skeleton Metabolisme Protein Somatotropin Stimulasi pertumbuhan 1. Peningkatan retensi nitrogen (STH) a tulang endochondrial 2. Peningkatan sintesis protein 2. Stimulasi pertumbuhan 3. Efek stimulasi tiroksin tulang pipa (tl. Panjang) 4. Efek stimulasi insulin Tiroksin a 1. Stimulasi pertumbuhan tulang pipa 2. Penting buntuk pengaruh STH Estrogen b 1. Inhibisi pertumbuhan skeleton 2. Memacu penutupan hipofisis Glukokortikoid b 1. Penurunan pertumbuhan epifisis 2. Penurunan stimulasi epifisis oleh STH Sumber : Hafez (1969) Keterangan : a Efek umum : anabolik b Efek umum : katabolic 1. Stimulasi sintesis protein 2. Stimulasi peningkatan BMR 3. Kurang/lebih akan bersifat katabolisme 1. Peningkatan retensi nitrogen pada ruminansia 2. Dosis tinggi, katabolik pada hewan lain 3. Memacu pertumbuhan organ lain 1. Menaikkan degradasi protein dan asam amino 2. Induksi sintesis protein dalam jaringan ekstra hepatic Sistem hormonal meningkatkan pertumbuhan melalui pengaturan konsumsi makanan dan menyebarkannya diantara berbagai jalan (pathways) metabolisme.

15 Hormon pertumbuhan (GH) mempengaruhi transport asam amino, metabolisme asam amino, metabolism RNA dan aspek sintesis protein pada ribosom, terutama pada otot. 2.1.3. Performans Reproduksi 1) Umur Pertama Kawin Rata-rata umur pertama kali sapi dara dikawinkan melalui inseminasi pada umur 601 hari atau 21 bulan, sehingga didapatkan umur beranak pertama 28,8 bulan pada Holstein Ontario (Moore dkk., 1989). Jika nutrisi yang diberikan pada sapi berimbang dan mencukupi maka sapi-sapi dara dapat diinseminasi antara umur 13-15 bulan (Rakes, 1978). Mekir (1982) menyatakan bahwa berhasil tidaknya perkawinan pada sapi perah yang menghasilkan kebuntingan ditentukan oleh faktor kesuburan pejantan, kesuburan betina induk dan tatalaksana perkawinan. Standar umur kawin pertama di Jepang adalah pada umur 15-16 bulan dengan bobot badan 350 400 kg sehingga dicapai umur beranak pertama 25 bulan (Yamada, 1992). Hasil Penelitian Lin dkk., (1986) bahwa menunda umur kawin pertama dari 350 menjadi 462 hari meningkatkan produksi susu selama laktasi pertama sekitar 7% masing-masing (14,3 dan 15,3 kg/hari). Menurut Pirlo dkk., (2000) bahwa faktorfaktor yang menyebabkan penundaan umur kawin pertama adalah (1) birahi yang terlambat, (2) kesalahan deteksi birahi, (3) kurangnya bobot badan, dan (4) faktor lingkungan.

16 2) Umur Beranak Pertama Umur beranak pertama tergantung pada datangnya masa pubertas, tercapainya pubertas pada setiap individu hewan bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain iklim dan makanan (Partodihardjo, 1982). Sapi dara harus dikawinkan pada umur 15 bulan sebab pada umur tersebut sapi dara sudah mencapai bobot optimal sehingga diharapkan pada umur sekitar 2,5 tahun dapat beranak yang pertama kalinya. Apabila sapi dikawinkan lebih dari umur tersebut maka produksi susu selama hidupnya akan menurun. Produksi susu akan tinggi bila sapi perah beranak pada umur 24-30 bulan (Bath dkk., 1985). Hedah dkk. (1994) mengatakan bahwa tertundanya birahi pertama secara langsung akan mengakibatkan tertundanya saat beranak pertama yang merupakan saat awal produksi susu dari sapi tersebut. Pada umumnya sapi-sapi di Indonesia beranak pertama pada umur 27 bulan dengan selang beranak 13,5 bulan dan lama bunting 9 bulan. Lambatnya umur beranak pertama sapi perah (> 27 bulan) di daerah tropis disebabkan karena pengaruh iklim, tatalaksana dan kualitas pakan yang berbeda dari daerah asalnya (Amburgh, dkk., 1998) 3) Masa Kosong Masa kosong adalah jarak antara waktu induk beranak sampai dengan bunting kembali. Masa kosong merupakan faktor yang penting dalam tata laksana sapi perah dalam hal waktu kebuntingan yang diinginkan. Panjang masa kosong akan berbeda pada tiap ternak, untuk mencapai selang beranak 365 hari, maka sapi betina harus

17 bunting pada 80 sampai 85 hari setelah beranak. Salah satu ukuran yang menandakan adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120 hari (Hardjopranjoto, 1995). Lama masa kosong sapi perah yang ideal adalah 90 hari (Purwantara dkk., 2001). Menurut Toelihere (1981), sesudah partus hewan betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium dan organ-organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai lagi suatu siklus normal dan untuk kebuntingan baru. Uterus harus kembali pada ukuran normal dan posisi semula (dikenal sebagai involusi) dan mempersiapkan diri untuk kebuntingan berikutnya. Waktu yang diperlukan untuk involusi pada sapi berkisar antara 30-50 hari. Involusi uterus terjadi pada saat menjelang estrus pertama setelah beranak. Ovulasi pertama setelah melahirkan biasanya terjadi tanpa disertai gejala estrus dan berlangsung 35-45 hari setelah melahirkan anak. Interval antar partus ke estrus pertama post partus adalah 45-103 hari (Toelihere, 1985). Interval perkawinan setelah beranak menentukan panjang interval kelahiran, supaya kemungkinan konsepsi menaik dan kemungkinan gangguan reproduksi yang lebih kecil sebaiknya mengawinkan sapi itu paling sedikit 60 hari sesudah kelahiran (Salisbury, 1985). 4) Service per conception (S/C) Jumlah kawin per kebuntingan (S/C) menunjukan jumlah perkawinan yang telah dilakukan untuk menghasilkan suatu kebuntingan. Menurut Toelihere (1985) mengatakan bahwa nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0, sedangkan menurut Sutan

18 (1988) nilai yang ideal adalah sama dengan satu. Ini berarti makin kecil angka S/C maka makin tinggi tingkat kesuburan sapi betina tersebut dan sebaliknya makin tinggi nilai S/C akan mengindikasikan rendahnya kesuburan sapi betina tersebut. Meskipun demikian, karena berbagi faktor dan kondisi alam manajemen peternakan di Indonesia, maka S/C sudah dapat dikatakan baik untuk ukuran Indonesia bila mencapai nilai 2,0 (Toelihere, 1981). 5) Selang Beranak Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya. Selang beranak normal untuk sapi perah adalah 12 bulan, namun untuk mencapai selang beranak tersebut, perlu diupayakan sapi betina sudah bunting kembali dalam 80-90 hari setelah beranak (Anggraeni, 2008). Selang beranak dipengaruhi oleh daya reproduksi. Selang beranak ditentukan oleh lamanya masa kosong dan angka perkawinan per kebuntingan. Siregar (1995) berpendapat bahwa selang beranak dipengaruhi oleh cepat lambatnya sapi dikawinkan setelah beranak dan hal ini berhubungan dengan masa kosong. Keteraturan jarak beranak yang setahun sekali menjamin kesinambungan produksi susu dan replacement stock dalam usaha sapi perah (Sugiarti dan Hidayati, 1997). Bila selang beranak diperpendek akan menurunkan produksi susu 3,7 9,5% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang berikutnya. Jika selang beranak diperpanjang sampai 450 hari, akan meningkatkan produksi susu yang dihasilkan pada laktasi yang sedang berjalan dan laktasi yang akan datang sebesar 3,5%.

19 Meskipun demikian, jika ditinjau dari segi ekonomi akan merugikan karena susu yang dihasilkan tidak sepadan jika dibandingkan dengan pakan yang diberikan (Sudono dkk. 2003). 2.1.4. Performans Produksi Susu 1) Produksi Susu Menurut Schmidt dan Van Vleck (1988), yang termasuk kepada sifat-sifat produksi susu sapi perah adalah produksi susu, lama laktasi dan lama kering. Di antara ketiga sifat-sifat produksi tersebut produksi susu memegang peranan yang paling penting karena merupakan produk utama dari sapi perah, mempunyai nilai genetik dan ekonomis yang tinggi, sedangkan kedua sifat yang lain mempunyai hubungan langsung dengan jumlah susu yang dihasilkan. Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi keduanya. Musim, curah hujan, hari hujan, temperatur, kelembaban, dan manajemen pemeliharaan juga merupakan faktor lingkungan yang banyak mempengaruhi produksi susu. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu terbagi menjadi faktor lingkungan internal diantaranya yaitu umur beranak pertama, lama laktasi, masa kering, masa kosong dan selang beranak. Lingkungan eksternal merupakan faktor yang berpengaruh dari luar tubuh ternak seperti iklim, pemberian pakan dan menajemen pemeliharaan (Anggraeni, 2000).

20 Gambar 2. Kurva Produksi Susu dalam satu periode (Siregar, 1993) Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu masa laktasi sampai mencapai produksi maksimum sekitar minggu ke-8, setelah itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi kira-kira 6% setiap bulannya (Blakely dan Bade, 1994). Produksi puncak tergantung pada kondisi tubuh induk pada saat melahirkan, keturunan, terbebasnya induk dari pengaruh metabolik dan infeksi penyakit serta pakan setelah melahirkan (Schmidt dkk., 1988). Induk yang mengalami penurunan produksi setelah puncak produksi berarti mempunyai persistensi yang rendah. Persistensi produksi adalah kemampuan sapi induk untuk mempertahankan produksi tinggi selama masa laktasi, persistensi dipengaruhi oleh umur sapi, kondisi sapi waktu beranak, lama masa kering sebelumnya, banyaknya makanan yang diberikan pada sapi dan lain-lain (Blakely dan Bade, 1994).

21 Produksi susu total setiap laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ke 3 dan 4. Mulai dari laktasi pertama produksi susu akan meningkat sampai umur dewasa. Umur sapi yang semakin bertambah menyebabkan penurunan produksi secara perlahan. Produksi susu pada laktasi pertama adalah 70%, laktasi kedua 80%, laktasi ketiga 90%, laktasi keempat 95% dari produksi susu pada umur dewasa dengan selang beranak 12 bulan dan beranak pertama pada umur 2 tahun (Ensminger, 1971). 2) Masa Laktasi Masa laktasi adalah periode sapi selama menghasilkan air susu yaitu antara waktu beranak dengan masa kering. Menurut Blakely dan Bade (1994) umumnya laktasi yang normal adalah 305 hari dengan 60 hari masa kering. Namun dalam prakteknya panjang laktasi seekor sapi bervariasi dari 270 sampai 400 hari. Biasanya lama laktasi lebih pendek apabila sapi terlalu cepat dikawinkan lagi setelah melahirkan atau dikeringkan dan karena suatu penyakit. Sapi perah yang terlambat bunting mengakibatkan selang beranak menjadi lebih lama kemudian diikuti dengan lama laktasi yang panjang dan akhirnya lama hidup produktif lebih singkat Setelah sapi beranak produksi susu akan meningkat, produksi maksimum akan dicapai sekitar minggu keempat sampai minggu keenam dan kemudian akan turun perlahan-lahan sampai akhir laktasi. Induk yang mengalami penurunan produksi setelah puncak produksi berarti mempunyai persistensi yang rendah.

22 Persistensi produksi adalah kemampuan sapi induk untuk mempertahankan produksi tinggi selama masa laktasi. 3) Masa Kering Masa kering yaitu periode atau lamanya sapi berhenti diperah hingga beranak. Menurut Sudono (1999) masa kering yang terbaik adalah 50 sampai 60 hari karena akan menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi pada laktasi berikutnya bila dibandingkan masa kering yang diperpendek atau diperpanjang dari masa kering tersebut. Periode masa kering berguna untuk memperbaiki tubuh dengan nutrisi yang telah dipakai selama masa laktasi, memperbaiki dan memperbaharui sistem pembentukan kelenjar susu dan saluran-salurannya dan tambahan stimulasi untuk laktasi berikutnya (Smith, 1962). Periode kering memungkinkan glandula mamari dari sapi induk untuk memulihkan kondisi kembali dan memungkinkannya untuk membentuk cadangan dari zat-zat makanan dalam tubuh yang siap untuk laktasi berikutnya. Sebagai contoh, satu penelitian menunjukan bahwa periode kering selama 55 hari kehilangan 4,6% susu dibandingkan dengan tanpa periode kering pada laktasi yang sedang berlangsung, tetapi bertambah 28,7% pada laktasi berikutnya (Williamson dan Payne, 1993). Schaeffer dan Henderson (1972) juga mencatat penurunan produksi susu laktasi berikutnya sebanyak 610 dan 230 kg pada dua masa kering singkat antara 20 29 hari dan 30 39 hari dibandingkan terhadap masa laktasi rekomendasi selama 50 59 hari dengan produksi susu sebanyak 6.800 kg.

23 Sapi harus mempunyai kondisi badan yang baik pada saat beranak dan harus mempunyai masa kering untuk mencapai produksi maksimum, sapi yang mempunyai kondisi tubuh yang buruk pada akhir masa laktasi membutuhkan masa kering untuk mengisi kembali persediaan tubuhnya dan untuk regenerasi jaringan yang rusak (Schmidt dkk., 1988). Blakely dan Bade (1994) berpendapat bahwa sapi betina yang dikeringkan atau dihentikan pemerahannya 50 atau 60 hari sebelum tanggal kelahiran yang diperkirakan, berguna untuk memberi kesempatan sistem kelenjar ambing serta sapi itu sendiri pulih dari stress yang timbul akibat masa laktasi. Berkurangnya masa kering kandang dari waktu optimum ini menyebabkan proses regenerasi dari sel-sel epitel ambing tidak sempurna sehingga persiapan untuk produksi pada laktrasi berikutnya jadi menurun. 2.1.5. Faktor Lingkungan Eksternal yang Mempengaruhi Produksi Susu 1) Pemberian Pakan Usaha untuk meningkatkan produksi susu dapat dilakukan dengan menambahkan pakan atau perbaikan sistem pemberian pakan tanpa penambahan biaya pakan yang besar. Sapi perah hendaknya diberi pakan dengan kualitas yang tinggi sehingga dapat berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Kebutuhan sapi perah akan pakan terdiri atas kebutuhan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Bath dkk., 1985). Sapi perah dengan produksi susu yang tinggi, bila tidak mendapatkan pakan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya. Pakan yang diberikan

24 pada sapi perah digolongkan menjadi tiga yaitu pakan hijauan, pakan konsentrat, dan pakan tambahan (Ensminger, 1971). Pakan hijauan adalah rumput dan hijauan yang mengandung serat kasar yang tinggi. Pemberian rumput pada sapi berpatokan pada 10% dari bobot badan. Kualitas hijauan akan mempengaruhi kualitas susu yang akan dihasilkan, terutama kadar lemaknya. Bila mengkonsumsi hijauan dengan kualitas baik, sapi perah dapat berproduksi sampai 70% dari kemampuan genetiknya. Kebutuhan pokok dan produksi susu sapi perah dapat dipenuhi selain dari hijauan sebagai makanan pokoknya juga dengan penambahan konsentrat. Bahan pakan penguat atau konsentrat merupakan pakan pelengkap bagi hewan ruminanasia, sebab tidak semua zat-zat pakan dapat dipenuhi oleh rumput atau hijauan lain (Chuzaemi dan Hartutik, 1988). Rasio untuk hijauan dalam bahan kering ransum harus berkisar 40-70%, jika rasio hijauan kurang dari 40%, maka kadar lemak susu akan turun atau sebaliknya jika rasionya melebihi 70%, produksi susu yang tinggi akan tercapai. Dalam mencapai produksi yang tinggi dengan tetap memperlakukan kadar lemak susu dalam batas-batas yang memenuhi persyaratan kualitas, rasio hijauan konsentrat adalah 60:40. Sapi perah yang sedang berproduksi dapat hanya diberikan hijauan, namun produksi susu akan sangat rendah, sehingga tidak akan ekonomis. Demikian pula halnya apabila yang diberikan seluruhnya adalah pakan konsentrat akan tercapai produksi susu yang maksimal, namun kualitas susu yang dihasilkan akan menurun, dan hal ini juga tidak akan ekonomis (Sudono, dkk., 2003).

25 2) Manajemen Pemeliharaan Peningkatan produksi susu menurut Talib (1999) tidak hanya bergantung pada kualitas genetik ternak secara independen, tetapi yang lebih penting adalah seberapa besar potensi genetik yang dibawanya dapat ditampilkan melalui manipulasi faktor lingkungan seperti manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharan yang mempengaruhi produksi susu salah satunya yaitu frekuensi pemerahan. Makin sering sapi diperah makin tinggi produksi susunya sekitar 20 % dibandingkan dengan pemerahan 2 kali sehari. Foley dkk. (1973) menyatakan interval pemerahan juga akan mempengaruhi kadar lemak susu. Interval pemerahan 12 jam adalah interval pemerahan yang seimbang dan optimal untuk sapi perah dengan potensi produksi yang tidak terlalu tinggi. 3) Iklim Menurut Williamson dan Payne (1993), produksi ternak di negara tropis dipengaruhi oleh iklim dengan dua cara, yaitu pengaruhnya secara langung dan tidak langsung. Iklim berpengaruh secara langsung terhadap ternak melalui perilaku merumput, konsumsi dan penggunaan makanan, pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu. Pengaruh tidak langsung pada ternak terutama pada kuantitas dan kualitas pakan yang tersedia bagi ternak, timbulnya penyakit dan parasit, serta berpengaruh pula pada penyimpanan dan penanganan hasil ternak.

26 Iklim tropis di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam upaya optimalisasi produksi susu tersebut. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa sapi perah akan dapat berproduksi dengan baik apabila dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembaban lingkungan berada pada thermo neutral zone (ZTN). Di luar kondisi tersebut sapi perah akan mudah mengalami stres. Stres panas terjadi ketika temperatur dan kelembaban berada di atas ZTN (Sudrajad dan Adiarto, 2011). Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa berkisar 17 21 o C (Hafez, 1969); 13 18 o C (McDowell, 1972) dengan kelembaban 55-65%; 4 25 o C (Yousef, 1985). Bligh dan Johnson (1985) membagi beberapa wilayah suhu lingkungan berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan batasan suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum dengan maksimum (Gambar 3). Gambar 3. Diagram Produksi Panas Sapi Perah pada Beberapa Suhu Lingkungan

27 Suhu sangat berpengaruh pada produksi susu, pada suhu panas nafsu makan sapi berkurang karena sapi mengalami kesulitan dalam mengeluarkan panasnya sehingga mengurangi produksi susu. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa temperatur kritis pada sapi Friesian Holstein adalah 21 sampai 27 C. Menurut Yousef (1985) iklim memiliki efek mengganggu reproduksi dan pada suhu lingkungan diatas suhu kritis atas yaitu 21ºC, sehingga angka kebuntingan akan menurun Tabel 3. Indeks Suhu dan Kelembaban Relatif untuk Sapi Perah o C Kelembaban Relatif 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 23,39 72 72 73 73 74 74 75 75 26,67 72 72 73 73 74 74 75 76 76 77 78 78 79 79 80 29,44 72 72 73 74 75 75 76 77 78 78 79 80 81 81 82 83 84 84 85 32,22 72 73 74 75 76 77 78 79 79 80 81 82 83 84 85 86 86 87 88 89 90 35,00 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 37,78 77 78 79 80 82 83 84 85 86 87 88 90 91 92 93 94 95 97 98 99 40,56 79 80 82 83 84 86 87 88 89 91 92 93 95 96 97 43,33 81 83 84 86 87 89 90 91 93 94 96 97 Stres ringan 46,11 84 85 87 88 90 91 93 95 96 97 Stres sedang 48,89 88 88 89 91 93 94 96 98 Stres berat Sumber: Wierama (1990) dalam Yani dan Purwanto (2006) Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut Temperature Humidity Index (THI) yang dapat mempengaruhi tingkat stres sapi perah dapat dilihat pada Tabel 3. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72. Jika nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72 THI 79), stres sedang (80 THI 89) dan stres berat (90 THI 97).

28 Produksi susu akan menurun selama ternak mengalami stres panas. Pengaruh langsung stres panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolik dan menurunkan konsumsi makanan. 2.2. Kerangka Pemikiran Produktivitas pada sapi perah dapat diketahui dengan melihat performans pertumbuhan dari lahir sampai siap untuk dikawinkan, performans reproduksi dan performans produksi susu. Performans reproduksi perlu diketahui sebagai upaya evaluasi untuk mencapai efisiensi reproduksi dan produksi susu. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan melihat pencatatan (recording) yang dilakukan oleh para peternak. Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara keduanya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu terbagi menjadi faktor lingkungan internal dan eksternal. Faktor lingkungan internal diantaranya faktor fisiologis yang meliputi aspek pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu sedangkan faktor lingkungan eksternal diantaranya pemberian pakan, manajemen pemeliharaan dan iklim. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan sapi perah baik jumlah maupun nutrisinya untuk kebutuhan pokok, pertumbuhan maupun produksi susu. Sapi perah yang berada pada daerah tropis harus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban lingkungan yang cukup tinggi, agar tidak mengalami

29 cekaman panas. Oleh karena itu diperlukan tatalaksana pemeliharaan yang baik agar sapi berada dalam kondisi yang nyaman. Faktor pertumbuhan yang normal bagi setiap ternak digambarkan dengan pola sigmoid. Pola sigmoid bermakna kurva pertumbuhan mengalami laju kenaikkan secara cepat mulai dari konsepsi sampai titik infleksi yang biasanya saat pubertas tercapai, kemudian laju pertumbuhan menurun sampai mencapai konstan saat umur dewasa tercapai. Pertumbuhan yang baik untuk sapi perah mempunyai pernanan penting untuk menyeleksi pedet dan dara yang akan dijadikan replacement stock. Melalui pemahaman yang baik pada sifat pertumbuhan, dapat diperkirakan kapan saat pubertas tercapai, sehingga dapat ditentukan waktu dan bobot hidup yang tepat untuk melakukan kawinan pertama pada sapi dara (Place dkk., 1998). Hasil penelitian Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan agar pertumbuhan pedet berjalan normal, maka pedet harus mencapai rataan berat lahir sekitar 46 kg. Sejrsen dan Purup (1997) menyatakan pada bangsa sapi perah besar biasanya mencapai pubertas dicapai sekitar umur 9 11 bulan dengan bobot hidup sekitar 250-280 kg. Sapi-sapi dara dikawinkan untuk pertama kali setelah sapi tersebut berumur 15 bulan dan ukuran tubuhnya cukup besar dengan berat badan sekitar 275 kg, supaya sapi-sapi dara dapat beranak pada umur 2 tahun. Selain aspek pertumbuhan, aspek reproduksi dari sapi perah juga harus diperhatikan sehingga dapat dicapai efisiensi reproduksi yang akan menghasilkan produksi susu yang optimal. Efisiensi reproduksi, hanya dapat diraih melalui suatu manajemen yang baik dan pengambilan kebijakan yang tepat dalam tata laksana kegiatan

30 sehari-harinya. Sistem tata laksana reproduksi yang tepat memegang peranan penting dalam menentukan tingkat keberhasilan produksi suatu usaha peternakan sapi perah. Parameter keberhasilan manajemen reproduksi dapat juga diukur dari tingkat pencapaian performans reproduksi. Sapi perah yang sudah dewasa kelamin, pertama kali dikawinkan semenjak umurnya 15 bulan yang pada saat tersebut dapat melahirkan pada umur 2 tahun atau 24 bulan sehingga dewasa tubuh dapat dicapai pada umur 6 tahun. Pada saat tersebut sapi perah akan mengalami puncak laktasi pada periode laktasi 4, jika terlalu lama maka produksi susunya pun akan mengalami penurunan. Umur kawin pertama sapi dara FH di KPSBU Cikole yaitu 18-19 bulan, sedangkan BPPTSP Cikole 20-21 bulan (Prihatin dkk., 2007) Pasca melahirkan sapi perah akan mengalami masa laktasi yang merupakan periode produksi susu. Pada sapi yang memiliki selang beranak (calving interval) 12 bulan dengan masa kosong 2 bulan, masa laktasi akan terjadi selama 305 hari atau 10 bulan. Pada kenyataannya, setiap individu sapi perah mempunyai masa laktasi yang bervariasi antara 270-400 hari (Blakely dan Bake, 1994). Menjelang sapi melahirkan produksi susu akan semakin berkurang karena adanya hambatan dari hormon steroid dari sel-sel sekresi sehingga sapi perlu dilakukan kering kandang. Masa kering diperlukan sebagai upaya untuk mengistirahatkan organ-organ yang berperan selama masa laktasi terutama sel-sel sekretori dalam kelenjar ambing, pembentukan kolostrum dan menimbun cadangan

31 makanan untuk laktasi berikutnya. Masa kering yang baik untuk sapi perah selama 60 hari. Masa kosong adalah rentang waktu dari induk sapi beranak sampai sapi tersebut dikawin kembali yang menghasilkan kebuntingan. Izquierdo dkk., (2008) menyatakan bahwa periode masa kosong adalah 85-115 hari setelah beranak yang merupakan masa untuk deteksi awal kelainan reproduksi dan indikator efisiensi reproduksi. Masa kosong bergantung pada lingkunagan dan manajemen reproduksi terutama perkawinan. Selang beranak atau calving interval yang dikehendaki selama 1 tahun atau 365 hari sehingga setiap tahun sapi bisa memproduksi susu dan tercapai efisiensi ekonomi. Selang beranak dipengaruhi oleh masa kosong dan S/C atau service per conception. Diharapkan saat sapi dikawinkan dapat langsung menghasilkan kebuntingan dengan nilai S/C adalah 1. Dudi dkk., (2006) menyatakan bahwa rata-rata S/C di Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari, Kabupaten Sumedang adalah 2. Nilai S/C hasil penelitian Rasad (2009) di KUD Sinarjaya adalah 2,2.