BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

dokumen-dokumen yang mirip
Landasan Pendidikan Inklusif

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak untuk semua anak dan hal ini telah tercantum dalam berbagai instrument internasional

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

A. Perspektif Historis

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

FAKTOR-FAKTOR STRATEGIK PEMEROLEHAN BAHASA ANAK TUNARUNGU ( Studi kasus di SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ) T E S I S

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. diuraikan terdahulu berdasarkan fenomena-fenomena esensial di lapangan, maka

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. pada terhambatnya kemajuan negara. Menurut Nata (2012: 51) pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan pondasi kemajuan suatu negara, maju tidaknya

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. pada kemampuan bangsa itu sendiri dalam meningkatkan kualitas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu komponen utama kebutuhan manusia. Melalui

2015 PENERAPAN METODE COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi berkembang semakin pesat. Manusia dituntut dengan segala

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik. Pada hakikatnya pendidikan adalah sarana untuk mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, dikatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGARUH AKTIVITAS BELAJAR SISWA DAN PARTISIPASI DALAM. KEGIATAN OSIS TERHADAP PRESTASI BELAJAR PKn PADA SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan sudah ada. mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kebaikan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A

B A B I PENDAHULUAN. khususnya proses pembelajaran di sekolah terus di lakukan seiring dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI TESIS

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang dikembangkan pada tataran satuan pendidikan. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pendidikan dan yang ditegaskan dalam Undang-Undang

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menyiapkan

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengertian pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. yang bermutu, sehingga tidak boleh adanya diskriminasi. Sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dalam suatu negara dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya dari

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang pesat sekarang ini, akan membawa berbagai dampak

warga negara yang memiliki kekhususan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikannya. Salah satu usaha yang tepat dalam upaya pemenuhan kebutuhan khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Pendidikan adalah proses pembinaan

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Oleh karena itu setiap tenaga

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. maupun warga di luar sekolah yaitu orang tua, akademisi, dan pihak pihak lain.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan membentuk watak serta peradapan bangsa, yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta

I. PENDAHULUAN. agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar lahiriah seperti

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hak dasar warga negara. Pendidikan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembelajaran adalah sebuah sistem yang kompleks dimana

BAB I PENDAHULUAN. menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak berkebutuhan khusus. Ditegaskan dalam pasal 5 tentang pendidikan khusus di sebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan dan inovasi dalam pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan. Sebagaimana diketahui bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang sampai sekarang ini tidak dapat menikmati suasana belajar di bangku sekolah. Tidak sedikit pula anak-anak putus sekolah bahkan tidak sekolah sama sekali karena alasan ekonomi yang kemudian diperparah lagi dengan mahalnya biaya pendidikan sekarang ini. Disini peran pendidikan inklusif dibutuhkan sebagai pelindung terhadap hak-hak dasar anak untuk mendapatkan layanan pendidikan

2 secara merata. Seperti dalam penjelasan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (2003: Depdiknas Republik Indonesia). Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai lembaga pendidikan khusus tertua menampung anak dengan berbagai jenis kelainan ataupun satu kelainan, Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) menampung berbagai jenis anak berkelainan, sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana dan prasarana pembelajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Memasuki akhir milenium kedua, visi dan misi kelembagaan sudah cenderung kepada bentuk integrasi. Suatu bentuk dimana anak luar biasa, anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Munculnya berbagai bentuk istilah yang berhubungan dengan kelembagaan dan layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan layanan kebutuhan khusus seperti Normalisasi dan Integrasi Mainstreaming, Least Restrictive Environment, Institusionalisasi dan Inklusif. Dewasa ini inklusi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang dipandang ideal untuk dilaksanakan. Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat

3 yang inklusif dan mencapai Pendidikan Bagi Semua; lebih jauh, sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang lebih efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan biaya bagi seluruh sistem pendidikan (Zulkifli Sidiq, Pendidikan Inklusif Suatu Strategi Menuju Pendidikan Untuk Semua, 2012). Hak memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak azazi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Dokumen pendidikan untuk semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan. Akan tetapi, di Indonesia misalnya, menurut data Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia tahun 2002, hanya sekitar 7,5% anak penyandang cacat usia sekolah yang sudah memperoleh pendidikan formal di sekolah. Sedangkan menurut data Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional (2006: 7), jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah di Indonesia adalah 317.000 anak. Dari jumlah tersebut, 66.610 anak berkebutuhan khusus atau sekitar 21% telah memperoleh layanan pendidikan pada Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan sekolah terpadu. Hal ini berarti bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus, yakni sekitar 79% atau 250.442 di Indonesia belum memperoleh layanaan pendidikan. Pendidikan inklusif diyakini sebagai satu pendekatan pendidikan yang inovatif yang dapat memperluas kesempatan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk para penyandang cacat.

4 Upaya yang dilakukan pemerintah agar semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, memperoleh akses sekolah adalah menjadikan sekolah umum sebagai sekolah inklusi, yaitu sekolah yang memberikan kesempatan kepada anak yang memiliki kebutuhan khusus dapat belajar di kelas bersamasama dengan anak lain yang tidak berkebutuhan khusus. Dengan pemberian layanan khusus sehingga anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan yang sama dengan anak lain untuk mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut. Melalui pendidikan inklusif diharapkan anak berkebutuhan khusus dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya adalah agar tidak ada kesenjangan diantara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak dengan kebutuhan khusus dapat memaksimalkan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Tujuan dari semua upaya menuju pendidikan inklusif adalah kesejahteraan anak berkebutuhan khusus baik secara permanen maupun temporer untuk memperoleh pendidikan dan segala haknya sebagai warga negara. Apakah penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler saat ini benar-benar baik bagi kesejahteraannya, hal ini membutuhkan waktu untuk membuktikannya, tetapi kita dapat percaya itu akan terjadi selama mereka diberi kesempatan dan dukungan yang tepat sebagaimana dirancang bagi mereka. Hingga saat ini yang tampak pasti adalah jumlah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah telah meningkat secara signifikan, sehingga target untuk mewujudkan pendidikan untuk semua pada tahun 2015 tampaknya menjadi lebih realistis.

5 Menurut Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pasal 2, menjelaskan bahwa pendidikan inklusif bertujuan: memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; 2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua anak sebagaimana yang dimaksud pada angka 1). Pendidikan inklusif perlu didukung oleh nilai dan keyakinan. Hal tersebut akan berkembang seiring dengan implementasinya dan tidak harus disempurnakan sebelumnya. Tetapi jika pihak-pihak yang terlibat mempunyai konflik nilai dan keyakinan, dan jika konflik tersebut tidak diselesaikan dan disadari dengan baik, maka implementasi pendidikan inklusif tidak akan berjalan lancar. Pendidikan inklusif bukanlah merupakan suatu cetak biru, artinya bila satu kesalahan utama terjadi, maka akan mempengaruhi implementasi pendidikan inklusif. Bahkan ada asumsi beranggapan bahwa solusi yang diadopsi dalam mengimplementasi pendidikan inklusif dari suatu budaya/konteks dapat mengatasi permasalahan dalam budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda. Lagi-lagi, berbagai pengalaman menunjukkan bahwa solusi harus dikembangkan secara lokal dengan memanfaatkan potensi dan sumber-sumber daya lokal, jika tidak, solusi tersebut tidak akan bertahan lama. Pendidikan inklusif merupakan proses yang dinamis, agar pendidikan inklusif terus hidup, diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang melibatkan semua stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusif adalah harus tangap terhadap keberagaman secara fleksibel, senantiasa berubah dan tidak dapat diprediksi.

6 Jadi, pendidikan inklusif harus tetap hidup dan berjalan sesuai dengan amanah konstitusi. Setiap daerah memiliki sumber daya manusia, karakteristik, dan kultur serta sistim sosial yang sangat mendasar. Jika hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif, niscaya implementasi itu akan berjalan sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Faktorfaktor inilah yang tidak dipertimbangkan ketika implementasi pendidikan inklusif digulirkan, sehingga menimbulkan masalah-masalah yang paling mendasar dalam pelaksanaan implementasi pendidikan inklusif. Setiap sistem sosial yang ada disetiap daerah memiliki cara tersendiri dalam mengadopsi implementasikan pendidikan inklusif, begitu halnya guru, anak dan orang tua di sekolah-sekolah inklusi. Sikap dan cara penerimaan dari setiap sistem sosial tentunya selalu berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Ada daerah yang sebelum pendidikan inklusif digulirkan, sistem sosialnya sudah menerima dan memahami tentang pendidikan inklusif, memahami tentang anak berkebutuhan khusus, bahkan pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus sudah baik. Hal tersebut didukung dengan sumber daya manusia, saluran informasi dan komunikasi yang baik. Namun, ada juga daerah yang sistem sosialnya belum menerima dan memahami pendidikan inklusif bahkan anak berkebutuhan khusus. Ketika masalah-masalah ini tidak ditanggapi dengan serius, maka akan menimbulkan permasalahan-permasalah yang lebih kompleks dalam implementasi pendidikan inklusif.

7 Ideologi dan pendekatan pendidikan inklusif pertama kali muncul dalam dokumen international pada tahun 1994 dalam The Salamanca Statement. pernyataan tersebut di uraikan sebagai berikut: Kami, para delegasi Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus yang mewakili sembilan puluh dua pemerintah dan dua puluh lima organisasi internasional, yang berkumpul di sini di Salamanca, Spanyol, dari tanggal 7-10 Juni 1994, dengan ini menegaskan kembali komitmen kami terhadap Pendidikan bagi Semua, mengakui perlunya dan mendesaknya memberikan pendidikan bagi anak, remaja dan orang dewasa penyandang kebutuhan pendidikan khusus di dalam sistem pendidikan reguler, dan selanjutnya dengan ini menyetujui Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus, yang semangat ketetapan-ketetapan serta rekomendasirekomendasinya diharapkan akan dijadikan pedoman oleh pemerintahpemerintah serta organisasi-organisasi (Salamanca, 1994: 7) Pendekatan ini belum sepenuhnya dilaksanakan dan diterapkan di seluruh Indonesia. Namun, kecenderungannya adalah semakin dapat diterima oleh masyarakat luas walaupun masih banyak masalah-masalah yang dihadapi dilapangan, seperti halnya di Kota Jayapura. Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan anak pada umumnya. Hal ini berarti bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Survei penjaringan anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar Kota Jayapura dalam rangka implementasi pendidikan inklusif oleh Tuning Supriadi, widyaiswara Lembaga Peningkatan Mutu Pendidikan (LPMP) Papua bidang PLB pada tahun 2005/2006 di Kota Jayapura terdapat 3859 anak yang di duga

8 mengalami gangguan dan hambatan dalam proses pembelajaran. Inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan bahwa sangat tepat bila Kota Jayapura dijadikan sebagai salah satu tempat implementasi pendidikan inklusif, tanpa mempertimbangkan permasalah-permasalah seperti; sumber daya manusia, karakteristik, sistem sosial dan kultur budaya yang sangat mendukung implementasi pendidikan inklusif itu sendiri. Kelanjutan dari implementasi pendidikan inklusif, pada tahun 2007/2008 sebuah hasil penelitian dari orang sama (Tuning Supriadi) menyimpulkan bahwa implementasi pendidikan inklusif di Kota Jayapura berjalan dengan lancar. Kenyataan yang ada dilapangan tidak sesuai dengan hasil penelitian tersebut. Oleh karena itu, peneliti ingin mengkaji secara mendalam permasalahan-permasalahan implementasi pendidikan inklusif pada sekolah dasar inklusi tersebut. Kurangnya sosialisasi, sumber daya manusia, saluran komunikasi dan sistem sosial menimbulkan respons negatif dalam implementasi pendidikan inklusif sehingga memunculkan permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaannya. Sebagai data pendukung dari permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusif peneliti mengumpulkan informasi melalui wawancara dengan 18 guru (masing-masing 6 orang) dari ketiga sekolah inklusi diperoleh gambaran bahwa ditemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang kompleks dalam implementasi pendidikan inklusif yang sangat mendasar. Permasalahan-permasalahan tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang pendidikan inklusif, pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus, penerimaan terhadap pendidikan inklusif, penerimaan

9 terhadap anak berkebutuhan khusus, pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus, faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi pendidikan inklusif di sekolah dasar penyelenggara inklusi. Mungkinkah masalah-masalah di atas menyebabkan hingga pendidikan inklusif tidak berjalan lancar sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Deklarasi Bandung tahun 2004 dan kebijakan lainnya. Bagaimanakah solusi yang akan diambil untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tersebut? Karena, tidak adil apabila masalah-masalah dalam pelaksanaan implementasi pendidikan inklusif di Kota Jayapura tidak diselesaikan dan dicari solusi pemecahaannya. Sementara Kota Jayapura dipercaya/ditunjuk sebagai salah satu tempat penyelenggaraan implementasi pendidikan inklusif oleh pemerintah (pusat melalui Dinas Pendidikan Provinsi Papua pada saat itu) melalui Sekolah Dasar antara lain: Sekolah Dasar Negeri Inpres Waena Permai, Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Yoka Baru, dan Sekolah Dasar Negeri Inpres VIM I Kota Jayapura Provinsi Papua sejak tahun 2006. Masalah-masalah ini jangan dibiarkan berlarut-larut, harus dipecahkan dan dicarikan solusinya, sehingga pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Jayapura akan berjalan lancar sesuai dengan cita-cita dan idiologi pendidikan inklusif, amanah konstitusi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun

10 2003, Permendiknas Nomor 70 tahun 2009, Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010, selain itu tidak akan menimbulkan kesenjangan sosial dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Keberhasilan pendidikan inklusif di Indonesia bukan karena keberhasilan pada satu daerah tertentu sebagai tolak ukur, akan tetapi perlu dipertimbangkan bahwa setiap daerah memiliki sumber daya manusia, karakteristik, sistem sosial dan kultur yang sangat berbeda, juga memiliki permasalahan-permasalahan yang berbeda. Namun, bagaimanakah keberhasilan pendidikan itu dapat dilihat dan dirasakan secara menyeluruh/merata bagi segenap masyarakat/warga Negara Indonesia. Berangkat dari permasalahan tersebut di atas, maka peneliti ingin mengkaji dan meneliti lebih mendalam secara sistematis Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z Kota Jayapura, sehingga solusi terhadap permasalahan tersebut dapat di atasi sedini mungkin dan amanah pendidikan untuk semua dapat terwujud. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Implementasi pendidikan inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z Kota Jayapura diperhadapkan dengan berbagai permasalahan-permasalahan baik bersifat interen maupun eksteren. Selain itu dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung maupun faktor penghambat. Masalah-masalah dalam implementasi pendidikan inklusif di sekolah dasar tersebut diidentifikasi sebagai berikut: 1) pemahaman tentang pendidikan inklusif, 2) pemahaman tentang anak

11 berkebutuhan khusus, 3) penerimaan terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif, 4) penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus, 5) pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus, 6) faktor-faktor pendukung dan 7) penghambat pelaksanaan implementasi pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Kota Jayapura. Ketika masalah-masalah itu disatukan, maka menjadi sebuah masalah yang sangat kompleks yang akan menghambat implementasi pendidikan inklusif. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, kemudian masalah ini dirumuskan dalam pertanyaan Bagaimanakah Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z Kota Jayapura. Pertanyaan tersebut selanjutnya diuraikan dalam rumusan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pemahaman guru dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z tentang pendidikan inklusif? 2. Bagaimanakah pemahaman guru dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z tentang anak berkebutuhan khusus? 3. Bagaimanakah penerimaan guru, anak dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif? 4. Bagaimanakah penerimaan guru, anak dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y dan Z terhadap anak berkebutuhan khusus? 5. Bagaimanakah pelayanan guru, anak, dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z terhadap anak berkebutuhan khusus? 6. Apakah faktor-faktor pendukung implementasi pendidikan inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z?

12 7. Apakah faktor-faktor penghambat implementasi pendidikan inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengetahui proses dan implementasi pendidikan inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z Kota Jayapura. Secara khusus bertujuan untuk menemukan dan memperoleh gambaran tentang: 1. Pemahaman guru dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z tentang pendidikan inklusif. 2. Pemahaman guru dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z tentang anak berkebutuhan khusus. 3. Penerimaan guru, anak dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif. 4. Penerimaan guru, anak dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y dan Z terhadap anak berkebutuhan khusus. 5. Pelayanan guru, anak, dan orang tua di Sekolah Dasar X, Y, dan Z terhadap anak berkebutuhan khusus. 6. Faktor-faktor pendukung implementasi pendidikan inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z. 7. Faktor-faktor penghambat implementasi pendidikan inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan Z.

13 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bernilai guna baik untuk keperluan teoritik maupun secara aplikatif. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis: Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi. 2. Manfaat Aplikatif: a. Sekolah Bermanfaat sebagai evaluasi diri, penyusunan visi dan misi serta rencana strategi pengembangan implementasi pendidikan inklusif baik jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang di sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusif. b. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan implementasi pendidikan inklusif di lingkungan Kota Jayapura, khususnya pada bidang pendidikan dasar dan menengah. c. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Sebagai alat evaluasi dan acuan pengambilan kebijakan dalam sistem implementasi pendidikan inklusif di Provinsi Papua.

14 d. Direktorat PK/LK Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Sebagai alat evaluasi diri dalam mengambil kebijakan untuk memperbaiki dan mengembangkan implementasi pendidikan inklusif di Provinsi Papua, khususnya di Kota Jayapura kearah yang lebih baik. E. Sistematika Penulisan Tesis Sistimatika penulisan tesis yang akan dilalui dalam penelitian Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar X. Y dan Z Kota Jayapura adalah sebagai berikut. Halaman Judul Halaman Pengesahan Halaman Pernyataan Kata Pengantar Ucapan Terima Kasih Abstrak Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Penelitian B. Identifikasi dan Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian

15 D. Manfaat Penelitian E. Sistematika Penulisan Tesis Bab II Kajian Pustaka A. Hakekat Pendidikan Inklusif 1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif 2. Pengertian Pendidikan Inklusif 3. Karakteristik Pendidikan Inklusif a. Kurikulum b. Pendekatan Pembelajaran c. Proses Pembelajaran d. Sistem Evaluasi 4. Dasar Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif a. Landasan Historis b. Landasan Filosofis c. Landasan Yuridis d. Landasan Pedagogis e. Landasan Empiris 5. Perencanaan Pendidikan Inklusif 6. Kesempatan dan Tantangan 7. Kurikulum Pluralitas Kebutuhan Belajar Individu 8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Pendidikan Inklusif 9. Indikator-Indikator Keberhasilan Pendidikan Inklusi

16 B. Sekolah Dasar Inklusi Bab III Metode Penelitian A. Lokasi dan Subjek Penelitian B. Desain Penelitian C. Metode Penelitian D. Definisi Konsep E. Instrumen Penelitian F. Teknik Pengumpulan Data G. Teknik Keabsaan Data H. Analisis Data Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian B. Pembahasan Bab V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan B. Saran Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran Riwayat Hidup Lampiran