BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Ung Ung No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengemban misi untuk mewujudkan good clinical governance yang banyak melibatkan pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil pembahasan hasil penelititian 7.1.1 Secara umum respons dokter pada Ung Ung Praktik Kedokteran telah direspons pada kategori baik, kecuali pada pencantuman sanksi hukum pia praktik kedokteran peran yang dilakukan oleh penegak hukum lembaga swadaya masyarakat sebagai faktor lingkungan direspons pada kategori cukup baik. 7.1.2 Dokter dokter gigi yang berpraktik di Kota Me memiliki itikad baik untuk menerima mengimplementasikan Ung Ung Praktik Kedokteran. 7.1.3 Hasil uji statistik regresi berganda menunjukkan bahwa respons dokter pada Ung-Ung No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran peran yang dilakukan oleh penegak hukum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan dokter dalam mengimplementasikannya di Kota Me (Adj. R. Square 0,5173). Hasil uji statistik regresi berganda, secara parsial menunjukkan bahwa respons dokter pada sanksi hukum praktik kedokteran memiliki pengaruh terbesar (β = 0,68) terhadap kepatuhan dokter dalam implementasi Ung Ung No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di Kota Me dengan syarat variabel lain dianggap konstan. 7.1.4 Tantangan paling pelik dalam implementasi ung-ung praktek kedokteran ini terletak pada masih aya perbedaan kerangka penegak 247
hukum untuk menegakkan spirit good clinical governance. Dalam hal inilah respons dokter berbeda dengan yang diharapkan oleh para penyusun ung-ung. Dalam batas tertentu terdapat resistensi dari komunitas dokter yang telah terbiasa dengan kaidah self-governing dalam menegakkan clinical governane, sehingga tidak mudah menerima dihakimi profesionalitasnya oleh orang luar. 7.2 Berdasarkan hasil pembahasan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, wewenang pemangku kepentingan dalam implementasi Ung Ung No. 29 Tahun 2004 dapat disimpulkan, 7.2.1 Kementerian Kesehatan setelah disahkannya Ung-Ung No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran sebagian dari fungsi, tugas kewenangan lama yang diembannya telah dilimpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Dispilin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Dinas Kesehatan, organisasi profesi kedokteran. Kementerian Kesehatan sebagai regulator eksternal praktik kedokteran telah menunjukkan kesiapannya sebagai lembaga yang bertanggung jawab menyusun regulasi eksternal praktik kedokteran. Sungguhpun demikian, peran untuk melakukan sosialisasi berbagai regulasi eksternal praktik kedokteran belum terlaksana secara intens terprogram kepada dokter dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Dalam konteks inilah dokter dokter gigi menilai pemerintah belum cukup serius dalam mengimplementasikan ung-ung kebijakan praktik kedokteran di Kota Me. 7.2.2 Konsil Kedokteran Indonesia secara administratif telah berperan dengan baik. Lembaga ini berperan sebagai berikut: (a) menyetujui menolak permohonan registrasi dokter dokter gigi, (b) 248
menerbitkan mencabut STR, (c) mengesahkan standar kompetensi dokter dokter gigi, (d) telah melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dokter gigi, (e) mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran kedokteran gigi, (f) melakukan pencatatan terhadap dokter dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi, (g) melakukan pencatatan terhadap dokter dokter gigi yang dikenakan sanksi disiplin kedokteran yang telah diputuskan oleh KKI berdasarkan rekomendasi MKDKI. Sungguhpun demikian, sosialisasi berbagai regulasi internal praktik kedokteran sebagai bentuk pembinaan pengawasan terhadap dokter yang menjalankan praktik kedokteran belum terlaksana secara intens terprogram. Regulasi yang dihasilkan lembaga tersebut juga direspons menambah beban administrasi dalam menjalankan praktik. 7.2.3 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) selaku lembaga yang bertanggung berjawab terhadap disiplin kedokteran Indonesia berdasarkan sejumlah pengaduan masyarakat terkait dengan kepentingan masyarakat dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran telah dilaksanakan sesuai peraturan perung-ungan telah melaksanakan tugasnya menyusun regulasi tentang Pedoman Penegkan Disiplin Profesi Dokter melalui Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006. Walaupun beberapa keberhasilan yang telah dicapai oleh MKDKI, namun masih ada meninggalkan beberapa permasalahan diantaranya: a) Belum terbentuknya MKDKI di tingkat provinsi sehingga peran MKDKI sebagai lembaga penegak disipilin praktik kedokteran belum 249
bisa berperan secara optimal mengingat begitu luasnya letak geografis Indonesia dengan jumlah sumber daya manusia waktu yang dimiliki oleh MKDKI. b) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI) belum berperan secara proaktif sebagai lembaga penegak disiplin dokter dokter gigi MKDKI tidak berperan sebagai lembaga yang melakukan pendistribusian kasus pelanggaran yang didasarkan pada hasil yang dilakukan majelis pemeriksaan awal yang ditunjukkan oleh MKDKI. Hal ini terjadi karena peran MKDKI hanya dibatasi berdasarkan pengaduan masyarakat. 7.2.4 Peran Dinas Kesehatan Kota Me sebagai lembaga regulator di tingkat daerah hanya terfokus kepada berperan sebagai lembaga yang menerbitkan surat ijin praktik dokter, mencatat seluruh surat ijin praktik (SIP) dokter untuk kepentingan pemetaan praktik kedokteran di wilayahnya. Namun Dinas Kesehatan Kota Me belum menunjukkan kesiapan keseriusannya sebagai lembaga regulator praktik kedokteran. Ketidaksiapan tersebut dikarenakan selama 10 tahun diberlakukannya UU No. 29 Tahun 2004, Kota Me belum memiliki Peraturan daerah (Perda) tentang Praktik Kedokteran sebagaimana diamanahkan oleh Ung Ung Praktik Kedokteran. Hal ini berdampak kepada tidak aya anggaran khusus untuk melakukan program pembinaan pengawasan secara terprogran kontinyu terhadap dokter dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. 7.2.5 Selama perjalanan proses implementasi Ung Ung Praktik Kedokteran, organisasi profesi kedokteran (IDI/PDGI) telah pro-aktif melakukan pembinaan, pengawasan kepada anggotanya terutama 250
disebabkan aya sanksi hukum pia praktik kedokteran bagi anggotanya yang menjalankan praktik tidak sesuai dengan standar pelayanan kedokteran (SPK) standar prosedur operasinal (SPO), menerbitkan surat rekomendasi untuk pengurusan SIP, berperan sebagai saksi ahli bila terjadi kasus dugaan malpraktik yang diadukan oleh masyarakat kepada lembaga penegak hukum berperan melakukan pembelaan terhadap anggotanya jika terjadi kasus sengketa medis. 7.2.6 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Me sebagai lembaga pengawal hukum praktik kedokteran yang ada belum secara optimal berperan dalam implementasi Ung Ung Praktik Kedokteran karena sebagian besar LSM tersebut tidak memiliki core kegiatannya terkait dengan implementasi Ung Ung Praktik Kedokteran kecuali Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Me sebagai lembaga yang berperan memberikan perlindungan kepada pasien melalui kegiatan advokasi secara nonligitasi kepada pasien yang dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran. Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) dalam implementasinya belum menjadi pilihan masyarakat untuk mengadukan bila kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran. 7.2.7 Pengembangan clinical governance yang mengacu pada premis selfgovernance praktik kedokteran. Ada dua level self-governance praktik kedokteran. Pertama, level mikro: Self-governance pada level mikro terkait dengan self-regulation profesi kedokteran sebagai kewenangan yang telah diberikan pemerintah kepada profesi dokter 251
sebagai hak otonominya dalam menjalankan praktik kedokteran yang dilandasi pada kompetensi, kode etik kedokteran atau kode etik kedokteran gigi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK), Standar Prosedur Operasional (SPO) pelayanan kedokteran. Konsekuensi penggunan self-regulation profesi kedokteran jika tidak dapat dipertangungjawabkan atas segala tindakan pelayanan medis yang telah diberikan kepada pasiennya harus bersedia diperkarakan dalam ranah hukum pia kedokteran. Instrumen yang dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan atas segala tindakan medis yang telah diberikan dapat dilakukan melalui aktivitas audit klinis yang dilakukan oleh organisasi profesi integrasi yang lebih pada agenda audit klinis sebagai kebutuhan dari komunitas dokter kemajuan dari praktik kedokteran. Kedua, di level makro: Self-governance pada level makro terkait dengan selfgovernance praktik kedokteran bagi komunitas dokter di Kota Me Nasional didasarkan pada berbagai regulasi eksternal regulasi internal praktik kedokteran yang telah disusun oleh pemerintah sebagai pedoman dalam menjalankan praktik kedokteran. 7.2 Saran 7.2.1 Perlunya meningkatkan respons dokter dokter gigi kepada Ung Ung No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran melalui, 7.2.1.1 Peningkatan kegiatan sosialisasi secara terprogram tentang berbagai regulasi praktik kedokteran. 7.2.1.2 Peningkatan peran pembinaan pengawasan oleh lembaga regulator terutama lembaga regulator di daerah tehadap penyelenggaraan praktik kedokteran dalam implementasi Ung Ung Praktik Kedokteran 252
7.2.1.3 Mempersamakan persepsi diantara pemangku kepentingan tentang kerangka penegakan hukum pia praktik Kepentingan Dalam kedokteran praktik kedokteran 7.2.1 Perlu peningkatan kesiapan Pemangku Implementasi Ung Ung No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran melalui, 7.2.1 Keseriusan pemerintah melaksanakan perannya sebagai lembaga regulator praktik kedokteran yang bertanggung jawab terhadap regulasi internal praktik kedokteran, melakukan pembinaan pengawasan kepada dokter/dokter gigi yang menjalankan praktik di kota Me secara terprogram dengan melibatkan pemangku kepentingan pembagian tugas yang jelas rinci. 7.2.2 Peningkatan keseriusan KKI sebagai lembaga regulator internal praktik kedokteran yang bertanggung jawab terhadap regulasi internal praktik kedokteran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi kedokteran perubahan lingkungan, melakukan pembinaan pengawasan kepada dokter/dokter gigi yang menjalankan praktik di kota Me secara terprogram dengan melibatkan pemangku kepentingan pembagian tugas yang jelas rinci. 7.2.3 Melakukan revisi terhadap Ung Ung No. 29 tahun 2004 dengan memasukkan beberapa hal: a) Untuk mengefektifkan peran MKDKI di daerah sebagai lembaga penegakan disiplin dokter dokter gigi perlu dilakukan revisi pasal 57 ayat (2) dengan perobahan sebagai berikut Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat 253
Provinsi harus dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atas usul Majelis Kehormatanan Disipilin Kedokteran Indonesia. b) Perubahan status Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) menjadi bagian atau kamar dari Peradilan Umum, sebagai salah satu pilar dalam sistem peradilan di Indonesia c) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) berperan sebagai lembaga yang melakukan pendistribusian kasus pelanggaran praktik kedokteran berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pemeriksaan Awal yang ditunjukkan oleh MKDKI. Misalnya, (a) Apabila dalam Pemeriksaan kedokteran, pemeriksaan Awal maka awal ditemukan Majelis Kedokteran Indonesia pengaduan masyarakat oleh pelanggaran Kehormatanan (MKDKI) tersebut Majelis pia Disiplin menindaklanjuti kepada lembaga berwenang sebagai lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan atau Pengadilan. (b) Apabila dalam pemeriksaan awal yang dilakukan oleh Majelis Pemeriksaan Awal ditemukan pelanggaran disiplin kedokteran, maka ketua Majelis Kehormatan Disipilin Kedokteran Indonesia membentuk Majelis Pemeriksaan Disiplin. (c) Apabila dalam Pemeriksaan kedokteran, pemeriksaan Awal maka awal ditemukan Majelis oleh Majelis pelanggaran Kehormatanan etik Disiplin 254
Kedokteran Indonesia (MKDKI) meneruskan pengaduan masyarakat tersebut kepada organisasi profesi kedokteran atau organisasi profesi kedokteran gigi. 7.2.4 Penguatan peran Dinas Kesehatan Kota Me sebagai lembaga regulator di daerah melalui : 7.2.4.1 Program pembinaan pengawasan terhadap praktik dokter/praktik dokter gigi yang dilakukan secara terprogram yang di dukung oleh angggaran APBD. 7.2.4.2 Mengesahkan segera mungkin Ranperda Tentang Praktik Kedookteran yang telah dibuat oleh Dinas Kesehatan Kota Me. 7.2.4.3 Dibentuknya unit pembinaan pengawasan praktik kedokteran di dalam struktur organisasi Dinas Kesehatan. 7.2.4.4 Melakukan penguatan kerja sama antara Dinas kesehatan kota Me dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Organisasi profesi (IDI/PDGI) PERSI untuk mengatasi permasalahan pendistribusian dokter spesialis di sarana pelayanan rumah sakit memotivasi pihak rumah sakit untuk membuat pelayanan unggulan dari setiap rumah sakit yang ada di kota Me. 7.2.5 Penguatan peran organisasi profesi untuk mengawasi mengontrol sebagai penggunaan hak otonomi self-regulating dokter dalam profesi kedokteran menjalankan praktik kedokteran melalui kegiatan audit klinik secara terprogran kontinyu kepada anggotanya yang menjalankan praktik terutama bagi dokter yang berpraktik di sarana pelayanan kesehatan seperti di rumah sakit ataupun di puskesmas, klinik. 255
7.2.6 Penguatan peran Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai lembaga pengawal hukum melalui program kerja yang secara khusus dirancang secara periodik untuk melakukan pengawalan proses implementasi Ung Ung Praktik Kedokteran. 7.3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang clinical governance pada level messo dalam implementasi Ung Ung Praktik Kedokteran yaitu penelitian tentang implementasi Peraturan Menteri Kesehatan No. 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah sakit. Di dalam Permenkes tersebut disebutkan bahwa Komite Medik di rumah sakit memliki tiga sub-komite medik yaitu sub-komite kredensial, sub-komite mutu profesi, sub-komite etik disiplik kedokteran. 256