BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme dalam darah dan saliva pasien.

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit. Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan. kesehatan kepada masyarakat. Rumah sakit memiliki peran penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan di berbagai belahan dunia dan merupakan risiko terhadap sistem

Infeksi yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas pada pasien rawat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Alat Pelindung Diri (APD) sangat penting bagi perawat. Setiap hari

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit, mengingat ruang lingkup kerjanya

GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Di dalam rumah sakit pula terdapat suatu upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tenaga kesehatan gigi dalam menjalankan profesinya tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi merupakan suatu keadaan ditemukan adanya agen infeksi

NASKAH PUBLIKASI. Disusun untuk Dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tuberkulosis, Human Immunodeficiency Virus (HIV), hepatitis B, dan hepatitis C

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airbone,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang, seperti: sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesehatan. Dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan semakin meningkat. Istilah infeksi nosokomial diperluas

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. maju bahkan telah menggeser paradigma quality kearah paradigma quality

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009, maka diperlukan adanya fasilitas pelayanan kesehatan untuk

ANALISIS INFECTION CONTROL RISK ASSESMENT DAN STRATEGI PENURUNAN HEALTH-CARE ASSOCIATED INFECTIONS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. (World Health Organization (WHO), 2011). Menurut survei di Inggris,

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup bersih dan sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Ratusan juta pasien terkena dampak Health care-associated infections di

The Relations of Knowledge and The Adherence to Use PPE in Medical Service Employees in PKU Muhammadiyah Gamping Hospital.

BAB V KESIMPULAN. serta pembahasan hasil penelitian dengan judul: Analisis Kepatuhan. Penerapan Kewaspadaan Standar Pelayanan Kedokteran Gigi di RS

BAB I PENDAHULUAN. infeksi tersebut. Menurut definisi World Health Organization. (WHO, 2009), Healthcare Associated Infections (HAIs)

BAB I PENDAHULUAN. serta pengobatan penyakit banyak digunakan alat-alat ataupun benda-benda

BAB 1 : PENDAHULUAN. ini mempunyai konsekuensi perlunya pengelolaan limbah rumah sakit sebagai bagian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pekerjaan dalam rumah sakit di Indonesia, dikategorikan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial atau yang sekarang dikenal dengan Healthcare Associated

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian dan kecacatan secara terpadu dengan melibatkan berbagai multi

BAB I PENDAHULUAN. Centre for Disease Control (CDC) memperkirakan setiap tahun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. sistemik (Potter & Perry, 2005). Infeksi yang terjadi dirumah sakit salah

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) sebagai institusi pelayanan kesehatan, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi dan penyakit menular merupakan masalah yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (WHO, 2002). Infeksi nosokomial (IN) atau hospital acquired adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Healthcare Associated Infections (HAIs) telah banyak terjadi baik di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan (safety) telah menjadi issue global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima (5)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB 1 PENDAHULUAN. melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja bertujuan untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi- tingginya,

UNIVERSAL PRECAUTIONS Oleh: dr. A. Fauzi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. obat-obatan dan logistik lainnya. Dampak negatif dapat berupa kecelakaan

swasta dan dari jumlah pasien 254 pasien yang beresiko (9,1) terjadi di rumah sakit ABRI (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan atau pelatihan medik dan para medik, sebagai tempat. lantai makanan dan benda-benda peralatan medik sehingga dapat

*Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi, Manado

ANALISIS TINDAKAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PERAWAT DALAM PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG ICU RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (Hanafiah & Amir,

BAB I PENDAHULUAN. penduduk pada tahun 2000 menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia

RSCM KEWASPADAAN. Oleh : KOMITE PPIRS RSCM

BAB 1 PENDAHULUAN. yang selalu bertambah setiap tahunnya. Salah satu jenis infeksi tersebut adalah

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROGRAM DIKLAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI) DI PUSKESMAS KALIBARU KULON

PENDAHULUAN. dapat berasal dari komunitas (community acquired infection) atau berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keselamatan pasien (Patient Safety) adalah isu global dan nasional bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Hepatitis akut. Terdapat 6 jenis virus penyebab utama infeksi akut, yaitu virus. yang di akibatkan oleh virus (Arief, 2012).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dalam rangka mencapai tujuan Bangsa Indonesia. yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 perlu

BAB 1 : PENDAHULUAN. mencetuskan global patient safety challenge dengan clean care is safe care, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. dibentuk oleh Kepala Rumah Sakit (Depkes RI, 2007). Menurut WHO (World

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pengendalian infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Healthcare Acquired Infections (HAIs)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mata, dan infeksi kulit. Umumnya penyakit tersebut terjadi pada anak-anak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. virus, bakteri, dan berbagai penyebab penyakit lainnya yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. maka pada tahun 1976 Join Commission on Acreditation of Health Care

BAB 1 PENDAHULUAN. cetak dapat melunak dengan pemanasan dan memadat dengan pendinginan karena

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu

PERSEPSI TERHADAP APD

LAPORAN KEPATUHAN HAND HYGIENE RUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYA BULAN JANUARI - MARET 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) melaporkan

BAB I PENDAHULUAN. bila upaya pencegahan infeksi tidak dikelola dengan baik. 2. berkembang menjadi sirosis hati maupun kanker hati primer.

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan unit pelayanan medis yang sangat kompleks, rumah

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan sindrom

Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional Ikatan Perawat Dialisis Indonesia (IPDI) Palembang, 17 Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kualitas (quality improvement) pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan mutlak diperlukan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah setiap tahunnya (Mores et al., 2014). Infeksi nosokomial adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. bersifat dinamis dan merupakan masalah kesehatan yang sedang dihadapi terutama

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada akhir tahun 2009 terdapat lebih dari kasus Acquired

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kewaspadaan universal (Universal Precaution) adalah suatu tindakan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Infeksi nosokomial atau saat ini sering disebut Healthcare-associated Infections (HAIs) merupakan masalah penting di seluruh dunia dan menjadi isu yang menarik untuk diteliti, terutama tentang upaya pencegahan infeksi tersebut. Menurut definisi World Health Organization (WHO) (2010), HAIs adalah infeksi yang terjadi pada pasien dan tenaga medis di rumah sakit yang terjadi selama proses perawatan ataupun selama bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Prevalensi HAIs di negara-negara berpendapatan rendah lebih tinggi dari negara-negara berpendapatan tinggi. Beberapa penelitian pada tahun 1995-2010, prevalensi HAIs di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah berkisar antara 5,7-19,1%, sementara prevalensi di negara-negara berpendapatan tinggi berkisar antara 3,5-12%. Prevalensi HAIs di Indonesia yang merupakan bagian dari negara-negara berpendapatan menengah mencapai 7,1%. Negara berpendapatan rendah dan menengah tidak memiliki sistem surveilans infeksi nosokomial yang baik dan belum melaporkan data atau tidak memiliki data yang representatif, oleh karena itu prevalensi HAIs di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah kemungkinan besar tidak mencerminkan data yang sebenarnya (WHO, 2010). Healthcare-associated Infections tidak hanya terjadi pada pasien, namun terjadi juga pada tenaga kesehatan ataupun tenaga medis. Dokter gigi merupakan salah satu profesi yang rentan terkena HAIs. Penularan HAIs yang terjadi pada dokter gigi dapat disebabkan oleh tindakan kedokteran gigi yang dilakukan sering berkontak dengan darah, jaringan dan sekresi cairan yang berpotensi menularkan infeksi. Infeksi tidak terlepas dari peran mikroorganisme patogen berupa virus dan bakteri (The Centers for Disease Control and Prevention/Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), 2003). Penyakit yang ditularkan oleh virus seperti 1

2 Hepatitis, Influenza, Stomatitis Aphtosa Recrurrent (SAR), Pneumonia, Human Immunodeficiency Virus (HIV), Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus dan Measles. Penelitian yang dilakukan pada salah satu fakultas kedokteran gigi di Glasgow melaporkan tingginya mahasiswa klinik yang terinfeksi Epstein-Barr virus dibandingkan dengan mahasiswa preklinik (Herbet dkk, 1995). Berdasarkan perkiraan WHO pada tahun 2002 terjadi 16000 kasus Hepatitis C, 66000 kasus Hepatitis B dan 1000 kasus HIV akibat tertusuk jarum yang terjadi pada tenaga kesehatan diseluruh dunia (Pruss dkk, 2005). Di Indonesia menurut pemberitaan surat kabar Tempo (2013) terdapat tiga dokter gigi di Surabaya yang tertular Human Immunodeficiency Virus Infection/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS), dua orang di antaranya bekerja di rumah sakit. Infeksi bakteri seperti Gonorrhea, Staphylococcus, Streptococcus, Syphilis, dan Tuberculosis juga mengancam petugas kesehatan. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling banyak menyebabkan infeksi nosokomial yang penyebarannya dapat melalui saluran oropharyngeal menuju organ pernafasan (Zuanazzi dkk, 2012). Data International Nosocomial Infection Control Consortium (INICC) berdasarkan hasil penelitian di 36 negara di dunia menunjukkan 84,4% infeksi nosokomial di ICU disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Rosenthal dkk, 2012). Peningkatan HAIs berdampak pada lama hari dirawat dirumah sakit, kematian, komplikasi, dan biaya. Peneliti yang mengkaji tentang peningkatan biaya akibat HAIs menyebutkan dampak HAIs menyebabkan tambahan biaya hingga 28.800USD untuk setiap pasien (Ruben dkk, 1999). Dampak HAIs mengakibatkan Length of Stay (LOS) yang menjadi lebih panjang 1-6 hari (Griffiths, 2008), peneliti lain mendapatkan LOS yang lebih lama hingga 18.2 hari (Chen dkk, 2005). Peningkatan lama waktu perawatan (LOS) berdampak pada penggunaan alat yang meningkat, perawatan pasien penyakit berat meningkat, peningkatan beban kerja staf dan peningkatan sumber daya lainnya yang itu semua berdampak dalam manajemen rumah sakit (Rosenthal dkk, 2011). Kumpulan hasil penelitian di internet tentang patient safety dalam praktek dokter gigi menyimpulkan dari 872 kejadian yang dilaporkan, 53% terjadi

3 kejadian yang tidak diinginkan (KTD), 45% kejadian nyaris cedera dan 2% tidak termasuk KTD ataupun kejadian nyaris cedera. Laporan secara umum menunjukkan sedikit atau tidak ada kejadian yang membahayakan pasien. Namun demikian, 13% KTD yang memiliki dampak serius yang menyebabkan kecacatan berat ataupun kecacatan permanen (Hiival dkk, 2013). Dampak HAIs dapat ditekan dengan melakukan upaya-upaya preventif. Untuk itu pada tahun 2003, CDC menerbitkan Guidelines for Infection Control in Dental Health-Care Settings sebagai panduan praktik gigi dalam pencegahan dan pengendalian infeksi serta manajemen personal dalam konsep safety. Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, juga meningkatkan upaya pencegahan dengan menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor : HK.02.04/II/1179/2012HK tentang Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menjadi acuan tenaga kesehatan dan manajemen pelayanan kesehatan dalam melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan benar sebagai upaya untuk melindungi pasien dan dokter gigi. Berdasarkan standar pencegahan dan pengendalian infeksi pelayanan kesehatan gigi dan mulut di fasilitas pelayanan kesehatan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), 2012) upaya pencegahan infeksi nosokomial dilakukan terhadap pasien dan tenaga pelayanan kesehatan. Kewaspadaan standar tenaga pelayanan kesehatan gigi adalah kebersihan tangan, penggunaan alat pelindung diri (APD), manajemen limbah dan benda tajam, manajemen lingkungan, penanganan linen, peralatan perawatan pasien, perlindungan kesehatan karyawan, penyuntikan yang aman, dan etika batuk. Buku panduan infection control update (Sudhakar, 2012) menyebutkan tiga kunci pencegahan infeksi yang harus dipatuhi oleh dokter gigi yakni imunisasi, kebersihan tangan dan penggunaan APD. APD adalah alat ataupun pakaian yang digunakan untuk melindungi dari risiko infeksi (Daniel dkk, 2008). Menurut Guidelines for Infection Control in Dental Health-Care Settings CDC (2003), yang dimaksud alat pelindung diri dalam pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah sarung tangan, masker, baju pelindung, pelindung wajah, dan kaca mata pelindung. Pedoman standar

4 pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan gigi dan mulut (Kemenkes RI, 2012) hanya menetapkan empat dari kelima alat tersebut sebagai alat pelindung diri di fasilitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut yakni masker, sarung tangan, kaca mata pelindung dan baju pelindung. Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (RSGMP UMY) sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ikut berperan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi dengan menetapkan standar operasional prosedur penggunaan APD. Kebijakan penggunaan APD khususnya baju pelindung telah diberlakukan sejak tahun 2012. Dukungan manajemen rumah sakit sangat penting untuk peningkatan kualitas dan memiliki hubungan positif terhadap upaya pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. Dukungan tersebut melalui pendekatan budaya organisasi, kerjasama tim, dan manajemen mutu (Bosch dkk, 2011). Keberhasilan upaya pencegahan yang dilakukan oleh manajemen RSGMP sangat dipengaruhi oleh ketaatan individu pada aturan yang berlaku atau lebih dikenal dengan istilah kepatuhan. Banyak penelitian yang menunjukkan rendahnya kepatuhan terhadap penggunaan APD. Data hasil penelitian Aarabi dkk pada tahun 2008 menyatakan hanya 33,9% dari 250 tenaga medis yang patuh terhadap standar operasional prosedur pemakaian masker. Hasil penelitian Ganczak dan Szych pada tahun 2007 mendeskripsikan hanya 5% perawat bedah yang taat dalam menggunakan sarung tangan, masker, baju pelindung dan kaca mata pelindung secara rutin. Penelitian di Amerika yang dilakukan oleh Akdukman, dkk pada tahun 1999 didapatkan kepatuhan pemakaian sarung tangan hanya 28%. Data tersebut menunjukkan masih rendahnya tingkat kepatuhan dalam penggunaan APD. Kepatuhan yang masih rendah terhadap standar operasional prosedur penggunaan APD merupakan masalah yang komplek, karena dipengaruhi oleh multifaktor di antaranya faktor individu, organisasi, strategi efektif, pasien dan keluarga serta lingkungan luar melalui aturan-aturan yang mengikat (JCI 2011 sitasi Pincock dkk, 2012).

5 B. Rumusan Masalah Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan penggunaan APD masih rendah. Belum pernah dilakukan evaluasi kepatuhan mahasiswa dalam penggunaan APD di RSGMP UMY. Sehingga perlu dikaji berbagai permasalahan berikut sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan di RSGMP UMY: 1. Bagaimana tingkat kepatuhan mahasiswa klinik di RSGMP UMY dalam penggunaan APD? 2. Faktor apa yang berhubungan dengan kepatuhan mahasiswa klinik di RSGMP UMY dalam penggunaan APD? C. Tujuan Penelitian 1. Mengukur tingkat kepatuhan penggunaan APD mahasiswa klinik RSGMP UMY 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan mahasiswa klinik dalam menggunakan APD di RSGMP UMY D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis yaitu : memperkaya literatur tentang upaya pencegahan penularan infeksi di bidang kedokteran gigi terutama dalam meningkatkan penggunaan APD. Manfaat praktis yaitu: 1. Rumah Sakit a. Sebagai bahan evaluasi tentang kepatuhan mahasiswa klinik dalam menggunakan APD di RSGMP UMY.

6 b. Sebagai dasar dalam menentukan strategi yang akan dilakukanrsgmp UMY untuk meningkatkan kepatuhan mahasiswa dan staf untuk menggunakan APD. 2. Pasien Peningkatan pelayanan yang berkualitas dalam hal pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di RSGMP UMY. 3. Mahasiswa Klinik dan Dokter Gigi Meningkatkan kewaspadaan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di RSGMP UMY. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kepatuhan penggunaan APD yang pernah dilakukan sebagai berikut : 1. Health care personnel compliance with standards of eye and face protection and mask usage in operating room adalah penelitian yang dilakukan oleh Aarabi dkk pada tahun 2008 dengan metode deskriptif. Penelitian ini mengungkapkan hanya 33,9% dari 250 tenaga kesehatan yang patuh terhadap penggunaan masker dan 46,4% yang menggunakan pelindung wajah. 2. Use of personal protective equipment and operating room behaviors in four surgical subspecialties: personal protective equipment and behaviors in surgery merupakan penelitian dengan disain kohort observasional prospektif yang dilakukan secara acak pada 597 tenaga kesehatan. Hasilnya menyatakan 32% menggunakan kaca mata pelindung dan hanya 28% menggunakan sarung tangan ganda. Penelitian ini dilakukan oleh Akduman, dkk di Amerika pada tahun 1999. 3. Factors influencing worker use of personal protective eyewear merupakan penelitian yang dilakukan melalui focus group discussion pada tujuh kelompok dengan total 51 peserta. Peserta bervariasi yang terdiri dari tenaga bangunan, bagian produksi, instalasi, perbaikan dan tenaga kesehatan. Hasil

7 dari penelitian ini menyimpulkan tiga faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan pemakaian kaca mata pelindung yakni persepsi terhadap bahaya dan risiko, kenyamanan dan training yang merupakan barier, dan tekanan. Penelitian ini dilakukan oleh Lombardi, dkk pada tahun 2008 di Amerika. 4. Are health care workers protected? An observational study of selection and removal of personal protective equipment in Canadian acute care hospitals merupakan penelitian observasi dengan satu kali pengamatan pada sebelas rumah sakit di Kanada. Hasil penelitian ini didapatkan kepatuhan pemakaian sarung tangan 88%, baju pelindung 83%, masker 88% dan hanya 37% kaca mata pelindung. Penelitian ini dilakukan oleh Mitchell, dkk pada tahun 2011. Penelitian ini bersifat umum pada seluruh tenaga kesehatan, untuk itu peneliti merekomendasikan untuk dilakukan spesifik pada masing-masing tenaga kesehatan. 5. Surgical nurses and compliance with personal protective equipment merupakan penelitian yang dilakukan Ganczak dan Szych pada tahun 2007 dengan cara mengevaluasi penggunaan APD dengan survei pada perawat bedah pada delapan belas rumah sakit. Hasil yang ditemukan hanya 5% responden yang rutin menggunakan sarung tangan, masker, baju pelindung dan kaca mata pelindung. Rekomendasi peneliti untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya evaluasi dan upaya peningkatan penggunaan APD secara berkesinambungan. 6. Analisis pelaksanaan universal precaution pada pelayanan kesehatan gigi merupakan penelitian deskriptif eksploratif oleh Oktarina dan Soeryandari pada tahun 2008. Penelitian dilakukan pada tiga puluh dokter gigi di tiga puluh Puskesmas di Surabaya. Hasil penelitian menyatakan bahwa universal precaution belum 100% dilaksanakan pada pelayanan kesehatan gigi yang disebabkan oleh faktor petugas (pengetahuan dan persepsi) dan faktor organisasi (pelatihan, supervisi, dan kompensasi).