MENAKAR KEMBALI KEBERADAAN PIDANA MATI (SUATU PERGESERAN PARADIGMA PEMIDANAAN DI INDONESIA)

dokumen-dokumen yang mirip
ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

MAKALAH. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia

"Itu Kejahatan": Perampasan kemerdekaan secara tidak sah

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan

RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 15/PUU-X/2012 Tentang Penjatuhan Hukuman Mati

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HARMONISASI PENGATURAN PENAHANAN DALAM KUHAP DENGAN PRINSIP-PRINSIP HAM DALAM ADMINISTRASI PERADILAN SKRIPSI

MENELAAH ARTI HAK UNTUK HIDUP SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Human

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

HUKUMAN MATI TERKAIT KEJAHATAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDEKS KEMAJUAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

ANALISIS YURIDIS HUKUMAN MATI TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

Pentingnya Keterlibatan Komnas Perempuan dalam Judicial Review UU Penodaan Agama

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Makalah WORKSHOP PENYUSUNAN SILABUS & SAP MATA KULIAH HUKUM HAK ASASI MANUSIA. Aspek Penegakan Hukum HAM di Indonesia

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR

PENERAPAN PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL DAN PERLINDUNGAN HAK AZASI MANUSIA Nandang Sambas 1

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 181 TAHUN 1998 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 15/PUU-X/2012

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

PENERAPAN HUKUMAN MATI SECARA MASSAL DI MESIR DITINJAU DARI HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HAM: MASALAH PIDANA MATI 1

PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN


RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan. Meskipun menuai banyak protes dari berbagai negara karena bisa

Daftar Pustaka. Glosarium

STANDAR INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA. Oleh : Supriyanta. Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

KONTROVERSI LANDASAN PENGHAPUSAN PIDANA MATI DALAM RUU KUHP NASIONAL. oleh

BAB III PENERAPAN DAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI DI DUNIA DALAM KAITAN DENGAN INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATURNYA

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG HUKUMAN MATI (DEATH PENALTY) DAN RELEVANSINYA DENGAN PERDEBATAN HUKUM DI INDONESIA. Oleh Mufti Makarim

HAM, PEREMPUAN DAN HAK KONSTITUSIONAL 1. Oleh Dian Kartikasari 2

BAB II METODE PENELITIAN

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK ASASI MANUSIA DALAM PUTUSAN HAKIM

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD

Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan Penegakan HAM. Auliah Andika Rukman Universitas Muhammadiyah Makassar

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III HUKUMAN MATI DALAM INTERNASIONAL COVENANT CIVIL AND. POLITIC RIGHTS (ICCPR) DAN UU No. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

Pendidikan Kewarganegaraan

PENGATURAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI ASPEK POLITIK HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.


I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT

ANALISA KASUS PERKOSAAN DISERTAI PEMBUNUHAN TERHADAP YUYUN DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA

Transkripsi:

MENAKAR KEMBALI KEBERADAAN PIDANA MATI (SUATU PERGESERAN PARADIGMA PEMIDANAAN DI INDONESIA) Oleh: EVA ACHJANI ZULFA Dosen Fakultas Hukum UIEU eva@plasa.com ABSTRAK Hukuman mati dalam pandangan hukum Islam merupakan upaya terakhir atau jalan terakhir yang dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana tertentu yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana yang sangat serius atau berat, namun demikian, untuk pembunuhan berencana sekalipun penjatuhan pidana mati masih dapat dihindari bila ahli waris mau memaafkan perbuatan tersebut dengan atau tanpa diyat. Berbicara tentang pergeseran pandangan tentang pidana mati tak lepas dari fenomena adanya pergeseran paradigma pemidanaan secara umum. Bila memetakan keberadaan pidana mati di Indonesia, maka akan terlihat bahwa pidana mati yang ada saat ini hanya diberlakukan untuk beberapa tindak pidana saja. KUHP memang tidak mencantumkan dengan tegas dalam rumusannya mengenai tujuan dari dijatuhkannya suatu sanksi pidana. Namun dalam perjalanan sejarah pemidanaan yang berlaku di dunia selama ini pelaku menjadi pusat perhatian dari sistem pemidanaan yang ada. Kata Kunci: Pidana Mati, Pergeseran Paradigma, Pemidanaan di Indonesia. Pendahuluan Perdebatan tentang pidana mati merupakan masalah yang tak akan pernah habis diperdebatkan. Di Indonesia, masalah ini kembali mencuat terkait dengan diangkatnya hak untuk hidup bukan hanya sebagai hak asasi yang dilindungi oleh undang-undang tetapi juga merupakan hak konstitusional yang pemenuhannya menjadi suatu keharusan. Pasal 28a, Pasal 28b ayat (2), Pasal 28h ayat (1) dan Pasal 28i ayat (1) Amandemen II UUD 1945, merupakan pasal-pasal yang menegaskan tentang posisi hak untuk hidup sebagai suatu hak konstitusional yang wajib bagi negara untuk melindunginya. Pasal 28 I ayat (1) merumuskan bahwa: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nirani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 93 Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007

Namun dalam kenyataannya Instrumen HAM Internasional masih tetap memberikan peluang atas keberlakuan hukuman mati ini. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 ayat 2 dari ICCPR (International Covenan Civil and Political Rights) yang menyatakan bahwa: In countries which hav not abolished the death penalty, sentence of death may imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present covenant and to the convention on the Pevention and Punishment of the Crime of Genoside. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court. Permasalahan Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah dengan adanya landasan ketentuan dalam konstitusi maka keberadaan Pasal 10 KUHP serta ancaman sanksi pidana mati dalam berbagai ketentuan perundang-undangan harus ditiadakan. Pertanyaan ini tentunya akan berujung kepada pertanyaan lainnya yaitu apakah pidana masih masih relevan dengan perkembangan pemikiran tentang tujuan dijatuhkannya sanksi pidana di saat sekarang ini? Tinjauan Teori Berbicara tentang pergeseran pandangan tentang pidana mati tak lepas dari fenomena adanya pergeseran paradigma pemidanaan secara umum. Masalah pergeseran atau perubahan paradigma pemidanaan sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat manapun di dunia. Wacana pemikiran tentang pidana dan pemidanaan dalam masyarakat pada dasarnya mengalami pergeseran searah dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam pandangan Pounds, misalnya dalam perumusan suatu undang-undang yang terpenting adalah tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukan kepada sanksinya. (Pounds, 1986). Tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum sebagai alat untuk merekayasanya. Sanksi (pidana) dalam hal ini berfungsi sebagai alat untuk membantu pencapaian tujuan tersebut. Namun tetap saja pandangan terhadap sanksi yang ada dalam undang-undang sebagai bagian dari alat perekayasa sosial itu pun bergantung dari pandangan masyarakat terhadap sanksi (pidana) itu sendiri. Dimana pun diberbagai belahan dunia, pergeseran ini telah terjadi, tak terkecuali di Indonesia. Perubahan ini berkaitan dengan jenis sanksi pidana, lama atau jumlah sanksi yang dijatuhkan, maupun perubahan tentang sistem atau pola penjatuhan sanksi pidana itu sendiri. Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 94

Dalam hukum pidana Indonesia, arah perubahan ini kelihatan nyata melalui rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut R - KUHP). Meski rancangan undangundang ini belum menjadi undangundang, namun arah pemikiran para perancang undang-undang dalam menentukan tujuan dari hukum pidana Indonesia terlihat jelas dari tujuan pemidanaan yang terumuskan di dalamnya. Pasal 51 R-KUHP merumuskan tujuan pemidanaan sebagai a) pencegahan; b) pemasyarakatan terpidana; c) penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan, serta d) pembebasan rasa bersalah terpidana. KUHP memang tidak mencantumkan dengan tegas dalam rumusannya mengenai tujuan dari dijatuhkannya suatu sanksi pidana. Namun dalam perjalanan sejarah pemidanaan yang berlaku didunia selama ini pelaku menjadi pusat perhatian dari sistem pemidanaan yang ada. Konsep tersebut jelas berbeda dengan tujuan poin c. dari R-KUHP yaitu penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan dalam masyarakat dimana partisipasi korban dan masyarakat dibutuhkan dalam mewujudkan tujuan pemidanaan ini. Tentu sangat dimaklumi jika makna keadilan yang ada berkaitan erat dengan filosofi pemidanaan yang selama ini tertanam dalam benak para pembentuk undang-undang dan para penegak hukum mengacu pada paradigma tujuan pemidanaan dalam bentuk keadilan retributif, yang bertujuan semata-mata sebagai pembalasan. Dalam hal ini pelaku dianggap sebagai obyek penderita dan bersikap pasif dari proses pemidanaan yang berlangsung. Tetapi makna keadilan tersebut di atas ternyata tidak memuaskan sebagian para pemikir hukum pidana. Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya perkembangan pemikiran masyarakat terhadap hukum pidana diberbagai belahan dunia. Pergeseran wacana ini disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu perkembangan hak asasi manusia, perubahan pandangan masyarakat atas kejahatan dan perubahan pandangan masyarakat terhadap penjahat itu sendiri. Perkembangan pemikiran tentang hak asasi manusia telah membawa perubahan besar terhadap masyarkat dalam memandang suatu hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupannya. Tak terkecuali pandangan terhadap 95 Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007

pidana dan pemidanaan. Pidana dan pemidanaan yang pada dasarnya memberikan pembenaran atas penjatuhan satu derita kepada seseorang akibat suatu tindak pidana yang dilakukannya sepintas lalu akan bertolak belakang dengan konsep-konsep yang ada dalam hak asasi manusia yang justru memberikan perlindungan terhadap hak asasi seseorang. Dalam HAM diatur beberapa hak mendasar yang sepintas lalu jelas amat bertolak belakang dengan pemidanaan. Salah satu hak yang amat sering diperdebatkan dalam berbagai wacana salah satunya adalah hak untuk hidup. Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universa l tentang Hak Asasi Manusia) PBB yang merumuskan tentang hak untuk hidup. Ketentuan serupa juga dapat dijumpai dalam intrumen lain seperti Pasal 6 ICCPR (Internasional Covenan Civil and Political Rights). Dalam ketentuan yang lainnya hak untuk hidup juga dilindungi dalam pasal 6 Konvensi Hak- Hak Anak Selain ketentuan tentang hal untuk hidup Pasal 5 DUHAM secara tegas melarang tindakan penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Hal yang sama juga ditegaskan dalam pasal 7 ICCPR, yang menyatakan bahwa tidak boleh seorangpun boleh dikenakan penganiayaan atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau hukuman yang merendahkan martabat manusia. Dalam perkembangan yang lebih jauh PBB mengeluarkan konvensi khusus yang langsung berkaitan dengan pidana dan pemidanaan yaitu Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatmen or Punishment (CAT). Di Indonesia konvensi tersebut (CAT) telah diadopsi dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) Faktor kedua yang mempengaruhi pergeseran paradigma pemidanaan adalah pandangan masyarakat tentang jenis sanksi pidana dan sistem penjatuhannya. Sejalan dengan perkembangan pemahaman tentang hak asasi manusia yang makin mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat dunia, pemikiran tentang pemidanaan pun mengalami pergeseran. Pasca lahirnya CAT misalnya sejumlah hukuman kemudian ditinjau ulang keberadaannya karena dianggap tidak manusiawi. Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 96

Hukuman mati misalnya, suatu jenis hukuman yang dianggap tidak memberi kesempatan kepada seorang manusia untuk berubah jelas merupakan suatu hukuman yang tidak sejalan dengan HAM. Banyak kalangan menilai bahwa penjatuhan satu pidana mati merupakan suatu serangan fundamental terhadap keberadaan hak asasi manusia, karena merupakan penyerangan terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri. (Roger Hood, 2002). Pro kontra terhadap keberadaan sanksi ini banyak disampaikan dalam berbagai pembicaraan. Beberapa negara yang setuju atas keberadaan hukuman mati mengingatkan bahwa pada saat pembahasan rumusan DUHAM PBB yang menentang keberadaan hukuman mati hanya dari kalangan minoritas saja. (William Schabas, 1997). Mayoritas negara (26 negara) yang mengikuti sessi kedua dari pembahasan ini setuju atas pasal tentang hak untuk hidup dengan catatan bahwa: "Everyone has the right to life. This right can be denied only to persons who have been convicted under general law of some crime to which the death penalty is attached.". Meski demikian, paham abolisionist yang dibawa oleh negara minoritas waktu itu justru yang berkembang pada saat ini yang ditandai dengan dihapuskannya ancaman pidana mati dalam hukum pidana disejumlah negara. (Roger Hood, 2002). Bila ada pandangan yang menyatakan bahwa adanya efek detterence atau tujuan pefentif dari pidana mati, maka pengalaman Thomas Mores dan pandangan Beccaria di abad ke 18 akan mampu memberikan bayangan bahwa ancaman pidana berat tidak selalu menjadi faktor penentu yang menjamin bahwa tindak pidana tersebut kemudian tidak dilakukan. Perkembangan ini tidaklah mengherankan mengingat pengalaman masal lalu yang memperlihatkan bahwa hukuman mati tidaklah selalu efektif untuk mengurangi jumlah pelaku tindak pidana. (W.A. Bonger, 1955). Pembahasan Pidana Mati di Indonesia Bila memetakan keberadaan pidana mati di Indonesia, maka akan terlihat bahwa pidana mati yang ada saat ini hanya diberlakukan untuk beberapa tindak pidana saja yaitu: a. KUHP: (1) kejahatan terhadap keamanan negara yaitu pasal 104, pasal 111 (2), Pasal 124 (3), Pasal 140 (2 dan 3) (2) Pembunuhan berencana (pasal 340) 97 Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007

(3) Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365 (4)) b. Diluar KUHP (1) Kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan (Undang-Undang No.4/1976) (2) Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang No. 22/1997 pasal 80) (3) Undang-undang Psikotropika (Undang-Undang No. 5 tahun 1997 pasal 52) (4) Undang-Undang Pelanggaran HAM Berat (U ndang-undang 26 tahun 2000) (5) Undang-Undang Anti Terorisme (Undang-Undang 15 tahun 2003 pasal 6) Sebagai pembanding dalam RKUHP: 1. Tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 215 (1) makar, Pasal 228 (menghasut sehingga terjadi perang), Pasal 237(3) (penghianatan kepada negara), 2. Tindak pidana terorisme (Pasal 242, 244, 247, 250, 262) 3. makar terhadap negara sahabat (Pasal. 269) 4. Genocida (Pasal 394) 5. Tindak Pidana Terhadap Kemanusiaan (Pasal 395) 6. Tindak Pidana pada Masa Perang (Pasal 396-399) 7. Narkotika (Pasal 506 dan Pasal 508) 8. Psikotropika (Pasal 515) 9. Pembunuhan berencana (Pasal 572) 10. Korupsi atas dana bagi bencana alam (Pasal 684) Dari peta perumusan pidana mati dalam perundang-undangan Indonesia, hampir semua tindak pidana merupakan kejahatan serius yang secara langsung mengancam nyawa dan tubuh manusia. Kecuali dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika dimana pertimbangan bahayanya bukan ancaman terhadap nyawa dan tubuh secara langsung dan korupsi terhadap dana yang diperuntukkan bagi bencana alam. Melihat dari jenis pidana dalam Peundang-undangan Indonesia yang ada sekarang dengan RKUHP maka tidak ada suatu perbedaan yang berarti. Namun bila melihat dari model penjatuhan pidananya maka terlihat disini bahwa sudah sejak lama Indonesia tidak pernah meninjau tentang Tata cara Pelaksanaan Pidana Mati. Ketentuan yang ada sekarang masih menggantungkan pada Undang-Undang no.2/pnps/1964. Sementara di dalam Pasal 66 RKUHP dinyatakan bahwa Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan akan selalu diancamkan Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 98

sebagai pidana alternatif. Dalam pasal 89 RKUHP ditentukan adanya masa percobaan 10 tahun yang harus dijalani terpidana untuk menentukan apakah pidana mati jadi dijatuhkan ataukah dapat diganti dengan pidana lainnya. Dalam hal ini pidana mati merupakan Ultimum remedium. Penutup Kesimpulan Tanpa memposisikan diri dalam kelompok yang pro ataupun kontra terhadap keberadaan pidana mati, dalam pandangan penulis jenis sanksi ini harus dilihat keberadaannya yaitu meskipun hak untuk hidup merupakan hak konstitusi, namun apakah juga ketentuan itu harus diartikan sebagai larangan pemberlakukan dan penjatuhan sanksi pidana mati? Hukuman mati dalam pandangan hukum Islam sekalipun, merupakan upaya terakhir atau jalan terakhir yang dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana tertentu yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana yang sangat serius atau berat. Adapun klasifikasi tindak pidana serius atau berat tersebut diantaranya pembunuhan berencana, pemberontakan dan murtad. Namun demikian, untuk pembunuhan berencana sekalipun penjatuhan pidana mati masih dapat dihindari bila ahli waris mau memaafkan perbuatan tersebut dengan atau tanpa diyat. Beccaria, meskipun keberatan terhadap keberadaan pidana mati, namun masih menganggap jenis pidana ini penting dipertahankan dengan alasan sebagai sarana terakhir dalam menjaga harkat dan martabat manusia dari kejahatan yang mengancam kemanusiaan itu sendiri. Karenanya, Beccaria masih menyarankan agar pidana ini tetap dipertahankan untuk dua jenis tindak pidana yaitu: a. tindak pidana terhadap keamanan negara yang pada akhirnya berujung pada kondisi anarki atau membahayakan ketertiban umum atau, b. terhadap serangan yang membahayakan keselamatan nyawa banyak orang (dalam konteks sekarang barangkali ini dapat dipadankan dengan genosida dan kejahatan kemanusiaan). Dalam hal ini tetap harus dilihat bahwa kepentingan dalam rangka menjaga keselamatan masyarakatlah yang menjadi pertimbangan penjatuhannya dan bukan karena dalam rangka mempertahankan kekuasaan (--pemerintah--). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah siapkah kita menakar kembali keberadaan hukuman mati di Indonesia? Apakah memang pidana mati 99 Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007

yang selama ini ada merupakan ancaman serius terhadap HAM atau justru merupakan sarana penjaminan atas keberadaan hak untuk hidup. (EAZ) Daftar Pustaka Beccaria, Cecare., On Crime And Punishment, Translated by Jane Grigson, Marsilio Publisher, New York, 1996. Bonger, W.A., Pengantar Kriminologi, PT Pembangunan, Jakarta, 1955. Hood, Roger, The Death Penalty: A Worldwide Perspective, Third Edition, University Press, Oxford, 2002. Pound, Roscoe, Interpretation of Legal History, Wm.W.Gaunt & Sons Inc, Florida, 1986. Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Yayasan Badan Penerbit Gajahmada, Yogyakarta, 1962. Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1974. Schabas, William., The Abolition of the Death Penalty in International Law,1997. Shabbir, Mohammad., Outlines of Criminal Law and Jutice in Islam, International Law Book Services, Kuala Lumpur, 2002. Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy Shamiil, Jakarta, 2000. Lex Jurnalica Vol.4 No.2, April 2007 100