PEMASARAN MEBEL KAYU JATI JEPARA KASMALIA SARI

dokumen-dokumen yang mirip
2.2. Sumber Bahan Baku Kayu

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. METODE 3.1. Lokasi dan Waktu 3.2. Teknik Pengumpulan Data

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN MINYAK GORENG BERMEREK DAN TIDAK BERMEREK

I. PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia saat ini mengalami kemunduran dibandingkan dengan

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

BAB I PENDAHULUAN. Industri kecil dan menengah, termasuk industri furniture merupakan hal

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

RESEARCH. Ricky Herdiyansyah SP, MSc. Ricky Sp., MSi/Pemasaran Agribisnis. rikky Herdiyansyah SP., MSi. Dasar-dasar Bisnis DIII

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya &an. hektar terdiri dari hutan permanen, yang menghasilkan pepohonan seperti teak,

Kebutuhan. Keinginan. Pasar. Hubungan. Permintaan. Transaksi. Produk. Nilai & Kepuasan. Pertukaran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barangnya ke pemakai akhir. Perusahaan biasanya bekerja sama dengan perantara untuk

I. PENDAHULUAN. terhadap dunia investasi di Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga. internasional adalah Cina dan Mexico (Deperindag, 2002).

BAB II LANDASAN TEORITIS. Pengertian pasar telah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli ekonomi. Pasar

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara terbesar penghasil rotan di dunia. Selain itu

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri

STRATEGI KEBIJAKAN PEMASARAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU FENTIE JULLIANTI SALAKA

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. dunia usaha ke persaingan yang sangat ketat untuk memperebutkan

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Entrepreneurship and Inovation Management

BAB II. LANDASAN TEORI

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

BAB I PENDAHULUAN. Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, membuat setiap masyarakat

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian peluang pasar menurut Kotler (2008) adalah suatu bidang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI. pemasaran dan biaya lainnya yang terkait dengan delivery layanan.

Pengembangan Marketing Mix untuk Mendukung Kinerja Pemasaran UKM

FUNGSI PEMASARAN DALAM PERUSAHAAN.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi nasional menitikberatkan pada pembanguan sektor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk adalah penawaran nyata perusahaan pada dasarnya mereknya dan

MANAJEMEN PEMASARAN Sebuah Pendahuluan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mebel dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi furniture. Istilah

PERBAIKAN DAN EVALUASI KINERJA ALGORITMA PIXEL- VALUE DIFFERENCING ( PVD) ROJALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam usaha untuk melakukan pembelian, konsumen tidak terlepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nilai yang terkandung didalam produk tersebut. Salah satu nilai yang

Proposal Usaha Kerajinan Rotan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A

BAB I PENDAHULUAN. keinginan dan kebutuhan konsumen maka produsen perlu memahami perilaku

bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

ANALISIS SENSITIVITAS HARGA DAN LOYALITAS KONSUMEN TERHADAP MINYAK GORENG MEREK BIMOLI DI KOTA BOGOR INDRA UTAMA NASUTION A.

I. PENDAHULUAN. sekarang ini dimana perubahan teknologi dan arus informasi yang sangat cepat mendorong

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS BIAYA DAN HARGA POKOK PRODUKSI KAYU GERGAJIAN (Sawn Timber ) HUTAN RAKYAT (Kasus Pada CV Sinar Kayu, Kecamatan Leuwi Sadeng, Kabupaten Bogor)

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

BAB I PENDAHULUAN. Semakin maju perkembangan teknologi, semakin marak pula

BAB I PENDAHULUAN. pembelian dan mengkonsumsi. Untuk memenuhi ketiga aktivitas tersebut, terjangkau terutama bagi masyarakat berpenghasilan sedang.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tidak ada satupun perusahaan yang akan mampu bertahan lama bila

PENGANTAR BISNIS MINGGU KE-6. Pemasaran. Disusun oleh: Nur Azifah., SE., M.Si

BAB VII PERUMUSAN STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN KEPUASAN KONSUMEN

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memproduksi barang dan jasa dalam jumlah yang lebih besar dan bervariasi. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dulu Bandung merupakan kota yang mampu menarik perhatian para

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

Pemasaran Pada Perusahaan Kecil. Oleh Sukanti, M.Pd

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Oleh : AYU LESTARI A

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISA SIKAP TERHADAP PERILAKU PENGUSAHA UKM PADA PELAKSANAAN KREDIT PROGRAM KEMITRAAN BNI DI SENTRA KREDIT KECIL (SKC) CABANG BOGOR.

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAHAN AJAR Jurusan : Administrasi Bisnis Konsentrasi : Mata Kuliah : Pengantar Bisnis

HUBUNGAN ANTARA PERMINTAAN PRODUK MEUBEL KURSI DAN PERMINTAAN KAYU JATI PADA INDUSTRI UD. MITRA USAHA DI WANGKANAPI, KOTA BAUBAU

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian dunia pada umumnya dewasa ini sangat cepat berubah demikian

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan globalisasi yang disertai pertumbuhan perdagangan domestik dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

PEMASARAN MEBEL KAYU JATI JEPARA KASMALIA SARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2010 Kasmalia Sari NIP E151070171

RINGKASAN KASMALIA SARI. Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara. Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT dan BAHRUNI Industri perkayuan memegang peranan penting terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara. Sejalan dengan penuruan ketersediaan bahan baku untuk industri dan meningkatnya biaya tenaga kerja pada industri berbasis kayu maka mebel kayu merupakan industri kecil yang berpeluang untuk dikembangkan. Industri mebel kayu tidak hanya diharapkan untuk memperoleh devisa tetapi juga akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional karena memiliki nilai tambah yang tinggi, mempunyai keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor lain, menciptakan lapangan kerja, memiliki pertumbuhan pasar yang baik, dan berdaya saing cukup tinggi. Data statistik UN COMTRADE (2008) mermperlihatkan bahwa sektor industri mebel terus mengalami peningkatan ekspor mebel dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Negara tujuan ekspor mebel Indonesia yang utama adalah Amerika Serikat (37%), Jepang (12%), Inggris (8%) dan Belanda (8%), Jerman (7%), dan Perancis (7%). Selain itu, ekspor juga ditujukan ke negara-negara Italia, Belgia, Spanyol, dan Australia. Sebagai sentra industri mebel kayu di Indonesia, Kabupaten Jepara mempunyai peranan yang sangat penting di dalam perekonomian nasional. Menurut Roda et al (2007) industri mebel kayu yang terdapat di Jepara adalah 15.271 industri dan menyerap tenaga kerja sebanyak 176.470 orang. Berdasarkan data BPS Kabupaten Jepara tahun 2007, total perdagangan mebel dari Jepara untuk tahun 2007 mencapai 37.894.523,92 kg mebel dengan nilai produksi US$ 94.604.782,15. Melihat kontribusi yang diberikan oleh industri mebel maka industri mebel harus mendapatkan perhatian tidak hanya pada aspek pasar mebel kayu jati di Jepara tetapi juga aspek pemasarannya. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis keterkaitan manajemen usaha pengrajin terhadap keberlangsungan industri mebel pengrajin, (2) menganalisis pasar (marjin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya) dan pemasaran mebel kayu jati Jepara (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen). Pengumpulan data dilakukan secara survei. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan para responden sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, ASMINDO dan instansi-instansi pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lainnya. Langkah-langkah dalam pengambilan sampel tergantung dari kelompok responden yang diambil. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif meliputi manajemen usaha pengrajin, saluran pemasaran, marjin pemasaran, efisiensi pemasaran, struktur pasar, preferensi konsumen dan preferensi produsen. Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini diperoleh bahwa saluran pemasaran yang banyak terdapat di Kabupaten Jepara adalah saluran pemasaran satu tingkat (pengrjain-eksportir+gudang-konsumen) dan saluran pemasaran empat

ii (pengrajin-pengumpur/broker-showroom di luar Jepara+finishing-konsumen). Hasil analisis marjin pemasaran yang dilakukan terhadap produk mebel kayu jati yang umum terdapat di pasar (rak, set meja dan kursi tamu, lemari pajang dan meja makan) memperlihatkan bahwa distribusi marjin pemasaran paling besar terdapat pada lembaga pemasaran akhir. Hal ini karena adanya proses nilai tambah yang dilakukan oleh lembaga pemasaran akhir tersebut. Besarnya sebaran marjin pemasaran tersebut adalah rak (50%), set meja dan kursi tamu (60%), lemari pajangan (68%) dan meja makan (63%). Adapun hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya yang dilakukan pada masing-masing lembaga pemasaran diketahui bahwa nilai rasio tertinggi terdapat pada pengumpul. Hal ini karena biaya yang dikeluarkan oleh pengumpul lebih sedikit dari biaya yang dikeluarkan oleh pengrajin dan pemilik toko. Struktur pasar yang terbentuk pada tingkat pengrajin dan pemilik toko/showroom berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan indeks Herfindahls adalah struktur pasar persaingan monopolistik. Hal ini karena pada tingkat pengrajin dan toko/showroom, pasar mebel kayu jati di Jepara tersegmentasi berdasarkan harga, produk dan lokasi. Analisis yang dilakukan terhadap manajemen usaha pengrajin mebel kayu jati Jepara memperlihatkan bahwa keberlangsungan usaha pengrajin dipengaruhi oleh pengelolaan keuangan pengrajin dan manajemen produksi pengrajin. Para pengrajin sering menggunakan uang dana operasional perusahaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini menyebabkan pengrajin mengalami kesulitan keuangan ketika mendapatkan order. Manajemen produksi pengrajin pada penelitian ini ditinjau dari bentuk kerjasama dengan pembeli, kemampuan menentukan harga dan negosiasi dan pengrajin akses terhadap pembeli. Pengrajin yang menjalin kerjasama dengan pembeli secara bebas akan memperoleh harga jual yang lebih rendah jika dijual pada lembaga pemasaran pada tingkat yang sama. Rendahnya harga beli ini disebabkan (1) adanya kekhawatiran dari pembeli terhadap kualitas mebel yang diperoleh selain dari langganan mereka, (2) mebel yang dijual tidak mempunyai spesifik produk, (3) mebel yang sejenis banyak diproduksi oleh pengrajin lain, dan (4) pembelian mebel konsumen lebih sedikit dibandingkan dengan mebel yang diproduksi oleh pengrajin. Sebaliknya mebel yang dijual secara berlangganan memperoleh harga jual yang pasti. Para pemilik toko dan para pengumpul menyatakan dengan membeli secara langganan maka kualitas mebel mereka akan terjaga sehingga kepercayaan konsumen terhadap mebel mereka juga akan terjaga. Para pengrajin mebel usaha skala kecil pada umumnya telah berinisiasi dalam menentukan harga mebel dalam bernegosiasi. Namun terdapat hal-hal tertentu yang menyebabkan pada akhirnya harga jual lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang perantara yaitu kualitas mebel yang rendah, model yang sama, dan tidak adanya bentuk kerjasama penjualan mebel. Adanya kebutuhan belanja rumah tangga yang mendesak seringkali menyebabkan mebel juga dijual dengan harga yang murah. Kemampuan para pengrajin mebel yang rendah dalam mengakses pembeli selain disebabkan rendahnya kualitas sumber daya pengrajin juga karena tertutupnya akses informasi pasar mebel dari tingkat pengumpul dan lembaga pemasaran lainnya. Kerahasiaan ini dilakukan para pengumpul dan lembaga pemasaran lainnya dengan tujuan untuk pertahankan kelangsungan usaha mereka. Selain itu lokasi para pengrajin yang jauh dari pasar juga menyebabkan akses ke pembeli menjadi rendah.

iii Pada aspek pemasaran, terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan oleh konsumen sebelum melakukan pembelian yaitu tahapan proses pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, proses pembelian dan perilaku pascapembelian. Pada tahap pengenalan kebutuhan, motivasi pembelian mebel oleh konsumen disebabkan mebel yang dimiliki oleh konsumen telah rusak dan manfaat yang diinginkan adalah fungsi sesuai kebutuhan. Pada tahap pencarian informasi, media yang banyak digunakan oleh konsumen untuk memperoleh informasi mengenai mebel yang akan dibeli adalah bersumber dari keluarga/kolega. Evaluasi alternatif dilakukan oleh konsumen terhadap kualitas dan harga mebel jati Jepara. Pada umumnya konsumen lebih menyukai membeli mebel di toko yang terdapat di sepanjang jalan. Adapun pertimbangan konsumen lebih disebabkan lokasi tersebut mudah dijangkau oleh konsumen dan tersedianya banyak pilihan produk. Keputusan konsumen dalam membeli mebel lebih bergantung kepada situasi yaitu hanya jika produk mebel mereka telah rusak. Produk mebel jati Jepara yang paling disukai oleh konsumen adalah set meja dan kursi tamu dengan harga lebih dari Rp 2.000.000. Konsumen pada penelitian ini menyatakan puas terhadap mebel yang mereka beli dan sebagian besar menyatakan akan kembali membeli mebel di tempat yang sama. Ketidakpuasan konsumen disebabkan harga beli mebel tidak sesuai dengan kualitas mebel dimana mebel tersebut seringkali terlihat retak-retak pada permukaan mebel setelah beberapa bulan pembelian. Hasil analisis terhadap atribut bauran pemasaran pada konsumen dan produsen diketahui bahwa terdapat beberapa hal yang harus mendapat perhatian produsen untuk meningkatkan pemasaran mebel kayu jati Jepara seperti tanggapan terhadap keluhan setelah pembelian, harga mebel yang mahal, kemudahan memperoleh produk, dan jaringan distribusi.. Kata Kunci: Pasar mebel kayu jati Jepara, manajeman usaha pengrajin, preferensi konsumen dan preferensi produsen.

ABSTRACT KASMALIA SARI. Marketing of Jepara Teak Furniture. Under direction of DODIK RIDHO NURROCHMAT and BAHRUNI. Teak furniture has been a special product of Jepara District, Province of Central Java. It is not only contributed to foreign exchange revenue, but also it is stimulating national economic growth. Thus, it is important to obtain information about various aspects of teak furniture s market including market channels, market margin, industrial management, and consumers and producers preference. The aims of this study are to analyze: (1) the financial management of small scale industries related to sustainability of their furniture industries. (2) management of small scale industries, (3) market channels, marketing margin, profit margin ratio, market structure, and consumer s preference. This study was conducted through a survey method. Primary data were collected by direct interview, and then analyzed using quantitative and qualitative analyses. Secondary data were collected from several related institutions. The results show that: (1) small scale industries in Jepara have low capability in managing their financial and their production system, (2) there is a variability in marketing margin of the furniture product caused by additional operational cost at the broker level and additional production cost at the semi-finished product in furniture outlet, (3) the highest profit margin ratio is at the broker level because the broker spend less operational cost than the others (4) Market structure at small-scale industries and furniture outlet is monopolistic since it is characterised by segmented on price, product and location. There are some different preferences between producers and consumers in marketing mix strategy. The producers have to give more intention to: (1) complaint after buying, (2) high price of teak furniture, (3) availability of the product, (4) distribution of outlet/showroom. Key word: teak furniture market, management of small scale enterprises, consumers and producers preferences

Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S.

Judul Tesis : Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara Nama : Kasmalia Sari NRP : E151070171 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop Ketua Dr. Ir. Bahruni, M.S. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 16 Pebruari 2010 Tanggal Lulus :

PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala karunia-nya penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema dari penelitian ini adalah Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini yaitu: 1. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. dan Dr. Ir. Bahruni,M.S. selaku dosen pembimbing serta Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S. selaku dosen penguji. 2. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Departemen Manajemen Hutan yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini 3. Departemen Kehutanan sebagai sponsor dan pimpinan Pusat Kerjasama Luar Negeri yang memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 ini. 4. Teman-teman IPH angkatan 2007 untuk kebersamaan, persahabatan serta bantuannya dalam penyelesaian karya tulis ini. 5. Toko mebel Anditya Furniture, Toko Cahaya Rumah, dan Bogor Trade Mall serta toko yang lainnya atas fasilitas yang diberikan selama peneliti melakukan penelitian. 6. Papa, mama dan adik-adik serta seluruh keluarga khususnya suamiku tercinta Erwin Prasetyo, S.H. atas segala doa,kesabaran dan dukungannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Insya Allah. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Bogor, Pebruari 2010 Kasmalia Sari

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan, 6 Juni 1974 dari Papa H. Zainun Zainal dan Mama Hj. Syofnimar. Penulis menempuh dan menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Medan. Sementara itu, Pendidikan Sarjana Strata 1 ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998. Penulis saat sekarang bekerja di Pusat Kerjasama Luar Negeri, Departemen Kehutanan. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... xii xiv xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian... 5 1.4. Hipotesis... 5 1.5. Manfaat Penelitian... 5 1.6. Ruang Lingkup Penelitian... 6 1.7. Kerangka Pemikiran... 6 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mebel... 8 2.2. Sumber Bahan Baku Kayu... 9 2.3. Pemasaran... 10 2.4. Saluran dan Lembaga Pemasaran... 11 2.5. Margin Pemasaran... 13 2.6. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya... 14 2.7. Struktur Pasar... 14 2.8. Preferensi Konsumen... 16 3. METODE 3.1. Lokasi dan Waktu... 21 3.2. Tehnik Pengumpulan Data... 21 3.3. Analisis Data... 22 3.3.1. Manajemen Usaha Pengrajin... 22 3.3.2. Analisis Saluran Pemasaran... 22 3.3.3. Analisis Marjin Pemasaran... 22 3.3.4. Struktur Pasar... 24 3.3.5. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya... 25 3.3.6. Preferensi Konsumen dan Preferensi Produsen... 25

xiii 4. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Jepara, Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Jakarta... 28 4.2. Gambaran Umum Perusahaan... 31 4.3. Karakteristik Responden... 32 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara... 39 5.1.1. Saluran Pemasaran... 39 5.1.2. Analisis Marjin Pemasaran... 42 5.1.3. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya... 43 5.1.4. Struktur Pasar... 44 5.2. Manajemen Usaha Pengrajin... 45 5.2.1. Pengelolaan Keuangan... 45 5.2.2. Manajemen Perencanaan Sistem Produksi... 47 5.3. Preferensi Konsumen... 52 5.3.1. Pengenalan Kebutuhan... 53 5.3.2. Mencari Informasi... 55 5.3.3. Evaluasi Alternatif... 57 5.3.4. Proses Pembelian... 62 5.3.5. Perilaku Pasca Pembelian... 69 5.4. Bauran Pemasaran Konsumen... 71 5.4.1. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Produk... 71 5.4.2. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Harga... 73 5.4.3. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Lokasi Penjualan 75 5.4.4. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Promosi... 76 5.5. Bauran Pemasaran Produsen... 78 5.5.1. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Produk... 78 5.5.2. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Harga... 80 5.5.3. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Lokasi Penjualan 81 5.5.4. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Promosi... 82 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 84 6.2. Saran... 85 DAFTAR PUSTAKA... 86 LAMPIRAN... 90

DAFTAR TABEL Halaman 1. Statistik kayu bulat tahun 2007... 10 2. Perkiraan margin keuntungan mebel kayu... 14 3. Karakteristik struktur pasar... 15 4. Rataan marjin pemasaran rak, set kursi tamu, lemari pajangan dan meja makan... 43 5. Distribusi sebaran marjin pemasaran rata-rata... 43 6. Nilai indeks konsumen untuk atribut produk... 72 7. Nilai indeks konsumen untuk atribut harga... 73 8. Nilai indeks konsumen untuk atribut lokasi penjualan... 76 9. Nilai indeks konsumen untuk atribut promosi... 78 10. Nilai indeks produsen untuk atribut produk... 80 11. Nilai indeks produsen untuk atribut harga... 81 12. Nilai indeks produsen untuk atribut lokasi penjualan... 82 13. Nilai indeks produsen untuk atribut promosi... 83

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Nilai validitas... 86 2. Hasil pengujian reabilitas... 87 3. Nilai indeks Herfindahls pengrajin... 88 4. Nilai indeks Herfindahls showroom/toko... 89 5. Rasio keuntungan terhadap biaya... 90

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri perkayuan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara. Perkembangan industri kayu di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an dengan mengekspor log. Pada awal tahun 1980-an, industri perkayuan berkembang ke arah industri pengergajian. Pada pertengahan tahun 1980-an pemerintah melarang ekspor log dan kayu gergajian yang mendorong tumbuhnya industri kayu olahan. Namun krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan industrti kayu olahan menjadi kurang berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurang tersedianya bahan baku (Nurrochmat et al. 2008). Sejalan dengan penurunan ketersediaan bahan baku untuk industri dan meningkatnya biaya tenaga kerja pada industri berbasis kayu, mebel kayu merupakan industri kecil yang berpeluang untuk dikembangkan yang tidak hanya diharapkan untuk memperoleh devisa tetapi juga akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional karena memiliki nilai tambah yang tinggi, mempunyai keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor lain, menciptakan lapangan kerja, memiliki pertumbuhan pasar yang baik, dan berdaya saing cukup tinggi. Berdasarkan data statistik tahun 2000 2005 industri mebel memberikan kontribusi sebesar 17% terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2005 ekspor mebel mencapai US$ 1,78 milyar (ASMINDO dalam Departemen Kehutanan 2007a) dengan rincian mebel kayu 75%, mebel rotan 20% dan mebel dari logam atau plastik 5%. Ekspor dari mebel kayu memberikan kontribusi sebesar 2,6% terhadap total pertumbuhan, dimana Indonesia berada pada peringkat ke-11 dari 20 besar eksportir mebel dunia. Negara tujuan ekspor mebel Indonesia yang utama adalah Amerika Serikat (37%), Jepang (12%), Inggris (8%) dan Belanda (8%), Jerman (7%), dan Perancis (7%). Selain itu, ekspor juga ditujukan ke negara-negara Italia, Belgia, Spanyol, dan Australia. Menurut data ASMINDO (2008) ekspor mebel dari Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Statistik UN COMTRADE (2008) memperlihatkan peningkatan nilai perdagangan mebel kayu dari tahun 2003

2 sampai tahun 2007. Pada tahun 2007 nilai perdagangan yang diperoleh dari mebel kayu adalah sebesar US$ 1.100.910.720. Jumlah ini lebih besar dari nilai perdagangan mebel tahun 2006 (US$ 1.051.207.049). Gambar 1. Nilai perdagangan mebel kayu indonesia tahun 2003 2007 (US$) Sumber: Data Statistik UN COMTRADE (Mebel dengan kode HS 1996) 1 Sebagai sentra industri mebel kayu di Indonesia, Kabupaten Jepara mempunyai peranan yang sangat penting di dalam perekonomian nasional. Menurut Roda et al. (2007) industri mebel kayu yang terdapat di Jepara adalah 15.271 industri dan menyerap tenaga kerja sebanyak 176.470 orang. Berdasarkan data BPS Kabupaten Jepara tahun 2007, total perdagangan mebel dari Jepara untuk tahun 2007 mencapai 37.894.523,92 kg perabotan dengan nilai produksi US$ 94.604.782,15. Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan bahwa industri mebel kayu adalah salah satu industri yang sanggup bertahan ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Hal ini diketahui dari pertumbuhan industri mebel kayu Jepara dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Jumlah industri mebel kayu pada tahun 1997 sebanyak 2.439. Jumlah industri pada tahun 2007 meningkat menjadi 3.710 (Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Jepara, 2008). Begitu juga dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 1997 sebanyak 38.264 tenaga kerja meningkat menjadi 49.192 tenaga kerja pada tahun 2007. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Roda et al (2007) memberikan hasil yang berbeda, dimana jumlah 1 kode HS1996 (furniture, woodes, nes (940360); Office furniture, wooden, nes (940330); bedroom furniture, wooden, nes (940350); kitchen furniture, wooden, nes (940340)

3 industri dan tenaga kerja pada tahun 2002 adalah sebanyak 12.000 industri dan 140.000 tenaga kerja. Pertumbuhan industri mebel kayu pasca krisis ekonomi memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Melihat kontribusi yang diberikan oleh industri mebel maka industri mebel harus mendapatkan perhatian tidak hanya pada aspek pasar mebel kayu jati di Jepara tetapi juga aspek pemasarannya. Pada aspek pasar mebel kayu jati Jepara yang perlu diketahui adalah saluran pemasaran mebel kayu jati, marjin pemasaran, struktur pasar dan rasio keuntungan terhadap biaya. Dalam kaitannya dengan pemasaran mebel kayu Jepara, hal lain yang perlu diketahui adalah preferensi konsumen rumah tangga terhadap mebel kayu Jepara. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis manajemen usaha pengrajin. 1.2. Perumusan masalah Secara umum, permasalahan yang dihadapi industri kayu Jepara dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu masalah internal dan masalah eksternal. Masalah internal yang terdapat pada pengrajin adalah perilaku pengrajin dalam mengelola keuangan yang mengakibatkan pengrajin mengalami kesulitan modal untuk kelangsungan usaha jangka panjang. Masalah internal lainnya adalah ketidakmampuan pengrajin dalam mencari informasi untuk mengembangkan pasar. Ketidakmampuan ini mengakibatkan pengrajin tidak bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, dimana perubahan harga mebel di tingkat pengrajin jauh lebih rendah dari perubahan harga di tingkat lembaga pemasaran akhir. Lembaga pemasaran yang sekaligus melakukan kegiatan finishing pada produk akhir memperoleh keuntungan tertinggi yaitu antara 22% sampai 75% (Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006) sedangkan pengrajin hanya memperoleh keuntungan antara 4% sampai 15% (Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006). Permintaan mebel yang tinggi telah mendorong pertumbuhan industri mebel dan industri pendukung mebel. Kondisi ini menyebabkan banyak pelaku baru memasuki usaha industri mebel. Keadaan ini didukung dengan terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan peningkatan nilai dollar terhadap rupiah dan peningkatan keuntungan dari ekspor. Sesuai dengan teori harga, peningkatan harga menyebabkan banyak pelaku-pelaku baru

4 memasuki industri tersebut sehingga pada satu sisi mencerahkan dunia usaha mebel. Namun disisi lain menyebabkan harga produk menjadi tereduksi disebabkan terjadinya persaingan di antara sesama produsen. Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan jumlah industri mebel mengalami peningkatan dari 2.439 industri pada tahun 1997 menjadi 12.000 industri pada tahun 2007 (Roda et al. 2007). Perkembangan industri mebel ini mengakibatkan tingkat persaingan yang semakin tinggi antara industri mebel kayu Jepara dengan industri mebel kayu non Jepara. Seiring dengan kenaikan suplai mebel menyebabkan harga-harga mebel menjadi tereduksi. Bahkan dampak yang diakibatkan oleh kelebihan suplai mebel juga menyebabkan keuntungan yang diperoleh pengrajin mebel menjadi sedikit. Selain itu terdapat juga pengrajin yang menutup usaha mebelnya disebabkan keuntungan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya produksi. Hal ini juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan baku yang mencapai 70% tetapi kenaikan harga mebel hanya 30%. Penjelasan permasalahan di atas merupakan permasalahan eksternal yang terdapat pada industri mebel kayu Jepara. Masalah eksternal lainnya adalah produksi pengrajin yang berbasis order dari pedagang perantara. Pola produksi pengrajin yang berbasiskan order mengakibatkan pola produksi intermetan atau tidak kontinue sehingga volume produksi pengrajin tergantung pada perkembangan permintaan. Keadaan ini menimbulkan tidak adanya suatu pola manajemen bahan baku dalam mengantisipasi perkembangan permintaan. Pada sistem ini pengrajin tidak berada pada posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga. Jumlah pengrajin yang banyak menyebabkan pembeli mempunyai banyak pilihan terhadap pengrajin lainnya, jika pengrajin yang dituju tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan. Adanya desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan pengrajin menerima harga yang ditetapkan oleh pembeli atau pedagang perantara. Keberhasilan pemasaran mebel tidak terlepas dari penguasaan produsen terhadap preferensi konsumen. Tingkat persaingan yang tinggi di sektor mebel mengharuskan produsen untuk mengetahui keinginan konsumen. Kepuasan konsumen terhadap suatu produk mebel dari Jepara akan berujung kepada peningkatan pangsa pasar dari mebel tersebut. Untuk tetap dapat mempertahankan pangsa pasar mebel kayu Jepara, maka produsen harus

5 menerapkan satu strategi untuk menarik minat konsumen membeli produk mebel kayu dari Jepara. Produsen harus senantiasa memahami konsumen, mengetahui apa yang dibutuhkan konsumen, selera konsumen dan bagaimana mengambil keputusan sehingga perusahaan mampu mengambil strategi yang tepat untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Berdasarkan kendala-kendala internal dan eksternal, yaitu kendala manajemen usaha pengrajin, kendala pasar dan kendala pemasaran sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas, diperlukan langkah penyesuaian agar industri mebel dapat bertahan dan berkembang serta dapat mendukung perekonomian rumah tangga pengrajin. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis keterkaitan manajemen usaha pengrajin terhadap keberlangsungan industri mebel pengrajin. 2. Menganalisis pasar (margin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya) dan pemasaran produk mebel (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen). 1.4. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Kekurangtepatan manajemen usaha pengrajin mebel jati mengakibatkan terhambatnya perkembangan industri mebel. 2. Perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam pasar dan pemasaran akan dapat mendorong perkembangan industri mebel kayu jati sehingga pengrajin mempunyai kesempatan untuk berkembang dan bertahan. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam merencanakan, membentuk dan mengevaluasi sistem

6 pemasaran mebel kayu jati Jepara dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pengrajin. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian Aspek yang dipelajari dalam penelitian ini meliputi semua unsur-unsur di dalam bisnis mebel yang mencakup manajemen usaha pengrajin, pasar (margin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya), dan pemasaran (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen) dengan batasan penelitian sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian untuk manajemen usaha pengrajin dan pasar mebel kayu jati meliputi pengrajin mebel jati, toko mebel dan eksportir mebel di Kabupaten Jepara. Sedangkan lokasi penelitian preferensi konsumen dilakukan di Bogor dan Jakarta. 2. Lingkup pelaku pemasaran mebel kayu meliputi pengrajin, pedagang pengumpul, toko/showroom di Jepara dan di luar Jepara. 1.7. Kerangka Pemikiran Industri mebel kayu jati Jepara memberikan konstribusi yang cukup besar tidak hanya untuk perekonomian kabupaten Jepara tetapi juga untuk perekonomian nasional. Perkembangan industri mebel kayu jati Jepara dan tingginya tingkat persaingan menyebabkan produksi mebel menjadi berkurang seiring dengan menurunnya tingkat keuntungan yang diperoleh pengrajin. Analisis manajemen usaha pengrajin meliputi analisis pengenai pengelolaan keuangan pengrajin dan analisis perencanaan produksi pengrajin. Adapun analisis pasar berupa analisis margin pasar, rasio keuntungan terhadap biaya dan struktur pasar. Untuk pemasaran produk mebel dilakukan dengan menganalisis saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen. Keseluruhan hasil analisis ini akan dipergunakan untuk mengembangkan usaha pengrajin mebel kayu jati Jepara. Kerangka pemikiran dari penelitian Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara seperti terlihat pada Gambar 2.

7 Analisis : - pemasaran (marketing mix) - potensi pasar dan struktur pasar - manajemen usaha pengrajin Pengembangan usaha pengrajin mebel Konsumen akhir Kondisi saat ini -struktur pasar -margin pemasaran -rasio keuntungan terhadap biaya -manajemen usaha pengrajin Arus distribusi produk Lembaga pemasaran: - Pengumpul - Toko/showroom - Eksportir Pengrajin Arus permintaan Preferensi konsumen dan preferensi produsen Pedagang Kayu Gambar 2. Bagan kerangka pemikiran penelitian pemasaran mebel kayu Jepara

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mebel Kata mebel atau furnitur di dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah perabot yang diperlukan, berguna, atau disukai, seperti barang-barang yang dipindahpindah, digunakan untuk melengkapi rumah dan kantor (Anonim 2009). Indonesia dikenal sebagai salah satu negara eksportir mebel terbesar di dunia. Pada awal tahun 2000, Indonesia masuk dalam urutan ke 15 diantara eksportir mebel di dunia. Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dalam USAID (2007) menunjukkan pada tahun 2006 posisi ekspor produk mebel Indonesia di dunia berada pada peringkat 8 dengan urutan dari peringkat tertinggi Cina, Kanada, Meksiko, Italia, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan. Industri mebel telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian nasional, dimana perkembangan ekspor mebel Indonesia tahun 2001 sampai dengan 2006 menunjukkan trend meningkat. Pada tahun 2004 nilai ekspor mebel Indonesia mencapai US$ 1,129,502,649 dan meningkat menjadi US$ 1,326,300,209 pada tahun 2005. Pertumbuhan nilai ekspor mebel Indonesia dari tahun 2004 dan 2005 sebesar 6,14%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor tersebut selama 6 tahun sebesar 7,37% (USAID 2007). Usaha mebel telah lama dikenal di Indonesia dan merupakan budaya turuntemurun. Kabupaten Jepara merupakan sentra industri mebel di Indonesia. Industri permebelan ini didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri - industri besar. Penyerapan tenaga kerja per US$ 100 investasi adalah yang terbanyak diantara seluruh sektor industri kehutanan (Departemen Kehutanan 2007). Kebutuhan bahan baku kayu industri mebel dan kerajinan adalah sekitar 7 7,5 juta m 3 per tahun dan umumnya jenis kayu jati, mahoni, pinus, acasia, gmelina, durian, mangga, mbacang, kuweni, bungur, sonokeling, mindi, waru, kayu karet dan sebagian kecil kayu-kayu yang berasal dari hutan alam, seperti meranti, nyatoh, bangkirai, kempas (Departemen Kehutanan 2007). Perkembangan industri mebel berdampak kepada semakin meningkatnya

9 permintaan bahan baku kayu. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industi mebel di Jepara adalah sebanyak 1.5 juta 2.2 juta m 3 (Roda et al. 2007). Kebutuhan ini melebihi kemampuan produksi log oleh Departemen Kehutanan untuk Pulau Jawa yaitu sebesar 923.632 m3 pada tahun 2004. Permintaan bahan baku kayu diperkirakan meningkat drastis sehubungan dengan peningkatan jumlah industri mebel sebanyak 15.271 pada tahun 2007. Seiring dengan pertumbuhan industri mebel kayu Jepara maka industri pendukung juga bertambah banyak. Roda et al. (2007) menyatakan bahwa perusahaan mebel di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu atau lebih lembaga pemasaran mebel yang terdapat di Jepara. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jumlah perusahaan yang terkait dengan pembuatan mebel di Jepara berdasarkan kegiatan ekonomi dan ukuran terdiri atas bengkel, ruang pamer, tempat penimbunan kayu, tempat penggergajian kayu, gudang dan toko perlengkapan mebel. Berdasarkan struktur produksi perusahaan di Jepara dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu, yang menghasilkan produk jadi atau produk setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah, (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan pihak ketiga, (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Selain hal tersebut di atas, industri yang terkait dengan mebel Jepara juga dilihat berdasarkan sumber bahan kayu, yaitu: (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara dan (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Pada umumnya, kelompok kedua tidak mempunyai modal yang cukup untuk membeli semua kayu bulat yang diperlukannya sehingga mereka mendapatkan pinjaman dari pembelinya. 2.2. Sumber Bahan Baku Kayu Produksi mebel kayu Jepara dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku kayu. Sumber bahan baku kayu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kayu yang berasal dari Perum Perhutani dan hutan rakyat. Kayu yang

10 berasal dari Perum Perhutan seperti Jati dan Mahoni. Sementara, kayu yang berasal dari hutan rakyat sangat beragam seperti kayu mangga, durian dan lainlain. Selain dari daerah Jepara terdapat juga kayu yang berasal dari luar Jepara diantaranya seperti dari Yogyakarta, Cepu, dan Wonogiri (Roda et al. 2007). Berdasarkan data statistik Departemen Kehutanan (2008), produksi kayu bulat yang dihasilkan oleh Provinsi Jawa Tengah untuk jati adalah sebanyak 186.613 m 3 dan untuk mahoni sebanyak 21.200 m 3 (Tabel 1). Produksi kayu bulat Provinsi Jawa Barat dan Banten untuk jenis jati adalah 137.173 m 3 dan mahoni 16.180 m 3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menghasilkan kayu bulat jati sebanyak 1.229 m 3. Data statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Jepara (2008) menyatakan bahwa jumlah produksi kayu di Kabupaten Jepara adalah sebesar 21.841,5 m 3. Produksi hasil hutan tersebut berasal dari hutan rakyat, yang terdiri dari jati (135.7803 m 3 ), mahoni (2.255,2 m 3 ), sengon (10.102,6 m 3 ) dan jenis lain (9.347,9 m 3 ). Adapun produksi kayu yang berasal dari Perhutani untuk kayu jati adalah 491.262m 3 dan kayu mahoni sebanyak 51.202m 3. Tabel 1 Statistik kayu bulat tahun 2007 No Provinsi Jenis Kayu Bulat 1 Jawa Barat dan Banten Realisasi (m 3 ) Keterangan Jati 137.173 Sumber: Perum Perhutani Unit III Mahoni 16.180 2 Jawa Tengah Jati 186.613 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Mahoni 21.200 3 Daerah Istimewa Yogyakarta Jati 1.229 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 4 Jawa Timur Jati 191.269 Sumber: Perum Perhutani Unit III Mahoni 14.543 Jumlah 568.207 Sumber: Statistik Departemen Kehutanan (2008) 2.3. Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2007) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajemen, dimana individu-individu atau kelompok dapat memenuhi kebutuhan

11 dan keinginannya melalui pembuatan dan pertukaran suatu produk dan uang dengan individu-individu atau kelompok-kelompok lainnya. Sudiyono (2002) menyatakan bahwa pemasaran di dalam pertanian adalah proses aliran barang dari produsen ke konsumen yang terjadi di dalam pasar, dimana terjadi penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses penyimpanan. Pemasaran menurut Bell (1996) dalam Sudiyono (2002) merupakan bagian manajemen yang diterapkan secara strategis dalam perencanaan, pengaturan dan pengawasan dengan motivasi untuk mencapai keuntungan dengan jalan memenuhi kebutuhan konsumen secara baik dengan melakukan integrasi ke belakang (backward linkage) maupun integrasi ke depan (forward linkage). Integrasi usaha ke belakang pada umumnya bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, sedangkan integrasi ke depan lebih menekankan aspek pemasaran. 2.4. Saluran dan Lembaga Pemasaran Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai suatu serangkaian organisasi yang saling tergantung, yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran tersebut bertujuan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan. Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa di dalam saluran pemasaran terdapat lembaga-lembaga pemasaran yaitu badan-badan atau lembaga baik perorangan maupun kelembagaan, yang berusaha dalam bidang pemasaran yang menggerakkan barang dari titik produsen sampai ke titik konsumen melalui penjualan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam memilih saluran pemasaran, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti : 1. Pertimbangan pasar yang meliputi konsumen sebagai sasaran akhir, yaitu mencakup potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan membeli dan volume pesanan.

12 2. Pertimbangan produk yang meliputi nilai barang per unit, berat barang, tingkat kesukaran, sifat teknis barang, apakah barang tersebut memenuhi pesanan dan pasar. 3. Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi besarnya modal dan sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan. 4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai pemasaran yaitu kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan perusahaan. Selain pertimbangan tersebut di atas, banyaknya tingkat saluran pemasaran juga merupakan hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan di dalam memilih saluran pemasaran. Panjangnya suatu saluran pemasaran ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Tingkat saluran pemasaran tersebut sebagai berikut: 1. Saluran non tingkat (zero level channel) atau dinamakan sebagai saluran pemasaran langsung, adalah saluran dimana produsen atau pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen. 2. Saluran satu tingkat (one level channel) adalah saluran yang menggunakan satu perantara. 3. Saluran dua tingkat (two level channel), saluran yang mempunyai dua perantara 4. Saluran tiga tingkat (three level channel), saluran dengan 3 perantara. Lembaga-lembaga pemasaran yang terdapat pada saluran pemasaran biasanya terdiri atas produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, broker, eksportir, importir atau lainnya. Adanya lembaga pemasaran ini di negara berkembang memperlihatkan lemahnya pemasaran pertanian, dimana kompetisi pasar yang terjadi akan menentukan mekanisme pasar (Soekartiwi 1993). Saluran pemasaran mebel kayu Jepara dilihat dari aspek bahan baku dan aspek produk mebel. Saluran pemasaran kayu untuk bahan baku mebel kayu di Pulau Jawa pada umumnya dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Saluran pemasaran langsung terdapat pada industri skala besar yang langsung membeli kayu dari Perum Perhutani atau dari hutan rakyat. Sebaliknya industri skala kecil membeli log atau kayu gergajian dari agen atau middlemen. Pembelian kayu jati dari Perum Perhutani dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1)

13 pembelian langsung di tempat penimbunan kayu, (2) penawaran di tempat penimbunan kayu, (3) penjualan berdasarkan kontrak, dan (4) penjualan dalam bentuk kayu gergajian atau produk lain. Pada umumnya rumah tangga membeli mebel kayu melalui lembaga pemasaran seperti outlet/toko mebel (59%), pesan langsung dari pengrajin (25%), lembaga pemasaran lain (14%) dan pameran mebel (2%). Berdasarkan data tersebut di atas, outlet atau toko mebel adalah lembaga pemasaran yang paling efektif untuk menjual mebel kayu di Indonesia. Pemasaran melalui pameran mebel lebih difokuskan untuk konsumen kelas atas dan biasanya terdapat di kotakota besar. Produk mebel yang dibeli toko mebel diperoleh melalui beberapa cara, yaitu membeli langsung di industri skala kecil (35%), membuat sendiri (27%), diperoleh dari agen khusus untuk mebel pabrikan (23%), dan pesanan khusus (15%) (Departemen Kehutanan 2007a). 2.5. Marjin Pemasaran Marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima oleh produsen (Sudiyono 2002). Tomek dan Robinson (1977) dalam Sallatu (2006) serta Friendman (1962) dalam Sudiyono (2002) mendefinisikan marjin pemasaran sebagai berikut: (1) marjin pemasaran merupakan perbedaan harga antara produsen dengan konsumen, dan (2) marjin pemasaran merupakan kumpulan balas jasa yang diterima oleh lembaga pemasaran. Berdasarkan definisi yang pertama, Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran. Pada definisi kedua membawa konsekuensi berbeda, dimana jasa penawaran sering dikaitkan dengan penambahan utility dari guna bentuk (form utility), guna tempat (place utility), guna waktu (time utility) serta guna kepemilikan (possesion utility). Penentuan distribusi marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui berapa persen bagian total marjin yang digunakan masing-masing lembaga pemasaran ke-i (Sudiyono 2002). Marjin keuntungan yang terdapat pada lembaga-lembaga pemasaran mebel kayu memiliki nilai yang berbeda antara satu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran yang lain. Nurrochmat et al. (2008) menyatakan bahwa marjin

14 keuntungan tertinggi terdapat pada industri pengolahan akhir atau penjual akhir yaitu sebesar 75% sedangkan marjin keuntungan paling kecil terdapat pada lembaga pemasaran berupa outlet. Perkiraan marjin pemasaran pada lembaga pemasaran mebel kayu sebagaimana tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Perkiraan marjin keuntungan mebel kayu Lembaga Pemasaran Perkiraan Marjin Keuntungan (%) Perkiraan rata-rata marjin Terendah Tertinggi keuntungan (%) Lembaga penjual (outlet) 5 25 15 Lembaga pemasaran produk 10 30 20 bermerek Lembaga pemroses akhir dan 50 100 75 penjual akhir Sumber: Nurrochmat et al. 2008 Pada tabel di atas, mebel kayu mempunyai interval marjin pemasaran yang panjang, antara 5% sampai 100%. Level marjin pemasaran dipengaruhi oleh jenis aktifitas pasar dari masing-masing aktor. Jika aktifitas dari aktor atau outlet adalah menjual (penjual), marjin pasar hanya akan menjadi 5% - 25%. Hal senada juga dinyatakan oleh Purnomo (2006) dimana marjin keuntungan terbesar diperoleh eksportir (21,9%). Sementara produsen mebel sebagai pembuat mebel hanya memperoleh marjin keuntungan sebesar 3,6%. 2.6. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Penilaian rasio keuntungan terhadap biaya dilakukan untuk mengetahui distribusi keuntungan yang terdapat pada masing-masing lembaga pemasaran. 2.7. Struktur Pasar Struktur pasar penting diketahui untuk melihat bagaimana kekuatan pasar dalam sistem pemasaran. Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi pasar, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat masuk pasar. Struktur pasar suatu komoditas yang diperjualbelikan akan menentukan pembentukan harga suatu komoditas bagi setiap lembaga pemasaran sehingga

15 hubungan harga yang diterima produsen dan harga yang harus dibayar konsumen akhir akan menentukan seberapa besar marjin pemasarannya. Menurut Hammond dan Dahl (1997) dalam Setyawan (2002) struktur pasar ditentukan oleh empat karakteristik pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan, pandangan pembeli terhadap sifat produk, kondisi keluar masuk pasar, tingkat pengetahuan seperti biaya, harga dan kondisi pasar di antara partisipan. Karakterisik yang membedakan struktur pasar disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik struktur pasar Karakteristik Struktur Pasar Jumlah Pembeli Sifat Produk Sudut Pandang Sudut Pandang Penjual atau Penjual Pembeli Banyak Homogen Pasar Persaingan Murni Pasar Persaingan Murni Banyak Terdiferensiasi Pasar Persaingan Monopolistik Pasar Persaingan Monopolistik Sedikit Homogen Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Sedikit Terdiferensiasi Oligopoli terdiferensiasi Oligopsoni terdiferensiasi Satu Unik Monopoli Monopsoni Struktur pasar industri mebel kayu berbeda dengan struktur pasar pada bahan baku kayu untuk mebel. Perum Perhutani yang memiliki peranan utama dalam menyediakan bahan baku kayu berupa jati dan mahoni menyebabkan struktur pasar lebih bersifat monopoli. Hal yang berbeda terjadi pada strukur pasar mebel kayu. Tingginya tingkat pertumbuhan mebel kayu Jepara menyebabkan pasar mebel menjadi lebih bersaing. Struktur pasar yang terdapat pada industri mebel kayu dapat diklasifikasikan atas struktur pasar bersaing sempurna dan struktur pasar bersaing monopolistik. Struktur pasar persaingan monopolistik terbentuk disebabkan banyaknya penjual dan pembeli mebel kayu, dimana masing-masing pembeli dan penjual tersegmentasi pada model, kualitas dan harga mebel tertentu. Adapun segmentasi konsumen mebel adalah rumah tangga (64%), perusahaan (14%), lembaga pemerintah (17%), dan lain-lain (5%) (Nurrochmat et al. 2008).

16 2.8. Preferensi konsumen Menurut Kotler dan Keller (2007) preferensi konsumen merupakan suatu proses pilihan suka atau tidak suka oleh konsumen terhadap suatu produk (barang dan jasa) yang dikonsumsi. Sedangkan Assael (1992) menyatakan bahwa preferensi konsumen terbentuk dari persepsi konsumen terhadap produk. Persepsi yang telah mengendap dan melekat dalam pikiran akan menjadi preferensi. Persepsi dapat dipengaruhi oleh rangsangan dari produk tersebut dan rangsangan yang berasal dari simbol, kesan, dan informasi tentang produk. Preferensi konsumen terhadap produk barang dan jasa dapat diukur dengan model pengukuran yang dapat menganalisis hubungan antara produk yang dimiliki konsumen dan sikap atas produk sesuai dengan ciri atau atribut produk. Menurut Supranto (1991) perubahan preferensi konsumen disebabkan oleh faktor-faktor seperti adanya kegiatan advertensi, pendapatan yang berbeda dengan waktu sebelumnya karena kenaikan gaji atau upah, dan karena adanya barangbarang baru yang masuk di pasar. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan kesempatan yang lama hilang dan muncul kesempatan-kesempatan yang baru. Kotler dan Keller (2007) menyarankan menggunakan 4 P penjualan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap costumer needs and wants, cost to the costumer, convenience, dan communication (4C) atau yang disebut kebutuhan dan biaya konsumen, kepuasan konsumen dan komunikasi terhadap konsumen suatu produk. Konsep 4P ini lebih dikenal dengan bauran pemasaran (marketing mix) yaitu perencanaan produk (product planning), distribusi (place), harga (price), dan promosi (promotion) (Kotler dan Keller 2007). Empat P menggambarkan pandangan penjual tentang alat pemasaran yang tersedia untuk mempengaruhi pembeli (Gambar 3). Menurut Barners (2000) dalam Kaplinsky dan Morris (2000), penelitian terhadap preferensi konsumen sebaiknya diikuti dengan penilaian terhadap preferensi produsen. Adapun tujuannya adalah untuk menyatukan antara keinginan konsumen dan keinginan produsen. Pada umumnya terdapat perbedaan antara preferensi konsumen dan preferensi produsen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perusahaan kurang memperhatikan faktor lokasi, fasilitas kredit, proses inovasi, dan kemasan yang menjadi keinginan konsumen dalam

17 pemasaran produk. Sebaliknya produsen telah mengakomodir keinginan konsumen terkait dengan kualitas produk, harga, pemesanan, dan conformance to standard. Produk (Product) Keragaman produk Kualitas Design Ciri Nama merek Kemasan Ukuran Pelayanan Garansi Imbalan Harga (Price) Daftar harga Rabat/diskon Potongan harga khusus Periode pembayaran Syarat kredit Bauran pemasaran Tempat (place) Saluran pemasaran Cakupan pasar Pengelompokan Lokasi Persediaan Transportasi Promosi (Promotion) Promosi penjualan Periklanan Tenaga penjualan Kehumasan/Public relation Pemasaran langsung Gambar 3 4 P dalam bauran pemasaran (Kotler dan Keller 2007) 2.8.1 Preferensi Konsumen Terhadap Produk Assael (1992) menyatakan produk adalah sesuatu yang kompleks, baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba, termasuk kemasan, warna, harga, prestise, layanan perusahaan dan pengecer yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan konsumen. Sebelum memutuskan untuk membeli atau tidak membeli barang, menurut Kotler dan Keller (2007) terdapat lima faktor yang menjadi pertimbangan

18 konsumen yaitu : (1) atribut, yaitu mutu, harga, fungsi (fitur), desain, dan layanan purna jual; (2) merek, merek (branding) sangat penting bagi keberhasilan produk; (3) kemasan, kemasan (packaging) berpengaruh terhadap daya tarik konsumen, sehingga menimbulkan citra (image) produk; (4) label, pemberian label (labeling) berhubungan dengan kebutuhan konsumen dan atau ketentuan pemerintah; (5) pendesainan layanan produk pendukung. Dzięgielewski dan Fabisiak (2008) menyatakan bahwa desain merupakan faktor penting yang akan meningkatkan pendapatan dan penjualan mebel. Selain itu desain juga dapat meningkatkan pangsa pasar, memperbaiki citra perusahaan, meningkatkan daya saing perusahaan dan meningkatkan kepuasan konsumen. Kaplinsky dan Morris (2000) menyatakan hal yang sama dengan Kotler bahwa preferensi konsumen atas suatu produk diantaranya didasarkan atas kualitas, harga, layanan pemesanan, pengepakan, inovasi dan lain-lain. Namun sesungguhnya konsumen cenderung kurang mengetahui produk yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi memilih berdasarkan kebiasaan, tingkat keterlibatan rendah dan tidak dapat membedakan merek, sehingga tidak membentuk sikap yang kuat terhadap merek produk dan menimbulkan perasaan yakin bahwa produk tersebut bermanfaat bagi dirinya (Kotler dan Keller 2007). 2.8.2. Preferensi Konsumen Terhadap Harga Penentuan harga oleh suatu perusahaan dilakukan untuk mencapai keseimbangan antara laba dengan tingkat kepuasaan konsumen, disamping segmen pasar yang jelas dan mencapai tingkat penjualan yang sesuai dengan perencanaan perusahaan (Assael 1992). Artinya harga tidak boleh lebih rendah dari biaya rataan per produk jika produsen ingin memperoleh keuntungan. Zhang et al. (2002) dalam Mohamed dan Yi (2008) menyatakan bahwa harga merupakan faktor penting yang berpengaruh ketika melakukan pembelian mebel. Namun Simamora (2003) menyatakan bahwa faktor harga tidak selalu dapat digunakan untuk memenangkan persaingan karena harga tidak dapat digunakan sebagai alat untuk memenangkan persaingan. Harga rendah bukan andalan jika atribut yang diperhatikan konsumen adalah keindahan produk. Produk mebel yang terbuat dari kayu yang berkualitas/bernilai tinggi atau kayu mewah (fancy