Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana Teuku Faisal Fathani, Ph.D. Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 1. Pendahuluan Wilayah Indonesia memiliki kondisi geomorfologi yang unik karena berada pada pertemuan empat lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia, Philippine dan Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki berbagai potensi bencana alam seperti gunung api, gempa bumi, tanah longsor, banjir, tsunami dan lain-lain. Kejadian tsunami di Aceh 2004, gempa bumi di Yogyakarta 2006 dan di Padang 2009, banjir di Wasior 2010, letusan Gunung Merapi 2010 serta bencana alam lainnya telah membuka kesadaran semua pihak untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Salah satu bagian siklus mitigasi bencana yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada infrastruktur fisik pasca terjadinya bencana. Kegiatan ini harus direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, agar perbaikan infrastruktur fisik dapat mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat. Di samping itu, infrastuktur fisik tersebut diharapkan memiliki ketahanan untuk menghadapi bencana alam yang mungkin terjadi di kemudian hari. Dalam rangka untuk melaksanakan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca bencana (Perka BNPB No. 11 Tahun 2008). Peraturan ini mengatur standar dan kebijakan dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi dan rekonstruksi bertujuan untuk mengembalikan kehidupan dan penghidupan korban kembali seperti kondisi normal. Dalam tataran pelaksanaan, diperlukan proses evaluasi untuk menyempurnakan prosesnya. Pemulihan infrastruktur fisik umumnya baru dilakukan ketika bencana telah terjadi yang mengakibatkan banyak infrastruktur mengalami kerusakan. Cara pemulihan seperti ini tentunya lebih berisiko karena kerusakan dan kerugian (damages and looses) bisa jadi sangat besar dan pemulihan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Untuk menghindari kerusakan dan kerugian tersebut, dalam makalah ini juga akan dibahas suatu konsep perbaikan/penataan infrastruktur fisik yang dianggap rentan terhadap bencana. Karena perbaikan dilaksanakan sebelum bencana terjadi, diharapkan kerusakan dan kerugian serta timbulnya korban jiwa dapat dihindari. 1
2. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Menurut Perka BNPB No. 11 Tahun 2008, rehabilitasi dan rekonstruksi memiliki tujuan yang sama namun berbeda pengertian. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Adapun rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana, dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Secara garis besar, rehabilitasi dan rekonstruksi memiliki tahapan yang tidak jauh berbeda, yaitu sama-sama merupakan tanggung jawab Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang terkena bencana dan juga dikoordinasikan oleh BNPB dan/atau BPBD sesuai dengan status dari bencananya. Gambar 1 menunjukkan konsep rehabilitasi dan rekonstruksi berdasarkan Perka BNPB No 11 tahun 2008. Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi sangat krusial melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak dan memerlukan dukungan dana. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tahap pasca bencana, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah (Pemda) bertanggung jawab atas keberlangsungan tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan oleh Satuan Kerja (Satker) Pemerintah Daerah atau lembaga lain yang terkait dengan BPBD sebagai koordinatornya. Rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan program dari Pemerintah Pusat dan Daerah sehingga anggarannya harus dialokasikan secara proporsional. Dalam kondisi anggaran yang mencukupi, Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan APBD untuk dana penanggulangan bencana. Tetapi jika APBD tidak memadai/mencukupi, Pemerintah Daerah diperkenankan untuk meminta bantuan dana ke Pemerintah Provinsi ataupun Pemerintah dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. 2
Bencana Pemerintah Kerusakan Program & Anggaran oleh Pemerintah BNPB/BPBD Rehabilitasi Rekonstruksi Sosialisasi dan Koordinasi Program Inventorisasi dan Identifikasi Kerusakan Perencanaan dan Penetapan Prioritas Melibatkan Masyarakat Eksekusi Lingkungan Hidup dan Sosial Budaya Upaya Pengurangan Risiko Monitoring dan Evaluasi Gambar 1. Konsep rehabilitasi dan rekonstruksi (Perka BNPB No. 11 Tahun 2008) 3
Pemerintah merumuskan prosedur utama guna menjamin efektivitas jalannya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, yang meliputi: a. Sosialisasi dan koordinasi program b. Inventarisasi dan identifikasi kerusakan/kerugian c. Perencanaan dan penetapan prioritas d. Pelaksanaan rehab-rekon e. Monitoring dan evaluasi 3. Konsep Pemulihan Infrastuktur Fisik: Aplikasinya pada Penanganan Bencana Sedimen 3.1. Bencana sedimen di Indonesia Bencana sedimen (banjir genangan, banjir bandang, tanah longsor, aliran lahar hujan dan lain-lain) sering terjadi di Indonesia terutama pada saat musim hujan. Bencana banjir genangan relatif dapat diprediksi terjadinya karena tanda-tanda awal seperti naiknya muka air di hulu maupun tingginya curah hujan pada daerah tangkapan air (catchment area) dapat dipantau dan dievaluasi. Berbeda halnya dengan bencana banjir bandang, tanah longsor dan aliran lahar hujan yang relatif pendek waktu kejadiannya sejak tanda-tanda awal terdeteksi. Menurut Center for Research on the Epidemiology of Disasters (2013), dalam kurun waktu 1990-2010, bencana banjir merupakan jenis bencana yang paling sering terjadi di Indonesia yaitu sekitar 34% dari seluruh kejadian bencana, diikuti bencana gempa bumi, gunung api, tanah longsor dan epidemi penyakit (Gambar 2). Gambar 2. Kejadian bencana di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2010 (CRED, 2013) Kerusakan infrastruktur merupakan salah satu dampak yang diakibatkan oleh bencana sedimen. Infrastruktur yang umumnya mengalami kerusakan adalah pemukiman, jaringan jalan dan jembatan, jaringan listrik, badan air (sungai, drainase) dan fasilitas publik lainnya. Kerusakan ini dapat dihindari dengan penerapan konsep perbaikan sebelum bencana terjadi dan pemulihan infrastruktur fisik pasca bencana. 4
3.2. Manajemen risiko bencana sedimen Manajemen risiko merupakan proses pengukuran atau penilaian risiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko pada batasan tertentu. Manajemen risiko adalah proses dimana risiko dievaluasi sebelum strategi diperkenalkan untuk mengelola dan memitigasi ancaman. Pada awalnya, manajemen risiko secara keseluruhan dikelola oleh pemerintah secara nasional melalui penetapan undang-undang dan kebijakan. Namun pada perkembangannya, pemerintah secara aktif perlu mendorong keterlibatan masyarakat dan para pihak (stakeholders) dalam mitigasi bencana (Smith dan Petley, 2009). Kegiatan manajemen risiko bencana dapat berupa mitigasi struktural dan non struktural. Penataan infratruktur fisik merupakan salah satu kegiatan mitigasi struktural dalam manajemen risiko bencana sedimen. Perbaikan infrastruktur fisik tidak hanya dilakukan setelah terjadinya bencana sedimen, tetapi juga sebelum terjadinya bencana. Pemulihan dan pembangunan infrastruktur ditujukan untuk mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana sedimen terutama di daerah rentan. Pengurangan risiko bencana sedimen merupakan suatu kegiatan terintegrasi yang melibatkan semua elemen baik aparat pemerintah, kalangan swasta, masyarakat dan badan-badan terkait. Elemen masyarakat harus dapat mengakses berbagai informasi formal dan informal, sementara pemerintah mempersiapkan sarana, prasarana, dan sumber daya/dana yang memadai untuk pelaksanaan berbagai kegiatan perbaikan/penataan dan pemulihan infrastruktur fisik. Manajemen perbaikan/penataan serta pemulihan infrastruktur sebelum maupun setelah terjadinya bencana sedimen dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: a. Sebelum terjadinya bencana - Analisis dampak bencana, mempertimbangkan berbagai sumber bencana - Survey dan investigasi serta desiminasi informasi kepada para pihak - Penetapan perlu tidaknya tindakan perbaikan/penataan dengan mempertimbangkan hasil investigasi dan regulasi yang berlaku - Penetapan teknik pemulihan/penataan baik struktural maupun nonstruktural b. Setelah terjadi bencana - Penilaian kerusakan dan kerugian (damages and looses assessment) - Perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi - Pada kondisi tertentu dilaksanakan relokasi Gambar 3 menunjukkan kerangka berfikir bagaimana perbaikan/penataan sebelum bencana dan pemulihan infrastruktur setelah terjadinya bencana sedimen dapat dilakukan. 5
6
3.3. Regulasi dan perencanaan tata ruang dan wilayah Penegakkan peraturan dan kebijakan mengenai tata ruang dan penggunaan ruang untuk kawasan lindung di sempadan sungai maupun di daerah-daerah rawan bencana sedimen bermanfaat untuk mengatur kawasan-kawasan yang boleh dihuni maupun yang tidak boleh dihuni masyarakat. Kawasan perkotaan atau permukiman yang memiliki ancaman dan risiko bencana sangat tinggi sebaiknya perlu dievaluasi lebih lanjut untuk menentukan mitigasi struktural dan non-struktural yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadi kerusakan dan kerugian (damages and looses). Sebagai contoh, Gambar 4 menunjukkan rencana pemanfaatan pola ruang di Kota Yogyakarta. Pada daerah di kiri-kanan aliran sungai ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau / Sempadan Sungai, sehingga pembangunan pemukiman dan kegiatan usaha lainnya di daerah sempadan ini semestinya tidak mendapatkan ijin lingkungan. Apabila RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) ini dilaksanakan dengan penuh kesadaran maka risiko kerusakan infrastruktur fisik akibat bencana sedimen (banjir dan aliran lahar hujan) dapat dihindari. Gambar 4. Rencana pemanfaatan pola ruang di Kota Yogyakarta. 7
Beberapa peraturan/regulasi dalam penanganan bencana sedimen juga telah diberlakukan oleh kementerian terkait. Sebagai contoh adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Penetapan kawasan rawan bencana longsor dan zona berpotensi longsor didasarkan pada hasil pengkajian terhadap daerah yang diindikasikan berpotensi longsor atau lokasi yang diperkirakan akan terjadi longsor akibat proses alami. Gambar 5 menunjukkan tipologi zona berpotensi longsor berdasarkan hasil kajian hidrogeomorfologi (Permen PU No. 22 tahun 2007). Dengan demikian tingkat kemiringan lereng serta ketinggian suatu wilayah di atas permukaan laut mempengaruhi tingkat potensi longsor pada daerah tersebut. Pembangunan atau perbaikan infrastruktur fisik di wilayah tersebut juga harus mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Gambar 5. Tipologi zona berpotensi longsor berdasarkan hasil kajian hidrogeomorfologi (Permen PU No. 22 tahun 2007) Pada tahap berikutnya dalam menetapkan tingkat kerawanan dan tingkat risikonya di samping kajian fisik alami yang lebih detail, juga dilakukan kajian berdasarkan aspek aktifitas manusianya. Berdasarkan tingkat kerawanan ditetapkan 2 (dua) kelompok kriteria, yakni kelompok kriteria berdasarkan aspek fisik alami dan kelompok kriteria berdasarkan aspek aktifitas manusia. Masing-masing indikator tingkat kerawanan berdasarkan aspek fisik alami meliputi kemiringan lereng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, curah hujan, tata air lereng, kegempaan, dan vegetasi. Sedangkan terhadap indikator tingkat kerawanan berdasarkan aspek aktifitas manusia antara lain pola tanam, penggalian dan pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, pembangunan konstruksi, kepadatan penduduk, dan usaha mitigasi. 8
Dari uraian terkait regulasi di atas, dapat dipahami bahwa perbaikan dan pemulihan infrastruktur fisik pasca bencana tidak semata-mata difokuskan pada fisik bangunan/instrukturnya saja, tetapi juga harus mempertimbangkan tingkat kerentanan dan risiko bencana di wilayah tersebut. 4. Kesimpulan Dalam merencanakan kegiatan perbaikan/penataan infrastruktur fisik sebelum terjadinya bencana dan pemulihan infrastruktur fisik paska bencana, pemerintah sebagai penanggungjawab kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perlu mempertimbangkan banyak faktor mulai dari kondisi sumber bencana, kondisi fisik wilayah yang terkena bencana, kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terpapar, regulasi yang berlaku serta sumber dana yang tersedia. Masyarakat dan aparat terkait harus terlibat aktif dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi serta berhak terlibat dalam perencanaan dan proses pelaksanaanya sehingga proses rehabilitas dan rekonstruksi menjadi lebih efektif, transparan dan akuntabel. Tahap-tahap yang dilakukan secara terstruktur dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan salah satu upaya meningkatkan efektivitas dari kegiatan tersebut. Pelaksanaan kegiatan yang dikoordinasikan oleh badan penanggulangan bencana ini harus memasukkan unsur lingkungan hidup dan sosial budaya sehingga menjadi bagian dari pembangunan yang berkelanjutan dan mengurangi risiko dari dampak bencana di masa mendatang. Untuk menghindari terjadinya kerusakan dan kerugian infrastuktur fisik pasca bencana, perlu diterapkan konsep perbaikan/penataan infrastruktur fisik yang dianggap rentan sebelum bencana terjadi, sehingga diharapkan kerusakan dan kerugian serta timbulnya korban jiwa dapat dihindari. Perbaikan dan pemulihan infrastruktur fisik pasca bencana juga harus mempertimbangkan tingkat kerentanan dan risiko multi-bencana di wilayah tersebut. Daftar Pustaka Anonim, 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 tentang Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Anonim, 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Center for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), 2013 Document D2.2 Jakarta Floods Early Warning System (J-FEWS), Joint Cooperation Programme. Fathani, T.F., 2013. Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana. Bahan Kuliah. Magister Manajemen Bencana (MMB), Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Smith, K. dan Petley D. N., 2009. Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster, Fifth Edition. Routledge: New York USA. Undang-undang Republik Indonesia No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. 9