Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

dokumen-dokumen yang mirip
PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN SITUBONDO

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DUKUNGAN ANGGARAN DALAM RANGKA PENANGGULANGAN RISIKO BENCANA

KERENTANAN (VULNERABILITY)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 62 TAHUN 2015

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB III LANDASAN TEORI

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

GULANG BENCANA BENCAN DAERAH KABUPATEN KABUPATE MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS,

Imam A. Sadisun Pusat Mitigasi Bencana - Institut Teknologi Bandung (PMB ITB) KK Geologi Terapan - Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - ITB

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

2015, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

SINERGI PERGURUAN TINGGI-PEMERINTAHMASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada 6º LU 11º LS dan 95º BT - 141º BT, antara

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penetapan Undang-Undang tersebut

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN

Powered by TCPDF (

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN KENDAL

BUPATI BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PENDANAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 6 Tahun : 2013

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA Pemikiran untuk Kabupaten Kediri

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

I. Permasalahan yang Dihadapi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Bencana alam menjadi salah satu permasalahan kompleks yang saat ini

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Penger&an dan Ruang Lingkup Penanggulangan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana gempa bumi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan. Menurut Bakosurtanal, pulau di

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

Transkripsi:

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana Teuku Faisal Fathani, Ph.D. Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 1. Pendahuluan Wilayah Indonesia memiliki kondisi geomorfologi yang unik karena berada pada pertemuan empat lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia, Philippine dan Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki berbagai potensi bencana alam seperti gunung api, gempa bumi, tanah longsor, banjir, tsunami dan lain-lain. Kejadian tsunami di Aceh 2004, gempa bumi di Yogyakarta 2006 dan di Padang 2009, banjir di Wasior 2010, letusan Gunung Merapi 2010 serta bencana alam lainnya telah membuka kesadaran semua pihak untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Salah satu bagian siklus mitigasi bencana yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada infrastruktur fisik pasca terjadinya bencana. Kegiatan ini harus direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, agar perbaikan infrastruktur fisik dapat mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat. Di samping itu, infrastuktur fisik tersebut diharapkan memiliki ketahanan untuk menghadapi bencana alam yang mungkin terjadi di kemudian hari. Dalam rangka untuk melaksanakan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca bencana (Perka BNPB No. 11 Tahun 2008). Peraturan ini mengatur standar dan kebijakan dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi dan rekonstruksi bertujuan untuk mengembalikan kehidupan dan penghidupan korban kembali seperti kondisi normal. Dalam tataran pelaksanaan, diperlukan proses evaluasi untuk menyempurnakan prosesnya. Pemulihan infrastruktur fisik umumnya baru dilakukan ketika bencana telah terjadi yang mengakibatkan banyak infrastruktur mengalami kerusakan. Cara pemulihan seperti ini tentunya lebih berisiko karena kerusakan dan kerugian (damages and looses) bisa jadi sangat besar dan pemulihan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Untuk menghindari kerusakan dan kerugian tersebut, dalam makalah ini juga akan dibahas suatu konsep perbaikan/penataan infrastruktur fisik yang dianggap rentan terhadap bencana. Karena perbaikan dilaksanakan sebelum bencana terjadi, diharapkan kerusakan dan kerugian serta timbulnya korban jiwa dapat dihindari. 1

2. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Menurut Perka BNPB No. 11 Tahun 2008, rehabilitasi dan rekonstruksi memiliki tujuan yang sama namun berbeda pengertian. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Adapun rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana, dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Secara garis besar, rehabilitasi dan rekonstruksi memiliki tahapan yang tidak jauh berbeda, yaitu sama-sama merupakan tanggung jawab Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang terkena bencana dan juga dikoordinasikan oleh BNPB dan/atau BPBD sesuai dengan status dari bencananya. Gambar 1 menunjukkan konsep rehabilitasi dan rekonstruksi berdasarkan Perka BNPB No 11 tahun 2008. Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi sangat krusial melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak dan memerlukan dukungan dana. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tahap pasca bencana, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah (Pemda) bertanggung jawab atas keberlangsungan tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan oleh Satuan Kerja (Satker) Pemerintah Daerah atau lembaga lain yang terkait dengan BPBD sebagai koordinatornya. Rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan program dari Pemerintah Pusat dan Daerah sehingga anggarannya harus dialokasikan secara proporsional. Dalam kondisi anggaran yang mencukupi, Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan APBD untuk dana penanggulangan bencana. Tetapi jika APBD tidak memadai/mencukupi, Pemerintah Daerah diperkenankan untuk meminta bantuan dana ke Pemerintah Provinsi ataupun Pemerintah dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. 2

Bencana Pemerintah Kerusakan Program & Anggaran oleh Pemerintah BNPB/BPBD Rehabilitasi Rekonstruksi Sosialisasi dan Koordinasi Program Inventorisasi dan Identifikasi Kerusakan Perencanaan dan Penetapan Prioritas Melibatkan Masyarakat Eksekusi Lingkungan Hidup dan Sosial Budaya Upaya Pengurangan Risiko Monitoring dan Evaluasi Gambar 1. Konsep rehabilitasi dan rekonstruksi (Perka BNPB No. 11 Tahun 2008) 3

Pemerintah merumuskan prosedur utama guna menjamin efektivitas jalannya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, yang meliputi: a. Sosialisasi dan koordinasi program b. Inventarisasi dan identifikasi kerusakan/kerugian c. Perencanaan dan penetapan prioritas d. Pelaksanaan rehab-rekon e. Monitoring dan evaluasi 3. Konsep Pemulihan Infrastuktur Fisik: Aplikasinya pada Penanganan Bencana Sedimen 3.1. Bencana sedimen di Indonesia Bencana sedimen (banjir genangan, banjir bandang, tanah longsor, aliran lahar hujan dan lain-lain) sering terjadi di Indonesia terutama pada saat musim hujan. Bencana banjir genangan relatif dapat diprediksi terjadinya karena tanda-tanda awal seperti naiknya muka air di hulu maupun tingginya curah hujan pada daerah tangkapan air (catchment area) dapat dipantau dan dievaluasi. Berbeda halnya dengan bencana banjir bandang, tanah longsor dan aliran lahar hujan yang relatif pendek waktu kejadiannya sejak tanda-tanda awal terdeteksi. Menurut Center for Research on the Epidemiology of Disasters (2013), dalam kurun waktu 1990-2010, bencana banjir merupakan jenis bencana yang paling sering terjadi di Indonesia yaitu sekitar 34% dari seluruh kejadian bencana, diikuti bencana gempa bumi, gunung api, tanah longsor dan epidemi penyakit (Gambar 2). Gambar 2. Kejadian bencana di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2010 (CRED, 2013) Kerusakan infrastruktur merupakan salah satu dampak yang diakibatkan oleh bencana sedimen. Infrastruktur yang umumnya mengalami kerusakan adalah pemukiman, jaringan jalan dan jembatan, jaringan listrik, badan air (sungai, drainase) dan fasilitas publik lainnya. Kerusakan ini dapat dihindari dengan penerapan konsep perbaikan sebelum bencana terjadi dan pemulihan infrastruktur fisik pasca bencana. 4

3.2. Manajemen risiko bencana sedimen Manajemen risiko merupakan proses pengukuran atau penilaian risiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko pada batasan tertentu. Manajemen risiko adalah proses dimana risiko dievaluasi sebelum strategi diperkenalkan untuk mengelola dan memitigasi ancaman. Pada awalnya, manajemen risiko secara keseluruhan dikelola oleh pemerintah secara nasional melalui penetapan undang-undang dan kebijakan. Namun pada perkembangannya, pemerintah secara aktif perlu mendorong keterlibatan masyarakat dan para pihak (stakeholders) dalam mitigasi bencana (Smith dan Petley, 2009). Kegiatan manajemen risiko bencana dapat berupa mitigasi struktural dan non struktural. Penataan infratruktur fisik merupakan salah satu kegiatan mitigasi struktural dalam manajemen risiko bencana sedimen. Perbaikan infrastruktur fisik tidak hanya dilakukan setelah terjadinya bencana sedimen, tetapi juga sebelum terjadinya bencana. Pemulihan dan pembangunan infrastruktur ditujukan untuk mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana sedimen terutama di daerah rentan. Pengurangan risiko bencana sedimen merupakan suatu kegiatan terintegrasi yang melibatkan semua elemen baik aparat pemerintah, kalangan swasta, masyarakat dan badan-badan terkait. Elemen masyarakat harus dapat mengakses berbagai informasi formal dan informal, sementara pemerintah mempersiapkan sarana, prasarana, dan sumber daya/dana yang memadai untuk pelaksanaan berbagai kegiatan perbaikan/penataan dan pemulihan infrastruktur fisik. Manajemen perbaikan/penataan serta pemulihan infrastruktur sebelum maupun setelah terjadinya bencana sedimen dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: a. Sebelum terjadinya bencana - Analisis dampak bencana, mempertimbangkan berbagai sumber bencana - Survey dan investigasi serta desiminasi informasi kepada para pihak - Penetapan perlu tidaknya tindakan perbaikan/penataan dengan mempertimbangkan hasil investigasi dan regulasi yang berlaku - Penetapan teknik pemulihan/penataan baik struktural maupun nonstruktural b. Setelah terjadi bencana - Penilaian kerusakan dan kerugian (damages and looses assessment) - Perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi - Pada kondisi tertentu dilaksanakan relokasi Gambar 3 menunjukkan kerangka berfikir bagaimana perbaikan/penataan sebelum bencana dan pemulihan infrastruktur setelah terjadinya bencana sedimen dapat dilakukan. 5

6

3.3. Regulasi dan perencanaan tata ruang dan wilayah Penegakkan peraturan dan kebijakan mengenai tata ruang dan penggunaan ruang untuk kawasan lindung di sempadan sungai maupun di daerah-daerah rawan bencana sedimen bermanfaat untuk mengatur kawasan-kawasan yang boleh dihuni maupun yang tidak boleh dihuni masyarakat. Kawasan perkotaan atau permukiman yang memiliki ancaman dan risiko bencana sangat tinggi sebaiknya perlu dievaluasi lebih lanjut untuk menentukan mitigasi struktural dan non-struktural yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadi kerusakan dan kerugian (damages and looses). Sebagai contoh, Gambar 4 menunjukkan rencana pemanfaatan pola ruang di Kota Yogyakarta. Pada daerah di kiri-kanan aliran sungai ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau / Sempadan Sungai, sehingga pembangunan pemukiman dan kegiatan usaha lainnya di daerah sempadan ini semestinya tidak mendapatkan ijin lingkungan. Apabila RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) ini dilaksanakan dengan penuh kesadaran maka risiko kerusakan infrastruktur fisik akibat bencana sedimen (banjir dan aliran lahar hujan) dapat dihindari. Gambar 4. Rencana pemanfaatan pola ruang di Kota Yogyakarta. 7

Beberapa peraturan/regulasi dalam penanganan bencana sedimen juga telah diberlakukan oleh kementerian terkait. Sebagai contoh adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Penetapan kawasan rawan bencana longsor dan zona berpotensi longsor didasarkan pada hasil pengkajian terhadap daerah yang diindikasikan berpotensi longsor atau lokasi yang diperkirakan akan terjadi longsor akibat proses alami. Gambar 5 menunjukkan tipologi zona berpotensi longsor berdasarkan hasil kajian hidrogeomorfologi (Permen PU No. 22 tahun 2007). Dengan demikian tingkat kemiringan lereng serta ketinggian suatu wilayah di atas permukaan laut mempengaruhi tingkat potensi longsor pada daerah tersebut. Pembangunan atau perbaikan infrastruktur fisik di wilayah tersebut juga harus mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Gambar 5. Tipologi zona berpotensi longsor berdasarkan hasil kajian hidrogeomorfologi (Permen PU No. 22 tahun 2007) Pada tahap berikutnya dalam menetapkan tingkat kerawanan dan tingkat risikonya di samping kajian fisik alami yang lebih detail, juga dilakukan kajian berdasarkan aspek aktifitas manusianya. Berdasarkan tingkat kerawanan ditetapkan 2 (dua) kelompok kriteria, yakni kelompok kriteria berdasarkan aspek fisik alami dan kelompok kriteria berdasarkan aspek aktifitas manusia. Masing-masing indikator tingkat kerawanan berdasarkan aspek fisik alami meliputi kemiringan lereng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, curah hujan, tata air lereng, kegempaan, dan vegetasi. Sedangkan terhadap indikator tingkat kerawanan berdasarkan aspek aktifitas manusia antara lain pola tanam, penggalian dan pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, pembangunan konstruksi, kepadatan penduduk, dan usaha mitigasi. 8

Dari uraian terkait regulasi di atas, dapat dipahami bahwa perbaikan dan pemulihan infrastruktur fisik pasca bencana tidak semata-mata difokuskan pada fisik bangunan/instrukturnya saja, tetapi juga harus mempertimbangkan tingkat kerentanan dan risiko bencana di wilayah tersebut. 4. Kesimpulan Dalam merencanakan kegiatan perbaikan/penataan infrastruktur fisik sebelum terjadinya bencana dan pemulihan infrastruktur fisik paska bencana, pemerintah sebagai penanggungjawab kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perlu mempertimbangkan banyak faktor mulai dari kondisi sumber bencana, kondisi fisik wilayah yang terkena bencana, kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terpapar, regulasi yang berlaku serta sumber dana yang tersedia. Masyarakat dan aparat terkait harus terlibat aktif dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi serta berhak terlibat dalam perencanaan dan proses pelaksanaanya sehingga proses rehabilitas dan rekonstruksi menjadi lebih efektif, transparan dan akuntabel. Tahap-tahap yang dilakukan secara terstruktur dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan salah satu upaya meningkatkan efektivitas dari kegiatan tersebut. Pelaksanaan kegiatan yang dikoordinasikan oleh badan penanggulangan bencana ini harus memasukkan unsur lingkungan hidup dan sosial budaya sehingga menjadi bagian dari pembangunan yang berkelanjutan dan mengurangi risiko dari dampak bencana di masa mendatang. Untuk menghindari terjadinya kerusakan dan kerugian infrastuktur fisik pasca bencana, perlu diterapkan konsep perbaikan/penataan infrastruktur fisik yang dianggap rentan sebelum bencana terjadi, sehingga diharapkan kerusakan dan kerugian serta timbulnya korban jiwa dapat dihindari. Perbaikan dan pemulihan infrastruktur fisik pasca bencana juga harus mempertimbangkan tingkat kerentanan dan risiko multi-bencana di wilayah tersebut. Daftar Pustaka Anonim, 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 tentang Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Anonim, 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Center for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), 2013 Document D2.2 Jakarta Floods Early Warning System (J-FEWS), Joint Cooperation Programme. Fathani, T.F., 2013. Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana. Bahan Kuliah. Magister Manajemen Bencana (MMB), Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Smith, K. dan Petley D. N., 2009. Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster, Fifth Edition. Routledge: New York USA. Undang-undang Republik Indonesia No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. 9