BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penetapan Undang-Undang tersebut

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Bantuan logistik. Pedoman. Perubahan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pada tahun 2012 dan 2013 total kerusakan rumah yang terjadi di Kabupaten

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

BUPATI BANDUNG BARAT

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

PEDOMAN BANTUAN PERALATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN KENDAL

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

Powered by TCPDF (

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2083, 2014 BNPB. Bantuan Logistik. Penanggulangan Bencana. Pemanfaatan

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN SITUBONDO

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DUKUNGAN ANGGARAN DALAM RANGKA PENANGGULANGAN RISIKO BENCANA

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I P E N D A H U L U A N

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANDA ACEH

PEDOMAN BANTUAN LOGISTIK

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 58 TAHUN 2013 TENTANG SANTUNAN DAN BANTUAN SOSIAL BERUPA UANG UNTUK KORBAN BENCANA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

No.1087, 2014 BNPB. Badan Penanggulangan Bencana. Daerah. Pembentukan. Pedoman KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA,

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 7 TAHUN 2017 TENTANG

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR: 10 TAHUN 2010

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. subduksi yaitu pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 6 Tahun : 2013

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2015

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

KEPALA PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BECANA DAERAH KABUPATEN LAMONGAN. SUPRAPTO, SH Pembina Tingkat I NIP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 5 SERI E

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITR TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

2015, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 60 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSIRIAU NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 17 TAHUN2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

- 1 - WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

GULANG BENCANA BENCAN DAERAH KABUPATEN KABUPATE MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

PERATURAN WALIKOTA TEGAL

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 2 TAHUN : 2010 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGADA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 oleh Pemerintah Pusat merupakan suatu upaya untuk memperkuat keterlibatan Pemerintah Daerah dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penetapan Undang-Undang tersebut telah melahirkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai badan tertinggi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Pada tahun 2013 Indonesia terdiri dari 34 Provinsi, 410 Kabupaten, dan 98 Kota dengan karakter dan jenis bencana yang berbeda-beda. Banyaknya jumlah daerah dengan karakter bencana yang berbeda-beda, tentu saja dapat menjadi tugas berat bagi BNPB. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 Pemerintah Pusat mewajibkan setiap daerah untuk membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai sarana mendistribusikan kepentingan dan tanggung jawab penanggulangan bencana di tiap-tiap daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah dibentuk atas koordinasi Pemerintah Daerah dengan BNPB. Pembentukan BPBD juga sebagai upaya agar Pemerintah Daerah dapat menyesuaikan sistem penanggulangan bencana dengan karakter bencana masing-masing. Pembentukan BPBD juga dimaksudkan agar setiap Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dapat memperoleh informasi yang dijadikan landasan dalam pengambilan kebijakan terkait penanggulangan bencana. Daerah di Indonesia tidak seluruhnya memiliki karakter bencana nasional, tetapi cenderung memiliki karakter bencana lokal. Hal ini dikarenakan bencana yang terjadi hanya berdampak kecil terhadap stabilitas Pemerintahan di 1

2 masing-masing Daerah. Pemerintah Pusat menganggap bahwa dampak bencana yang kecil akan mampu diatasi oleh Pemerintah Daerah, sehingga tidak perlu ada intervensi dari Pemerintah Pusat. Menurut Coppola dalam Kusumasari (2014: 5), bencana lokal tidak dapat disebut sebagai bencana nasional jika satuan unit respons bencana Pemerintah Provinsi dan Pemerintah lokal/daerah mampu mengatasi semua konsekuensinya. Pada faktanya banyak daerah yang belum memiliki kemampuan untuk mengatasi kejadian bencana, meskipun bencana tersebut berdampak kecil bagi stabilitas pemerintahannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya yang dimiliki dan masih kurangnya kesadaran akan pentingnya kegiatan penanggulangan bencana. Kabupaten Kebumen merupakan salah satu daerah yang mewakili beberapa Kabupaten/ Kota di Indonesia dengan karakter bencana lokal. Berdasarkan jurnal indeks rawan bencana Indonesia yang telah dipublikasikan oleh BNPB, bahwa Kabupaten Kebumen menempati peringkat 12 dari 494 Kabupaten seluruh Indonesia sebagai daerah terawan. Kabupaten Kebumen memperoleh skor 113 dengan kelas kerawanan tinggi. Menurut data dan informasi bencana Indonesia yang dikeluarkan oleh BNPB (2013), terdapat 9 ancaman bencana yang terdapat di Kabupaten Kebumen. Ancaman bencana tersebut adalah tanah longsor, banjir, banjir dan tanah longsor, kekeringan, puting beliung, gempa bumi, gelombang pasang, kecelakaan industri, KLB dan tsunami. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2012, Kabupaten Kebumen mengalami 99 kali kejadian bencana, dengan mengakibatkan 28 orang meninggal, 103 luka-luka, 9 orang hilang, 15 orang menderita, 1.186 orang mengungsi, 919 rumah rusak berat,

3 403 rumah rusak ringan, kerusakan lahan 13.192 ha dan 11,07 km jalan menjadi rusak. Letak geografis Kabupaten Kebumen berada pada jalur lempeng Indo- Australia dan lempeng Eurasia, dapat dipastikan menjadi wilayah yang rawan terhadap ancaman bencana gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Tingginya ancaman yang tidak diimbangi oleh penguatan kapasitas masyarakat akan meningkatkan kerentanan masyarakat. Pengelolaan bencana merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Kabupaten Kebumen, tetapi paradigma berpikir masyarakat bahwa penanggulangan bencana hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Paradigma tersebut terbentuk karena kegiatan penanggulangan bencana bersifat responsif, sehingga Pemerintah Daerah tidak berupaya secara maksimal untuk menyadarkan masyarakat bahwa kegiatan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama. Konsep manajemen bencana dikenal tiga tahapan utama yaitu pra-disaster, during disasster, dan after disaster. Menurut Sudibyakto (2011: 126), setiap tahapan dalam manajemen bencana merupakan suatu siklus yang kontinyu, bertahap dan komprehensif. Pemerintah Kabupaten Kebumen membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) atas koordinasi BNPB sesuai amanat Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007. Badan Penanggulangan Bencana Daerah bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh BPBD sebagai kepanjangan tangan dari Bupati Kebumen, tentunya harus mengacu pada regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan

4 Pemerintah Provinsi. Mengacu bukan berarti harus saklek, tetapi menyesuaikan kegiatan yang dilakukan dengan karakter bencana yang ada tanpa melanggar regulasi yang ada. Hasil kinerja BPBD nantinya akan dijadikan landasan oleh Bupati Kebumen dalam mengeluarkan berbagai kebijakan untuk penanggulangan bencana yang lebih baik. Berbagai regulasi dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan kepala, peraturan pemerintah dan berbagai pedoman penyusunan rencana kerja penanggulangan bencana. Kondisi dilematis dialami oleh beberapa daerah termasuk Kabupaten Kebumen. Apabila kegiatan yang dilakukan berdasarkan regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, maka belum tentu sesuai dengan karakter bencana dan kemampuan yang dimiliki. Apabila kegiatan penanggulangan bencana disesuaikan dengan karakter bencana dan kemampuan yang ada, hingga saat ini belum terdapat peraturan seperti Peraturan Daerang Tentang Penanggulangan bencana sebagai dasar hukum. Menurut Parlan (2007: 8), pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah seringkali tidak diiringi dengan pengalihan tanggung jawab pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat. Menurut data kejadian bencana BPBD Kabupaten Kebumen, hingga saat ini belum terjadi bencana yang ditetapkan sebagai bencana provinsi maupun bencana nasional. Bencana yang terjadi di Kabupaten Kebumen cenderung memiliki karakteristik bencana lokal, bahwa bencana yang terjadi hanya dalam skala kecil tetapi menimbulkan dampak yang parah bagi korban bencana. Artinya, korban bencana hanya sedikit (di bawah 10 korban) namun kerusakan yang

5 ditimbulkan parah. Dampak yang ditimbulkan akibat bencana cenderung pada kerusakan fisik, lingkungan, dan infrastruktur. Kerusakan rumah masyarakat di Kabupaten Kebumen mendominasi kerusakan fisik yang diakibatkan oleh kejadian bencana. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPBD Kabupaten Kebumen, setidaknya dalam kurun waktu 2012-2013 terdapat 956 rumah masyarakat mengalami kerusakan akibat bencana. Kerusakan rumah cenderung didominasi oleh bencana tanah longsor dan angin kencang. Kerusakan rumah menjadi permasalah tersendiri bagi korban bencana maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen. Korban bencana telah kehilangan tempat berlindung dari berbagai hal, karena rumah merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Perbaikan rumah masyarakat pada daerah yang mempunyai karakteristik bencana lokal sebenarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, karena dianggap mampu untuk melakukannya. Otonomi daerah dapat dijadikan momentum untuk mengelola bencana sesuai karakter bencana yang dimilikinnya. Otonomi daerah seharusnya juga menjadi sarana untuk meminimalkan ketergantungan pada pemerintah pusat. Pemerintah Daerah berkewajiban untuk menyatukan rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan daerah. Belum adanya Peraturan Daerah tentang penanggulangan bencana di Kabupaten Kebumen, sebagai salah satu indikator belum seriusnya Pemerintah Daerah dalam melakukan penanggulangan bencana.

6 Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen mengatur pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat ke dalam Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2011. Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen hanya memberikan bantuan uang maksimal Rp 4.000.000,-. Pemberian bantuan untuk perbaikan rumah masyarakat diberikan sebagai bantuan stimulan pada kondisi darurat. Berdasarkan struktur organisasi dan tata kerja BPBD Kabupaten Kebumen terdapat bidang rehabilitasi dan rekonstruksi yang bertugas mengurusi kegiatan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana. Pada faktanya penanganan korban bencana yang mengalami kerusakan rumah hanya pada tahap tanggap darurat, sehingga kegiatan ini dilakukan oleh bidang logistik dan kedaruratan. Apabila kondisi kerusakan dapat dikatakan berat maka bidang tanggap darurat memberikan santunan maksimal Rp 2.000.000,- bahan makanan pokok, dan bahan bangunan. Tentu saja standar tersebut bertolak belakang dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2011 mengenai Tata Cara Pengajuan dan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial Berpola Hibah Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa perbaikan rumah penduduk pasca bencana dalam kualifikasi rusak sedang dan rusak berat berat dapat diteruskan pada tahap rehabilitasi dengan bantuan stimulan Rp. 10.000.000- Rp. 15.000.000. Selain bantuan dana korban bencana juga berhak memperoleh bantuan tenaga pendamping ahli dan pengawasan kegiatan. Keterbatasan sumber daya berupa dana dan pegawai dijadikan alasan mengenai tidak sesuainya bantuan yang diberikan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Pada sisi lain Kabupaten Kebumen tidak dapat meneruskan ke tahap

7 rehabilitasi dan rekonstruksi, karena syarat yang tertuang dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2011 untuk dapat mengusulkan kegiatan rehabilitasi perbaikan rumah masyarakat kepada BNPB harus membentuk kelompok masyarakat korban bencana yang berjumlah 10-20 korban. Selain itu syarat yang tidak terpenuhi oleh korban bencana Kabupaten Kebumen adalah kelompok masyarakat pengusul perbaikan rumah penduduk pasca bencana harus berada dalam satu lokasi dan satu rentetan peristiwa. Jumlah korban bencana dalam suatu peristiwa dan lokasi di Kabupaten Kebumen hanya kurang dari 10 orang. Berdasarkan berbagai masalah yang muncul akibat kebijakan bencana maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang implementasi kebijakan pemberian bantuan perbaikan masyarakat pasca bencana di Kabupaten Kebumen. 1.2 Permasalahan Penelitian Kabupaten Kebumen memiliki permasalahan-permasalahan yang menarik untuk dilakukan penelitian, salah satunya sebagai Kabupaten terawan bencana ke 12 nasional. Sebagai daerah yang rawan bencana seharusnya semua lapisan masyarakat memiliki peranan untuk melakukan penanggulangan bencana. Desentralisasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dimaksudkan agar Pemerintah Daerah ikut berperan aktif dan memunculkan kreativitas dalam penanggulangan bencana yang adaptif. Pada kenyataannya Pemerintah Daerah cenderung hanya sebagai implementor kebijakan dari pusat tanpa merumuskan kegiatan penanggulangan bencana sesua dengan karakter bencana yang dimiliki. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kebumen merupakan badan yang dibentuk untuk melakukan penanggulangan bencana.

8 Hasil kinerja yang dilakukan akan dijadikan pedoman dan informasi sebagai landasan Bupati Kebumen dalam menetapkan suatu kebijakan penanggulangan bencana. Pelaksanaan penanggulangan bencana yang dilakukan saat ini hanya mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Salah satu yang membuktikan hal tersebut adalah belum dimilikinya Peraturan Daerah mengenai Penanggulangan Bencana sebagai dasar hukum untuk menyesuaikan dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki. Peraturan Daerah setidaknya memberikan dasar hukum untuk berkreasi sesuai dengan karakter bencana yang dimiliki. Permasalahan serius yang dihadapi Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen adalah pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam hal ketersediaan sumber daya belum memadai dan belum menjadikan egiatan penanggulangan bencana sebagai prioritas. Pada tahun 2013 Pemerintah Daerah hanya mampu mengalokasikan dana bantuan sosial untuk korban bencana sebesar Rp 90.000.000,- atau 0,0060% dari APBD. Besaran dana yang dialokasikan mengindikasikan ketidakmampuan atau ketidakmauan Pemerintah Daerah dalam membantu korban bencana. Jumlah dan kesesuaian ketrampilan Tim Pelaksana Bantuan Sosial juga belum memadai. Hal ini dikarenakan BPBD Kabupaten Kebumen sebagai SKPD yang bertugas melakukan penanggulangan bencana baru berumur 3,5 tahun, sehingga jumlah pegawai belum maksimal dan kemampuan yang dimiliki bukan pada bidang kebencanaan. Kerusakan rumah yang tidak segera diperbaiki akan semakin memperparah kemisikin di Kabupaten Kebumen. Mayoritas korban bencana yang

9 mengalami kerusakan rumah merupakan masyarakat pada tataran ekonomi bawah. Masyarakat dengan kemampuan ekonomi bawah lebih cenderung menempati kawasan rawan bencan, karena untuk berpindah pada kawasan yang aman dari bencana memerlukan biaya yang cukup mahal. Penghasilan yang didapatkan oleh korban bencana kelas ekonomi bawah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Apabila tidak ada uluran tangan dari Pemerintah ataupun pihak lain maka kecil kemungkinan rumah yang rusaknakan dapat terbangun kembali. Kondisi dilematis dialami oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen, pada satu sisi mengalami keterbatasan sumber daya dan pada sisi lain tidak dapat mengajukan bantuan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Syarat untuk mengajukan bantuan perbaikan rumah masyarakat yang tertuang dalam Perka BNPB Nomor 14 Tahun 2011, Pemerintah Daerah harus membentuk kelompok masyarakat korban bencana yang berjumlah 10-20 korban. Selain syarat yang tidak terpenuhi oleh korban bencana Kabupaten Kebumen adalah kelompok masyarakat pengusul perbaikan rumah penduduk pasca bencana harus berada dalam satu lokasi dan satu rentetan peristiwa. Jumlah korban bencana dalam suatu peristiwa dan lokasi di Kabupaten Kebumen dibawah 10 orang. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu adanya penelitian tentang implementasi kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian ini pada nantinya dapat digunakan untuk menyusun strategi dalam meningkatkan pengelolaan bencana, terutama pada kebijakan pemberian bantuan rumah masyarakat pasca bencana di Kabupaten Kebumen.

10 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai implementasi kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi khususnya perbaikan perumahan dan permukiman sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tema yang diangkat pada penelitian sebelumnya salah satu diantaranya adalah tentang pendidikan darurat pasca bencana. Sebelum mengeluarkan kebijakan mengenai pendidikan darurat pasca bencana, sesuatu yang harus diperhatikan pemerintah adalah keberadaan sumber daya (Chand, V.S. dkk, 2004, Jurnal Springer Link). Keunggulan penelitian pada bidang pendidikan darurat pasca bencana adalah tercukupinya sumber daya akan mendorong terciptanya sistem pendidikan berbasis kearifan lokal daerah terdampak bencana. Namun penyelenggaraan pendidikan darurat pasca bencana sering terhambat oleh ketidakmampuan lembaga pemerintah dalam menyediakan kembali sarana dan prasarana pendidikan termasuk sarana pendukung lainya (Nasrudin, 2007, Tesis: Sekolah Pascasarjana UGM). Penelitian lain yang berkaitan dengan implementasi kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana adalah tentang perbaikan perumahan penduduk. Perawatan dan perbaikan perumahan yang memuaskan, akan mempersingkat tahap pemulihan dan meningkatkan kualitas hidup orang tua yang selamat dari gempa (Ardalan dkk, 2011, Jurnal Cambridge). Kebijakan pemulihan perumahan penduduk pasca bencana seharusnya juga mempertimbangkan aspek-aspek penting dalam kehidupan. Pembuatan kebijakan penggunaan lahan untuk pemulihan pasca bencana pemerintah harus mempertimbangkan beberapa faktor

11 yaitu keamanan dari ancaman bencana, kegiatan ekonomi, dan ekologi. (Lin, Y.J., dkk, 2010, Jurnal Springer Link). Pemulihan pasca bencana yang tidak mempertimbangkan kekuatan ekonomi lokal justru menimbulkan kemiskinan. Hal tersebut dapat memperparah kerentanan sosial dalam masyarakat terdampak bencana. Penilaian kerentanan sosial setidaknya dapat dijadikan sebagai informasi dasar untuk mengembangkan strategi untuk mencegah risiko yang lebih besar terhadap kerugian dan mengurangi kerentanan masyarakat. Terdapat tiga faktor pendorong utama yang mempengaruhi kerentanan sosial di Indonesia yaitu, status sosial ekonomi dan infrastruktur, jenis kelamin, usia, dan pertumbuhan penduduk, dan struktur keluarga. ( Siagian dkk, 2013, Jurnal Springer Link). Selain mempertimbangkan beberapa faktor di atas, dalam melakukan pemulihan pasca bencana perencana juga harus mempertimbangkan faktor budaya ( Chang dkk, 2006, Jurnal Springer Link). Beberapa penelitian mengenai perbaikan perumahan penduduk memiliki keunggulan yang berorientasi pada kegiatan pembangunan fisik, tetapi peneliti kurang memperhatikan faktor teknis. Padahal faktor bimbingan pemerintah, kemauan korban, dan kondisi pembangunan ekonomi merupakan faktor penentu yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan untuk mengembangkan permukiman desa terkonsentrasi pada tahap pemulihan pasca bencana ( Peng dkk, 2012, Jurnal Springer Link). Terbentuknya kelompok masyarakat selaku lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan rumah merupakan salah satu indikator adanya kemauan korban dalam menerima kebijakan

12 pemulihan perumahan penduduk ( Panjaitan, 2007, Tesis: Sekolah Pascasarjana UGM). Pada sisi lain adanya kelompok masyarakat selaku lembaga penanggung jawab dapat menimbulkan rendahnya budaya gotong royong pada kelompok masyarakat dalam melaksanakan program. Hal ini disebabkan karena masingmasing individu yang ada dalam kelompok masyarakat fokus pada penyelesaian dan pertanggungjawaban rumahnya (Wardani, 2009, Tesis: Magister Pengelolaan Bencana Alam UGM). Terlaksananya perbaikan perumahan penduduk pasca bencana juga tidak terlepas dari bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah. Pada saat perumusan kebijakan korban bencana seharusnya diberdayakan agar kebijakan yang diputuskan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan korban bencana. Apabila korban bencana tidak dilibatkan maka yang akan terjadi adalah perpecahan pada masyarakat korban bencana, karena kemampuan masing-masing korban bencana berbeda sedangkan isi kebijakan mengharuskan untuk menyamaratakan kemampuan. ( Maly dan Shiozaki, 2012, Jurnal Springer Link). Penelitian-penelitian yang dilakukan di atas pada intinya membahas pentingnya sumber daya dalam melaksanakan kebijakan pemulihan pasca bencana. Sumber daya hanyalah sebuah modal dasar untuk mengelola bencana dengan baik. Keberhasilan pengelolaan bencana bukan semata-mata karena kemampuan sumber daya yang dimilikinya, tetapi juga bagaimana pemimpin lokal dapat menggabungkan ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki oleh sumber daya untuk dapat bekerjasama dalam melakukan pengelolaan bencana. Keterampilan dalam hal ini juga menunjukkan hubungan antara keterampilan dan

13 pemegang keterampilan, seperti pola kerja sama dan saling mendukung. (Kusumasari dan Alam, 2011, Jurnal Springer Link). Kurangnya kerjasama ditunjukan oleh tidak adanya pengembangan dan perwujudan budaya kolektif pengambilan keputusan dalam perencanaan, kurangnya berbagi sumber daya, dalam melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana dan program secara terpadu dan transparan (Khan dan Rahman, 2007, Jurnal Springer Link). Akibat dari kurangnya kerjasama antar personal maupun lembaga dalam melaksanakan kebijakan pemulihan pasca bencana, maka dapat menimbulkan terjadinya tumpang tindih kegiatan/ program yang dilaksanakan oleh lembaga formal dengan lembaga donor ataupun NGO ( Surya, 2009, Tesis: MAP UGM). Perlu menjadi perhatian bahwa sebaik apapun isi kebijakan, dan setinggi apapun kualitas sumber daya yang dimiliki pelaksana kebijakan, tetapi jika koordinasi antar lembaga dan tahapan pemulihan bencana terputus maka dapat dipastikan implementasi kebijakan pemulihan pasca bencana akan gagal ( Sapountzaki dkk, 2011, Jurnal Springer Link). Penelitian-penelitian yang ditulis oleh peneliti di atas tidak ada satupun yang menyinggung tentang transaksi dan gesekan. Pada tahap pemulihan pasca bencana akan terjadi transaksi dan gesekan yang harus dipertimbangkan. Konsep transaksi dikembangkan dan penggunaannya sebagai alat kebijakan yang dieksplorasi, sedangkan konsep gesekan dan ketidakpastian diperkenalkan sebagai hambatan untuk efisien dan penyelesaian yang efektif dari transaksi yang diperlukan untuk pemulihan. Gesekan akan memperbanyak waktu dan biaya sumber daya, sementara ketidakpastian memperlambat penyelesaian transaksi-

14 transaksi dengan pemulihan pemangku kepentingan ( William, 2012, Jurnal Springer Link). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya terdapat beberapa kelemahan mengenai tidak terdapatnya penelitian yang membahas keseluruhan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, lembaga yang bertugas mengelola bencana belum dilembagakan secara permanen, dan para peneliti memiliki kecenderungan membahas pada bencana berskala provinsi dan skala nasional. Penelitian mengenai implementasi kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di Kabupaten Kebumen, yang akan dilakukan peneliti diharapkan mampu mengisi kelemahan beberapa penelitian di atas. Penelitian yang akan dilakukan peneliti akan membahas secara holistik mengenai kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana pada karakter bencana lokal. Subjek utama pada penelitian ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen yang diwakili oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah, di mana merupakan badan permanen yang dibentuk Pemerintah Daerah atas koordinasi BNPB. Melalui penelitian ini diharapkan menemukan solusi atas permasalahan pemberian bantuan perbaikan rumah pasca bencana pada daerah yang cenderung memiliki karakter bencana lokal. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian yang telah ditetapkan.

15 1.4 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana implementasi kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat Pasca Bencana di Kabupaten Kebumen? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana di Kabupaten Kebumen? 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Menganalisis hasil dan dampak implementasi kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana di Kabupaten Kebumen. 2. Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana di Kabupaten Kebumen. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis 1. Dapat memperbanyak literatur dalam melakukan penelitian terhadap bidang yang sama dalam hal kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana. 2. Dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi akademisi lain dalam melakukan penelitian pada bidang implementasi kebijakan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat pasca bencana, dengan tujuan memberikan kontribusi agar kegiatan perbaikan rumah masyarakat korban bencana di Kabupaten Kebumen pada khususnya, dan Indonesia pada umunya menjadi lebih baik.

16 1.6.2 Manfaat praktis 1. Manfaat Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pemahaman mengenai pemberian bantuan perbaikan penduduk pasca bencana, agar kiranya karya ini mampu menjadikan masyarakat ikut aktif dalam kegiatan pemberian bantuan perbaikan penduduk pasca bencana. 2. Manfaat Bagi Peneliti dan Pembaca Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca, yakni dalam memahami dan menganalisis suatu kasus pemberian bantuan perbaikan penduduk pasca bencana pada daerah yang mempunyai karakter bencana lokal.