BAB VI PENUTUP. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah : kepada oknum Dokter maupun Apoteker yang memang tidak mengindahkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini menganalisis tentang gap atau kesenjangan dari kebijakan

Pemberdayaan Apoteker dalam Peningkatan Efektifitas Pengawasan Iklan Obat Tradisional

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ketersediaan obat bagi masyarakat merupakan salah satu komitmen pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pokok yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN EFEKTIVITAS PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kasus Pelanggaran PP 51. (Anzari Muhammad )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, sedangakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan yang baik tentu menjadi keinginan dan harapan setiap orang, selain itu kesehatan dapat menjadi ukuran

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN EFEKTIVITAS PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman tentang perilaku konsumen dapat memberikan penjelasan

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. sering terjadi pada penggunaan antibiotik, baik dengan menggunakan resep

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DUKUNGAN PEMERINTAH DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN

Wimbuh Dumadi,S.Si.M.H.,Apt Ketua Pengurus Daerah IAI DIY. Yogyakarta, 14 April 2018

PP IAI 2014 PEDOMAN PELAKSANAAN GERAKAN KELUARGA SADAR OBAT PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya

KEBIJAKAN OBAT DAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. meningkatnya potensi risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes

PHARMACEUTICAL CARE. DALAM PRAKTEK PROFESI KEFARMASIAN di KOMUNITAS

i. membuat laporan pelaksanaan tugasnya sebagai bahan informasi dan pertanggungjawaban kepada atasan;

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT

TUJUAN. a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian. b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 9 Tahun : 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

2012, No Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu. 2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Elemen Penilaian PKPO 1 Elemen Penilaian PKPO 2 Elemen Penilaian PKPO 2.1 Elemen Penilaian PKPO Elemen Penilaian PKPO 3

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

BAB VI PENUTUP. menjalankan pengawasan PJAS, Dinas Kesehatan Kota Padang memiliki kesiapan

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO.

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Studi Pendahuluan dan Penentuan Jumlah Sampel Penelitian

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah : 1. Metode atau cara masyakarat untuk mendapatkan obat yang mengandung hormon prostagladin yang disalahgunakan sebagai media aborsi ilegal bermacam-macam. Antara lain adalah dengan cara pembelian langsung kepada oknum Dokter maupun Apoteker yang memang tidak mengindahkan etika profesi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Bunga dan Budi yang mendapatkan obat yang mengandung hormon prostagladin melalui pembelian langsung dengan perantara seorang teman Budi yang mengenal oknum Apoteker yang memperjualbelikan obat tersebut. Metode lain yang populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah melalui melalui Online Pharmacies. Metode tersebut memanfaatkan internet sebagai media jual beli. 2. Dengan adanya kemajuan teknologi, metode penjualan langsung untuk mendapatkan obat aborsi menjadi kurang dinimati karena resiko yang dihadapi begitu besar. Oknum pelaku penjual obat aborsi dewasa ini banyak yang beralih menggunakan adalah metode Online pharmacies. Namun hingga saat ini, Pemerintah belum menemukan metode yang efektif untuk mengawasi online pharmacies karena setiap dilakukan pemblokiran situs- 102

situs liar, maka dalam hitungan menit situs-situs liar tersebut sudah bermunculan kembali. 3. Terdapat gap atau celah dalam kebijakan Pemerintah tentang obat yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mengakses dan menyalahgunakan obat keras yang mengandung hormon prostagladin sebagai media aborsi ilegal dimana seharusnya obat keras hanya hanya dapat diperoleh berdasarkan resep dokter, namun pada kenyataan di lapangan fakta menunjukkan bahwa terdapat sebagian oknum apoteker yang memperjualbelikan obat keras, terutama yang mengandung hormon prostagladin tanpa disertai dengan resep dokter dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap undang-undang, yaitu pada Undang-undang No 419 tahun 1949 tentang Ordonasi Obat Keras pada pasal 3 ayat 1 dan Undang-Undang No 1 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Dalam menyikapi dua peraturan perundang-undangan tersebut terdapat perbedaan penafsiran dikalangan Apoteker, BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dimana sebagian pihak menafsirkan pasal tersebut sebagai pembenaran ketika Apotek atau Apoteker memperjualbelikan obat keras tanpa resep dokter asalkan yang menyerahkan obat tersebut adalah Apoteker. 4. Pengawasan terhadap Apotek dan Apoteker di Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh BPOM Yogyakarta dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta belum efektif. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya tindakan tegas oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta ketika terdapat temuan penjualan obat 103

keras tanpa resep dokter. Seringkali Apotek hanya diberikan sanksi berupa teguran lisan tanpa ada tindak lanjut dari penemuan pelanggaran tersebut. 6.2 Saran Dengan melihat permasalahan yang ada mengenai pengawasan peredaran dan penyalahgunaan obat keras yang mengandung hormon prostagladin sebagai media aborsi ilegal di Yogyakarta, maka peneliti memberikan saran agar dapat meningkat pengawasan dengan lebih baik lagi. Adapun saran dari peneliti adalah : 1. Pemerintah hendaknya melakukan revisi terhadap Peraturan Perundangundangan yang sudah lebih dari 50 tahun tidak direvisi. Seperti pada Undang-undang No 419 tahun 1949 tentang Ordonasi Obat Keras yang terakhir kali direvisi pada tahun 1949. Hal tersebut dikarenakan peraturan yang sudah lama dibuat dan direvisi dirasa sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat ini sehingga membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan penafsiran beragam. 2. Hendaknya diadakan koordinasi antar instansi seperti BPOM, IAI dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk menyamakan pandangan dan sikap tentang penyerahan obat keras tanpa resep. Dengan demikian, ketika terjadi temuan pelanggaran maka pihak terkait seperti Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tidak akan merasa berada di posisi yang serba salah dan dapat menindak dengan tegas sesuai dengan peraturan Perudang-undangan yang berlaku. 104

3. BPOM dan Dinas Kesehatan perlu menjalin kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika atau membentuk sub unit baru di instansi masing-masing tentang teknologi informasi untuk memantau dan melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang menjual obat aborsi karena oknum pelaku penjual obat aborsi dewasa ini telah banyak yang beralih dari metode penjualan langsung menjadi metode online pharmacies. 4. Pemerintah perlu menunjuk suatu instansi untuk mengawasi tindakan aborsi akibat pemerkosaan ataupun karena darurat medis. Karena apabila tidak diawasi secara detail, aturan pemerintah yang memperbolehkan dilakukannya aborsi karena pemerkosaan maupun karena darurat medis rawan untuk diselewengkan. 5. Apoteker dan Dokter sebagai garda terdepan dalam dalam akses masyarakat terhadap obat seharusnya lebih mementingkan keselamatan pasien dan mematuhi etika profesi dibandingkan dengan mengejar keuntungan penjualan semata. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada masyarakat tentang khasiat, penggunaan, efek samping yang mungkin timbul serta bahaya penyalahgunaan obat kepada masyarakat sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat diminimalisir presentasenya. 6. Ketika ingin melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri, masyarakat hendaknya melakukan konseling terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang dirasa lebih mengerti tentang hal-hal tersebut, seperti kepada Dokter, Apoteker dan tenaga kesehatan lainnya sehingga kesalahan pengobatan 105

(medication error) dapat diminimalisir seminimal mungkin. Selain itu, masyarakat juga dituntut untuk berlaku cerdas dalam mengkonsumsi dan menggunakan obat agar sesuai dengan dosis yang telah dianjurkan oleh dokter serta tidak membeli obat di tempat sembarangan. 106