UJI PENANAMAN DIPTEROKARPA DI JAWA BARAT DAN BANTEN

dokumen-dokumen yang mirip
Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 2 : (1999)

BAB I PENDAHULUAN. terutama Hutan Tanaman Industri (HTI). jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing) dari suku Dipterocarpaceae

KEADAAN UMUM. Letak dan Luas. Topografi, Iklim dan Jenis Tanah. Aksebilitas. Sarana dan Prasarana

USAHA KEBUN KAYU DENGAN JENIS POHON CEPAT TUMBUH

EVALUASI KETAHANAN HIDUP TANAMAN UJI SPESIES DAN KONSERVASI EK-SITU DIPTEROCARPACEAE DI RPH CARITA BANTEN

PEDOMAN PENGUNDUHAN BENIH PADA PANEN RAYA DIPTEROKARPA 2010

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1


I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan

PERTUMBUHAN TINGGI AWAL TIGA JENIS POHON MERANTI MERAH DI AREAL PT SARPATIM KALIMANTAN TENGAH

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK

UJI SPESIES MERANTI (Shorea spp) DI IUPHHK-HA PT. SUKA JAYA MAKMUR KABUPATEN KETAPANG

SELEKSI POHON INDUK JENIS MERANTI (Shorea spp) PADA AREAL TEGAKAN BENIH IUPHHK-HA PT. SUKA JAYA MAKMUR KABUPATEN KETAPANG

EKSPLORASI PENGUMPULAN MATERI GENETIK Shorea leprosula Miq. UNTUK POPULASI DASAR DAN POPULASI PEMULIAAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

STATUS DAN STRATEGIPEMULIAAN POHON EBONI (Diospyros celebica Bakh.)

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

HAMA URET PADA TANAMAN KAPUR (Dryobalanops lanceolata Burck)

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

Oleh/By : A.Syaffari Kosasih dan/and Nina Mindawati

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PENUNJUKAN DAN PEMBANGUNAN SUMBER BENIH. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P.

PENGELOLAAN KEBUN PANGKAS HIBRID ACACIA (A. mangium x A. auriculiformis) Sri Sunarti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

Amiril Saridan dan M. Fajri

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Cakupan bahasan. A. Status B. Progres C. Permasalahan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Asal populasi mempengaruhi kemampuan bertunas meranti tembaga

Peran PUP dalam Perencanaan Pengaturan Hasil untuk Mendukung Kelestarian Hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia

UJI PROVENANSI EBONI (Diospyros celebica Bakh) FASE ANAKAN

LATAR BELAKANG JATI PURWOBINANGUN 5/13/2016

PENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS 1

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kata kunci : Umur pertumbuhan, Dipterocarpaceae, mersawa, Anisoptera costata Korth

TINJAUAN PUSTAKA. Bibit Sungkai (Peronema canescens) Sungkai (Peronema canescens) sering disebut sebagai jati sabrang, ki

Demplot sumber benih unggulan lokal

Oleh/By : Deddy Dwi Nur Cahyono dan Rayan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna

Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 165; Telp , ; Fax Bogor 2)

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

ABSTRACT PENDAHULUAN. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. Vlll No. 2 : (2002) Arti kel (Article) Trop. For. Manage. J. V111 (2) : (2002)

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

EVALUASI AWAL KOMBINASI UJI SPESIES-PROVENAN JENIS-JENIS SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG DI GUNUNG DAHU, BOGOR, JAWA BARAT

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Analisis vegetasi tegakan benih pada tiga areal HPH di Kalimantan Timur

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

Peneliti, Divisi Litbang, PT. Musi Hutan Persada, Muara Enim, Sumatera Selatan 31171, Indonesia. Telp:

BAB I PENDAHULUAN. ekologi maupun sosial ekonomi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai

PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et.

PEMBANGUNAN KEBUN PANGKAS RAMIN (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) DI KHDTK TUMBANG NUSA, KALTENG

Pengamanan Plot STREK Melalui Tree Spiking Di KHDTK Labanan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN EVALUASI PERTUMBUHAN SENGON DAN JABON DALAM REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI DI TLOGOWUNGU PATI. Tujuan

PERBANYAKAN BIBIT POHON UNTUK REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

Oleh : Iskandar Z. Siregar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kering yang nyata, tipe curah hujan C F, jumlah curah hujan rata-rata 1.200

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG

Ngatiman dan Armansah

I. PENDAHULUAN. keunggulan dalam penggunaan kayunya. Jati termasuk tanaman yang dapat tumbuh

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

POTENSI TENGKAWANG DI KEBUN MASYARAKAT DUSUN TEM BAK, SINTANG, KALIMANTAN BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

UJI PENANAMAN DIPTEROKARPA DI JAWA BARAT DAN BANTEN Oleh: Atok Subiakto dan Putera Parthama RINGKASAN Sebagai jenis asli Indonesia yang kualitas dan nilainya sudah terbukti, semestinya jenis-jenis dipterokarpa menjadi pilihan untuk dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman komersial. Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa uji penanaman telah dilakukan di luar sebaran alami dipterokarpa, khususnya di Jawa Barat dan Banten. Tulisan ini mengungkap hasil-hasil uji penanaman tersebut dan menggali hal-hal yang dapat dipetik untuk mendorong pengembangan hutan tanaman dipterokarpa. S. leprosula, S. selanica dan S. macrophylla sangat berpeluang dikembangkan untuk kondisi tempat tumbuh seperti di Jawa Barat dan Banten. Beberapa jenis lain yang juga berpotensi, namun harus dibangun terlebih dahulu sumber benihnya ialah Shorea guisso, S. ovalis, S. gybertsiana, S. mecistopteryx, and S. palembanica. Jenis-jenis ini dapat mencapai diameter 50 cm dalam 30 tahun, bahkan sebagian diantaranya mencapai diameter tersebut pada umur kurang dari 30 tahun. I. PENDAHULUAN Pada tahun 1937, Proefstation voor het Boswezen yang sekarang menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) mulai melaksanakan penanaman jenis-jenis dipterokarpa hasil eksplorasi dari Sumatera, Kalimantan dan Maluku di Cikampek dan Pasirhantap, Jawa Barat. Pada akhir tahun 1955, uji penanaman jenis-jenis dipterokarpa telah dilaksanakan di delapan lokasi yaitu Darmaga, Cikampek, Pasirhantap, Haurbentes, Yanlapa, Pasir Awi, Cigerendeng dan Carita. Tujuan dari penanaman jenis-jenis dipterokarpa di Jawa Barat dan Banten adalah (1) menguji kemampuan adaptasi, (2) mempelajari riap tumbuh, (3) memperoleh pengetahuan teknis silvikultur pembibitan dan penanaman, dan (4) melaksanakan konsevasi ex situ jenis-jenis dipterokarpa pada lokasi yang relatif aman. Bibit yang digunakan pada uji penanaman ini menggunakan benih dari biji (perbanyakan generatif) yang dikumpulkan dari hutan alam di Sumatera, Kalimantan dan Maluku, serta sebagian diperoleh dari hasil eksplorasi yang dilakukan oleh Kebun Raya Bogor (Masano et. al., 1987). Pada tahun 1997, setelah berhasil mengembangkan teknologi perbanyakan masal stek pucuk, P3HKA kembali melakukan uji penanaman jenis-jenis dipterokarpa dengan

menggunakan bibit asal stek pucuk di Gunung Dahu, Leuwiliang, Jawa Barat. Namun demikian artikel ini hanya membahas uji penanaman dipterokarpa dengan bibit asal biji, sedangkan kajian penaman dipterokarpa dengan bibit asal stek akan dilaporkan secara terpisah. II. Deskripsi Lokasi Uji Penanaman Uji penanaman jenis-jenis dipterokarpa di Jawa Barat dan Banten dilakukan di kawasan hutan Perum Perhutani (Cikampek, Pasirhantap, Haurbentes, Yanlapa, Pasir Awi, Cigerendeng dan Carita) dan lahan milik P3HKA (Darmaga). Aksesibilitas menuju ke delapan lokasi pengujian tersebut relatif baik dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor (Gambar 1). Lokasi uji penanaman terdekat dari kampus P3HKA Bogor adalah Darmaga (sekitar 7 Km sebelah Barat Bogor), sedangkan lokasi yang terjauh dari Bogor adalah di Cigerendeng (sekitar 300 Km Tenggara Bogor). Deskripsi tempat tumbuh delapan lokasi uji penanaman di Jawa Barat dan Banten disajikan pada Tabel 1. Secara umum kondisi lingkungan lokasi uji penanaman cukup sesuai dengan habitat alami jenis-jenis dipterokarpa di Sumatera dan Kalimantan, yakni dicirikan oleh curah hujan tahunan relatif tinggi (>2500 mm/tahun) kecuali Cikampek dengan curah hujan 1891 mm per tahun. Ketinggian tempat bervariasi antara 50m hingga 650m diatas permukaan laut. Kondisi lahan sebelum penanaman umumnya berupa belukar yang didominasi oleh alang-alang (Alrasjid,2000). Petak tanaman berukuran 25m x 25m untuk setiap jenisnya. III. Kondisi Tegakan Saat Ini Jenis-jenis dipterokarpa yang diuji di delapan lokasi di Jawa Barat dan Banten sebanyak 45 jenis dari 6 genus. Jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah jenis dipterokarpa yang asli terdapat di Indonesia yakni sekitar 270 jenis. Jumlah jenis yang telah ditanam berdasarkan genusnya disajikan pada Tabel 2, sedangkan daftar jenis dipterokarpa yang telah ditanam di delapan lokasi serta informasi permudaan alaminya dan riap disajikan pada Lampiran 1. Pada umumnya tegakan jenis-jenis dipterokarpa di delapan lokasi uji penanaman terdiri dari pohon yang telah matang usia (diatas 50 tahun). Tegakan ini telah beradaptasi dengan baik dan menghasilkan anakan alam yang diameter setinggi-dadanya telah mencapai 20 cm. Anakan alam ini juga telah berbunga dan berbuah. Pada periode Januari sampai April tahun 2001, Hutan Penelitian Haurbentes menghasilkan buah tengkawang (S. macrophylla and S. pinanga) sebanyak 2 ton. Hasil buah tersebut telah dimanfaatkan untuk pembibitan dalam pembangunan hutan komersial.

Walaupun pohon induk dari penanaman awal jumlahnya telah berkurang, namun anakan alaminya cukup banyak sehingga kerapatan tegakan di delapan lokasi cukup tinggi. Pada saat penanaman, pada setiap petak hanya ditanam satu jenis, namun saat ini petak-petak penanaman telah berisi jenis campuran dipterokarpa yang tumbuh dari anakan alami yang berasal dari petak-petak yang berdekatan. Dari tinjauan hama dan penyakit, tidak dijumpai serangan yang serius di delapan lokasi uji penanaman. Namun demikian jenis S. javanica di pasir Awi dan Cigerendeng dilaporkan terserang penyakit kutil batang (gall diseases) (Ardikoesoema, 1954). Pertumbuhan tanaman S. javanica yang terserang penyakit kutil batang akan terhambat, namun setelah sekitar dua tahun akan pulih kembali. Buah tengkawang (S. macrophylla and S. pinanga) dilaporkan diserang ulat Pyralidae (Intari, 1993), tapi umumnya buah tengkawang tetap dapat berkecambah dan tumbuh walaupun kotiledonnya mengalami kerusakan. Buah dipterokarpa yang ukurannya lebih kecil seperti S. selanica juga dilaporkan terserang hama ulat Pyralidae, dan umumnya benih yang terserang tidak memiliki kemampuan untuk berkecambah (Natawiria et al, 1986). III. Informasi dan Pelajaran yang Dapat Diambil Tegakan dipterokarpa di delapan lokasi uji coba menunjukkan bahwa jenis-jenis dipterokarpa berpotensi untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan komersial. Kriteria utama dalam memilih jenis-jenis dipterokarpa untuk dikembangkan adalah kemampuannya untuk tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi setempat. Salah satu indikator bahwa jenis tersebut telah beradaptasi dengan baik ialah terjadinya proses regenerasi alami. Tegakan dipterokarpa di lokasi uji penanaman umumnya telah menghasilkan anakan alam, hal ini menunjukkan bahwa tegakan dipterokarpa dapat beradaptasi dengan baik di lokasi tempat pengujian. Oleh sebab itu lokasi-lokasi lain di Jawa Barat dan Banten yang memiliki kondisi tempat tumbuh seperti lokasi uji coba, dinilai sesuai untuk pengembangan jenis-jenis dipterokarpa. Karakter selanjutnya yang penting dalam memilih jenis target adalah kecepatan tumbuh. Semakin pendek rotasi tebang semakin menarik bagi investor untuk mengembangkan dipterokarpa sebagai hutan komersial. Umumnya diameter minimum yang diharapkan dalam pemanenan tegakan komersial adalah 50 cm atau dengan volume kayu sekitar 2,3 m 3. Jenis target diharapkan telah dapat mencapai diameter 50 cm dalam waktu antara 20-30 tahun atau dengan riap diameter tahunan antara 1,6 2 cm. Jenisjenis dipterokarpa di delapan lokasi umumnya memiliki batang tunggal yang lurus dengan ketinggian bebas cabang dapat mencapai 20 m. Pohon dengan diameter terbesar ada di Hutan Penelitian Haurbentes yaitu S. macrophylla umur 60 tahun dengan diameter setinggi dada 145,2 cm, volume kayunya mencapai 18 m 3. Pohon kedua terbesar di Haurbentes adalah S. leprosula umur 60 tahun dengan diameter setinggi dada 120 cm, volume kayunya mencapai 16 m 3 (Gambar 2). Dari data pertumbuhan 45 jenis dipterokarpa di delapan lokasi pengujian dapat dipilih tiga jenis utama sebagai jenis potensial di Jawa Barat dan Banten yaitu S.

leprosula, S. selanica dan S. macrophylla. Namun tempat tumbuh yang ideal untuk S. macrophylla adalah dataran rendah dan dekat dengan sungai. Dari kajian sebelumnya, ada beberapa jenis lain yang memiliki potensi untuk dikembangkan, namun harus dikembangkan terlebih dahulu sumber benihnya. Jenis-jenis tersebut adalah Shorea guisso, S. ovalis, S. gybertsiana, S. mecistopterix, and S. palembanica (Subiakto et al 2001; Anonim 1987). Jenis-jenis unggulan tersebut dapat mencapai diameter 50 cm dalam 30 tahun, bahkan sebagian diantaranya mencapai diameter tersebut pada umur kurang dari 30 tahun. Uji penanaman di delapan lokasi juga menunjukkan bahwa jenis-jenis dipterokarpa dapat ditanam dalam pola monokultur seperti pada umumnya hutan tanaman intensif. Petak-petak tanaman uji dipterokarpa ini walaupun belum menerapkan teknik silvikultur intensif dalam penanamannya, namun telah menunjukkan produktivitas yang tinggi. Di Darmaga dan Haurbentes, potensi volume kayu per pohon bervariasi antara 1,31 5,52 m 3 (Mindawati et al 2004a), kerapatan pohon pada tegakan yang dikelola dengan baik bervariasi antara 150 400 pohon per Ha (Mindawati et. al., 2004b). Oleh sebab itu taksiran potensi tegakan berdiri (standing stock) tegakan dipterokarpa yang dikelola dengan baik sebesar 400 600 m 3 /Ha adalah cukup realistik. Dilain pihak, potensi kayu komersial pada hutan alam virgin yang baik diperkirakan berkisar antara 50 100 m 3 /Ha (Suhendang, 1993). Regenerasi alami yang melimpah hampir di setiap lokasi uji penanaman menunjukkan bahwa kawasan Jawa bagian barat cukup sesuai untuk pembangunan sumber benih baik berupa tegakan benih maupun kebun benih. Jenis dipterokarpa yang terbukti unggul di Jawa Barat dan Banten dapat juga dikembangkan di Sumatera ataupun Kalimantan, namun harus memperhatikan kesesuaian kondisi lingkungan seperti curah hujan, ketinggian tempat dan jenis tanah seperti pada lokasi uji penanaman. Dari aspek genetik, pada saat dahulu dilakukan eksplorasi belum memperhatikan adanya variasi genetik dalam species (genetic diversity). Informasi yang tersedia sementara ini hanya terbatas pada provinsi atau pulau tempat dilakukannya koleksi benih, sedangkan informasi tentang pohon induk serta populasi rinci lokasi pengumpulan tidak tercatat. Oleh sebab itu, untuk perbaikan kualitas genetik, perlu dilakukan studi keragaman genetik untuk masing-masing jenis dari populasi yang ada di delapan lokasi uji coba. Dewasa ini tegakan dipterokarpa yang dimiliki P3HKA masih dimanfaatkan untuk berbagai tujuan termasuk plot penelitian, hutan pendidikan, dan sumber benih untuk program penanaman. Bahkan sebagian dari benih yang dihasilkan dikirim dan ditanam di Kalimantan, tempat asalnya dipterokarpa. Satu faktor penting yang menunjang sumber benih berkualitas di luar populasi alaminya adalah tegakan atau kebun benih relatif terisolasi sehingga tidak terkontaminasi oleh tepung sari yang tidak diketahui asal usulnya. Dengan semakin tingginya laju degradasi hutan alam, maka petak uji penanaman dipterokarpa juga berperan sebagai bentuk konservasi ek-situ dan sangat signifikan dalam

upaya penyelamatan jenis-jenis dipterokarpa. Beragam penelitian dapat dilakukan di lokasi uji penanaman dipterokarpa seperti riap dan pertumbuhan, biomas, fenologi, regenerasi alam, mikrobiologi, dan pengendalian hama penyakit. DAFTAR PUSTAKA Alrasjid, H. 2000. Sejarah dan pengalaman penanaman pembutan tegakan dipterocarpaceae di Jawa. In : Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999 (ed. Hardiyanto, E. B.) p 87 92. Anonim. 1987. Pertumbuhan beberapa jenis Eucalyptus spp. dan Shorea spp. Laporan penelitian pertumbuhan jenis Eucalyptus dan Dipterocarpaceae. Tahun Anggaran 1986/1987. Proyek Perencanaan dan Pengendalian Timber Estate Pusat. Bogor. Ardikoesoema, R.I. 1954. Tanaman Shorea javanica di Jawa. Pengumuman Balai Penyelidikan Kehutanan no. 42. Rimba Indonesia. 3:141-151. Intari, S.E. 1993. Pengendalian hama biji meranti dengan insektisida sistemik. Bul. Pen. Hut. 556:41-49. Masano, Alrasyid, H., and Hamzah, Z. 1987. Planting trial of dipterocarps species outrside their natural distributional range in the Haurbentes experimental forest, West java. In : Proceedings of the third round table conference on Dipterocarps (Kostermans, A.J.G.H., ed.). p 19-38 Mindawati, N., Hendromono, Hiratsuka, M., Toma, T., Morikawa, Y and Gitntings, N. 2004a. Tree trunk volumne of Shorea species case study in Darmaga and Haurbentes research forest in West Java, Indonesia. J. For. Res. 1(1):17-24 Mindawati, N., Heriansyah, I., Hiratsuka, M., Toma, T., Morikawa, Y., Gitntings, N., and Morikawa, Y. 2004b. Tree growth of dipterocarps plantation forest in Java, Indonesia. Info Hutan. I(2):53-58 Natawiria, D., Kosasih, A.S., and Mulyana, A.D. 1986. Beberapa jenis serangga hama buah Dipterocarpaceae. Bul. Pen. Hut. 472:1-8. Subiakto, A., Hendromono and Sunaryo. 2001. Ex situ conservation of dipterocarps species in West Java and Banten. In: In situ and ex situ conservation of commercial tropical trees. (Thielges, B.A., Sastrapradja, S.D., and Rimbawanto, A., eds). Faculty of Forestry, Gadjah Mada University. ITTO. Yogyakarta. 183-191 Suhendang, E. 1993. Estimating standing tree volume of some forest in Indonesia. Proceeding of the IUFRO conference. Morgantown, West Virginia, USA.

Gambar 1. Lokasi uji penanaman dipterokarpa P3HKA (1. Carita; 2. Haurbentes; 3. Yanlapa; 4. Pasirawi; 5. Darmaga; 6. Cikampek; 7 Pasirhantap; 8. Cigerendeng)

Tabel 1. Kondisi lingkungan lokasi uji coba di Jawa Barat dan Banten No Nama lokasi Jenis tanah Curah hujan (mm/year) Ketinggian (m d.p.l) Luas area (Ha) Tahun penanaman 1. Carita (Banten) Grey alluvial 3959 50 3000 1956 2. Haurbentes Red-yellow podzolic 3348 200 100 1940 3. Yanlapa Grey alluvial 2712 100 46 1953 4. Pasir Awi 5. Darmaga 6. Cikampek Brown-reddish latosol Brown-reddish latosol Brown-reddish latosol 4016 150 14 1938 3552 210 47 1954 1891 50 45 1937 7. Pasirhantap Brown latosol 3163 650 35 1937 8. Cigerendeng Grey & brown alluvial 2429 50 8 1939 Tabel 2. Jumlah jenis dipterokarpa yang ditanam atas dasar genusnya Genus Jumlah jenis Jumlah jenis ditanam Shorea 143 24 Parashorea 6 Tidak ada Anisoptera 7 1 Dipterocarpus 48 7 Dryobalanops 7 2 Hopea 48 8 Vatica 42 3 Total 301 45

Gambar 2. S. leprosula (kiri) dan S. macrophylla (kanan) umur 60 tahun di Haurbentes.