I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

ISBN : MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

TENGKAWANG PENGHASIL UANG TENGKAWANG PENGHASIL UANG ; KOMODITI HASIL HUTAN BUKAN KAYU SUMBER EKONOMI MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990, taman hutan raya (tahura) adalah

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

KONDISI SAAT INI RPPI 6. OBAT-OBATAN ALTERNATIF TANAMAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

SEBARAN DAN POTENSI POHON TENGKAWANG DI HUTAN PENELITIAN LABANAN,KALIMANTAN TIMUR

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 165; Telp , ; Fax Bogor 2)

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERTUMBUHAN BIBIT TENGKAWANG (Shorea spp) ASAL BIJI DARI POPULASI HUTAN ALAM KALIMANTAN DI PERSEMAIAN B2PD SAMARINDA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

POTENSI TENGKAWANG DI KEBUN MASYARAKAT DUSUN TEM BAK, SINTANG, KALIMANTAN BARAT

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MONITORING LINGKUNGAN

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang memiliki

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

PENTINGNYA PLASMA NUTFAH DAN UPAYA PELESTARIANNYA Oleh : DIAN INDRA SARI, S.P. (Pengawas Benih Tanaman Ahli Pertama BBPPTP Surabaya)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Studi Potensi dan Penyebaran Tengkawang (Shorea spp.) di Areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia dan menjadi salah satu pulau yang memiliki keragaman biologi dan ekosistem yang tinggi (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan didominasi oleh pohon-pohon yang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae yang memiliki nilai penting, baik ditinjau dari segi ekologi maupun ekonomi. Shorea sebagai genus terbesar dalam Famili Dipterocarpaceae, selain memiliki nilai ekonomi tinggi yang berasal dari kayunya, juga banyak dimanfaatkan untuk hasil ikutan atau hasil non kayu, seperti buah dan bijinya. Salah satu yang terkenal adalah tengkawang. Tengkawang adalah nama buah dari beberapa jenis Shorea yang dapat menghasilkan minyak lemak dengan nilai ekonomi tinggi yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan illipe nut atau Borneo tallow nut (Sidabutar dan Lumangkun, 2013). Dalam bidang industri, lemak tengkawang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku lemak pengganti coklat, minyak goreng, kosmetik dan farmasi (Anonim, 2011a). Walaupun secara umum buah tengkawang dipanen dari petak-petak kecil milik penduduk lokal yang disebut tembawang/gupung, buah ini masih banyak dikoleksi dari pohon-pohon yang berada di hutan alam (Setiawati dkk., 2012). Di Indonesia terdapat sekitar 13 jenis Shorea penghasil minyak tengkawang, yaitu Shorea stenoptera, S. 1

gyberstiana, S. pinanga, S. compressa, S. seminis, S. martiniana, S. mecistopteryx, S. beccariana, S. micrantha, S. palembanica, S. lepidota, S. singkawang, dan S. macrophylla (Heriyanto dan Mindawati, 2008). Meningkatnya laju kerusakan dan degradasi lahan hutan di Indonesia menjadi ancaman terhadap keanekaragaman jenis dan fungsi ekologis hutan tropika Indonesia. Demikian juga Shorea penghasil tengkawang, bukan hanya bijinya yang dipanen, kayu jenis ini pun mulai banyak yang ditebang, karena harga buahnya yang relatif rendah dan terdapat permintaan pasar akan komoditi kayu Shorea penghasil tengkawang yang meningkat seiring dengan semakin habisnya pohon penghasil kayu di Hutan Kalimantan (Heri, 2013). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, 13 jenis tengkawang yang berada di Kalimantan telah ditetapkan sebagai jenis kayu yang dilindungi di Indonesia dari kepunahan. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian jenis pohon penghasil tengkawang dan populasinya, diperlukan upaya-upaya konservasi, termasuk di dalamnya konservasi in-situ. Sampai dengan saat ini, banyak program reforestasi dan konservasi yang dilaksanakan tanpa pemahaman yang tepat tentang latar belakang genetik dari populasi hutan, seperti variasi genetik dan sistem perkawinan. Dalam jangka panjang hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pohon, pertumbuhan dan produksinya (Changtragoon, 2006). Pemahaman tentang prinsip dan konsekuensi dinamika struktur genetik, termasuk di dalamnya variasi genetik, baik spasial maupun temporal menjadi prasyarat utama bagi pengembangan strategi guna pelestarian sumberdaya genetik (Gailing dkk., 2

2003). Oleh karenanya, identifikasi terhadap seluruh variasi genetik jenis pohon penghasil tengkawang, khususnya pada hutan alam, merupakan langkah awal yang harus dilakukan guna menentukan strategi konservasi selanjutnya. Penggunaan penanda mikrosatelit yang bersifat kodominan yang mampu membedakan antara homozigot dan heterozigot secara jelas dan dapat menghasilkan variabilitas yang tinggi (Finkeldey dan Hattemer, 2007) diharapkan dapat mendeteksi seluruh variasi genetik yang terdapat pada spesies pohon yang akan diteliti, termasuk kemungkinan adanya alel-alel langka yang harus diselamatkan untuk kepentingan konservasi sumberdaya genetik jangka panjang. B. Rumusan Masalah S. macrophylla dan S. stenoptera merupakan jenis Shorea penghasil tengkawang yang umum dijumpai di Provinsi Kalimantan Barat. Jenis ini memiliki ukuran biji terbesar, sehingga menjadi penghasil utama lemak nabati (Anonim, 2012). Keberadaan Shorea penghasil tengkawang di Indonesia telah berangsur-angsur semakin langka dan mendekati kepunahan. Berdasarkan SK Menhut nomor 261/Kpts-IV/1990 tentang Perlindungan Pohon Tengkawang sebagai Tanaman Langka dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, ke-13 jenis Shorea penghasil tengkawang, termasuk S. macrophylla dan S. stenoptera telah dinyatakan sebagai jenis yang dilindungi dan tidak boleh dilakukan penebangan. Hal ini selaras dengan data red list IUCN (2014) yang menyatakan bahwa S. macrophylla 3

merupakan jenis pohon dengan status vulnerable (rawan), yang memiliki resiko tingkat kepunahan sebesar 10% dalam kurun waktu 100 tahun, sedangkan S. stenoptera dinyatakan dalam status endangered (genting), yang memiliki resiko kepunahan sebesar 20% dalam kurun waktu 20 tahun (5 generasi) (Frankham dkk., 2002). Selain tingginya praktik penebangan hutan di Indonesia, pemanenan buah tengkawang memberikan permasalahan tersendiri bagi regenerasi pohon jenis ini. Di samping itu, kandungan lemak yang tinggi dari buah tengkawang menjadi daya tarik bagi binatang-binatang pemangsa, termasuk babi hutan (Sus barbatus) untuk memakannya, sehingga semai hasil regenerasi dari jenis tengkawang sulit ditemui tumbuh secara alami (Ngatiman dan Susilo, 2009). Adapun semai yang mampu tumbuh diperkirakan akan memiliki kuantitas dan kualitas, termasuk variasi genetik yang semakin berkurang yang mengakibatkan pohon jenis ini rentan terhadap resiko kepunahan di masa mendatang. Bagi masyarakat Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sintang, tengkawang memiliki peranan cukup penting bagi perekonomian. Biji tengkawang yang dikenal juga sebagai illipe nut atau Borneo tallow nut memiliki berbagai kegunaan yang dapat menunjang kehidupan, sehingga hasil hutan non kayu ini dijadikan komoditi andalan, karena memiliki pasar yang cukup menjanjikan, baik dalam maupun luar negeri (Sidabutar dan Lumangkun, 2013). Sebagai penghasil utama tengkawang, S. macrophylla dan S. stenoptera telah banyak dibudidayakan pada lahan-lahan bekas kampung (tembawang) dan bekas ladang (gupung) yang pengelolaannya sarat dengan nilai ekonomi dan 4

konservasi (Anonim, 2011a). Selain itu, peran hutan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Sintang, terutama suku Dayak Inggar Silat yang mayoritas tinggal di Desa Sungai Buaya, mendorong mereka untuk memanfaatkan dan menjaga kelestarian hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Dengan demikian, eksploitasi terhadap pohon penghasil tengkawang di hutan menjadi berkurang, dan keberadaannya di hutan alam Desa Sungai Buaya, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang masih terjaga sampai dengan saat ini (Setiawati dkk., 2012). Sebagai salah satu habitat alami dari S. macrophylla dan S. stenoptera yang masih cukup terjaga kondisinya, hutan alam Desa Sungai Buaya memiliki potensi tengkawang yang tinggi. Untuk mempertahankan potensi tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya pelestarian, khususnya konservasi in-situ. Sebagai langkah awal dalam kegiatan konservasi dimaksud, variasi genetik dan persebarannya, baik secara spasial maupun temporal penting untuk diketahui. Dengan demikian, pertanyaan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah variasi genetik (sumberdaya genetik) pohon-pohon penghasil tengkawang di hutan alam Desa Sungai Buaya? 2. Bagaimanakah variasi genetik ini tersebar dari tingkat pohon, ke tingkat tiang, pancang, dan semai? 5

C. Tujuan 1. Mengetahui variasi genetik S. macrophylla dan S. stenoptera di dalam populasi hutan alam Desa Sungai Buaya. 2. Mengetahui variasi genetik S. macrophylla dan S. stenoptera pada tingkat pohon yang terdistribusi pada tingkat hidup pohon di bawahnya, yaitu tiang, pancang, dan semai. D. Manfaat Penelitian terhadap variasi genetik tengkawang diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar penentuan strategi konservasi sumberdaya genetik secara in-situ jenis Shorea penghasil tengkawang, yakni S. macrophylla dan S. stenoptera selanjutnya. 6