BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. berkebutuhan khusus ke dalam program program sekolah reguler. Istilah

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR PUSTAKA. A (Guru PLB). (2015, November 3). Wawancara pra penelitian tesis. (A. Safira, Pewawancara)

PELATIHAN INCREDIBLE TEACHER UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU DI SEKOLAH DASAR INKLUSI BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN. Mohammad Effendi. Pengantar Pdikopedagogik Anak Berkelainan.(Jakarta: Bumi Aksara. 2006). hlm 1

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan penegasan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa membedakan asalusul,

BAB I PENDAHULUAN. yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Namun terkait

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PENGUATAN EKOSISTEM PENDIDIKAN MELALUI BATOBO SEBAGAI OPTIMALISASI PENDIDIKAN INKLUSI DI PAUD

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

BAB V PENUTUP. kurikulum di sekolah inklusi antara SMP Negeri 29 Surabaya dan SMP Negeri. 3 Krian Sidoarjo. Dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

PERANAN RESOURCE CENTER SUKAPURA KOTA BANDUNG DALAM MENGOPTIMALKAN LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF ARTIKEL. Disusun untuk Memebuhi Salah Satu Syarat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pancasila, dan dituntut untuk menjunjung tinggi norma Bhinneka Tuggal Ika,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

PENGETAHUAN MAHASISWA PG-PAUD UNIPA SURABAYA TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF

PERAN GPK DALAM PELAYANAN SISWA ABK DI SEKOLAH INKLUSI PASCA DEKLARASIKAN PROVINSI BALI SEBAGAI PENYELENGARA PENDIDIKAN INKLUSI

BAB V PENUTUP. Akselerasi (Studi kasus di SMP Islam Pekalongan), maka dapat. 1. Desain pembelajaran PAI dalam program akselerasi.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan upaya yang lebih sinerji, memadai, terpadu dan berkesinambungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hayyan Ahmad Ulul Albab

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGOPTIMALKAN LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Temuan penelitian menggambarkan bahwa kondisi objektif implementasi

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam. Selain bahasa Inggris di SMA, SMK dan MA, peserta didik juga

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif sampai usia 6 bulan pertama

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kompetensi yang baik maka seorang guru terutama guru TK dapat memenuhi dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang masih. banyak ditemukan di setiap negara. Salah satunya adalah negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Guru adalah orang yang memiliki kemampuan merencanakan program

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak. terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. siswa aktif melakukan kegiatan yang bertujuan. Di jenjang sekolah menengah

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, sekolah dasar (SD) merupakan salah satu jenjang

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh peserta didik (in put), pendidik, sarana dan prasarana,

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan anak dan cara mendidik anak supaya anak dapat mencapai tahapan

BAB I PENDAHULUAN. pengamatan penulis di salah satu madrasah di Purbalingga, di mana kepala

BAB I PENDAHULUAN. diteliti, sedangkan The Political and Economics Risk Consultancy (PERC)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Inklusi merupakan istilah dalam dunia pendidikan yang menyatukan anakanak berkebutuhan khusus ke dalam program program sekolah reguler. Istilah inklusi juga dapat diartikan sebagai penerimaan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial, dan konsep diri sekolah, sehingga anak-anak berkebutuhan khusus dapat terlibat langsung dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh (Smith, 2014). Anak berkebutuhan khusus atau yang sering di singkat dengan ABK merupakan anak yang memiliki karakteristik yang berbeda dari anak pada umumnya. Meyatukan anak berkebutuhan khusus dengan anak reguler di sekolah merupakan upaya yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan pendidikan yang menghargai keberagaman dan tidak diskriminatif, hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003. Sistem penyelenggara pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki keistimewaan dalam fisik dan mental baik yang memiliki kekurangan ataupun yang memiliki kelebihan dalam kecerdasan/bakat istimewa untuk dapat mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas RI, 2009). Harapan yang di inginkan dengan adanya pendidikan inklusi di sekolah inklusi adalah anak berkebutuhan khusus di berbagai 1

2 daerah mulai mendapat mendidikan yang layak dan menyeluruh tanpa melihat keterbatasan yang dimiliki. World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah anak berkebutuhan khusus di indonesia 7-10% dari total jumlah anak. Data tahun 2003, mencatat bahwa terdapat 679.048 anak mengalami kebutuhan khusus atau sekitar 21,42% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2010). Sedangkan dari badan pusat statistik nasional tahun 2007 mencatat terdapat 82 juta jiwa anak dari 231 juta jiwa penduduk indonesia, dimana sekitar 8,3 juta jiwa diantaranya adalah anak berkebutuhan khusus (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Sekarang ini, hampir setiap provinsi di Indonesia sudah tersebar sekolah yang memberlakukan pendidikan inklusi, salah satunya yaitu di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Namun, sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi atau sekolah inklusi di Aceh masih sangat sedikit. Terdapat 9 kabupaten/kota dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh. Sedangkan anak berkebutuhan khusus terus meningkat setiap tahunnya terlebih setelah tsunami Aceh 2004 (Dinas Pendidikan Aceh, 2014). Tercatat jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 10 anak dari 100 anak, hal tersebut menunjukkan bahwa 10% populasi anak-anak adalah anak berkebutuhan khusus yang harus mendapatkan pelayanan, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan pendidikan (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Pelayanan pendidikan yang terjadi di Indonesia masih mengalami hambatan, hambatan yang terjadi selama ini adalah kurangnya pengetahuan guru

3 tentang anak berkebutuhan khusus, minimnya keterampilan guru dalam menangani ABK dan sikap guru terhadap ABK yang dilihat masih memandang sebelah mata (Baska & Stambaugh dalam Juwono & Kumara, 2011). Penyuluhan yang pernah dilakukan oleh Handicap Internasional di Aceh juga menunjukkan permasalahan yang sama yaitu kurangnya kemampuan guru dalam menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus, banyak guru yang bekerja hanya karena tanggung jawab atau tugas, bukan karena ikhlas, masih banyak sekolah yang belum menerima ABK di sekolah inklusi (Marlinda, 2013). Guru adalah seorang pendidik yang bertugas untuk mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik mulai dari usia dini sampai ke perguruan tinggi. Guru sebagai ujung tobak pendidikan yang dianggap pandai dan berwawasan, sehingga guru dapat memberikan ilmu yang bermanfaat dengan menididik anak tanpa membeda-bedakan (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa guru harus memiliki kompetensi di berbagai bidang ilmu terutama guru sekolah dasar sehingga guru tersebut dianggap sebagai guru yang berkompeten. Kompetensi guru adalah kemampuan melakukan tugas mengajar dan mendidik yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan (Sehartian, 1994). Menurut Suparlan, (2006) dan Mulyasa, (2007) dalam kompetensi guru terdapat pengetahuan, sikap penerimaan, keterampilan dan nilai-nilai yang ditujukkan guru dalam mengajar. Hal tersebut juga harus dimiliki oleh guru-guru disekolah inklusi, sehingga dalam menangani anak berkebutuhan khusus guru-guru memiliki kemampuan yang cukup memadai.

4 Guru harus memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang anak berkebutuhan khusus, memiliki sikap penerimaan yang baik dan memiliki keterampilan dalam mengajar sehingga semua anak dapat menerima pelajaran yang diberikan. Tamansyah (2009) menyebutkan kompetensi guru sekolah Inklusi adalah memahami maksud dan tujuan pendidikan inklusi diberlakukan, terampil dalam mengenali karakteristik anak, melaksanakan asesmen, diagnosis dan evaluasi pendidikan. Sedangkan guru-guru di sekolah inklusi tidak semua berlatar belakang dari pendidikan luar biasa, banyak guru reguler yang diminta untuk mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, banyak guru yang belum paham akan kondisi dan keberadaan anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah. Boer, Pijl, & Minnaer (2010) mengatakan guru reguler yang sudah terbiasa mengajar anak normal memberikan kontribusi penghambat bagi kesuksesan praktik pendidikan inklusi. Selain itu guru reguler menunjukkan sikap negatif terhadap potensi ABK dibandingkan guru dari latar belakang pendidikan luar biasa (Woolfson & Brady, 2009). Hal ini sesuai dengan fenomena yang terjadi di SD X. Guru A mengatakan bahwa permasalahan yang ada di sekolah tersebut adalah guru belum memiliki pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus termasuk kepala sekolahnya. Guru A merupakan guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa dan sudah bekerja selama 5 tahun sebagai guru inklusi di sekolah tersebut. Guru A mengajukan metode pembelajaran untuk ABK, namun ditolak oleh pihak sekolah karena menurut kepala sekolah ABK sudah memiliki guru pendamping sendiri jadi program pelajaran ABK di sekolah ditiadakan. Hasilnya sampai 5 tahun guru A mengajar belum ada perubahan dalam sikap guru di sekolah tersebut, mereka masih

5 menolak dan memberikan tanggung jawab tersebut kepada GPK anak masingmasing. Permasalahan lainnya adalah kurangnya keterampilan guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus di kelas. Kurangnya keterampilan guru tersebut disebabkan oleh minimnya pemahaman guru akan pentingnya mempelajari tentang anak berkebutuhan khusus. Guru hanya melakukan tanggung jawab sebagai pengajar bagi siswa-siswanya namun kurang mendalam dalam memahami permasalahan yang terjadi pada masing-masing siswa. Selain itu juga kurangnya pengalaman guru berinteraksi dengan ABK di sekolah sehingga guru lebih banyak mengandalkan GPK dalam setiap pembelajaran (A (Guru PLB), 2015) Sikap guru dalam menerima ABK juga dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti tingkat kesulitan ABK, sehingga tidak semua guru dapat menangani dan ada guru yang tidak mau mengajar di kelas tersebut. Guru yang mewajibkan setiap ABK untuk memiliki guru pendamping khusus (GPK) karena guru belum mampu dalam berinteraksi langsung dengan ABK di kelas (Y (Guru Kesedian), 2015). Hal serupa juga terjadi di sekolah inklusi Y dan Z, guru wali kelas 3 mengatakan bahwa guru-guru di sekolah tersebut belum memiliki keinginan untuk belajar tentang ABK, guru sepenuhnya memberikan tanggung jawab kepada guru pendamping khusus (GPK) pada masing-masing anak. Bila GPK tidak datang anakanak di minta untuk tidak sekolah pada hari tersebut bahkan guru meminta orang tua untuk menjemput anak (N (Wali Kelas 3 Guru Sekolah Y), 2015). Guru wali kelas 4 juga mengakui bahwa dirinya belum siap untuk mengajar ABK di kelas namun karena surat keputuan pemerintah bahwa sekolah ini menjadi sekolah

6 inklusi sehingga guru tersebut hanya bisa menerima saja. Pelatihan yang sering diadakan selama ini hanya mengirim satu orang dari sekolah, sehingga guru-guru lainnya belum dapat mengikuti dan mengetahui penanganan yang tepat kepada ABK (T( Wali Kelas 4 Sekolah Y), 2015) Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di kelas 3 sekolah X, guruguru terlihat kurang memberikan perhatian kepada ABK, guru hanya fokus pada pelajaran yang diberikan. ABK yang menangis diminta untuk keluar kelas oleh guru pendamping khusus (GPK). Pada kesempatan lain guru meminta kepada GPK untuk datang lebih awal kesekolah karena ABK di kelas menangis guru tidak mampu mendiamkan. Hasil wawancara dengan GPK juga menunjukkan hal serupa guru sering menganggap bahwa ABK di kelas menggangu sehingga diminta keluar kelas. Sekolah Y juga memberikan respon yang negatif terhadap ABK terkait penanganan, guru jarang menghampiri ABK di mejanya, guru mengajarkan ABK seperti mengajarkan anak reguler, dan jarang berinteraksi dengan ABK, hal tersebut dikarenakan guru masih menggantungkan harapan pada GPK. Pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah belum berjalan optimal karena belum adanya panduan dalam menangani ABK di skeolah, selama ini pelatihan yang diberikan lebih kepada pemahaman ABK tanpa penanganannya sehingga pihak sekolah juga belum dapat berbuat banyak. Hasil angket juga ditemukan bahwa dari 50 guru, 48 guru mengetahui tentang ABK, yang artinya 96% guru memahami definisi ABK. Namun dari 50 guru tersebut 9 guru (18%) merasa takut terhadap ABK, 18 guru (36%)

7 menganggap mereka adalah beban, 7 guru (14%) menganggap mereka menyenangkan dan 17 guru (32%) tidak menjawab. Faktor tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan tentang ABK (21 guru atau 42%) dan kemauan guru untuk belajar tentang ABK (3 Guru atau 6%) dan guru merasa ABK sebagai anak yang sulit diatur (26 guru atau 52%). Sedangkan upaya yang telah dilakukan guru selama ini adalah dengan mengikuti pelatihan, namun hanya 5 guru (10% guru) yang pernah mengikuti pelatihan tentang ABK sedangkan 45 guru (90 %) lainnya belum. Sedangkan respon guru terhadap pendidikan inklusi juga sangat sedikit, guru yang mengetahui tentang pendidikan inklusi ada 15 guru (30 %), namun meraka belum mengetahui bagaimana tentang pelaksanaan pendidikan inklusi seharusnya. Berdasarkan data angket, wawancara dan observasi yang telah dilakukan, hal tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan guru terhadap ABK sangat minim begitu juga dengan penerimaan dan keterampilan yang dimiliki. Sehingga terlihat jelas bahwa guru kurang memiliki kompetensi dalam mendidik anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi. Menurut Winter (2006) bahwa kesuksesan program inklusi tergantung pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dimiliki guru agar dapat menjadi guru yang efektif di sekolah inklusi. Kompetensi guru yang rendah dapat mempengaruhi efektifitas belajar di sekolah sehingga guru-guru sering dibekali dengan pelatihan, diklat dan seminar agar dapat lebih menunjang pemahaman, sikap dan keterampilan guru dalam menjalankan tugasnya (Musfah, 2011). Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk peningkatan kompetensi guru yaitu, penelitian yang dilakukan oleh Stella,

8 Forlin & Lan (2007) di Hongkong. Penelitian ini memberikan pemahaman kepada guru-guru mengenai peran dan tanggung jawab guru, pengetahuan mengenai keberagaman anak berkebutuhan khusus serta pengalaman berinteraksi dengan ABK. Pelatihan tersebut efektif untuk mengubah sikap guru dan menunjukkan peningkatan pemahaman guru tentang keberagaman ABK, peran dan tanggung jawab guru dalam mengajar ABK. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sharma, Forlin, & Loreman (2008) di Australia, Kanada dan Singapura mengenai sikap guru terhadap inklusi. Penelitian tersebut terbukti efektif menurunkan pandangan negatif guru terhadap anak berkebutuhan khusus dengan memberikan pelatihan kepada guru-guru. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Haifani (2011) mengenai sikap dan pengetahuan guru tentang anak berkebutuhan khusus. Penelitian tersebut mengacu pada pelatihan yang telah dilakukan oleh shrama (2008) materi pelatihan yang diberikan berupa pengantar, pengertian tentang inklusi, anak berkebutuhan khusus, identifikasi anak berkebutuhan khusus, modifikasi pembelajaran ABk, kolaborasi guru dan orang tua peserta didik dan penutup, pelatihan tersebut diberi nama guru peduli ABK, Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada peningkatan pengetahuan guru dan sikap penerimaan guru terhadap anak berkebutuhan khusus dan menyadari bahwa setiap anak berbeda. Penelitian lainnya dilakukan oleh Wahidah (2013) dengan memberikan pelatihan kepada guru untuk memahami dan membantu anak berkesulitan belajar. hasil penelitian tersebut memberi pengaruh kepada guru-guru agar lebih memahami kondisi anak dan dapat lebih banyak membantu anak dalam belajar. Kemudian Penelitian yang dilakukan oleh Tardi

9 (2011) di Nusa Tenggara Barat (NTB) penelitian tersebut diberi nama Pelatihan Guru Mengenai Pendidikan Inklusif. Adapun tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengembangkan kapasitas guru-guru sekolah dalam mengimplementai pendidikan inklusi di sekolah. Pentingnya kompetensi guru berupa pemahaman, penerimaan dan keterampilan dalam menangani anak berkebutuhan khusus dibuktikan dengan beberapa penelitian diatas, namun pada kenyataannya banyak guru yang belum memahami itu semua. Berdasarkan uraian di atas pengetahuan, sikap penerimaan dan keterampilan merupakan satu kesatuan yang harus dimiliki guru sehingga guru tersebut memiliki kompetensi yang baik dalam mengajar. Mulyasa (2007) mengatakan bahwa kompetensi guru merupakan hal penting dalam pendidikan yang dapat diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman. sehingga guru di skeolah inklusi seharusnya juga memiliki kompetensi dalam menangani anak berkebutuhan khusus, dan kompetensi Hal senada juga disebutkan oleh Musfah (2011) bahwa pelatihan yang diikuti oleh guru dapat meningkatkan pengalaman guru dalam mengajar dan mendidik. Terutama guru-guru yang kurang memiliki keterampilan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu peneliti merasa perlunya memberikan intervensi yang bernama pelatihan incredible teacher Pelatihan ini merupakan gabungan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dimiliki guru dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Pelatihan ini disusun dengan mengacu pada program pelatihan yang telah dilakukan oleh Sharma dkk (2008) dan Haifani (2011).

10 Sedangkan materi pelatihan mengacu pada Tardi (2011) dan dipadukan dengan prinsip kerja Acceptance and Commitment Therapy (ACT) yang disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan. Pelatihan ini lebih mengangkat pentingnya pemahaman guru tentang anak berkebutuhan khusus, dengan menerima anak berkebutuhan khusus dan mampu melakukan penanganan langsung ke pada ABK. Dalam penelitian ini peneliti ingin memberikan pemahaman kepada guru-guru tentang keanekaragaman peserta didik dan keterampilan dalam menangani peserta didik di sekolah. Pelatihan ini diberi nama Incredible Teacher yang artinya guru luar biasa. Guru merupakan panutan yang dapat contoh oleh peserta didik dan msyarakat sekitar. Guru juga di nilai dapat mendidik dengan kelembutan dan penuh kasih sayang namun tetap tegas. Mendidik siswa dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak baik menjadi baik dan menyadari bahwa semua peserta didik itu adalah titipan dan amanah kepada guru untuk diajarkan sebaik mungkin. Hal tersebut juga yang harus ada dalam kompetensi guru yang mengajar anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan permasalahan yang terjadi di sekolah adalah kurangnya kompetensi guru dalam penanganan anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu penelitian ini akan menguji efektifitas pelatihan incredible teacher untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi Banda Aceh.

11 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas pelatihan incredible teacher untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi Banda Aceh. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini antara lain: a. Memberikan sumbangan secara ilmu pengetahuan terutama psikologi pendidikan berupa pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus dalam sebuah pelatihan. b. Memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi mengenai anak berkebutuhan khusus melalui incredible Teacher 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para guru dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kompetensi guru telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian melihat kualitas hubungan antar variabel seperti penelitian yang dilakukan oleh Mulyanto (2008) yang mengukur hubungan antara kompetensi profesional guru dan konsep diri dengan kinerja guru kelas V SD, Yuliyani (2010) Hubungan antara pengalaman mengajar dan motivasi mengajar dengan kompetensi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan di SMA, Rangkuti & Anggaraeni (2005) hubungan persepsi tentang kompetensi profesinal guru

12 matematika dengan motivasi belajar matematika SMA, dan penelitain yang dilakukan oleh Sa'idah (2014) yang melihat hubungan antara kecerdasan emosi dan pengetahuan tentang ABK dengan kompetensi guru di sekolah inklusif. Penelitian lainnya tentang kompetensi adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi guru yaitu seperti penelitian yang dilakukan oleh Saripudin (2014) dan Kartini (2011). Penelitian lainnya yaitu Zulfija, Indira, & Elmira (2013) yang meneliti tentang kompetensi profesional guru sekolah inklusi Hasilnya menunujukkan bahwa guru-guru masih merasa kesulitan dengan adanya pendidikan inklusi, hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman akan pendidikan inklusi dan pelaksanaannya serta keterampilan yang belum dikuasai. Penelitian Bukvic (2014) mengukur kompetensi guru dalam pendidikan inklusi pada mahasiswa pendidikan luar biasa dalam hal kompetensi dan pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus. Penelitian lainnya dilakukan oleh Nugraha & Aldias (2014) pengaruh kompetensi pedagogik guru terhadap prestasi belajar siswa, Yayuk penelitiannya tentang pemataan kompetensi guru SD dalam mengelola pembelajaran anak berkrbutuhan khusus di sekolah inklusi, Balqis, Usman, & Ibrahim (2014) yaitu kompetensi pedagogik guru dalam meningkatkan motivasi belajar siswa SMP. Penelitian Dewanty (2012) mengkaji bagaimana performative competence guru dalam menangani ABK di sekolah inklusi yang menunjukkan hasil bahwa latar belakang pendidikan guru yang bukan dari pendidikan luar biasa memiliki kompetensi guru sangat rendah. Penelitian mengenai peningkatan kompetensi guru juga pernah dilakukan oleh Rudiyati

13 (2013), melalui pembelajaran kolaboratif yang terbukti dapat meningkatkan kompetensi guru dalam penanganan anak berkebutuhan khusus. Penelitian Rapisa (2012) meneliti tentang tugas, wewenang, dan formulasi kompetensi guru pendidikan khusus di sekolah inklusi. Ada pula penelitian Rahmawati (2014) yang meneliti tentang pemahaman guru dalam memberi layanan kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Penelitian lainnya yaitu Yama (2015) Penelitian tentang pelatihan penanganan ABK diantaranya Penirumidah (2014) yang melakukan pelatihan kepada orang tua ABK dalam menangani masalah belajar. Penelitian Wahidah (2013) pelatihan untuk meningkatkan pemahaman guru kelas dalam membantu ABK belajar. dalam meningkatkan pemahaman guru kelas. Penelitian Rudiyati, Pujaningsih, & Ambarwati (2010) bertujuan untuk menghasilkan suatu model penanganan anak berkesulitan belajara berbasis akomodasi pembelajaran. Penelitian Mumpuniari & Rahmawati (2012) yaitu berupa pelatihan yang diberikan untuk meningkatkan pengetahuan guru dengan menggunakan model akomodatif pada siswa pra sekolah yang memiliki kategori ABK. Berdasarkan beberapa penelitain di atas belum terlihat adanya penelitian yang dilakukan kepada guru-guru dalam meningkatkan kompetensi guru dalam menangani ABK di sekolah inklusi sehingga peneliti tertarik melakuakan penelitian berupa pelatihan yang diberi judul incredible teacher untuk meningkatkan kompetensi guru di sekolah inklusi.