Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

dokumen-dokumen yang mirip
PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR

No bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. De

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 14TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu panas bumi.htm

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 12 TAHUN 2008 PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH (PPNSD) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TENGAH

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA. dan GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

WALIKOTA BAUBAU PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

Transkripsi:

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian sumber daya hutan. Media memberitakan terjadinya kebakaran hutan besar-besaran di Riau, kasus-kasus pembalakan liar, penebangan hutan yang berlebihan, konversi hutan dan lain sebagainya. Kejahatan di bidang kehutanan ini tidak hanya menimbulkan kerugian bagi Negara tetapi juga telah merusak kehidupan social budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar karena perusakan hutan menimbulkan dampak meningkatnya pemanasan global. Upaya untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan melalui penegakan hukum pidana memerlukan kerjasama penegak hukum, peraturan perundang-undangan yang mendukung, dan peran serta masyarakat. Dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan jo. UU No 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi UU telah dirumuskan mengenai tindak pidana kehutanan. Sebagai pelengkap UU Kehutanan, diundangkan UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang mengatur mengenai tindak pidana perusakan hutan. Penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan dilakukan oleh Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri 1 Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Hal 55

Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan. II. RUMUSAN MASALAH Penelitian ini mengangkat permasalahan bagaimana peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) dalam penyidikan tindak pidana kehutanan menurut UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan jo UU No 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi UU dan UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan? III. METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Berdasarkan permasalahan yang diangkat dan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis normatif. 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa hasil penelitian dan karya ilmiah, maupun literature-literatur yang berkaitan dengan materi penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, oleh karena itu data yang diperlukan sebagai bahan analisis dikumpulkan melalui studi kepustakaan yaitu melakukan penelitian terhadap data sekunder. 4. Teknik Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini diolah dan dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu hendak menggambarkan data Hal 56

yang diperoleh dan memberikan penjelasan terhadap data yang ada sehingga dapat memberikan gambaran bagaimana peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) dalam penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan sebagaimana diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan jo UU No 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi UU dan UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan mengatur bahwa Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang berbunyi penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil kehutanan diberi wewenang khusus oleh Undang-undang yaitu pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Hal 57

Kemudian dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan, dijelaskan bahwa Polisi Kehutanan yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang, dapat diangkat menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; g. membuat dan menanda-tangani berita acara; Hal 58

h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam PP No 45 tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan disebutkan bahwa yang dimaksud Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undangundang diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Selanjutnya dalam Pasal 38 disebutkan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan merupakan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi kehutanan pusat atau daerah, yang oleh dan atas kuasa undang-undang memiliki wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Wilayah hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil instansi kehutanan pusat atau daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan wilayah administrasi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Penunjukan Pegawai Negeri Sipil Instansi Kehutanan untuk diangkat sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilakukan oleh Menteri atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan status kepegawaiannya. Berdasarkan penunjukan, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diusulkan oleh Menteri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada pejabat yang berwenang untuk diangkat sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penempatan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang telah diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan Hal 59

dengan Keputusan Menteri atau Gubernur atau Bupati sesuai dengan status kepegawaiannya. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam hal tertentu dapat secara langsung menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi terkait dan tembusannya kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Hasil penyidikan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan diserahkan kepada Penuntut Umum sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada waktu melaksanakan penyidikan atas tindak pidana kehutanan, apabila menemukan adanya perbuatan yang patut diduga merupakan kejahatan atau pelanggaran yang bersifat pidana umum yang terkait dengan tindak pidana kehutanan, harus segera menyerahkan kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.(Pasal 39) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat melakukan penahanan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penahanan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil atas tersangka pelaku kejahatan di bidang kehutanan, harus dilakukan di rumah tahanan negara.(pasal 40) UU no 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur bahwa yang dimaksud dengan Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin Hal 60

yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.(Pasal 1 butir 3). Sedangkan yang dimaksud Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri. Dalam Undang-Undang tersebut juga dijelaskan yang dimaksud terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Undang-Undang tersebut diatur pula mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan. Sedangkan Pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak langsung maupun yang terkait lainnya. Hal 61

Upaya pemberantasan perusakan hutan menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya. Tindakan secara hukum meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dalam Undang-Undang tersebut juga diatur bahwa perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya. Pasal 29 UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur bahwa selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Penyidik PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan; Hal 62

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan; f. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan; h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan; i. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. membuat dan menandatangani berita acara dan suratsurat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan k. memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk wilayah kepabeanan. PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum setelah berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Pasal 33 menyebutkan bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup Hal 63

sebagaimana dimaksud, penyidik berwenang meminta kepada lembaga penyelenggara komunikasi untuk: a. membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau b. meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan perusakan hutan. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat atas permintaan penyidik untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Ketua pengadilan negeri setempat wajib memberikan izin untuk meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari penyidik. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan serta dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik. Pasal 35 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan. Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak surat permintaan diterima. Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil pembalakan liar selama proses penyidikan, penuntunan, dan/atau pemeriksaan berlangsung. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan Hal 64

penyidik, penuntut umum, atau hakim, pimpinan bank harus mencabut pemblokiran. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang: a. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada unit kerja terkait; b. meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas data keuangan tersangka; c. meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri; d. menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang; dan/atau e. meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. Alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan meliputi: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan/atau b. alat bukti lain berupa: i. informasi elektronik; ii. dokumen elektronik; dan/atau iii. peta. Pasal 38 mengatur bahwa Penyidik melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana perusakan hutan berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam. Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling lama Hal 65

3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam. Untuk mempercepat penyelesaian perkara perusakan hutan: a. penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikanberkas perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dimulainya penyidikan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari, b. dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari; c. penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak selesai penyidikan; d. untuk daerah yang sulit terjangkau karena factor alam dan geografis atau transportasi dan tingginya biaya dalam rangka penjagaan dan pengamanan barang bukti, terhadap barang bukti kayu cukup dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan e. instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli penguji dan pengukur kayu yang diminta penyidik dengan mempertimbangkan kecepatan untuk penyidikan. Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti hasil tindak pidana perusakan hutan, baik berupa barang bukti temuan maupun barang bukti sitaan, wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama, kelompok jenis, sifat, dan jumlah; b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai kayu hasil pembalakan liar; dan/atau Hal 66

d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan. Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di bawah penguasaannya. Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. melaporkan dan meminta izin sita; b. meminta izin peruntukan kepada ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan; dan c. menyampaikan tembusan kepada kepala kejaksaan negeri setempat. Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. melaporkan dan meminta izin sita; b. meminta izin lelang bagi barang yang mudah rusak kepada ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan; c. menyampaikan tembusan kepada kepala kejaksaan negeri setempat. Batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam, geografis, atau transportasi, dapat diperpanjang menjadi paling lama 14 (empat belas) hari. Ketua pengadilan negeri wajib menerbitkan atau menolak izin/persetujuan sita yang diajukan oleh penyidik paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak permintaan diterima. Ketua pengadilan negeri setempat, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti. Setiap pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dikenai sanksi administratif Hal 67

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peruntukan pemanfaatan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ditujukan untuk kepentingan pembuktian perkara, untuk pemanfaatan bagi kepentingan, pengembangan ilmu pengetahuan; untuk dimusnahkan; dan/atau untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial. Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian. Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial. Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Hasil lelang kayu sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disimpan di bank pemerintah sebagai barang bukti perkara di pengadilan. Peruntukan barang bukti perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Barang bukti temuan hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dapat dilelang dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial. Barang bukti sitaan hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi. Hasil lelang barang bukti sitaan hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan di bank Pemerintah sebagai barang bukti perkara di pengadilan. Peruntukan Hal 68

barang bukti perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Barang bukti berupa kebun dan/atau tambang dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang telah mendapat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dikembalikan kepada Pemerintah untuk dihutankan kembali sesuai dengan fungsinya. Barang bukti berupa kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur sampai selesainya proses pemulihan kawasan hutan. Dalam hal barang bukti kebun dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat memberikan penugasan kepada badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perkebunan. Barang bukti berupa tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan kuantitas barang bukti yang berada dalam kapal atau alat angkut air lainnya dapat digunakan metode survei daya muat, metode pemeriksaan pembacaan skala angka kapal, atau metode lain yang lazim digunakan dalam bidang pelayaran. Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga yang telah mempunyai kualifikasi di bidangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai tata cara penyimpanan barang bukti hasil perusakan hutan yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan tata cara peruntukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri. Penyidik mengajukan permohonan lelang kepada ketua pengadilan negeri setempat terhadap barang bukti sitaan berupa kayu hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dan barang bukti temuan serta barang bukti sitaan berupa hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Hal 69

Pelaksanaan lelang terhadap barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Lelang Negara dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Pelaksanaan lelang oleh Badan Lelang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara terbuka setelah selesainya pengujian, penghitungan, dan penetapan nilai barang bukti oleh lembaga. Terhadap pihak terafiliasi, tersangka kasus perusakan hutan dilarang mengikuti lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pengujian, penghitungan, atau penetapan nilai barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan bersertifikat dari lembaga yang terakreditasi. Pasal 54 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. unsur Kementerian Kehutanan; b. unsur Kepolisian Republik Indonesia; c. unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan d. unsur lain yang terkait. Dalam Penjelasan Pasal 54 disebutkan bahwa yang dimaksud unsure lain yang terkait adalah antara lain kementerian terkait, unsur ahli, akademisi dan masyarakat. Pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas sebagai unsur pelaksana. Satuan tugas melaksanakan pemberantasan perusakan hutan yang bersifat strategis sejak penyelidikan sampai dengan penuntutan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk wilayah kepabeanan atas perintah kepala lembaga Hal 70

dan/atau deputi. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja lembaga diatur dalam Peraturan Presiden. Dalam penjelasan disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan terintegrasi adalah system informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud dengan antarlembaga penegak hukum antara lain adalah Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 6 (enam) bulan sekali. Lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 harus telah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sejak terbentuknya lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dalam penjelasan disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan terintegrasi adalah system informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud dengan antarlembaga penegak hukum antara lain adalah Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan. Hal 71

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 6 (enam) bulan sekali. Lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 harus telah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sejak terbentuknya lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Apabila dibandingkan, konsiderans penyusunan UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menitikberatkan pada pengurusan hutan yang berkelanjutan. Sedangkan UU No 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan titik beratnya adalah semangat untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan. Hal ini mengingat semakin canggih dan semakin kompleksnya tindak pidana di bidang kehutanan. Dewasa ini perusakan hutan tidak lagi sekedar dilakukan oleh orang perseorangan, tetapi telah melibatkan korporasi dan dilakukan secara terorganisir. Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan, tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundangundangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera kepada pelakunya. Hal 72

UU No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan maupun UU No 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan memberikan wewenang kepada Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) dalam penyidikan tindak pidana kehutanan. Apabila dibandingkan maka kewenangan yang diberikan kepada PPNS dalam UU No 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan lebih luas. Hal ini mengingat bahwa tindak pidana perusakan hutan tidak lagi dilakukan oleh orang perseorangan tetapi melibatkan korporasi dan dilakukan secara terorganisir. Undang-undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya. Selain Penyidik Polri dan PPNS, ke depan kewenangan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan juga ada di tangan lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Undang-Undang menghendaki lembaga ini telah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Undang-undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri atas unsur kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan unsur Hal 73

terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan wakil masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi. Sejak terbentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Sedangkan tindak pidana perusakan hutan terorganisasi yang sedang dalam proses hukum, tetap dilanjutkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya sampai diperoleh kekuatan hukum tetap. V. KESIMPULAN UU No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan maupun UU No 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan memberikan wewenang kepada Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) dalam penyidikan tindak pidana kehutanan. Apabila dibandingkan maka kewenangan yang diberikan kepada PPNS dalam UU No 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan lebih luas. Hal ini mengingat bahwa tindak pidana perusakan hutan tidak lagi dilakukan oleh orang perseorangan tetapi melibatkan korporasi dan dilakukan secara terorganisir. Mengingat modus operandi tindak pidana perusakan hutan yang semakin kompleks maka sangatlah tepat jika PPNS diberikan kewenangan yang luas. Selain Penyidik Polri dan PPNS, ke depan kewenangan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan juga ada di tangan lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Undang-Undang menghendaki lembaga tersebut telah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak diundangkan. Hal 74

DAFTAR PUSTAKA Budi Riyanto, 2004, Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan Di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, bogor Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan Hal 75