MAKALAH PUBLIKASI ILMIAH PERBEDAAN KADAR SGOT, SGPT DAN GAMMA GT PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR DENGAN KELASI BESI DEFERASIROX DAN DEFERIPRONE

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012).

TESIS. Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister. Program Studi Kedokteran Keluarga. Minat Utama Ilmu Biomedik

thiobarbituric acid (TBA) tidak spesifik untuk MDA (Montuschi et al., 2004; Singh, 2006; Rahman et al., 2012). Isoprostan (IsoPs) adalah

BAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B

1 Universitas Kristen Maranatha

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN DENGAN KREATININ SERUM PADA PASIEN THALASSEMIA DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

1 Universitas Kristen Maranatha

Hubungan Kadar Feritin Dengan Aktivitas Enzim SGOT Dan SGPT Pasien Thalasemia Di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. yang ditandai dengan berkurangnya sintesis rantai. polipeptida globin (α atau β) yang membentuk

Hubungan antara Kadar Feritin dengan Kadar BUN-Kreatinin pada Pasien Talasemia Beta Mayor di RSD dr. Soebandi Jember

GAMBARAN HEMATOLOGI RUTIN, TES FUNGSI HATI, DAN TES FUNGSI GINJAL PADA PASIEN PREEKLAMPSIA, EKLAMPSIA, DAN HIPERTENSI GESTASIONAL DI RS

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan,

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

HUBUNGAN ASUPAN MAGNESIUM DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA DI SUKOHARJO SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

BAB III METODE PENELITIAN. cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

Perbedaan Kadar Thyroid Stimulating Hormone dan Free Thyroxine pada Pasien Talasemia Β-Mayor dengan Kelasi Besi Deferasirox dan Deferiprone

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. fosfolipid dan asam asetoasetat (Amirudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR TRIGLISERIDA PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES

BAB III METODE PENELITIAN. dalam waktu yang bersamaan (Sastroasmoro, 2008). Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisis RSUD Dr.

ABSTRAK. UJI VALIDITAS INDEKS MENTZER SEBAGAI PREDIKTOR β-thalassemia MINOR DAN ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA POPULASI ANEMIA HIPOKROM MIKROSITER

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bertingkat dengan empat dosis tidak didapatkan kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemberian OAT fase awal di BP4 (Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru)

ABSTRAK. GAMBARAN VALIDITAS INDEKS MENTZER DAN INDEKS SHINE & LAL PADA PENDERITA β-thallassemia MAYOR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PASIEN MULTIPEL MIELOMA PADA BERBAGAI TAHAP PEMBERIAN KEMOTERAPI ( Studi Observasional di RSUP Dr. Kariadi Semarang )

BAB I PENDAHULUAN. peran penting pada angka kesakitan dan kematian di ruang perawatan intensif. ii

ABSTRAK PERBANDINGAN PROSENTASE FRAGMENTOSIT ANTARA PENDERITA DM TIPE 2 DENGAN ORANG NON-DM DI PUSKESMAS CIMAHI TENGAH

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

BAB I PENDAHULUAN. Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) yang semakin meningkat

PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI

BAB I PENDAHULUAN. lokasinya dan kapsulnya yang tipis Glisson capsule. Cedera organ hepar

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

EFEK VITAMIN E TERHADAP KADAR TOTAL BILIRUBIN SERUM PADA TIKUS SPRAGUE DAWLEY YANG DIBERI PARASETAMOL LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

ABSTRAK HUBUNGAN RERATA ASUPAN KALSIUM PER HARI DENGAN KADAR KALSIUM DARAH PADA PEREMPUAN DENGAN SINDROMA PREMENSTRUASI

ABSTRAK. Aldora Jesslyn O., 2012; Pembimbing I : Penny Setyawati M, dr., Sp.PK, M.Kes. Pembimbing II : Sijani Prahastuti, dr., M.Kes.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA HEPATITIS B DI RUMAH SAKIT SANTO YUSUP BANDUNG TAHUN 2014

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

1 Universitas Kristen Maranatha

Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari Juli 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB III ANALISIS III-1

BAB 4 MATERI METODE PENELITIAN. Surakarta / Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta. 1. Populasisasaran:Pasien DM tipe 2.

PERBANDINGAN LAMA RAWAT INAP ANTARA PASIEN FRAKTUR TERBUKA GRADE III DALAM FASE GOLDEN PERIOD DENGAN OVER GOLDEN PERIOD SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah

PGK dengan HD IDWG BIA PHASE ANGLE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

HIPERTENSI SKRIPSI. Persyaratan. Diajukan Oleh J

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan hanya satu kali, pada satu saat (Sastroasmoro & Ismael, 2011).

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN SERUM DENGAN STATUS NUTRISI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD DR.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

BAB III METODE PENELITIAN. sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Variabel bebas yang. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr Moewardi.

PERBEDAAN HASIL LABORATORIUM PENDERITA HEPATITIS B DAN C KRONIS DENGAN DERAJAT FIBROSIS HATI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V. KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. anti tuberkulosis akhir fase intensif pada 58 subyek penelitian ini. V.

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam, Sub-bagian

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PLASMA PADA PEROKOK AKTIF RINGAN DAN BERAT DENGAN NON PEROKOK

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Desain cross

BAB IV METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu gizi. RSUP Dr. Kariadi Semarang

a. Tujuan terapi.. 16 b. Terapi utama pada hepatitis B.. 17 c. Alternative Drug Treatments (Pengobatan Alternatif). 20 d. Populasi khusus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dengue dan ditandai empat gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

MAKALAH PUBLIKASI ILMIAH PERBEDAAN KADAR SGOT, SGPT DAN GAMMA GT PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR DENGAN KELASI BESI DEFERASIROX DAN DEFERIPRONE Oleh : Reza Abdussalam S 501202047 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

The Difference of levels SGOT, SGPT and GAMMA GT in Major Beta Thalassemia with Deferasirox and Deferiprone Chelation Therapy Reza Abdussalam, Bambang Soebagyo, Ganung Harsono Medical Faculty Study Program Post Graduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta reza.abdussalam@gmail.com Abstract Background: Iron accumulation in liver in patient with major thalassemia which has already having repeated transfution could cause liver disfuntion. Iron chelation is understood to be needed to reduce the dysfunction of the liver. Objective: This study aim is to know whether there is differences in ALT/AST and Gamma GT level in mayor thalassemia patient with deferiprone and deferasirox chelation therapy Methods:This study was analytical study with cross sectional study with examination of ALT/AST and Gamma GT levels in deferiprone and defersirox groups which met the inclusion and exclusion criteria. Differences in enzyme levels were compared between the two groups then analyzed with the Mann - Whitney test. Result: There was a siginificantly difference between two groups in Gamma GT level, which is in the mean of 24,5 ± 14,08 u/l in the deferiprone group and mean 16,78 ± 6,81 u/l in deferasirox group with p = 0.011. however, the ALT and AST level were decreased in deferasirox group compared to deferiprone group although it was not statisticaly significant (p=0,142 dan p=0,122) Conclusion: There is a siginificant difference in Gamma GT level in deferasirox group compared to the deferiprone group. The ALT and AST level in deferasirox group is lower than the other group although it was not statisticaly significant. Deferasirox is considered to be more effective in decreasing the dysfunction of liver function. Keywords: Major Thalassemia, Chelation, SGOT, SGPT, GAMMA GT

Perbedaan Kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT pada Pasien Talasemia Mayor dengan Kelasi Besi Deferasirox dan Deferiprone Reza Abdussalam, Bambang Soebagyo, Ganung Harsono Magister Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana UNS reza.abdussalam@gmail.com Abstrak Latar Belakang: Timbunan besi pada hati penderita talasemia mayor yang sudah mendapatkan transfusi berulang menyebabkan gangguan fungsi hati. Diperlukan kelasi besi untuk mengurangi gangguan fungsi hati tersebut. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT pada pasien talasemia mayaor dengan kelasi besi deferiprone dan deferasirox. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode potong lintang dengan pemeriksaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT pada kelompok deferiprone dan defersirox yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Perbedaan kadar enzim tersebut dibandingkan di antara dua kelompok dan dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Hasil: Perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pada kadar GAMMA GT, yaitu rerata 24,5 ± 14,08 u/l pada kelompok deferiprone dan rerata 16,78 ± 6,81 u/l pada kelompok deferasirox dengan nilai p=0,011. Sedangkan kadar SGOT dan SGPT menurun pada kelompok deferasirox dibanding deferiprone tapi tidak bermakna secara statistic (p=0,142 dan p=0,122) Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna kadar GAMMA GT pada kelompok deferasirox dibanding kelompok deferasirox. Kadar SGOT dan SGPT pada kelompok deferasirox lebih rendah dibanding deferiprone tapi tidak bermakna secara statistik. Deferasirox lebih efektif dalam menurunkan gangguan fungsi hati daripada deferasirox. Kata kunci : Talasemia Mayor, Kelasi Besi, SGOT, SGPT, GAMMA GT Pendahuluan Talasemia beta mayor, anemia hemolitik herediter autosomal resesif akibat gangguan proses sintesis rantai globin, merupakan salah satu penyakit kronik yang masih menjadi masalah besar karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Insidensi gen pembawa thalassemia di dunia diperkirakan sebanyak ± 3% (150 juta), sedangkan di Indonesia pembawa gen talasemia diperkirakan sebanyak ±3-8%. Komplikasi pada talasemia diakibatkan kadar besi yang tinggi. 3

Kelebihan zat besi yang progresif dalam pasien dengan thalasemia beta adalah akibat dari eritropoiesis yang tidak efektif, penyerapan besi pada gastrointestinal yang meningkat, kurangnya mekanisme fisiologis membuang kelebihan zat besi di urin, dan yang utama adalah akibat transfusi darah berulang. Akumulasi hasil besi berpengaruh pada disfungsi jantung, hati dan kelenjar endokrin (Anggorini, 2010; Ikram et al, 2004). Sebagian besar penderita talasemia membutuhkan transfusi darah yang berulang dikarenakan adanya proses hemolitik yang terjadi terus menerus. Hal ini menyebabkan adanya timbunan tranfusi zat besi pada berbagai organ tubuh. Hal ini juga dibarengi dengan keadaan proses eritropoesis yang tidak efektif serta peningkatan penyerapan absorbsi besi pada saluran gastrointestinal. (Permono & Ugrasena, 2010) Kelebihan zat besi akibat transfusi sel darah merah selama jangka waktu yang panjang merupakan komplikasi dari thalassemia Efek yang bisa merugikan dapat menyebabkan gangguan organ dan, akhirnya, kematian. Dalam kondisi normal, penyerapan zat besi dan pengeluaran besi adalah 1 mg / hari. Darah yang ditransfusikan mengandung 200-250 mg besi per unit. Oleh karena itu, pasien dengan Talasemia mayor (TM) menerima 2-4 unit darah per bulan memiliki asupan tahunan 5000-10.000 mg dari besi atau 0,3-0,6 mg / kg per hari. Tubuh memiliki mekanisme untuk membuang kelebihan zat besi ini. Selain itu, pasien dengan Talasemia Mayor ditandai dengan eritropoiesis tidak efektif menyerap kelebihan zat besi. Sejumlah besi dari hasil transfusi yang tidak diobati, akan menyebabkan kerusakan pada hati, organ endokrin, dan yang paling penting ke jantung. Pada anak dengan Talasemia Mayor, tanpa kelasi besi yang efektif, kematian terjadi dari gagal jantung atau aritmia, biasanya pada akhir masa kanak-kanak atau pada usia remaja (Angelucci,2008; Hoffbrand,2010). Hati adalah tempat penyimpanan utama cadangan besi tubuh, oleh karena itu penimbunan besi dapat mengakibatkan kerusakan yang hebat dari organ ini. Biasanya keterlibatan hati 4

terjadi pada awal perjalanan penyakit. Kemampuan besi untuk terlibat dalam reaksi redoks dapat mengakibatkan toksisitas. Keadaan ini biasanya terjadi apabila kapasitas penyimpanan besi terlampaui. Besi yang bersifat katalisator aktif dapat mengakibatkan kerusakan oksidasi pada lipid, protein dan asam nukleat. Penimbunan besi yang kronis, mengakibatkan transferin plasma menjadi jenuh dengan besi sehingga sejumlah besi tidak diikat oleh transferin (non transferin bound iron). Non-transferin bound iron (NTBI) ini selanjutnya mengalami ambilan (uptake) yang cepat oleh hati berkisar 70%. Fibrosis dan sirosis merupakan manifestasi utama penimbunan besi yang kronis di hati. Terjadinya fibrosis dan sirosis diduga akibat peroksidasi lipid hepatoselular yang menyebabkan kerusakan dan atau kematian sel. Sel-sel hati yang rusak dan atau yang mati ini kemudian difagositosis oleh sel Kupffer (Kartoyo, 2003). Hati adalah tempat utama dari penyimpanan besi dan satusatunya tempat untuk sintesis transferin dan feritin. Besi ferii yang bebas dalam serum adalah sangat toksik dan normalnya adalah protein yang berikatan di hati. Besi tersebut mengkatalisasi produksi radikal bebas, yang berimplikasi pada peroksidasi lemak dan toksik hati. Peroksidasi lemak adalah kejadian utama sehingga menyebabkan kerusakan hepatoseluler akibat penumpukan besi. Peningkatan yang berarti dari kadar serum alanine aminotransferase (ALT) menunjukkan bahwa besi dan feritin dilepaskan dari kerusakana hepatosit sebagai akibat inflamasi hepatik. Penyakit hati pada pasien dengan talasemia beta mayor adalah salah satu dari contoh eritropoetik hemokromatosis. Dengan pengobatan kelasi besi secara reguler, terjadi penurunan besar pada derajat penumpukan besi (Soliman et al, 2014). Dengan pengobatan kelasi besi secara reguler, terjadi penurunan besar pada derajat penumpukan besi. Dan terjadi penurunan jumlah besi dalam hati kurang dari 2230 ug/ 100 mg berat kering yang menjadi batasan terjadinya keadaan sirosis dan fibrosis. Rerata serum feritin dan liver iron concentration dipertahankan pada sekitar 5 dan 10 kali dari nilai normal. Dari beberapa studi menunjukkan 5

adanya korelasi yang baik antara pemeriksaan histologis dan penilaian kadar besi dalam hati. Penjelasan peningkatan kadar besi di hati sehingga menjadi hepatitis masih belum jelas, tetapi beberapa penemuan menyarankan hepatitis yang berat berkontribusi pada kerusakan hati akibat proses inflamasi kronik dan peningkatan kadar besi hati. Kadar besi hati pada pasien dengan fibrosis berat menunjukkan secara signifikan meningkat dibanding pasien dengan lesi minimal fibrosis (Damardjati, 2003). Dua pengukuran yang umum dilakukan sebagai indikator kerusakan hepatoseluler adalah ALT (Alanine Aminotransferase) dan AST (Aspartate Aminotransferase). AST biasanya berlokasi pada hati dan organ lain seperti jantung, otot skelet, ginjal dan otak. Peningkatan enzim tersebut tidak berkorelasi dengan keluaran pasien dengan gangguan hati, tetapi dapat membantu kemungkinan etiologi penyebab kerusakan hati. ALT dan AST merupakan enzim yang berpartisipasi dalam proses glukonenogenesis dengan mangkatalisasi perubahan asam amino dalam bentuk asam aspartat dan alanin menjadi asam ketoglutaric untuk memproduksi asam oksaloasetat dan asam piruvat. Kerusakan hepatoseluler dan kematian sel hati merupakan pemicu keluarnya enzim tersebut ke dalam sirkulasi (Collier & Bassendine,2002 ; Limdi & Hyde, 2003). Metode Penelitian Desain Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat observasional analitik dengan metode potong lintang. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT antara pasien talasemia yang menggunakan kelasi besi deferiprone dan deferasirox. Rencana cross sectional adalah rancangan penelitian dimana peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu (Alatas et al, 2011). Tempat Dan Waktu Penelitian dilakukan di ruang perawatan anak Bagian/SMF IKA FK UNS RSUD dr. Moewardi antara bulan Juni 2015 sampai Desember 2015. 6

Populasi Dan Cara Pemilihan Subyek Populasi targetadalah pasien talasemia β mayor usia< 18 tahun yang telah mendapatkan transfusi sel darah merah rutin. Populasi terjangkau pasien talasemia β mayor usia < 18 tahun yang telah mendapatkan transfusi rutin di rumah sakit dr. Moewardi Surakarta yang menggunakan kelasi besi deferiprone dan deferasirox. Cara pengambilan sampel secara konsekutif (non random sampling). Dengan kriteria inklusi pasien talasemia beta mayor usia kurang dari 18 tahun yang mendapat transfusi sel darah merah lebih dari 10 kali dan kadar feritin lebih dari 1000 ng/dl, persetujuan orang tua, dan penggunaan kelasi besi deferasirox dan deferiprone lebih dari 1 tahun. Kriteria eksklusi pemakaian kelasi besi kombinasi dengan deferoksamin, hepatitis c virus dan hepatitis b virus. Jumlah Subyek Variabel bebas penelitian ini berskala kategorikal(nominal) dan variabel tergantung berskala numerik serta subyeknya tidak berpasangan sehingga jumlah subyek dihitung berdasarkan rumus analitik numerik tidak berpasangan. Jumlah subyek yang diperlukan adalah 30 anak sebagai kelompok yang diteliti dan 30 anak sebagai kelompok kontrol (Murti, 2010). Identifikasi Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kelasi besi deferiprone dan deferasirox. Variable terikatnya adalah kadar SGOT,SGPT dan GAMMA GT. Variabel penelitian, talasemia beta mayor adalah suatu kelainan genetik dimana terjadi gangguan pada sintesis rantai β dengan manifestasi terjadinya anemia hemolitik kronik yang membutuhkan transfusi sel darah merah sepanjang hidup. Cara pengukuran : memeriksa kadar hemoglobin elektroforesis (HbA2 dan HbF). Kelasi besi adalah Obat untuk menurunkan kadar besi dalam tubuh. deferiprone dengan merek dagang Feriprox dan deferasirox dengan merek dagang Exjade. SGOT mengkatalisasi transfer asam amino L-Aspartat menjadi ketoglutarat dan menghasilkan glutamat. SGOT secara luas terdistribusi di tubuh, dengan level tertinggi di hati, jantung, otot dan ginjal. Nekrosis sel hati ataupun cedera akibat lain akan meningkatkan kadar SGOT. 7

Satuan u/l. SGPT merupakan enzim intraseluler sitoplasma. Paling banyak terdapat di hati. SGPT mengkatalisasi alanin menjadi alfa ketoglutarat dan menghasilkan piruvat dan glutamat. Digunakan untuk mengidentifikasi inflamasi dan nekrosis sel hati dengan satuan u/l (Giral et al, 2008). Gamma GT Berkorelasi dengan kadar alkali fosfatase yang berhubungan dengan keadaan hepatobilier. Berfungsi untuk mengkatalisasi transfer γ-glutamyl dari peptide menjadi asama amino lainnya. Dengan satuan u/l. lama minum obat adalah jumlah waktu dalam hitungan tahun, seorang pasein talasemia mayor dalam mengkonsumsi obat kelasi besi. Compliance obat adalah ketaatan pasien dalam konsumsi obat kelasi besi. Dihitung dari presentase antara jumlah obat yang diminum dibagi dengan jumlah obat yang diberikan (Pope, 1995). Cara Kerja Peneliti mengajukan pertanyaan kepada orang tua atau wali subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sesuai formulir isian penelitian. Subyek penelitian lalu menjalani pemeriksaan kadar SGOT, SGPT, dan GAMMA GT pada pasein dating untuk transfusi. Izin Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan atas persetujuan orangtua atau wali dengan cara menandatangani informed consent yang diajukan oleh peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. Penelitian dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik yang ada di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Alur Penelitian Setiap pasien talasemia mayor yang dirawat di RSUD dr. Moewardi Surakarta untuk mendapatkan transfusi darah dan subyek kontrol ditentukan apakah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Selanjutnya dilakukan anamnesis terhadap subyek atau orangtua atau wali, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT. Pengolahan Data Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS 17.0. Data disajkan dalam bentuk mean ± SD. Untuk menguji perbedaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT 8

dantar kedua kelompok digunakan uji t independen jika distribusi data normal. Jika distribusi data tidak normal digunakan uji Mann Whitney. Karakteristik dasar subyek penelitian adalah usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, status gizi, lama konsumsi obat kelasi besi, ketraturan minum obat. Variabel bebas dideskripsikan dalam skala nominal (deferiprone atau deferasirox). Variabel tergantung dinyatakan dalam skala numerik (kadar SGOT,SGPT dan GAMMA GT). Perbedaan kadar enzim SGOT,SGPT dan GAMMA GT antara dianalisis dengan uji t independen (Tumbelaka et al. 2011). Hasil Penelitian Subyek penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok pasien talasemia mayor dengan kelasi besi deferiprone dan kelompok pasien talasemia mayor dengan kelasi besi deferasirox. kelompok pasien talasemia mayor dengan kelasi besi deferiprone terdiri dari 32 pasien (13 lelaki dan 19 perempuan) sedangkan kelompok pasien talasemia mayor dengan kelasi besi deferasirox terdiri dari 32 pasien (18 lelaki dan 14 perempuan). Subyek penelitian diambil secara konsekutif serta memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien sudah mendapat transfusi sel darah merah sebanyak 10 kali atau kadar feritin 1000 ng/dl, surat persetujuan keluarga, sedangkan untuk kriteria eksklusi yaitu pemakaian kelasi besi kombinasi dengan deferioksamin, hepatitis B dan C. Tabel 1 menggambarkan karakteristik dasar subyek penelitian pada kelompok pasien talasemia mayor menggunakan kelasi besi deferiprone maupun kelasi besi deferasirox. Tabel 1. Karakteristik dasar kelompok yang diteliti dan kontrol Parameter Deferiprone Deferasirox P value Usia (tahun) 10,9 ± 4,15 8,94 ± 3,96 0,197 Jenis kelamin Lelaki 13 (20,3%) 18 (28,1%) 0,183 Perempuan 19 (29,7%) 14 (21,9%) Berat badan (Kg) 26,6 ± 10,7 23,5 ± 8,29 0,386 Tinggi badan (cm) 127,16 ± 20,61 121,4 ± 17,38 0,66 Status Gizi antropometri Baik Kurang Lama minum obat 20 (31,3%) 12 (18,8%) 3,94 ± 1,52 23 (35,9%) 9 (14,1%) 3,34 ± 1,21 0,587 0,66 9

(tahun) Jumlah Transfusi (cc) 328,12 ± 73.71 333,59 ± 81,47 0,796 Compiliance obat (%) 82 ± 9 83 ± 6 0,632 Kadar feriritn (ng/dl) 3.536 ± 2511,27 3.947,7 ± 2.436 0,477 Tabel 2 menggambarkan korelasi Spearman antara kadar kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT pada kedua kelompok. Dilakukan uji t independen untuk melihat perbedaan kadar antar kedua kelompok dengan syarat dalam bentuk ratio dan distribusi normal. Jika distribusi tidak normal dilakukan uji shapiro wik. Tabel 3. menggambarkan hasil analisis korelasi Spearman antara kadar feritin serum penderita talasemia mayor dengan kadar SGOT. Didapatkan korelasi negatif yang sedang (r=-0,461) yang secara statistik bermakna (p=0,001). Tabel 4.4. menggambarkan hasil analisis feritin serum penderita talasemia mayor dengan kadar SGOT. Didapatkan korelasi negatif yang sedang (r=-0,557) yang secara statistik bermakna (p=0,001). Tabel 4.5. menggambarkan hasil analisis korelasi Spearman antara kadar feritin serum penderita talasemia mayor dengan kadar GAMMA GT. Didapatkan korelasi negatif yang sedang (r=-0,469) yang secara statistik bermakna (p=0,001). Tabel 2. Kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT Deferiprone Deferasirox p SGOT (u/l) 55,72 ± 40,23 40,56 ± 11,16 0,142 SGPT (u/l) GAMMA GT (u/l) 48,31 ± 41,94 24,5 ± 14,08 30,38 ± 17,02 16,78 ± 6,81 Tabel 3. Analisis korelasi Spearman SGOT dengan feritin SGOT Kadar feritin R -0,461 P 0,001 N 64 Tabel 4 Analisis korelasi Spearman SGPT dengan feritin SGPT Kadar feritin R -0,557 P 0,001 N 64 0,122 0,011 10

Tabel 5 Analisi korelasi Spearman Gamma GT dengan feritin GAMMA GT Kadar feritin R -0,469 P 0,001 N 64 Pembahasan Tidak perbedaan parameter karakteristik dasar baik pada kelompok deferasirox maupun deferiprone. Rerata umur pada kelompok deferiprone adalah 10,9 ± 4,15 sedangkan untuk kelompok deferasirox 8,94 ± 3,96 dengan nilai p=0,197. Dari parameter jenis kelamin, berat badan, tinggi badan serta status gizi juga tidak ada perbedaan signifikan antar kedua kelompok. Rerata penggunaan obat kelasi besi deferprone adalah 3,94 ± 1,52 tahun sedangkan kelompok deferasirox 3,34 ± 1,21, tidak berbeda antar kedua kelompok dengan nilai p=0,66. Rerata kadar serum feritin dalam darah pada kelompok deferiprone adalah 3.536 ± 2511,27 ng/dl, sedangkan deferasirox 3.947,7 ± 2.436 dengan nilai p=0,477. Compliance dalam keteraturan minum obat juga sama pada kedua kelompok yaitu 82 ± 9 % pada kelompok deferiprone dan 83 ± 6 % pada kelompok deferasirox dengan nilai p=0,632. Dari tabel diatas menunjukkan homogenitas antar kedua kelompok. Penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT antara kedua kelompok pasien talasemia mayor dengan kelasi besi deferiprone dan deferasirox yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini menghasilkan adanya perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pada kadar GAMMA GT, yaitu rerata 24,5 ± 14,08 u/l pada kelompok deferiprone dan rerata 16,78 ± 6,81 u/l pada kelompok deferasirox dengan nilai p=0,011. Didapatkan perbedaan kadar SGOT pada kelompok deferiprone dengan rerata 55,72 ± 40,23 u/l dan deferasirox dengan 40,56 ± 11,16 u/l, akan tetapi tidak bermakna secara statistik dengan nilai p=0,142. Kadar SGPT juga didapatkan perbedaan antar kedua kelompok, yaitu kelompok deferiprone dengan rerata 48,31 ± 41,94 u/l sedangkan kelompok 11

deferasirox dengan rerata 30,38 ± 17,02 u/l, yang tidak bermakna secara statistik dengan nilai p=0,122. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa timbunan besi pada organ hati pada pasien dengan talasemia beta mayor dapat menimbulkan gangguan fungsi hati yang tercermin dari peningkatan kadar enzim hati. Pemberian kelasi besi diharapkan dapat mengurangi peningkatan kadar enzim hati tersebut. Sesuai dengan penelitian Soliman dkk tahun 2014, tetntang studi longitudinal fungsi hati pada pasien talasemia mayor sebelum dan setelah terapi deferasirox. Menunjukkan pengobatan deferasirox 20mg/kgbb/hari secara signifikan menurunkan kadar feritin serum pada pasien talasemia. Hal ini berhubungan dengan penurunan signifikan kadar ALT, AST, ALP dan peningkatan konsentrasi IGF-I. sedangkan kadar albumin tidak berubah secara signifikan. Kadar ALT dan AST berkorelasi signifikan terhadap kadar feritin (r=0,45 dan r=0,33 dengan nilai p<0,05). Korelasi positif antara kadar serum feritin dan konsentrasi ALT, sedangkan konsentrasi IGF-I berkorelasi negatif dengan feritin. Hal ini menunjukkan penumpukan besi di hati yang mengganggu fungsi hati. Kadar konsentrasi serum feritin merupakan penilaian yang penting untuk dibandingkan dengan kadar enzim hati, sehingga kenaikan kadar feritin serum merupakan prediktor independen kerusakan hati. Bergunan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko steatohepatitis dan fibrosis (Soliman et al, 2014). Kemampuan besi untuk terlibat dalam reaksi redoks dapat mengakibatkan toksisitas. Dalam keadaan penimbunan besi di hati, kerusakan sel hati juga disebabkan ambilan NTBI (Non-Transferin Bound Iron) yang cepat oleh hati sekitar 70%. Hal ini diduga ikut berperan dalam proses kerusakan hati karena NTBI bersifat toksik akibat zat oksigen reaktif yang dihasilkannya. Hepatomegali adalah gejala klinis yang paling sering dijumpai. Pada stadium lebih lanjut akan didapatkan sirosis yang ditandai dengan pembesaran limfa, ikterus, asites dan edema. Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan peningkatan kadar enzim transaminase serum, yaitu SGOT dan SGPT. Biopsi hati merupakan 12

baku emas untuk menilai penimbunan besi di hati serta dapt memberikan informasi mengenai derajat kerusakan hati, distribusi penimbunan besi di hepatosit dan sel kuppfer dan penentuan secara langsung konsentrasi besi di hati (Kartoyo, 2003). Dengan pengobatan kelasi besi secara reguler, terjadi penurunan besar pada derajat penumpukan besi. Dan terjadi penurunan jumlah besi dalam hati kurang dari 2230 ug/ 100 mg berat kering yang menjadi batasan terjadinya keadaan sirosis dan fibrosis. Rerata serum feritin dan liver iron concentration dipertahankan pada sekitar 5 dan 10 kali dari nilai normal. Dari beberapa studi menunjukkan adanya korelasi yang baik antara pemeriksaan histologis dan penilaian kadar besi dalam hati. Penjelasan peningkatan kadar besi di hati sehingga menjadi hepatitis masih belum jelas, tetapi beberapa penemuan menyarankan hepatitis yang berat berkontribusi pada kerusakan hati akibat proses inflamasi kronik dan peningkatan kadar besi hati. Kadar besi hati pada pasien dengan fibrosis berat menunjukkan secara signifikan meningkat dibanding pasien dengan lesi minimal fibrosis (Damardjati & Oswari, 2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan Piga tahun 2004 meneliti tentang penggunaan deferasirox yang dikonsumsi 1 kali perhari dibandingkan dengan kelasi besi deferioxamine yang diberikan 5 hari per minggu nya. Selama 48 minggu penggunaan kedua kelasi besi didapatkan hasil, kadar LIC (Liver Iron Concentration) mengalami penurunan pada kelompok deferasirox dibandingkan dengan kelompok deferioxamine. Dengan kadar 8,5 mg Fe/g berat kering menjadi 6,6 mg fe/g berat kering setelah pemakaian deferasirox selama 48 minggu. Keadaan ini juga didukung oleh penelitian Taher tahun 2009 dimana pasien talasemia usia lebih dari 2 tahun, yang sebelumnya menggunakan kelasi besi deferiprone ataupun deferioxamine, diberikan kelasi besi deferasirox 20mg/kgbb/hari. Setelah pemakaian selama 1 tahun, diapatkan penurunan signifikan kadar LIC dari sebelumnya rerata 18,0 ± 9,1 mg Fe/g berat kering menjadi 3,4 mg Fe/g berat kering. Hal ini menunjukkan efektivitas 13

terapi kelasi besi deferasirox dalam menurunkan kadar besi dalam hati (Piga 2006, Taher 2009). Dari korelasi antara kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT terhadap kadar feritin dalam darah, menunjukkan korelasi sedang dengan nilai yang signifikan. Hal ini menunjukkan adanya korelasi, jika kadar feritin meningkat maka kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT juga ikut meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Soliman tahun 2014, Hal ini menunjukkan penumpukan besi di hati yang mengganggu fungsi hati. Kadar konsentrasi serum feritin merupakan penilaian yang penting untuk dibandingkan dengan kadar enzim hati, sehingga kenaikan kadar feritin serum merupakan prediktor independen kerusakan hati. Bergunan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko steatohepatitis dan fibrosis. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian dilakukan secara potong lintang, sehingga tidak menunjukkan secara signifikan penurunan kadar besi dalam hati. Pemeriksaan baku emas untuk mengevaluasi kadar besi dalam hati adalah dengan LIC (Liver Iron Concentration), akan tetapi pemeriksaan penunjang ini kurang disukai karena memerlukan biaya mahal dan bersifat invasif. Simpulan Pada penelitian ini didapatkan hasil didapatkan kadar SGOT dan SGPT yang menurun pada kelompok deferasirox dibanding kelompok deferiprone, namun tidak berbeda secara signfikan. Sednagkan kadar GAMMA GT berbeda secara signifikan pada kelompok deferasirox yang kadarnya lebih rendah dibanding kelompok deferiprone. Hal ini menunjukkan kelasi besi deferasirox lebih efektif menurunkan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT dibanding kelasi besi deferiprone. Parameter tersebut dapat dijadikan alat untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan fungsi hati. DAFTAR PUSTAKA 14

Alatas, H, Karyomanggolo, Musa, DA, Boediarso, A, Oesman, IN, Idris, NS. 2011.Desain penelitian.pp.104-129.dalam S. Sastroasmoro, S. Ismael(eds). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Sagung seto, Jakarta. Angelucci E, Barosi G, Camashella C, Capellini MD, Cazzola M, Galanello R, et al. 2008. Italian Society of Hematology Practice Guidelines for the Management of Iron Overload in Thalassemia Major dan Related Disorder. Haematologica. Vol 93 No 5. Hlm 741-752 Anggroini, A. 2010. Korelasi Kadar Feritin Serum dengan Kematangan Seksual pada Anak penyandang Thalasemia Mayor. Vol. 60, No.10 hlm 462-467 Collier J & Bassendine M. How to respon to abnormal liver function tests. Clin Med JRCPL 2002: 2 : 406-9 Damardjati F & Oswari H. 2003. Hepatitis C pada thalassemia mayor : pengaruh iron overload pada perjalanan penyakit. Sari Pediatri, Vol 5 No1. Hlm 16-20 Giral P. 2008. Elevated Gamma- Glutamyltransferase Activity and Perturbed Thiol Profile Are Associated with Features of Metabolic Syndrome. Arterioscler Thromb Vasc Biol. Vol 28. Hlm 587-593 Hoffbrand AV, Taher A, Capellini MD. How I treat transfusional overload. Blood. Vol 120. Number 18. Hlm 3657-69 Ikram N, Hassan K, Younas M, Amanat S. 2004. Feritin Levels in Patients of beta Thalasemia Major. International Journal of Pathology. Vol 2. No2 hlm 71-74 Kartoyo P & Purnamawati SP. 2003. Pengaruh Penimbunan Besi Terhadap Hati dan Talasemia. Sari PEdaitri. Vol. 5, No. 1. Hlm 34-38 Limdi JK & Hyde GM. Evaluation of abnormal liver function tests. Postgrad Med J 2003; 79 : 307-12 Murti B. 2010. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di bidang Kesehatan. Gajah Mada University Press. Hlm 111-133 Piga A, Galanello R, Forni GL, Capellini MD, Origa R, Zappu A, et al. 2006. Randomized phase II trial of deferasirox, a once daily, orallyadministered iron chelator, in comparison to deferoxamine in thalassemia patients with transfusional iron overload. Haemotalogica;91: 873-80 Pope E. 1995. Critical review of standard and new methods of assessing compliance with chelation therapy in thalassemic patients. University of Toronto. Canada. Permono & Ugrasena,. 2010. Talasemia hlm 68-84. Dalam B. Permono, Sutaryo, I Ugrasena, E Windiastuti, M Abdulsalam. Buku ajar hematologi anak. Penerbit IDAI, Jakarta. 15

Soliman A, Yassin M, Yafei FA, Almarri N, Sabt M, Sanctis VD. 2014. Longitudinal Study on Liver Functions in Patients with Thalasemia Major Before and After Deferasirox therapy. Mediterr J Hematol Infect Dis 201. vol 6. No1 Taher A, El-Beshlawy A, Elalfy MS, Zir KA, Daar S, Habr D, et al. 2009. Efficacy and safety of Deferasirox, an Oral Iron Chelator, In Heavily Iron Overloaded Patients with Beta Thalassemia : The ESCALATOR Study. European Journal of Haematology. Hlm 458-465 Tumbelaka, AR, Riono, P, Sastroasmoro, S, Wirjodiarjo, M, Pudjiastuti, P, Firman, K. 2011. Pemilihan uji hipotesis.pp.324-46.dalam S, Sastroasmoro, S, Ismael(eds). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Sagung seto, Jakarta. 16