BAB V PEMBAHASAN 5.1. Data Lapangan Pemetaan Bidang Diskontinu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG

Gambar 1 Hubungan antara Tegangan Utama Mayor dan Minor pada Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown dan Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb (Wyllie & Mah, 2005)

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

Prosiding Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2016 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. terowongan, baik terowongan produksi maupun terowongan pengembangan.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

BAB I PENDAHULUAN. Font Tulisan TNR 12, spasi 1,5 1.1 Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara Dispatch dan Aktual. Tabel 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara data Dispatch dan data Aktual

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept Feb. 2016

5.1 ANALISIS PENGAMBILAN DATA CORE ORIENTING

BAB II DASAR TEORI. Elastik Linier (reversible)

ANALISIS KESTABILAN LUBANG BUKAAN DAN PILLAR DALAM RENCANA PEMBUATAN TAMBANG BAWAH TANAH BATUGAMPING DENGAN METODE ROOM AND PILLAR

BAB III PEMODELAN DAN HASIL PEMODELAN

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PAPER GEOLOGI TEKNIK

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan batuan samping berpotensi jatuh. Keruntuhan (failure) pada batuan di

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

KAJIAN GEOTEKNIK UNTUK TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DI KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN SELATAN

BAB III DATA RENCANA TEROWONGAN

MAKALAH PENGEBORAN DAN PENGGALIAN EKSPLORASI

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Prinsip Pengeboran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA

ABSTRAK Kata Kunci : Nusa Penida, Tebing Pantai, Perda Klungkung, Kawasan Sempadan Jurang, RMR, Analisis Stabilias Tebing, Safety Factor

KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB III LANDASAN TEORI

EVALUASI TEKNIS SISTEM PENYANGGAAN MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING

BAB III DASAR TEORI 3.1. Klasifilasi Massa Batuan

RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI. SARI... i. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN... xiv

SQUEEZING PADA MASSA BATUAN SEKITAR TEROWONGAN DI DAERAH TAMBANG CIKONENG, BANTEN

4 PERHITUNGAN DAN ANALISIS

ANALISA KESTABILAN LERENG GALIAN AKIBAT GETARAN DINAMIS PADA DAERAH PERTAMBANGAN KAPUR TERBUKA DENGAN BERBAGAI VARIASI PEMBASAHAN PENGERINGAN

DAFTAR ISI. SARI... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. PT. PACIFIC GLOBAL UTAMA (PT. PGU) bermaksud untuk. membuka tambang batubara baru di Desa Pulau Panggung dan Desa

Oleh: Yasmina Amalia Program Studi Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta

BAB III TEORI DASAR. Longsoran Bidang (Hoek & Bray, 1981) Gambar 3.1

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI

BAB III METODE KAJIAN

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

DAFTAR TABEL. Parameter sistem penelitian dan klasifikasi massa batuan (Bieniawski, 1989)... 13

BAB IV PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV STUDI KASUS 4.1 UMUM

Kornelis Bria 1, Ag. Isjudarto 2. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Jogjakarta

Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI

SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN UTUH

BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian

Cara uji geser langsung batu

2. Kekuatan Geser Tanah ( Shear Strength of Soil ), parameternya dapat diperoleh dari pengujian : a. Geser Langsung ( Direct Shear Test ) b.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Analisis Kestabilan Lereng Batuan

MAKALAH MEKANIKA BATUAN

MEKANIKA BATUAN. BAB I.Mekanika Batuan & Rekayasa tambang.

BEBERAPA PENYELIDIKAN GEOMEKANIKA YANG MUDAH UNTUK MENDUKUNG RANCANGAN PELEDAKAN

PENGARUH BIDANG DISKONTINU TERHADAP KESTABILAN LERENG TAMBANG STUDI KASUS LERENG PB9S4 TAMBANG TERBUKA GRASBERG

ANALISIS STABILITAS TEBING PANTAI DI NUSA PENIDA.

M VII KUAT TARIK TIDAK LANGSUNG (Indirect Brazillian Tensile Strength Test)

APLIKASI PENDEKATAN PROBABILISTIK DALAM ANALISIS KESTABILAN LERENG PADA DAERAH KETIDAKSTABILAN DINDING UTARA DI PT. NEWMONT NUSA TENGGARA

TUGAS AKHIR. Diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknik Strata 1 (S-1) Disusun Oleh : Maulana Abidin ( )

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Parameter geomekanika yang dibutuhkan dalam analisis kestabilan lereng didasarkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara menggunakan pendekatan Rock Mass Rating (RMR). RMR dapat

ANALISIS KESTABILAN LUBANG BUKAAN TAMBANG BAWAH TANAH MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA

Kestabilan Geometri Lereng Bukaan Tambang Batubara di PT. Pasifik Global Utama Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

Teguh Samudera Paramesywara1,Budhi Setiawan2

Cara uji kuat tarik tidak langsung batu di laboratorium

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB III DASAR TEORI 3.1 UMUM

SLOPE STABILITY ANALYSIS BASED ON ROCK MASS CHARACTERIZATION IN OPEN PIT MINE METHOD

SIFAT FISIK TANAH DAN BATUAN. mekanika batuan dan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

BAB III LANDASAN TEORI

Pada ujung bawah kaki timbunan terlihat kelongsoran material disposal yang menutup pesawahan penduduk seperti terlihat pada Gambar III.27.

BAB III PELAKSANAAN PENGUJIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

LEMBAR PENGESAHAN MOTTO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

PERANGKAT LUNAK ANALISIS GETARAN TANAH AKIBAT PELEDAKAN

ANALISIS TRANSFER BEBAN PADA SOIL NAILING (STUDI KASUS : KAWASAN CITRA LAND)

Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32 Inderalaya Sumatera Selatan, 30662, Indonesia Telp/fax. (0711) ;

PENGGUNAAN SLIM BOREHOLE SCANNER PADA TAMBANG BAWAH TANAH Oleh : Handoko Setiadji

PENGGUNAAN BORED PILE SEBAGAI DINDING PENAHAN TANAH

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Transkripsi:

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Data Lapangan Pembahasan data lapangan ini mencakup beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pendataan serta pengolahannya. Data lapangan ini meliputi data pemetaan bidang diskontinu (scanline) pada cross cut, corelog (pemboran geoteknik), dan data pengujian contoh batuan di laboratorium. 5.1.1. Pemetaan Bidang Diskontinu Pemetaan bidang diskontinu yang dilakukan penulis berupa pengukuran di dinding cross cut yang bidang-bidang diskontinunya dapat tertangkap di dinding. Pengukuran bidang diskontinu pada pemboran geoteknik tidak dapat dilakukan dikarenakan pada corelog tidak terdapat core orientator. Pengukuran bidang diskontinu dilakukan pada cross cut 1, 2, 3, dan 4 sekitar calon lokasi pembuatan incline shaft Ciguha. Ada beberapa kendala dalam usaha pengambilan data kekar-kekar pada tiap-tiap cross cut seperti kehadiran alat-alat pendukung pertambangan mengakibatkan rumitnya proses pengambilan data, juga terlalu pendeknya lokasi pengamtan sehingga kuantitas kekar tidak seideal yang diharapakan Setelah data kekar diakumulasi dan diolah menggunakan program dips, penulis mendapatkan arah umum dari masing-masing cross cut. Dan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai parameter pengontrol nilai RMR atau Adjust Orientation of Discontinuity adalah arah umum pada cross cut yang digunakan sebagai lokasi pengeboran, yaitu cross cut 1 yang mempunyai arah umum : N 330 o /54 o NE yang pararel terhadap arah penggalian incline shaft yaitu : N 340 o /60 o NE. Hal ini dilakukan karena pengukuran oreientasi kekar pada core log tidak dapat dilakukan karena tidak adanya core orientator. Berdasarkan pengamatan scanline, bidang-bidang diskontinu pada cross cut 1 mayoritas continue sehingga dapat diasumsikan menerus ke bawah dan cukup representatif untuk menggambarkan kondisi bidang diskontinu pada daerah dibawahnya. 58

5.1.2. Pengamatan Corelog Pengamatan core seharusnya dan sebaiknya dilakukan di lokasi pengeboran, namun karena sempitnya lokasi pengamatan dan kehadiran alat-alat pendukung pertambangan hal ini tidak bisa dilakukan. Core logging akhirnya dilakukan di dalam gudang core yang letaknya di luar terowongan. Hal ini bisa mengakibatkan sebagian core hilang ataupun jatuh pada saat dibawa ke gudang core. Parameter-parameter yang dibutuhkan untuk menganalisis massa batuan berdasarkan metoda RMR didapatkan langsung dari corelog, kecuali kuat tekan batuian utuh (UCS) didapat dari uji labolatorium,, dan peubah bobot orientasi bidang diskontinu yang didapatkan dari hasil scanline. Begitu juga untuk pengklasifikasian massa batuan berdasarkan system Q, sebagian besar parameter didapatkan langsung pada saat pengamatan corelog, kecuali Sress Reduction Factor (SRF) batuan dan Joint Alteration (Ja) yang didapatkan dari asumsi berdasarkan hasil uji laboratorium. 5.1.3. Pengujian Laboratorium Pengujian di laboratorium meliputi uji mekanik dan uji sifat fisik. Uji mekanik meliputi uji kuat tekan (Unconfined Compressive Strength test/ucs), uji kuat tarik tak langsung (indirect tensile strength test/brazillian), uji triaksial, dan uji geser langsung. Uji kuat tekan menghasilkan parameter kuat tekan (σ c ), modulus young (E) dan poisson s ratio (v). Uji geser langsung menghasilkan kohesi (c) dan sudut geser dalam (ø) yang keduanya dalam dua macam nilai yaitu untuk kondisi peak dan residual. Uji triaksial menghasilkan parameter garis kuat geser Coulumb, kohesi dan sudut geser dalam Parameter-parameter tersebut berguna untuk melihat kemantapan lubang bukaan karena batas elastik batuan dapat diperkirakan. Uji tarik tidak langsung menghasilkan parameter kuat tarik tidak langsung (σ t ). Nilai ini berfungsi untuk mengetahui efek dari rancangan perkuatan pada atap lubang bukaan. Uji sifat fisik menghasilkan nilai berat jenis, bobot porositas (n) dan void ratio (e). 59

Litologi batuan yang diuji di laboratorium dibagi menjadi tiga litologi berdasarkan kedalaman dan interpretasi pada saat core logging yaitu Breksi Tuff Pumice, Breksi Polimik dan Breksi Tuff. Kuat tekan yang paling besar dimiliki oleh breksi tuff yaitu pada kisaran 54 MPa. Kuat tekan yang paling lemah pada Breksi tuff Pumice yaitu 26 MPa. Kuat tarik tidak langsung paling kuat dimiliki Breksi Tuff yaitu 6.68 MPa. Kuat tarik tidak langsung paling lemah dimiliki Breksi Tuff Pumice 5 MPa. Nilai kohesi dan sudut gesek dalam untuk yang paling tinggi adalah breksi tuff yaitu 0.222-0.378 Mpa dan 26.4 o - 40.1 o. Sedangkan kohesi dan sudut gesek dalam paling kecil dialami oleh breksi tuff pumice yaitu 0.191 0.299 MPa dan 24.7 o 38.8 o.berdasarkan uji triaksial, nilai kohesi dan sudut geser dalam yang paling tinggi dimiliki oleh batu breksi polimik yaitu 4.67 MPa dan 62.22 o. Sedangkan nilai kohesi batu breksi tuff dan breksi tuff pumice hampir sama yaitu antara 2.32 2.73 MPa dan sudut geser dalamnya antara 55.01 58.02 o. Berdasarkan Uji Geser Langsung batuan yang memiliki nilai kohesi dan sudut geser dalam paling besar pada saat peak maupun residual adalah Batuan Breksi Tuff yaitu 0.377 (peak) dan 0.222 ( Residual) sedangkan sudut geser dalam pada saat peak dan residualnya adalah 40.12 dan 26.44. 5.2. Klasifikasi Massa Batuan Dalam penelitian ini massa batuan diklasifikasikan berdasarkan RMR dan Q system, kemudian kedua metoda tersebut akan dibandingkan untuk mendapatkan sistem penyanggaan yang yang akan diterapkan pada inline shaft. 5.2.1. Klasifikasi RMR Berdasarkan analisis RMR, kelas massa batuan berkisar dari kelas massa batuan Very Poor, Poor, Good dan Very Good. Kelas massa batuan paling rendah ditemukan pada kedalaman 78.05 82.05 dengan nilai RMR 5. Sedangkan kelas massa batuan paling tinggi ditemukan pada kedalaman 109.95 110.15 dengan nilai RMR 74. Secara keseluruhan mayoritas kelas massa batuan didominasi oleh kelas III (39 %) dan kelas II (40%) dengan rentang nilai RMR dari 41 sampai 60, 60

dan 61 sampai 74. Sisanya kelas IV (20%) dan kelas V (1%). Grafik RMR per kedalaman dapat dilihat pada gambar 5.1. Dalam pemenuhan parameter RMR, tidak ada kesulitan karena semua parameter RMR terpenuhi saat observasi lapangan dan uji laboratorium. Namun sistem RMR ini tidak cukup untuk dijadikan satu-satunya alat untuk merancang penyanggaan karena panjang span yang diijinkan adalah 10 m sedangkan panjang span yang digunakan pada lokasi penelitian berkisar 2,5-5 meter.. Hal ini dikarenakan kemajuan tambang adalah 5 meter, sehingga 2,5 meter awal dilakukan penyanggaan dan 2,5 meter sisa digunakan untuk daerah persiapan peledakan untuk kemajuan selanjutnya. Oleh karena itu untuk merancang sistem penyanggaan, penulis menggunakan klasifikasi Q system. Karena Span maksimum tanpa penyangga yang diizinkan Q system bisa bervariasi tergantung nilai Q yang diberikan. 80 70 60 50 40 RMR 30 20 108 103 92 97 87 82 76 72 68 63 20 26 31 37 43 48 53 58 Kedalaman 14 8 3 10 0 Gambar 5.1 Grafik RMR berdasarkan kedalaman lubang bor 61

5.2.2 Klasifikasi Sistem Q Parameter sistem Q meliputi RQD, Jn, Jr, Ja, Jw dan SRF. Parameter RQD, Ja, Jr, Jn dan Jw merupakan parameter yang dapat diketahui dengan bantuan beberapa parameter dari RMR, sedangkan parameter lainnya yaitu SRF didapat dari perhitungan tidak langsung dan pengamatan lapangan dan hasil uji UCS. Berdasarkan analisis sistem Q, kelas massa batuan terbagi menjadi tiga kelas, yaitu Poor, Very Poor dan Extremely Poor. Mayoritas massa batuan berada pada kelas Poor(40%) dengan rentang nilai Q antara 1 sampai 4, kelas Poor (32 %) dengan rentang nilai 0.1 sampai 1 dan kelas Very Poor (28%) dengan rentang nilai 0.01 sampai 0.1. Grafik nilai Q berdasarkan kedalaman selengkapnya dapat dilihat pada gambar 5.2 4 3 Q 2 Series1 1 0 0.00 11.15 24.65 36.65 48.65 60.65 71.15 81.65 93.65 105.65 Kedalam an Gambar 5.2 Grafik Q berdasarkan kedalaman lubang bor 5.2.3. Perbandingan Klasifikasi RMR dan Q Dari analisis klasifikasi RMR dan Q dapat dilihat bahwa sistem Q lebih detail menguraikan kondisi massa batuan sehingga sistem Q memberikan kelas massa batuan lebih rendah daripada RMR. Perubahan ini dikarenakan : 62

1. Basis data RMR berbeda dengan sistem Q. Walaupun Sistem Q dan RMR dirancang untuk terowongan sipil maupun tambang (secara umum), klasifikasi sistem RMR tidak dilengkapi dengan parameter karakteristik kekar yang spesifik saat basis data RMR dibentuk. 2. Interval antar kelas yang berbeda. Sistem Q memberikan lebih banyak kelas dengan interval cukup rapat sehingga klasifikasi massa batuan dapat lebih spesifik. Sistem Q berinterval sangat rapat untuk massa batuan yang buruk (dari exceptionally poor sampai poor) dan berinterval lebar untuk kelas massa batuan yang bagus (dari fair sampai exceptionally good). Hal ini dikarenakan perhatian pada massa batuan yang buruk lebih besar sehingga ketelitian dalam penentuan kelas massa batuannya harus lebih tinggi. 3. Sistem RMR kekurangan dalam mengkuantifikasi parameter tegangan dibandingkan sistem Q. RMR mendefinisikan tegangan yang bekerja dari kekuatan kompresif (compressive strength) secara langsung, sedangkann sistem Q mempertimbangkan kekuatan kompresif relatif terhadap tegangan insitu pada batuan aslinya (competent rock). Pada parameter SRF, terasa begitu jelas pengkuantifikasian nilai tegangan massa batuan. Kurva Hubungan RMR dan Q 80 70 60 y = 11.506Ln(x) + 52.647 R 2 = 0.6465 R M R 50 40 30 20 10 0 0 1 2 3 4 5 Q Gambar 5.3 Grafik perbandingan nilai RMR dan Q 63

5.3. Rancangan Penyanggaan Semakin rendah kualitas massa batuan, semakin tinggi pula tingkat penyanggaan yang disarankan. Untuk merancang penyanggaan, perlu diperhatikan panjang span atau kemajuan tambang. Karena span yang digunakan 5 meter, penulis membagi penyanggaan pada incline shaft menjadi beberapa section berdasarkan kemajuan tambang yaitu setiap 5 meter. Kemudian setiap section tersebut diproyeksikan secara horizontal ke lubang bor untuk mendapatkan daerah pengaruh dari massa batuan terhadap incline shaft. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.4 Gambar 5.4 Pengelompokkan massa batuan berdasarkan daerah pengaruh Setelah diproyeksikan massa batuan terbagi ke dalam 12 section, yaitu A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K dan L. Kedalaman dan kelas massa batuan tiap section berdasarkan RMR dan Q dapat dilihat pada tabel 5.1 64

Tabel 5.1 Kelas massa batuan pada tiap section No Section Kedalaman RMR Q (m) Rating RMR Class Rating Q Class 1 A 0.00-5.15 71 Good 3.432 Poor 2 B 5.15-9.65 56 Fair 1.815 Poor 3 C 9.65-14.15 60 Fair 3.315 Poor 4 D 14.15-17.15 50 Fair 1.114 Poor 5 E 17.15-21.65 62 Good 2.888 Poor 6 F 21.65-25.65 38 Poor 0.4888 V Poor 7 G 25.65-29.35 26 Poor 0.309 V Poor 8 H 29.35-34.50 50 Fair 0.99 V Poor 9 I 34.50-38.15 54 Fair 1.733 Poor 10 J 38.15-42.65 51 Fair 2.288 Poor 11 K 42.65-47.15 54 Fair 1.705 Poor 12 L 47.15-51.65 59 Fair 1.609 Poor Karena panjang incline shaft hanya 50 meter (level 500 s.d level 450) maka setelah diproyeksikan pada lubang bor, kedalaman lubang bor yang menjadi daerah pengaruh hanya sampai kedalaman 51.65 m. Oleh karena itu, untuk rancangan sistem penyanggaan, kelas massa batuan yang digunakan juga hanya sampai kedalaman 51.65 m. Untuk mendapatkan rekomendasi penyanggaan berdasarkan sistem Q, nilai Q yang telah didapat untuk masing-masing section diplot pada grafik kurva hubungan De dan Q (gambar 3.6) sehingga didapatkan rekomendasi penyanggaan untuk masing-masing section. Tabel 5.2 Rekomendasi penyangga berdasarkan Q No Section Q Span (m) De Bolt Spacing (m) Bolt Length (m) 1 A 3.432 5 2.2 2 2.4 2 B 1.815 5 2.2 1.8 2.4 3 C 3.315 5 2.2 2 2.4 4 D 1.114 5 2.2 1.7 2.4 5 E 2.888 5 2.2 1.9 2.4 SUPPORT RECOMMENDATION 65

6 F 0.488 5 2.2 1.5 2.4 7 G 0.309 5 2.2 1.4 2.4 8 H 0.99 5 2.2 1.65 2.4 9 I 1.733 5 2.2 1.8 2.4 10 J 2.228 5 2.2 1.9 2.4 11 K 1.705 5 2.2 1.8 2.4 12 L 1.609 5 2.2 1.8 2.4 Fibre reinforce Shotcrete, 50-90mm, bolting Fibre reinforce Shotcrete, 90-120mm, bolting Fibre reinforce Shotcrete, 50-90mm, bolting Sedangkan berdasarkan RMR, rekomendasi penyanggaan untuk tiap section diberikan pada tabel 5.3 Tabel 5.3 Rekomendasi penyangga berdasarkan RMR Kelas Batuan II III IV Baut batuan pada Baut batuan pada Baut batuan pada dinding, dinding, jarak 1.5 - atap, jarak 2-2.5 jarak 2-5m, ditambah strapwire mesh pada lokasi Penyanggaan 2.0 m, ditambah m. Strap wire strap wire mesh mesh dan tertentu. pada lokasi tertentu. shotcrete. Section A dan E B, C, D, H, I, J, K, L F dan G Berdasarkan analisis, pada rancangan penyangga yang diberikan oleh sistem Q ternyata lebih rendah daripada sistem RMR. Section yang harus diperhatikan adalah section F, G, dan H pada kedalaman 21.65 s.d 34.50 m karena kondisi massa batuannya paling lemah (rating Q 0.309 s.d 0.99). Sistem Q merekomendasikan penyanggaan Fiber Shotcrete yang diperkuat lagi setebal 50-90 mm untuk section F dan H serta 90-120 mm untuk section G ditambah baut batuan dengan panjang 2.4 dan spasi 1.4 1.65. Q sistem juga merekomendasikan panjang maximum span yang tidak perlu disangga dengan menggunakan rumus : 2 ESR Q 0.4. hal ini berguna untuk memperkirakan berapa panjang span maksimal yang diizinkan tanpa disangga. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.4. 66

Tabel 5.4 Maksimum span yang diperbolehkan tanpa penyanggaan No Section Q De Maximum Span Unsupported (m) 1 A 3.432 2.2 7.205623866 2 B 1.815 2.2 5.584744746 3 C 3.315 2.2 7.106341756 4 D 1.11375 2.2 4.593754304 5 E 2.8875 2.2 6.72452285 6 F 0.488125 2.2 3.302669357 7 G 0.309375 2.2 2.751989439 8 H 0.99 2.2 4.382346917 9 I 1.7325 2.2 5.481784693 10 J 2.2275 2.2 6.061495144 11 K 1.705 2.2 5.446812555 12 L 1.60875 2.2 5.321671964 67