BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

I. PENDAHULUAN. analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan,

BAB I PENDAHULUAN. dengan potensi yang ada pada manusia tersebut. Pendidikan adalah usaha sadar

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meringankan kerja manusia. Matematika diberikan kepada siswa sebagai bekal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia khususnya para siswa di tingkat pendidikan Sekolah Dasar hingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Trends In International Mathematics And Science Study (TIMSS)

WAHANA INOVASI VOLUME 4 No.2 JULI-DES 2015 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan sehari- hari maupun dalam ilmu pengetahuan.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa. matematika siswa secara umum belum menggembirakan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abas Hidayat, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Qori Magfiroh, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi. Menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir kritis. Menurut Maulana

BAB I PENDAHULUAN. Hani Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusiamanusia

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan suatu landasan dan kerangka perkembangan ilmu

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perubahan zaman, semakin maju pula peradaban dunia yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan berbagai kompetensi tersebut belum tercapai secara optimal.

I. PENDAHULUAN. Dalam menghadapi perkembangan zaman, siswa dituntut menjadi individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Autograph Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMP

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang dapat

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU no. 20 tahun 2004, pendidikan merupakan usaha sadar dan

siswa adalah selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang studi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. berlimpahnya berbagai informasi menuntut seseorang untuk dapat memiliki

I. PENDAHULUAN. Pendidikan bagi setiap bangsa merupakan kebutuhan mutlak yang harus

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATISDAN DISPOSISI MATEMATISDALAM PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATANANG S FRAMEWORK FOR MATHEMATICAL MODELLING INSTRUCTION

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

2014 PENERAPAN PENDEKATAN COLLABORATIVE PROBLEM SOLVING DALAMPEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUANKONEKSI MATEMATIS SISWA SMP

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan karena dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fery Ferdiansyah, Penerapan Model Pembelajaran Osborn Untuk Meningkatkan Literasi Dan Disposisi Matematis Siswa SMP

PENERAPAN PEMBELAJARAN OSBORN BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KREATIF DAN BERPIKIR KRITIS MATERI KUBUS DAN BALOK SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini mengalami kemajuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip matematika. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. semakin ketat memerlukan ahli pendidikan yang tidak hanya terampil dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. telah melakukan berbagai macam upaya dalam meningkatkan kualitas

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang demikian pesat telah membawa banyak perubahan budaya manusia. Dengan memanfaatkan perkembangan IPTEKS, kemajuan yang berarti terjadi di berbagai bidang, salah satunya di bidang pendidikan, khususnya matematika. Karena itu, salah satu hal yang harus diperhatikan dan ditingkatkan adalah kemampuan dalam matematika. Matematika sekolah mempunyai peranan yang cukup besar dalam memberikan berbagai kemampuan kepada siswa untuk keperluan penataan kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam kehidupan sehari-hari, lebih khususnya kehidupan lokal di mana siswa bersentuhan secara langsung dengan lingkungannya. Kurikulum 2006 tentang standar kompetensi menyebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kreatif dan kritis serta kemampuan bekerja sama. Salah satu tujuan dari pembelajaran matematika dalam kurikulum tersebut adalah mengembangkan akivitas kreatif dan kritis yang melibatkan siswa. Kurikulum ini juga menyebutkan bahwa salah satu prinsip kegiatan belajar mengajar adalah mengembangkan kreativitas siswa. Dengan demikian, kurikulum tersebut memandang penting pengembangan kreativitas dan kritis siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir.

2 Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa salah satu karakteristik matematika adalah memiliki objek langsung dan objek tidak langsung. Objek langsung matematika adalah isi materi yang dipelajari oleh siswa, sedangkan objek tidak langsung adalah sikap atau kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif dan logis. Karakteristik matematika yang lain adalah matematika memiliki objek yang sifatnya abstrak. Sifat ini menyebabkan sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya prestasi belajar siswa dalam bidang matematika. Menurut laporan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2007, menunjukan bahwa prestasi belajar matematika para siswa Indonesia berada pada peringkat 36 dari 49 negara dengan memperoleh skor 397 dari skor tertinggi 598 yang diperoleh Taiwan. Senada dengan itu hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2009, menunjukan bahwa prestasi belajar matematika para siswa Indonesia berada pada peringkat ke 61 dari 65 negara dengan memperoleh skor 371 dari skor tertinggi (600) yang diperoleh Shanghai-Cina (Balitbang-Depdiknas, 2009). Berdasarkan data TIMSS dan PISA tersebut terlihat bahwa prestasi matematika siswa di Indonesia pada umumnya rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor siswa itu sendiri, guru dan lingkungan belajar. Di mana siswa mempunyai masalah baik secara komprehensif maupun secara parsial dalam mempelajari matematika, begitupun guru dalam penyampaian materi. Di samping itu, dalam mempelajari matematika, siswa

3 belum memperoleh makna sehingga pemahaman konsep matematika siswa sangat lemah. Hasil Ujian Nasional siswa SLTP di Kota Ambon menunjukkan bahwa hasil belajar siswa masih rendah, yaitu nilai rata-tata 5.50. Prestasi belajar siswa yang memprihatinkan tersebut harus terus diupayakan untuk diperbaiki agar menjadi lebih baik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa di sekolah. Usaha perbaikan pembelajaran matematika sekolah pun sudah banyak dilaksanakan. Misalnya, penataran terhadap para guru, peningkatan kualifikasi pendidikan guru, pembaharuan kurikulum serta penelitian mengenai kesalahan dan kesulitan siswa dalam mempelajari matematika. Tetapi, berbagai upaya yang dilakukan itu belum memberikan hasil yang menggembirakan. Marpaung (2001) menyatakan bahwa matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan. Banyak siswa dapat menyebutkan definisi jajar genjang, tetapi bila kepada mereka diberikan satu persegi panjang dan ditanyakan apakah persegi panjang itu jajar genjang, mereka menjawab tidak. Kutipan ini menunjukkan kegagalan siswa memahami konsep, sehingga pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemahaman siswa perlu diperhatikan. Pemahaman dapat diartikan kebermaknaan informasi yang disajikan oleh guru pada struktur kognitif yang dimiliki siswa. Siswa terbiasa untuk bekerja menurut prosedur dan memahami matematika tidak dengan suatu penalaran. Dimyati dan Mudjiono (2006) mengemukakan, faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan siswa dalam belajar yaitu faktor dari dalam (intern) siswa

4 berupa kemampuan yang dimilikinya dan faktor dari luar (ekstern) siswa yaitu kemampuan (kompetens) guru serta kondisi lingkungan. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah-sekolah selama ini masih bersifat klasikal. Di mana, guru cenderung mendominasi pembelajaran sehingga keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangat kurang. Hal ini menyebabkan siswa kurang mempunyai kesempatan untuk menggunakan caranya sendiri dalam memecahkan suatu masalah. Siswa terbiasa untuk bekerja menurut prosedur dan memahami matematika tidak dengan suatu penalaran. Pembelajaran yang dilakukan secara klasikal di sekolah hanya mengukur hasil belajar siswa lewat tes yang dilakukan guru di akhir pembelajaran tanpa mengukur kemampuan potensial siswa dalam pembelajaran. Mengukur kemampuan potensial yang dimaksudkan adalah bagaimana siswa bertanya dan menjawab pertanyaan guru atau siswa yang lain, dalam hal ini kemampuan potensial siswa akan nampak dalam menyelesaikan suatu masalah matematika baik secara individu maupun diskusi dalam kelompok. Kemampuan potensial siswa adalah kemampuan berpikir yaitu berpikir kritis matematis dan kreatif matematis untuk menanggapi dan menyelesaikan masalah matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa sangat rendah. Beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis antara lain penelitian yang dilakukan Ismaimazu (2010) yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis dapat membantu siswa dalam penyelesaian masalah

5 matematika dan penelitian yang dilakukan oleh Uzel dan Uyangor (2005) tentang peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dengan pendekatan RME. Dengan demikian, pembelajaran yang berlangsung nantinya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa dalam belajar matematika. Berpikir kritis menurut Krulik dan Rudnick (NCTM: 1999) adalah berpikir yang menguji, mempertanyakan, menghubungkan dan mengevaluasi dalam suatu situasi atau masalah. Sedangkan, Evans (1991) mengemukakan bahwa berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Oleh karena itu, penelitian disertasi akhir-akhir ini sering dilakukan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa. Sebab dalam pembelajaran, aspek berpikir kritis dan kreatif matematis tidak pernah dilakukan dan dinilai oleh guru. Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menggali secara lebih mendalam kemampuan potensial dimaksud pada proses pembelajaran yang selama ini terabaikan oleh guru. Padahal justru proses itu sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pembelajaran di kelas. Berpikir kritis matematis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses kritis meliputi mengidentifikasi, menghubungkan, menganalisis dan memecahkan masalah, dan berpikir kreatif matematis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses kreatif yang meliputi kelancaran, keaslian, kelenturan dan elaborasi. Oleh sebab itu, siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sehingga interaksi dalam kelas dapat berjalan dengan baik. Berkaitan dengan uraian di atas, maka perlu dipikirkan strategi atau cara

6 penyajian dan suasana pembelajaran matematika yang membuat siswa terlibat dan merasa senang dalam belajar matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Salah satu pembelajaran matematika yang dijiwai oleh nilai konstruktivisme adalah Realistic Mathematics Education (RME), yang dalam bahasa Indonesia berarti Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Hasil pengamatan terhadap proses pengajaran matematika di Belanda menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran matematika realistik memberi dampak positif terhadap proses maupun hasil pembelajaran (Yuwono, 2001). Jika pembelajaran matematika realistik dapat memberi dampak positif di negara lain, maka ada kemungkinan pembelajaran matematika realistik juga dapat membantu meningkatkan kemampuan matematika siswa di Indonesia dengan merujuk pada hasil penelitian Fauzan, Slettenhaar dan Tjeerd Plomp (2002) yang menunjukkan bahwa RME bisa mengatasi masalah di dalam pendidikan matematika di Indonesia. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Zulkardi (2002), yaitu pembelajaran matematika realistik dapat mengembangkan lingkungan belajar yang kaya untuk mahasiswa keguruan di Indonesia. Senada dengan itu, Palinussa (2009), menunjukkan bahwa PMR untuk materi belah ketupat dan layang-layang-layang SMP di kota Ambon menujukkan bahwa pengembangan perangkat dianggap layak, PMR dianggap efektif dan hasil pembelajaran dengan PMR Lebih baik. Sugiman dan Kusumah (2010), mengemukakan bahwa dampak PMR menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMP. Dalam Penerapan PMR pada

7 siswa, guru memegang peranan penting dalam pelaksanaan pengajaran di kelas. Turmudi (2012), melakukan penelitian tentang persepsi guru terhadap inovasi pengajaran matematika SMP di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwaguru di Bandung, Indonesia memiliki orientasi yang positif terhadap inovasi pengajaran matematika yaitu PMR. Pada proses pembelajaran dengan PMR, siswa menjadi fokus dari semua aktivitas dalam semua proses belajar dan mengajar di kelas. Hal ini menjadikan siswa tersebut aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Pengalaman belajar yang diperoleh siswa melalui kegiatan bertindak, mencari, dan menemukan sendiri menyebabkan materi itu sendiri tidak mudah dilupakan. Untuk itu, guru mengajar tidak hanya sekedar memberikan ilmu pengetahuan tetapi menciptakan situasi yang menggiring siswa untuk berani bertanya, berani mengemukakan pendapatnya sendiri dan dapat menerima pendapat dari temannya serta menemukan sendiri fakta atau konsep yang dipelajari. Dengan PMR, siswa mempelajari ide-ide dan konsep-konsep matematika melalui permasalahan konstektual yang berkaitan dengan lingkungan siswa tersebut. Hal ini sejalan dengan Kurikulum 2006 (Depdiknas, 2006) yang menekankan penggunaan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) dalam memulai kegiatan pembelajaran matematika. PMR yang mengedepankan situasi dunia nyata sangat erat kaitannya dengan proses berpikir siswa. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Sabandar (2009) bahwa, proses berpikir yang dibangun sejak awal dalam upaya menyelesaikan suatu

8 masalah hendaknya berlangsung secara sengaja dan sampai tuntas. Ketuntasan dalam hal ini dimaksudkan bahwa siswa yang menjalani proses tersebut benar-benar telah berlatih dan memberdayakan dan memfungsikan kemampuannya yang ada sehingga ia memahami serta menguasai apa yang dikerjakannya selama proses itu terjadi. Dengan demikian, siswa harus dilatih agar memiliki keterampilan berpikir matematis. Proses berpikir yang digali dalam PMR adalah berpikir kritis dan kreatif matematis kerena berpikir ini sangat penting untuk mengukur kemampuan siswa disamping penilaian lewat tes yang selama ini dilakukan. Hal ini sejalan dengan tiga prinsip dan lima karakter RME yang dikemukakakn oleh Gravemeijer (1994), sehingga RME dipandang sangat tepat dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Kurikulum 2006 mengamanatkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan haruslah mengedepankan karakter budaya lokal. Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dangan bijak dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Megawangi: 2004). Kenyataan di lapangan berdasarkan survei awal di sekolah menunjukkan bahwa kondisi siswa dalam belajar di kelas bersifat klasikal artinya siswa hanya penerima informasi dari guru. Hal ini menyebabkan peneliti memandang penting penerapan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran. Nilai-nilai karakter yang berkembang dalam pendidikan tercermin dalam pembelajaran agama, Pancasila, budaya serta dalam Tujuan Pendidikan Nasional (Hasan dkk, 2010).

9 Nilai-nilai karakter dimaksud sangat beperan penting dalam pembelajaran matematika karena dapat membentuk sikap dan perilaku yang baik dalam mengikuti pembelajaran khususnya pembelajaran matematika, sehigga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Di samping itu, pendekatan pembelajaran dengan PMR yang mengedepankan situasi dunia nyata. Hal ini senada dengan pandangan Freudental yang mengemukakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika merupakan aktivitas manusia (Gravemeijer,1994). Artinya, pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk mengaktifkan siswa haruslah berdasarkan budaya yang menjadi dasar dari aktivitas kehidupan yang dilakukan siswa sehari-hari, sehingga mudah dipahami oleh siswa karena siswa bersentuhan langsung dengan situasi yang terjadi. Budaya pela dan gandong menunjukkan hubungan kekerabatan antara negeri salam dan sarani yang memiliki hubungan persaudaraan yang erat dan saling membantu menyelesaikan masalah dalam masyarakat secara bersama. Misalnya, dalam membangun rumah ibadah (mesjid dan gereja) dan budaya cuci negeri yang mengedepankan nilai-nilai kerja sama dalam kelompok yaitu budaya masohi dan budaya badati. Budaya masohi adalah budaya kerja sama saling membantu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan seperti membangun rumah/rumah adat. Sedangkan, budaya badati adalah saling membantu atau menyumbang dalam suatu acara tertentu sehingga beban dipikul secara bersama. Aspek budaya yang dipaparkan menunjukkan adanya hubungan kerja sama yang sangat erat baik individu atau kelompok yang dilakukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan ini sangat khas terjadi di Maluku sebab mencerminkan

10 kerukunan umat beragama. Aspek ini sangat mengena dengan prinsip dan karakter RME yang mengedepankan kontribusi siswa dan interaktivitas. Leung (2009) menambahkan bahwa Indonesia dengan keragaman budaya, perlu juga menerapkan etnopedagogik dalam sistem pembelajaran dan budaya pengajaran. "Seharusnya negara dengan budaya khas lebih unggul, karena bisa belajar matematika dalam dua perspektif budaya berbeda dan budaya sendiri. Berdasarkan pendapat di atas, maka pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan pendekatan budaya, khususnya budaya Maluku yaitu budaya kerja sama dalam budaya pela gandong, masohi, badati dan cuci negeri. Pemilihan pokok bahasan dilatarbelakangi oleh kaitan pokok bahasan tersebut dengan masalah sehari-hari yang mungkin dialami siswa. Materi geometri dianggap tepat karena materi ini berbicara tentang bangun datar dan siswa dapat mengkonstruksi bangun tersebut lewat benda yang ada di sekitarnya dan yang berkaitan dengan karakter dan budaya yang berkembang di Maluku dan berkaitan dengan dunia nyata sehingga siswa bersentuhan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Nyata yang dimaksudkan bukan hanya nyata dalam kehidupan seharihari semata akan tetapi nyata dalam pikiran siswa, oleh sebab itu kemampuan awal matematika siswa (KAM) sangat berperan penting dalam keberhasilan belajar sebab itu guru harus mempersiapkan siswa dengan pengetahuan prasyarat sebelum nantinya masuk pada materi yang akan diteliti.

11 Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa yang belajar matematika dengan pendekatan PMR. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi masalah dalam pembelajaran matematika dengan pembelajaran matematika realistik (PMR), secara rinci rumusannya adalah sebagai berikut: 1. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan PMR lebih baik dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa? (b) Kemampuan awal siswa? 2. Apakah kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang menggunakan PMR lebih baik dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa? (b) Kemampuan awal siswa? 3. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa? (b) Kemampuan awal siswa? 4. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan PMR lebih baik dibandingkan dengan

12 siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa? (b) Kemampuan awal siswa? 5. Apakah ada interaksi antara faktor pembelajaran dan kemampuan awal siswa terhadap: (a) Pencapaian kemampuan beripikir kritis matematis siswa? (b) Pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa? (c) Sikap siswa 6. Apakah terdapat perbedaan karakter siswa yang menggunakan PMR dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa? (b) Kemampuan awal matematika siswa? 7. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji pencapaian kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan PMR lebih baik jika dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa. (b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). 2. Mengkaji pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang

13 menggunakan PMR lebih baik jika bandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa. (b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). 3. Mengkaji peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa (b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). 4. Mengkaji peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa (b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). 5. Mengkaji eksistensi interaksi antara faktor pembelajaran dan kemampuan awal siswa terhadap: (a) Pencapaian kemampuan berpikir kritis matematis siswa. (b) Pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa (c) Sikap siswa. 6. Mengkaji karakter siswa yang menggunakan PMR dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa (b) Kemampuan awal matematika siswa.

14 7. Mengkaji eksistensi asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat: 1. Bagi siswa sebagai pengalaman belajar khususnya siswa yang belajar dengan menggunakan PMR pada materi geometri. 2. Bagi guru, dijadikan sebagai suatu alternatif pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis, pembinaan budaya dan karekter siswa. 3. Bagi peneliti, menjadi masukkan yang baik guna pengembangan diri dan perubahan pola pembelajaran. 4. Bagi peneliti lain, sebagai referensi untuk melakukan penelitian RME berbasis budaya dalam kaitan dengan berpikir kritis dan kreatif matematis, karakter siswa 5. Bagi pemerintah, sebagai masukan untuk Kementrian Pedidikan dan Kebudayaan dalam merevisi Kurikulum Pendidikan Matematika 2013 lebih menekankan pada aspek karakter dan budaya terutama budaya kehidupan keseharian siswa atau budaya lokal. E. Definisi Operasional 1. Pembelajaran Matematika Realistik Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang mengedepankan konteks dunia nyata dan

15 berpedoman pada tiga prinsip dan lima karakteristik dari PMR. 2. Berpikir Kritis Matematis Berpikir kritis matematis adalah proses kritis meliputi mengidentifikasi, menghubungkan, menganalisis dan memecahkan masalah. 3. Berpikir Kreatif Matematis Berpikir kreatif matematis adalah proses kreatif yang meliputi kelancaran, keaslian, kelenturan dan elaborasi. 4. Karakter siswa adalah pendapat siswa meliputi sikap religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, semangat kebangsaan, cinta tanah air, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, sikap cinta damai, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli sosial, peduli lingkungan dan tanggung jawab. 5. Budaya Maluku Budaya Maluku adalah budaya kehidupan orang bersaudara yang saling membantu satu sama lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan tanpa memandang suku, agama, ras dan adat istiadat.