1. DUGONG BUKAN PUTRI DUYUNG Istilah dugong sering dikacaukan dengan istilah lain seperti ikan duyung dan putri duyung. Dalam khasanah ilmiah, istilah dugong adalah satwa mamalia yang hidup di perairan laut dangkal yang makanannya boleh dikatakan eksklusif lamun (seagrass). Nama ilmiahnya adalah Dugong dugon. Istilah dugong itu diambil dari bahasa Tagalog, dugong, yang bersumber dari bahasa Melayu, duyung atau duyong yang berarti perempuan laut. Istilah ini mungkin didasarkan pada banyaknya cerita atau dongeng lama tentang mahluk laut yang bentuknya setengah manusia (biasanya putri cantik) dan setengah ikan. Kisah tentang putri duyung sudah sangat populer di masyarakat kita. Banyak dongeng yang menceritakan bahwa satwa dugong itu leluhurnya adalah manusia. Di mancanegara pun banyak dongeng tentang mahluk laut yang setengah gadis dan setengah ikan. Dalam bahasa Inggris istilah yang populer untuk manusia setengah ikan ini adalah mermaid. Konon dongeng tentang mermaid ini bersumber dari para pelaut zaman dahulu yang melihat satwa dugong di permukaan laut dari kejauhan, dengan sedikit imajinasi, tampak mirip seperti seorang perempuan yang bisa memeluk dan menyusui anaknya seperti manusia. Kekacauan istilah yang juga banyak terjadi ialah anggapan dugong itu adalah ikan, seperti sering kita jumpai istilah ikan duyung. Padahal dugong bukanlah ikan yang mempunyai ciri bernapas dengan insang, dan umumnya bersisik. Gambar 1.1. Dugong dugon. (Engel 1970) Karena banyaknya kekacauan istilah ini, maka penulis menyarankan agar istilah dugong digunakan hanya dalam pengertian satwa mamalia laut. Sedangkan istilah ikan duyung dan putri duyung digunakan untuk merujuk pada tokoh dalam kisah dongeng yang dalam istilah Inggrisnya dikenal dengan mermaid. Di Indonesia dugong diberi nama beragam di berbagai daerah. Di masyarakat Melayu disebut duyung atau duyong. Di tempat lain di Sumatra disebut juga babi laut. Di Sulawesi
Selatan disebut ruyung, sedangkan di masyarakat Suku Bajo di Torosiaje (Gorontalo) disebut dio. Dalam klasifikasi hewan, dugong termasuk dalam Class Mamalia yang dicirikan dengan hewan yang menyusui anaknya, dan di bawah Ordo Sirenia yang dicirikan dengan mamalia laut yang herbivor. Di bawah Ordo Sirenia hanya ada dua kelompok yakni Familia Dugongidae dan Trichechidae. Di bawah Familia Dugongidae sekarang hanya terdapat satu spesies yakni Dugong dugon. Kerabat terdekatnya sesama Dugongidae adalah Hydrodamalis gigas telah punah di abad 18. Kerabat lainnya di bawah Trichechidae adalah genus Trichechus yang lebih dikenal dengan nama Manatee yang hidup dari perairan pantai hingga di perairan tawar, dan mkanannya pun lebih beragam dibandingkan dengan Dugong. Gambar 1.2. Detail mata dugong yang kecil. Sebelah kiri atas adalah lubang telinga. Gambar 1.3. Lubang hidung dugong yang mempunyai katup yang dapat kedap Dugong pertama kali diklasifikasi oleh Műller di tahun 1776 dengan nama Trichechus dugon, dan kemudian direvisi oleh oleh Lacépède yang mengubah namanya menjadi Dugong dugon. Dugong dugon dalam tampilan fisiknya bentuknya seperti ikan yang tambun, tanpa sirip punggung, dilengkapi dengan ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti ekor paus dan lumba-lumba. Bila ekornya diayunkan naikturun akan memberi daya dorong baginya untuk berenang maju ke depan, sedangkan bila dipelintir untuk gerakan membelok. Panjang dugong dewasa jarang melebihi 3 meter dengan berat sampai sekitar 420 kg. Tetapi rekor dugong terberat tercatat sebesar 1.016 kg dengan panjang 4,06 m di pantai Saurashtra, di bagian sebelah barat India. Dugong betina cenderung sedikit lebih besar dari yang jantan. Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, dan berubah menjadi warna abu-abu gelap kecoklatan di bagian punggungnya menjelang dewasa dan bagian perut dengan warna yang lebih terang. Warna dugong dapat berubah dengan pertumbuhan alga di kulitnya. Kadang-kadang teritip (Balanus) ikut pula menempel di permukaan kulitnya. Sekujur tubuhnya diliputi dengan rambut-rambut halus dan pendek.
Moncongnya yang tebal berbentuk bagai tapal kuda, menghadap ke bawah dengan bibir tebal yang ditumbuhi bulu-bulu kasar bagai sikat (bristles). Bulu-bulu kasar ini merupakan organ yang sangat sensitif yang digunakannya untuk mencari makan. Gambar 1.4. Kiri: Moncong dugong dengan bibir atas yang tebal dipenuhi bulu sikat (bristles) yang sensitif. Kanan: Detail bulu sikat pada moncong dugong. (www.arkive.org) Dugong mempunyai sepasang sirip yang tebal dan bertulang bagai lengan dan jari-jari, yang dapar berfungsi sebagai dayung penyeimbang bila berenang. Bila dugong mencari makan di dasar laut, sirip tebalnya dapat menopang tubuhnya untuk merayap ketika mencari makan. Di ketiak kedua siripnya terdapat puting susu, yang sangat penting untuk menyusui anaknya. Lubang hidungnya terdapat di bagian atas kepalanya, dan mempunyai katup yang dapat menutup dengan kedap bila dugong menyelam. Bila dugong naik ke permukaan untuk menarik napas, hanya ujung lubang hidungnya yang muncul di permukaan. Dugong dapat menyelam selama 3 5 menit untuk kemudian naik lagi ke permukaan untuk bernapas. Gambar 1.5. Puting susu pada dugong betina yang darahnya sedang diambil untuk pemeriksaan kesehatan (www.uq.edu.au) Mata dugong berukuran kecil, dan di dalam air yang acapkali keruh, pandangannya sangat terbatas. Bila diangkat keluar dari air, dugong dapat mengeluarkan cairan yang dikenal sebagai air mata duyung. Telinga dugong tidak mempunyai cuping dan
berukuran kecil yang terletak di bagian kiri dan kanan kepalanya. Dugong dapat mendengar suara dengan baik di dalam air. Gambar 1.6. Perbedaan dugong betina dan jantan dilihat dari pososi relatif antara umbilicus, celah genital (celah vagina atau celah penis) dan dubur (anus). Dari tampak luarnya, sukar membedakan dugong betina dan jantan, karena bentuk luarnya boleh dikatakan sama (monomorphic). Salah satu petunjuk untuk membedakan jenis kelaminnya adalah posisi celah kelaminnya ( genital aperture) terhadap anus dan pusar (umbilicus). Pada yang betina, celah kelaminnya ( vagina) terletak lebih dekat ke anus. Otak dugong mempunyai berat maksimum 300 g, atau sekitar 0,1 % dari berat total tubuhnya. Paruparunya berukuran sangat panjang, yang dapat melanjut sampai dekat ginjalnya. Ginjalnya sendiri juga sangat memanjang yang sesuai untuk fisiologinya menghadapi lingkungan yang berkadar garam. Bila terluka, darah dugong akan cepat membeku. Kerangka dugong mempunyai 57 sampai 60 tulang belakang (vertebrae). Tengkoraknya berbentuk unik, gigi seri depan bagi yang jantan dapat memanjang, mencuat keluar dan membentuk gading. Susunan gigi-geliginya sangat sesuai untuk mencari makan dan mencabut lamun makanannya dari dasar laut. Siripnya mempunyai tulang dengan susunan bagai jari-jari. Dugong mengalami pachyostosis, yakni kondisi dimana tulang-tulang iga dan tulang-tulang panjang lainnya biasanya padat dan hanya Gambar 1.7. Detail gading dugong mengandung sedikit sumsum. Tulang-tulang berat ini (y ang merupakan terberat di antara semua hewan), berfungsi sebagai ballast atau pemberat yang memudahkannya menyelam dan mencari makan di dasar laut.
Dugong dapat mempunyai usia yang panjang sampai lebih 70 tahun. Dugong mulai dapat melahirkan anak pada usia 10 17 tahun, namun ada juga yang menyebutkan dapat sedini 6 tahun. Usia kehamilan dugong adalah sekitar 13 15 bulan. Setiap melahirkan akan menghasilkan hanya satu anak. Bayi dugong berukuran besar, ketika baru dilahirkan panjangnya berukuran 1,1 1,2 m dengan berat sekitar 27 35 kg. Anak dugong menyusu pada ibunya sampai usia usia 14 18 bulan. Selain menyusu, dugong juga sudah dikenalkan oleh ibunya untuk memakan lamun sesaat setelah dilahirkan Dugong sering dijumpai hidup soliter (sendiri), tetapi kadangkala juga dalam kelompok kawanan (herd) kecil sebanyak 5 10 individu. Di Australia, satu kawanan dugong bisa sampai puluhan individu. Tetapi tidak terdapat ikatan sosial yang kuat di antara mereka. Tiap individu dapat bebas keluar dari kawanannya. Ikatan yang kuat hanyalah antara ibu dan anak. Gambar 1.8. Kerangka dugong. (www.arkive.org)