BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

A. Pengertian Laporan Keuangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

BAB II LANDASAN TEORI. Soemitro, SH (Mardiasmo, 2006) adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Pajak Ada beberapa pengertian atau definisi pajak yang dikemukakan

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pertemuan 2 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (G + B)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang

BAB II. rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak digunakan untuk membiayai. untuk membiayai penyelenggaraan negara.

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam Siti Resmi (2009:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. kepada negara dimana penerimaan pajak tersebut digunakan oleh negara untuk. membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan negara.

Perpustakaan LAFAI

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian Pajak menurut Resmi (2013) adalah kontribusi wajib kepada negara

Pajak Penghasilan (PPh) Umum

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep Penghasilan Untuk Keperluan Perpajakan. diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,

BAB II LANDASAN TEORI. Ada berbagai pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli perpajakan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

Repositori STIE Ekuitas

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar Pajak Secara Umum II.1.1 Definisi Pajak Menurut Mardiasmo (2006) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.(h.1) Pengertian pajak menurut waluyo (2008) pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat di tunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.(h.4) Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah: 1. Pajak yang dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur. 6

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, terlihat dua fungsi pajak yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pengeluaranpengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. II.1.2 Asas-asas Pemungutan Pajak dan Pengelompokan Pajak Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu dipegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Dengan demikian, terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi, yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada: 1. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. 2. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 7

3. Convenience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn. 4. Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak. Menurut Mardiasmo (2006) pengelompokan pajak dibagi atas: 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2. Menurut Sifatnya a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. 8

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Bea Materai. b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air, pajak restoran, pajak reklame, pajak bea balik nama kendaraan bermotor.(h.5,6) II.1.3 Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu: a. Stelsel nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang, sebagai contoh, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. 9

2. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak menurut Waluyo (2008) di bagi menjadi tiga yaitu: a. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System: 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiscus. 2. Wajib pajak bersifat pasif. 3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus. b. Self Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 10

II.1.4 Pengertian Subjek Pajak Secara umum pengertian subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. Secara praktek termasuk dalam pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Subjek pajak tersebut dapat di kemukakan sebagai berikut: 1. Orang Pribadi. Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan umur dan juga jenjang sosial ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua (non-discrimination). 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Dalam hal ini, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. 3. Badan Badan sebagai subjek pajak adalah suatu bentuk usaha atau bentuk nonusaha yang meliputi: - perseroan terbatas; - perseroan komanditer; - badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun; - persekutuan; - firma; - yayasan; - bentuk usaha tetap serta bentuk usaha tetap lainnya. 11

4. Bentuk Usaha Tetap Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau juga badan yang tidak di dirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia. II.1.5 Jenis Subjek Pajak dan Pengecualian Sebagai Subjek Pajak Subjek pajak terdiri dari dua jenis yakni: 1. Subjek pajak dalam negeri Termasuk sebagai subjek pajak dalam negeri adalah: a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Badan yang di dirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Subjek pajak luar negeri Yang termasuk sebagai subjek pajak luar negeri adalah: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak di dirikan dan tidak 12

bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak di dirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Adapun yang termasuk dikecualikan sebagai subjek pajak adalah: 1. Badan perwakilan negara asing. 2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat, atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, demikian juga dengan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama dengan mereka, dengan persyaratan bukan sebagai warga negara Indonesia, serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya selain di Indonesia, disamping itu juga negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama secara timbal balik. 3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain yang dapat memberikan penghasilan di Indonesia. 13

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat tidak sebagai warga negara Indonesia serta tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain yang dapat memberikan penghasilan di Indonesia. II.1.6 Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif Adapun mengenai saat mulai dan berakhirnya kewajiban perpajakan sehubungan dengan kedudukan pajak subjektif ini adalah sebagai berikut: Saat mulainya kewajiban pajak subjektif. 1. Subjek pajak orang pribadi a. Bagi subjek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan mulai pada saat ia lahir di Indonesia. b. Bagi subjek pajak orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai sejak saat orang tersebut berada di Indonesia. c. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka kewajban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat orang pribadi tersebut menjalankan usahanya di Indonesia. 14

d. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat orang pribadi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2. Subjek pajak badan. a. Subjek pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. b. Bagi subjek pajak badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya mulai pada saat badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia. 3. Warisan Untuk warisan yang belum terbagi dan masih dalam satu kesatuan menggantikan yang berhak, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut yakni tepatnya pada saat pewaris (yang mewariskan) meninggal dunia. Saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif. 1. Subjek pajak orang pribadi a. Subjek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, maka pajak subjektifnya akan berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. 15

b. Bagi subjek pajak orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat orang tersebut tidak lagi menjalankan usaha atau tidak melakukan kegiatan di Indonesia. c. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat orang pribadi tersebut tidak lagi menjalankan usahanya di Indonesia. d. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat orang pribadi tersebut tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2. Subjek pajak badan. a. Subjek pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. 16

b. Bagi subjek pajak badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat badan tersebut tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia. 3. Warisan Untuk warisan yang belum terbagi dan masih dalam satu kesatuan menggantikan yang berhak, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi kepada para ahli warisnya masing-masing, dan sejak saat itu pula beralih pemenuhan kewajiban perpajakannya kepada para ahli warisnya. II.1.7 Pengertian Objek Pajak Dalam perpajakan, yang dimaksud dengan objek pajak yaitu apa yang dikenakan pajak. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan telah memberikan penegasan mengenai objek pajak penghasilan yaitu penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-undang Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun. 17

Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dapat dikategorikan atas empat sumber yakni: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas. 2. Penghasilan dari usaha kegiatan. 3. Penghasilan dari modal. 4. Penghasilan lain-lain, seperti hibah, pembebasan utang, dan sebagainya. II.1.8 Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan telah diberikan uraian mengenai objek Pajak Penghasilan antara lain: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh. 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha. 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk. a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota. c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil alihan usaha. 18

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk deviden dari premi asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8. Royalti. 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau pembayaran berkala. 11. Keuntungan karena pembebasan utang 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi. 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan atau pekerjaan bebas anggotanya. 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 19

Adapun penghasilan dari selisih lebih karena penilaian kembali di atas, sesuai Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Panghasilan terdapat beberapa jenis penghasilan yang pengenaannya dilakukan secara final yakni atas: 1. Bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya. 2. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek. 3. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan. 4. Penghasilan tertentu lainnya, seperti dari usaha migas, kertas, baja, dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh, penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak adalah: 1. a. Bantuan atau sumbangan. b. Harta hibahan yang diterima keluarga sedarah garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Warisan. 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. 4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura ataupun kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. 20

5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. 7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi. 9. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan modal atau diperoleh perusahaan reksa dana. 10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatannya di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. 21

II.2 Pajak Penghasilan Pasal 21 II.2.1 Definisi Pajak Penghasilan Pasal 21 Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah Undang-undang No.7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 tahun 2000, menyatakan pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Menurut Waluyo (2008), menyatakan bahwa pajak penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya dikategorikan sebagai Pajak Subjektif. Dengan pengertian bahwa Pajak Penghasilan ini berpangkal atau didasarkan pada Subjek Pajaknya. PPh Pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Menurut Suandy, E (2008), pajak penghasilan termasuk sebagai kategori pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Perpajakan.(h.33) II.2.2 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Yang bertindak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah: 1. Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap, badan atau organisasi Internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, baik merupakan induk maupun 22

cabang perwakilan atau uni, yang membayar gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. 2. Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. 3. Dana pensiun badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua. 4. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. 5. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri. 6. Yayasan (termasuk yayasan dibidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, dan organisasi masa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apa pun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, 23

honorium, atau imbalan dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. 7. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan. 8. Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. II.2.3 Biaya Fiskal Biaya fiskal adalah biaya yang pengakuan dan penyusunannya berdasarkan Undang-undang Perpajakan, dan untuk keperluan perpajakan (fiscus). Biaya fiskal (yang diperkenankan sebagai pengurang terhadap penghasilan bruto dalam menghitung pajak) adalah: a. Biaya untuk mendapat, menagih, dan memelihara penghasilan. b. Penyusutan (harta berwujud) dan amortisasi (perolehan hak). c. Iuran kepada dana pensiun (telah disahkan Menteri Keuangan). d. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing. e. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki. f. Biaya litbang perusahaan (dilakukan di Indonesia). g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat yang ditetapkan. 24

Sedangkan biaya yang tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto adalah: a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun. b. Biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota. c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa (yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi). e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan. f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat, atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. h. Pajak penghasilan. i. Biaya untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau tanggungannya. j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atau saham. k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda dalam perpajakan. 25

II.2.4 Subjek PPh Pasal 21 Rusjdi (2006) mendefinisikan Subjek pajak PPh Pasal 21 adalah penerima penghasilan atau subjek yang dipotong PPh Pasal 21.(h.256). Yang termasuk subjek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut: 1. Pegawai, setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN dan BUMD. Pegawai dibagi menjadi dua yaitu: a. Pegawai tetap, orang pribadi yang bekerja kepada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota pengawas yang secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan perusahaan. b. Pegawai lepas, orang pribadi yang bekerja kepada pemberi kerja dan hanya menerima upah apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. 2. Penerima pensiun, orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukannya di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua selain yang dibayarkan oleh Taspen. 3. Penerima honorarium, orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya. 4. Penerima upah, orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan. 5. Orang pribadi lainnya yang menerima upah atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan dari pemotong pajak. 26

II.2.5 Tidak termasuk Subjek PPh Pasal 21 Pengecualian Wajib Pajak PPh Pasal 21, berdasarkan kutipan Mardiasmo (2006) ada dua yaitu: 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara asing, orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatannya di Indonesia. Hal ini terjadi jika ada asas timbal balik dari Negara yang bersangkutan. 2. Pejabat perwakilan organisasi Internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan No.314 KMK.04 tahun 1998 sepanjang bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. II.2.6 Objek PPh Pasal 21 Bila secara umum objek PPh Pasal 21 adalah penghasilan, maka untuk PPh Pasal 21 secara spesifik objeknya adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, upah, uang pensiun bulanan, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun. 27

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak teratur (tidak tetap) dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun. 3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan. 4. Uang tembusan pensiun, uang tabungan hari tua atau tunjangan hari tua, uang pesangon, dan pembayaran sejenis lainnya. 5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lainnya sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. 6. Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh bukan (yang dikecualikan sebagai) Wajib Pajak. Sedangkan menurut undang-undang pajak penghasilan yang tidak termasuk (dikecualikan) sebagai objek PPh Pasal 21 adalah: 1. Penyebaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 2. Penerima dalam bentuk natura atau kenikmatan lainnya yang diberikan oleh Wajib Pajak. 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja. 28

4. Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan oleh pemerintah. 5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja. II.2.7 Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 Tata cara perhitungan PPh Pasal 21 pada umumnya sama dengan cara perhitungan pajak penghasilan lainnya, namun dalam perhitungan PPh Pasal 21 bagi penerima tertentu selain ada pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) juga ada pengurangan lainnya berupa biaya jabatan dan biaya pensiun. Selain itu tarif yang ditetapkan juga bervariasi. Tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 adalah tarif progresif berdasarkan Undang-undang perpajakan No.17 tahun 2000, yaitu sebagai berikut: Tabel 2.1 Tarif Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PTKP) Tarif Pajak PKP < Rp 25.000.000,00 5% RP 25.000.000,00 < PKP < Rp 50.000.000,00 10% Rp 50.000.000,00 < PKP < RP 100.000.000,00 15% Rp 100.000.000,00 < PKP < Rp 200.000.000,00 25% Rp 200.000.000,00 < PKP 35% 29

Pengurangan yang diperbolehkan adalah: 1. Biaya yang diperkenankan sebagai pengurang pegawai tetap: a. Biaya jabatan, besarnya 5% dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,00 setahun atau Rp 108.000,00 sebulan. b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar pegawai (iuran, tunjangan hari tua atau tabungan hari tua). 2. Biaya yang diperkenankan sebagai pengurang pensiunan: Biaya pensiun, besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,00 setahun atau Rp 36.000,00 sebulan. 3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ) yang berlaku dari tahun 2000 sampai tahun 2006 berdasarkan Undangundang PPh Pasal 7 ayat (1) adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) (dalam Rupiah) Keterangan Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun 2006 Wajib Pajak Pribadi 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 Wajib Pajak Kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 Tambahan bagi Wajib Pajak yang 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 istrinya bekerja sehingga memperoleh 30

penghasilan yang digabung dengan penghasilan suaminya. Tambahan untuk setiap anggota 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus (misalnya orang tua, mertua, anak kandung), serta anak anggkat yang ditanggung sepenuhnya. Semua tanggungan maksimal tiga orang, dan harus mempunyai surat keterangan dari instansi pemerintah setempat, serta tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Ketentuan untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tahun 2000 diambil berdasarkan Keputusan Direktorat Jendral Pajak No.545/PJ/2000, sedangkan untuk Penghasilan Tidak Kena pajak (PTKP) 2005 diambil berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.564/KMK.03/2004 dan untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak tahun 2006 diambil berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.137/PMK.03/2005. 31

Menurut Gunadi (2005) secara umum rumus perhitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut: - Gaji sebulan Rp xxx - Tunjangan Rp xxx - Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp xxx - Premi jaminan Kematian Rp xxx + Penghasilan Bruto Rp xxx Pengurangan: 1. Biaya Jabatan Rp xxx 2. Biaya Pensiun Rp xxx 3. Iuran JHT Rp xxx + Rp xxx - Penghsilan neto sebulan Penghasilan neto setahun: 12 x sebulan Rp xxx Rp xxx - Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp xxx - Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp xxx - PPh Pasal 21 terutang (setahun): = PKP x Tarif - PPh Pasal 21 sebulan: = PPh Pasal 21 setahun : 12 32

Menurut Zein (2008) perhitungan PPh Pasal 21 menggunakan perencanaan pajak dengan metode gross up ada beberapa rumus didalamnya. Rumus itu berfungsi untuk mencari besarnya tunjangan PPh yang akan dibersikan perusahaan untuk karyawan, rinciannya adalah sebagai berikut: PKP sampai dengan Rp 25.000.000,00 1/228,6 (PKP sebelum tunjangan pajak) PKP diatas Rp 25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 1/108 (PKP sebelum tunjangan pajak Rp 12.500.000,00) PKP sampai diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000,00 1/204 (PKP sebelum tunjangan pajak Rp 75.000.000,00) PKP diatas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00 1/36 ( PKP sebelum tunjangan pajak Rp 55.000.000,00 PKP diatas Rp 200.000.000,00 1/78 (PKP sebelum tunjangan pajak Rp 33.750.000,00) 33

II.3. Perencanaan Pajak II.3.1 Definisi Perencanaan pajak Menurut Suandy (2006) Perencanaan pajak adalah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak.(h.7) II.3.2 Tahap Dalam Membuat Perencanaan Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun Internasional, maka agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai tahap-tahap berikut: l. Menganalisis informasi (Basis Data) yang ada. b. Membuat suatu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak. c. Evaluasi atas perencanaan pajak d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak. e. Memutakhirkan rencana pajak. 34

II.3.3 Pengelolaan Efisiensi Pajak Penghasilan dengan Pemberian Kesejahteraan Peluang melakukan efisiensi pajak penghasilan badan sangat banyak yang dapat dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan. Strategi yang berkaitan dengan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan, sebagai berikut: 1. Pada perusahaan yang memperoleh Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang telah dikenakan tarif tertinggi diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan, karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. 2. Untuk perusahaan yang pajak penghasillannya dikenakan secara final, sebaiknya memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura, karena pemberian natura kepada karyawan tidak termasuk objek pajak PPh Pasal 21 dan tidak mempengaruhi PPh badannya. 3. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian kenikmatan dan natura akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh badan. 35