BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEBOLEHAN PENDAFTARAN PENCATATAN PERKAWINAN PADA MASA IDDAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI I TENTANG TATA CARA RUJUK SERTA RELEVANSINYA TERHADAP PERATURAN MENTERI AGAMA NO.

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG. NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg.

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

Bolehkah melaksanakan perkawinan seorang perempuan dengan seorang laki laki yang bapak keduanya saudara sekandung, yaitu seayah dan seibu?

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

tradisi jalukan pada saat pernikahan. Jalukan adalah suatu permintaan dari pihak

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Terhadap Modernisasi Mahar Nikah di KUA Jambangan Surabaya

PUTUSAN Nomor : 002/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN NIKAH TUMBUK DESA DI DESA CENDIREJO KECAMATAN PONGGOK KABUPATEN BLITAR

YANG HARAM UNTUK DINIKAHI

BAB I PENDAHULUAN. pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi Negara

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar FIQIH, (Jakarta:KENCANA. 2003), Hal-141. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kasus yang terbanyak di Pengadilan tersebut.hal ini berdasarkan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GANTI RUGI DALAM JUAL BELI ANAK BURUNG

BUYUT POTROH SEBELUM PROSESI AKAD NIKAH DI DESA

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

P E N E T A P A N Nomor 0026/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN HAKIM NOMOR. 2781/Pdt.G/2012/PA.Tbn TENTANG PENOLAKAN PERMOHONAN NAFKAH ANAK OLEH ISTRI YANG DICERAI TALAK

BAB V ANALISIS. 1. Pendapat ulama yang Melarang Keluar Rumah dan Berhias Bagi Wanita Karier.

P E N E T A P A N Nomor 20/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK PEMANFAATAN BARANG TITIPAN. A. Analisis Praktik Pemanfaatan Barang Titipan di Kelurahan Kapasari

Apakah Wanita yang Dicerai Mendapat Warisan Dari Mantan Suaminya yang Wafat?

rukhs}oh (keringanan), solusi dan darurat.

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IJAB QABUL PADA MASYARAKAT SUKU SAMIN

BABA V PENUTUP A. KESIMPULAN. Dari beberapa penjelasan yang diuraikan di muka terhadap

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO: PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM BUKU II SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK SIMPAN PINJAM PEREMPUAN PADA PNPM MP DI DESA IMA AN KECAMATAN DUKUN KABUPATEN GRESIK STUDI ANALISIS KOMPILASI HUKUM

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan pada dasarnya merupakan perilaku makhluk ciptaan. TuhanYang Maha Esa yang tidak hanya terbatas pada diri seorang manusia

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN WANITA HAMIL OLEH SELAIN YANG MENGHAMILI. Karangdinoyo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro

BAB IV ANALISIS HUKUM BISNIS ISLAM TERHADAP PENGAMBILAN KEUNTUNGAN PADA PENJUALAN ONDERDIL DI BENGKEL PAKIS SURABAYA

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB V PENUTUP. yang dapat kita ambil dari pembahasan tesis ini. Yaitu sebagai berikut:

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

A. Analisis Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Dalam Pernikahan Gadis dan. 1. Analisis prosesi tradisi standarisasi penetapan mahar

BAB IV ANALISIS PENDAPAT TOKOH NU SIDOARJO TENTANG MEMPRODUKSI RAMBUT PALSU

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENOLAKAN PETUGAS KUA ATAS WALI NIKAH MEMPELAI HASIL HUBUNGAN DI LUAR NIKAH

BAB II TINJAUAN HUKUM ISLAM DALAM PROSES PERKAWINAN

MAD{IAH ISTRI AKIBAT PERCERAIAN DI KELURAHAN SEMOLOWARU

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SITA MARITAL ATAS MAS KAWIN PASCA PERCERAIAN. (Studi Penetapan Perkara Nomor 626/Pdt.G/2008/PA.

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Dan Dasar Hukum Hakim. Berdasarkan keterangan pemohon dan termohon serta saksi-saksi dari

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

PROSES AKAD NIKAH. Publication : 1437 H_2016 M. Disalin dar Majalah As-Sunnah_Baituna Ed.10 Thn.XIX_1437H/2016M

BAB IV. Agama Bojonegoro yang menangani Perceraian Karena Pendengaran. Suami Terganggu, harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PASAL 106 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI TANAH MILIK ANAK YANG DILAKUKAN OLEH WALINYA

MUNAKAHAT : IDDAH, RUJUK, FASAKH,KHULU DISEDIAKAN OLEH: SITI NUR ATIQAH

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 0151/Pdt.G/2014/PA.Mlg

KAIDAH FIQH. Sebuah Ijtihad Tidak Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Lain. حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan-nya, tidak terkecuali manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. 3 Sesuai

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAHARUAN AKAD NIKAH SEBAGAI SYARAT RUJUK

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI

BAB IV. A. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim. dalam putusan No.150/pdt.G/2008/PA.Sda

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB IV ANALISIS MAṢLAḤAH TENTANG POLIGAMI TANPA MEMINTA PERSETUJUAN DARI ISTRI PERTAMA

WAWANCARA KEPADA PELAKU TALAK DI LUAR PENGADILAN

BAB II PENGERTIAN TENTANG NAFKAH, NAFKAH IDDAH MUT AH DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN POSITIF

ب س م ال رح م ن ال رح ی م

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA POHON UNTUK MAKANAN TERNAK

BAB IV ANALISIS TERHADAP MEKANISME PEMBIAYAAN EMAS DENGAN AKAD RAHN DI BNI SYARIAH BUKIT DARMO BOULEVARD CABANG SURABAYA

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV. A. Pendapat Tokoh Agama Tentang Pernikahan Ayah dengan Anak Tiri Dusun Balongrejo Desa Badas Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

Transkripsi:

65 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEBOLEHAN PENDAFTARAN PENCATATAN PERKAWINAN PADA MASA IDDAH A. Analisis Hukum Islam terhadap Alasan Kebolehan Pendaftaran Pencatatan Perkawinan pada Masa Iddah Sha@ri at Islam telah menjadikan perkawinan menjadi salah satu hal yang perlu difahami hukum-hukumnya secara menyeluruh dan mendalam, karena bila tidak difahami secara mendalam maka akibat yang ditimbulkan setelahnya akan muncul. Salah satunya ialah masalah iddah setelah putusnya perkawinan, seluruh ulama sepakat atas wajibnya iddah ini. Kewajiban ini juga disertai larangan-larangan yang harus dijauhi oleh wanita muslimah yang menjalaninya. Dalam bab sebelumnya telah penulis jelaskan terkait larangan yang harus dijauhi oleh wanita yang menjalani masa iddah, diantaranya ialah tidak boleh dipinang maupun menerima pinangan, dan tidak boleh keluar dari rumah. Selanjutnya yang menjadi permasalahan ialah bagaimana jika seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan. Seperti kita ketahui bahwa pada zaman Rasulullah belum terdapat pencatatan perkawinan, dan bagaimana hukumnya jika seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan. 65

66 Selanjutnya melihat kebijakan yang diterapkan di Kantor Urusan Agama Karangpilang terkait kebolehan pendaftaran pencatatan perkawinan dalam masa iddah, yang perlu dianalisis ialah apakah Kepala KUA membolehkan hal tersebut dengan alasan yang bisa dibenarkan oleh Islam, dan hukumnya tidak bertentangan dengan apa yang disyariatkan oleh Islam. Berdasarkan hasil wawancara Kepala KUA mengungkapkan bahwa salah satu alasan membolehkan pendaftaran pencatatan perkawinan dalam masa iddah ini ialah biasanya talak secara lisan telah lama dijatuhkan oleh suami mempelai perempuan dan telah berpisah tempat tinggal cukup lama pula, hanya saja proses dalam persidangannya baru dilakukan setelah mempelai perempuan mendapat calon suami yang baru. Adapun yang dimaksud dengan masa iddah ialah suatu masa dimana perempuan yang telah berpisah dengan suaminya harus menunggu untuk meyakinkan bersihnya rahim dan menghalalkan bagi laki-laki lain, juga sebagai ta abud kepada Allah. Dan menjalani iddah ini hukumnya wajib berdasarkan firman Allah surat al-baqarah Ayat 228, al-baqarah Ayat 234, at}-t}ala@q Ayat 4 sebagai berikut:

67 1. QS. al-baqarah Ayat 228 Artinya: Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. tetapi Para suami mempunyai kelebihan diatas mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. 1 2. QS. al-baqarah Ayat 234 Artinya: Orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan isteriisteri hendaklah mereka (isteri-isteri) menunggu empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah sampai (akhir) iddah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 2 3. QS. at}-t}ala@q Ayat 4 Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) 1 Kemenag RI, al-qur an dan Tafsirnya, Jilid I, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 336. 2 Ibid., 346.

68 perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Selanjutnya mengenai perpisahan tersebut bisa terjadi sebab perceraian maupun kematian. Di Indonesia perpisahan ini biasa dikenal dengan putusnya perkawinan, yang hanya bisa dibuktikan dengan adanya akta cerai atau akta kematian. Sehingga seorang wanita berkewajiban melakukan masa tunggu setelah adanya putusnya perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 153 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Jika Kepala KUA membolehkan pendaftaran pencatatan perkawinan dalam masa iddah karena telah lama berpisah dengan suaminya, namun waktu perpisahan tersebut sudah pasti si istri belum menjalani masa iddahnya. Karena pihak KUA sendiri menghitung masa iddah berdasarkan tanggal pada akta cerai mempelai perempuan yang akan mendaftarkan pencatatan perkawinan. Sehingga menurut penulis kewajiban menjalani iddah bagi wanita tersebut dihitung berdasarkan tanggal yang tertera pada akta cerainya. Alasan kedua ialah tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas terkait boleh tidaknya seorang wanita yang menjalani masa iddah melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 151 telah dijelaskan bahwasanya bekas istri selama masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Meskipun pasal tersebut hanya mengatur tentang larangan

69 menerima pinangan, namun secara logika jika menerima pinangan saja tidak boleh apalagi melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan yang statusnya lebih mendekati perkawinan. Disamping itu, Kepala KUA mengatakan redaksi pasal tersebut hanya berupa kata Tidak bukan Tidak Boleh menurut penulis redaksi Tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain ini merupakan penjelasan dari kata sebelumnya yaitu Wajib menjaga dirinya. Selain itu, pasal 12 ayat (2) KHI juga menegaskan bahwa wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj iyah haram dan dilarang untuk dipinang. Sehingga dengan adanya kedua pasal tersebut secara jelas telah menunjukkan suatu larangan untuk meminang wanita dalam masa iddah, menerima pinangan dan menikah dengan pria lain bagi wanita yang iddah itu sendiri. Alasan terakhir ialah jika pihak KUA mengulur waktu pendaftaran berarti juga mengulur waktu pelaksanaan akad sedangkan kedua mempelai sudah terlanjur memiliki hubungan yang terlalu dekat, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kemadlaratan yang tidak diinginkan. Mengenai hal tersebut menurut penulis bisa ditanggulangi dengan meminta surat dispensasi kecamatan, sehingga bisa mendaftarkan perkawinan setelah masa iddah selesai tanpa harus mengulur waktu akad nikah. Memang mempercepat perkawinan karena khawatir terjerumus pada kemaksiatan adalah perbuatan mulia, namun perlu diingat bahwa konsep ini dikhususkan untuk orang-orang yang belum pernah

70 menikah. Disamping itu, masalah untuk melakukan perkawinan kembali dengan laki-laki lain sama sekali bukan masalah darurat, mengingat hal itu bukan kebutuhan yang sangat mendesak. Sehingga pihak KUA seharusnya memberikan penjelasan kepada kedua mempelai terkait masa iddah dalam Islam yang semestinya dilakukan oleh seorang wanita yang baru saja berpisah dengan suaminya. Dengan demikian dapat menjalankan tugas dan fungsi dari pemerintah dalam pembangunan agama Islam secara maksimal. Berdasarkan analisis diatas maka kebijakan yang diterapkan di KUA Kecamatan Karangpilang berupa kebolehan pendaftaran pencatatan dalam masa iddah ini bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Islam, berupa larangan yang harus dihindari oleh wanita yang sedang menjalani masa iddah. Disamping itu, Kantor Urusan Agama sebagai suatu institusi yang berasaskan Islam sudah semestinya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kaum muslim menggunakan ajaran sha@ri at Islam disamping peraturan perundangan yang berlaku. B. Analisis Hukum Islam terhadap Pendaftaran Pencatatan Perkawinan pada Masa Iddah Perempuan dalam masa iddah adalah perempuan yang tengah berada pada masa iddah dari perkawinannya yang lalu, baik iddah karena perceraian maupun iddah kematian. Dalam menjalani masa iddah tersebut seorang wanita

71 diwajibkan untuk menjauhi hal-hal yang dilarang oleh sha@ri at Islam. Larangan tersebut diantaranya ialah keluar dari rumah, mengenakan perhiasan dan wewangian, dipinang maupun menerima pinangan, dan terakhir ialah haram melangsungkan perkawinan. Maka tidak ada seorang pun selain suaminya terdahulu yang boleh mengawininya, bahkan bagi laki-laki lain meminangnya pun tidak diperbolehkan. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Sebagian masyarakat ada yang melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama sedangkan calon mempelai perempuan masih dalam masa iddah akibat perceraian dengan suami sebelumnya. Memang dalam Islam belum ada penjelasan hukum melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan pada masa iddah. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa yang dilarang untuk dilakukan wanita pada masa iddah ialah menerima pinangan, dan melangsungkan perkawinan. Sehingga menurut penulis yang perlu dianalisis ialah apakah pendaftaran pencatatan perkawinan ini sama dengan peminangan sehingga dapat ditentukan hukumnya, dan bagaimana keabsahan pencatatan itu sendiri dari segi Islam. Adapun peminangan itu sendiri ialah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita dari keluarganya dan bersepakat dalam urusan kebersamaan hidup, atau pendek kata peminangan adalah upaya menuju adanya perkawinan. Begitu juga dengan pendaftaran pencatatan perkawinan, yang mana

72 dilakukan sebelum akad perkawinan itu sendiri. Sehingga keduanya merupakan serangkaian kegiatan menuju terjadinya sebuah akad perkawinan, yang dilakukan sebelum melakukan akad perkawinan itu sendiri. Pada umumnya pendaftaran pencatatan perkawinan ini dilakukan setelah seseorang mendapatkan calon pasangan. Dan mendapatkan calon pasangan ini biasanya diperoleh melalui sebuah peminangan, karena tidak mungkin seseorang melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan tanpa mengetahui siapa pasangannya atau secara tiba-tiba mengajak seseorang untuk mendaftarkan pencatatan perkawinan. Seperti kedua pasangan yang melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan di KUA Karangpilang dalam uraian bab sebelumnya, bahwa mereka melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan setelah didahului adanya peminangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendaftaran pencatatan perkawinan disini didahului adanya peminangan kepada calon pasangan. Dengan demikian, jika dipinang dan menerima pinangan hukumnya haram bagi seorang wanita yang sedang ber iddah maka melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan (yang dilakukan setelah peminangan) hukumnya mengikuti peminangan. Hal tersebut sejalan dengan kaidah fikih الت اب ع ت اب ع 3 yaitu suatu perkara yang mengikuti perkara lain itu hukumnya mengikuti pada perkara yang diikuti 3 Abdullah Bin Sa i@d Muh{ammad Abba@di@ al-h{ajji@, Id{ah{ al-qawa@ id al-fiqhiyyah, (Surabaya: al- Hidayah, 1410 H), 59.

73 tersebut. Karena pendaftaran pencatatan perkawinan dilakukan setelah peminangan maka hukumnya pun mengikuti peminangan, yang mana keduanya sama-sama serangkaian tindakan menuju terlaksananya perkawinan. Disamping itu, jika ditinjau berdasarkan pendekatan ushu@l fiqh, menurut penulis illah adanya larangan meminang dalam masa iddah karena merupakan kegiatan menuju terjadinya perkawinan (pra perkawinan). Sebagaimana konsep kaidah fiqhiyyah 4 ما أد ى إ ل ا ح ل رام ف ه و حر ام yaitu apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram hukumnya. Sehingga yang menjadi illah larangan peminangan dalam masa iddah ialah karena sifatnya sebagai pra perkawinan, sebagaimana hukum melakukan perkawinan dalam masa iddah adalah haram. Dengan demikian, berdasarkan konsep qiya@s pendaftaran pencatatan perkawinan dalam masa iddah sebagai al-far u yang hukumnya disamakan dengan peminangan dalam masa iddah sebagai al-as}lu karena pendaftaran pencatatan perkawinan juga memiliki kesamaan sifat (pra perkawinan) dengan peminangan sehingga memiliki hukum yang sama. Dan ini termasuk dalam qiya@s al-musa@wi@, karena kekuatan illah yang dimiliki peminangan dan pendaftaran pencatatan perkawinan adalah sama. 5 4 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2014), 32. 5 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), 176.

74 Adapun dalil adanya larangan peminangan dalam masa iddah ini ialah firman Allah surat al-baqarah ayat 235 sebagai berikut: Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepadanya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun Maha Penyantun Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa ayat diatas menjelaskan tentang bolehnya meminang wanita yang menjalani masa iddah karena kematian suami, namun hanya peminangan secara sindiran saja. Dalam tafsi@r muni@r disebutkan bahwa yang termasuk dalam perempuan yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah perempuan yang ditalak ba in. Mereka boleh diberi isyarat untuk dipinang tapi tidak boleh dipinang atau diberitahu secara terang-terangan. Dan untuk wanita yang ditalak raj i@ hukumnya tetap haram, baik dipinang secara sindiran maupun terang-terangan. Selanjutnya jika ditinjau dari lafaznya berdasarkan Sighat Taklif, nash yang و ال ت ح عز م وا melarang peminangan dalam masa iddah tersebut terdapat dalam lafaz

75 La@ dalam lafaz tersebut merupakan ال Dapat diketahui bahwa. ع حقدة الن ك اح Nahi@ yang berfaidah Littah{ri@m atau berfungsi untuk menunjukkan hukum haram sehingga menghendaki adanya larangan melakukan peminangan dalam masa iddah. Kemudian dalam kaidah Us{u@l Fiqh yang berbunyi ا لن هى يد ل ع لى فساد 6 artinya larangan itu menunjukkan terdapat kerusakan pada sesuatu املحنه ي ع حنه yang dilarang tersebut, atau lebih singkatnya segala sesuatu yang dilarang itu pasti mengandung kerusakan. Hal ini menunjukkan bahwa memang dalam larangan atau keharaman peminangan dalam masa iddah ini terdapat hikmah yang begitu besar dan bertujuan untuk menolak kemafsadatan bagi manusia, khususnya bagi wanita yang menjalaninya. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa pendaftaran pencatatan perkawinan dalam masa iddah yang terjadi di KUA Kecamatan Karangpilang ini bertentangan dengan nash al-quran terkait larangan peminangan dalam masa iddah. Adapun terkait keabsahan pencatatan perkawinan, memang dalam Islam belum ada hukum terkait pencatatan perkawinan ini. Di Indonesia pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sahnya perkawinan. Namun dalam Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila 6 Taqiyyuddi@n Abu@ al-hasan Ali@ Bin Abdul Ka@fi@ as-subki@, al-ibhaj Fi@ Sharh{il Minha@j, Juz II, (Beirut: Da@rul Kutub al- Alamiyyah, 1995), 68

76 dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Islam sendiri perkawinan itu sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Dan salah satu syarat sahnya perkawinan ialah tidak adanya larangan bagi keduanya untuk melangsungkan perkawinan. Disamping itu, dalam ketentuan pendaftaran pencatatan perkawinan yang ada pada pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan bahwa Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undangundang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam pendaftaran pencatatan perkawinan pun hendaknya tidak terdapat halangan atau larangan perkawinan, yang salah satunya ialah mempelai wanita tidak sedang dalam masa iddah. Sehingga suatu pendaftaran pencatatan itu dianggap memenuhi syarat jika tidak terdapat halangan perkawinan, dan dianggap sah artinya bisa didaftar oleh petugas pencatat jika telah memenuhi syarat. Terlebih KUA yang memang diperuntukkan bagi umat Islam, maka seharusnya selain berpegang pada Undang-undang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, juga hendaknya melihat pada aturan Sha@ri at Islam. Selanjutnya terkait konsekuensi hukum yang ditimbulkan oleh pendaftaran pencatatan perkawinan dalam masa iddah terhadap hukum perkawinannya ini dapat disamakan dengan konsekuensi hukum yang ditimbulkan oleh peminangan

77 dalam masa iddah. Dalam hal ini menurut Ima@m Ma@lik perkawinannya harus dibatalkan baik sudah melakukan hubungan suami istri atau belum. Sedangkan menurut Ima@m Sha@fi i@ akad nikahnya sah tapi meminang secara terang-terangan hukumnya haram sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Adapun penulis sendiri lebih cenderung dengan pendapat Ima@m Sha@fi i@, alasannya karena keharaman tersebut masuk dalam kategori Hara@m Ghayru Dha@ti@ yaitu haram yang larangannya bukan karena zatnya, atau tidak langsung mengenai D{aru@riyat yang lima. Larangan ini bila berkaitan dengan akad tidak menyebabkan batalnya akad tersebut. Sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap larangan ini (dalam hal ini melakukan peminangan atau pendaftaran dalam masa iddah) kemudian akad perkawinan berlangsung setelah selesainya masa iddah maka akad perkawinan itu tetap sah, hanya saja melanggar larangan tersebut hukumnya haram dan berdosa.