BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB III LANDASAN TEORI. A. Parameter Desain

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB III LANDASAN TEORI. jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah - daerah yang mengalami

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III METODA PERENCANAAN

BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.2 Dasar Teori Oglesby, C.H Hicks, R.G

Menetapkan Tebal Lapis Perkerasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Banten ini nantinya akan berubah status dari Jalan Kolektor


BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN SKBI 1987 BINA MARGA DAN METODE AASHTO

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar dan roda kendaraan, sehingga merupakan lapisan yang berhubungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi syarat-syarat secara teknis maupun ekonomis. Syarat-Syarat umum jalan yang harus dipenuhi adalah:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

BAB II1 METODOLOGI. Berikut ini adalah bagan alir (Flow Chart) proses perencanaan lapis

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Jurnal J-ENSITEC, 01 (2014)

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA. Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang

BAB II RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA. umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian B. Rumusan Masalah

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sampai saat ini ada 3 (tiga) jenis perkerasan jalan yang sering digunakan, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KASUS: JALAN RUAS KM. 35 PULANG PISAU. Adi Sutrisno 06/198150/TK/32229

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian Pustaka Ulasan Pustaka Terhadap Penelitian Ini Ringkasan Penelitian Lain...

STUDI BANDING DESAIN TEBAL PERKERASAN LENTUR MENGGUNAKAN METODE SNI F DAN Pt T B

Setelah Manusia Mengenal Hewan Sebagai Alat Angkut.

EVALUASI KERUSAKAN JALAN STUDI KASUS (JALAN DR WAHIDIN KEBON AGUNG) SLEMAN, DIY

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB II KAJIAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan

BAB II LANDASAN TEORI

PENGARUH KELEBIHAN BEBAN TERHADAP UMUR RENCANA JALAN

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DITERBITKAN OLEH YAYASAN BADAN PENERBIT PU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement Condition Index

TEKNIKA VOL.3 NO.2 OKTOBER_2016

4.2.4 Pemeriksaan CBR lapangan subgrade dengan Dmamyc Cone

Teknik Sipil Itenas No. x Vol. xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Agustus 2015

melintang atau memanjang dan disebabkan oleh pergerakan plat beton dibawahnya) Kerusakan alur/bahu turun (lane / shoulder drop-off)...

PERBANDINGAN KONSTRUKSI PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU PADA PROYEK PEMBANGUNAN PASURUAN- PILANG KABUPATEN PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BAB V VERIFIKASI PROGRAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

Parameter perhitungan

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

Penggunaan Hot Rolled Asphalt Sebagai Alternatif Lapisan Tambahan Perkerasan pada Ruas Jalan Pacitan Glonggong di Pacitan. Sri Wiwoho M, ST, MT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

KOMPARASI TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE BINA MARGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI PENANGANAN JALAN BERDASARKAN TINGKAT KERUSAKAN PERKERASAN JALAN (STUDI KASUS: JALAN KUALA DUA KABUPATEN KUBU RAYA)

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR. perumahan Puri Botanical Residence di jl. Joglo Jakarta barat. ditanah seluas 4058

STUDI KORELASI DAYA DUKUNG TANAH DENGAN INDEK TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perkerasan Lentur

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan KATA PENGANTAR

BAB II LANDASAN TEORI

TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : HIMANTORO MILUDA NIM. I

BAB II LANDASAN TEORI

1. PENDAHULUAN. Jalan memiliki syarat umum yaitu dari segi konstruksi harus kuat, awet dan kedap. Supardi 1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus

B. Metode AASHTO 1993 LHR 2016

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Identifikasi Masalah. Studi Literatur. Pengumpulan Data Sekunder. Rekapitulasi Data. Pengolahan Data.

ANALISA PENGUJIAN DYNAMIC CONE PENETROMETER

BINA MARGA PT T B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB I. SEJARAH PERKERASAN JALAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

DESKRIPSI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE AASHTO

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

PERANCANGAN PERKERASAN CONCRETE BLOCK DAN ESTIMASI BIAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Agus Surandono 1) Rivan Rinaldi 2)

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Dasar teori Definisi Jalan

JENIS KERUSAKAN JALAN PADA PERKERASAN LENTUR LOKASI CIRI CIRI PENYEBAB AKIBAT CARA PENANGANAN

TINJAUAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN SIMPANG BULOH LINE PIPA STA , PEMKOT LHOKSEUMAWE 1 Romaynoor Ismy dan 2 Hayatun Nufus 1

ANALISA KERUSAKAN PERKERASAN JALAN DITINJAU DARI DAYA DUKUNG TANAH DAN VOLUME LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN BARU MENGGUNAKAN MANUAL DESAIN PERKERASAN JALAN (MDP) 2013

1 FERRY ANDRI, 2 EDUARDI PRAHARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Saiful Anwar Kurniawan NIM. I

BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Pengumpulan Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan khusus yang mempunyai kualitas yang lebih baik dan dapat

DENY MIFTAKUL A. J NIM. I

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkerasan Jalan Perancangan konstruksi perkerasan jalan mutlak diperhitungkan dalam perencanaan sistem jaringan jalan. Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalan sangat mempengaruhi keputusan dalam merencanakan sistem jaringan jalan. Hal ini pula yang mempengaruhi pemilihan jenis konstruksi perkerasan jalan yang akan digunakan. Perkerasan merupakan struktur yang diletakkan pada tanah dasar, yang memisahkan antara ban kendaraan dengan tanah dasar yang berada di bawahnya. Tanah asli di alam jarang sekali dalam kondisi mampu mendukung beban berulang dari lalu lintas kendaraan tanpa mengalami deformasi yang besar. Karena itu, dibutuhkan suatu struktur yang dapat melindungi tanah dari beban roda kendaraan. Struktur ini disebut dengan perkerasan (pavement). Perkerasan berfungsi untuk melindungi tanah dasar (subgrade) dan lapisan - lapisan pembentuk perkerasan supaya tidak mengalami tegangan dan regangan yang berlebihan akibat dari beban lalu lintas. Perkerasan harus memberikan permukaan yang rata dengan kekesatan tertentu, dengan umur pelayanan yang cukup panjang, serta pemeliharaan yang minimum. Dalam merencanakan struktur perkerasan jalan, beban dan volume lalu lintas yang akan menggunakan jalan tersebut selama umur rencana menjadi acuan utama dalam perhitungan struktur perkerasannya. Struktur perkerasan berfingsi untuk II-1

menerima dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan tersebut. Menurut Sukirman (1992) berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas hal berikut : 1. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) Konstruksi perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. 2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement) Konstruksi perkerasan kaku adalah perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan ikat, Plat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian dipikul oleh pelat beton. 3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement) 4. Konstruksi perkerasan komposit adalah perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur di atas perkerasan kaku, atau kaku di atas permukaan lentur. Jika diperhitungkan dari segi biaya pembangunannya, jalan yang dibangun dengan konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) membutuhkan dana lebih sedikit dibandingkan dengan jalan yang dibangun dengan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement). Namun program pemeliharaanya relatif lebih minim dibandingkan bila jalan dibangun dengan konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement). II-2

2.1.1 Jenis Kerusakan Jalan dan Metode Perbaikan Kerusakannya Jalan dikatakan mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi para penggunanya jika memenuhi 2 (dua) kriteria utama, yaitu : a. Kriteria berlalu lintas Di pandang dari segi kenyamanan dan keamanan pengguna jalan, konstruksi perkerasan perlu memenuhi syarat syarat berikut ini : - Permukaan yang rata, tidak berlubang, tidak melendut, dan tidak bergelombang. - Permukaan yang cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat beban yang bekerja di atasnya. - Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan permukaan jalan sehingga tidak mudah selip. - Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari. b. Kriteria kekuatan atau struktural perkerasan jalan Dipandang dari kemampuan memikul dan menyebarkan beban, jalan harus memenuhi syarat syarat berikut ini : - Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban atau muatan lalu lintas ke tanah dasar. - Kedap air, sehingga air tidak mudah meresap ke lapisan di bawahnya. - Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya dapat dengan cepat dialirkan ke saluran air. - Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi yang berarti. II-3

Penanganan konstruksi perkerasan yang berupa pemeliharaan, penunjang, peningkatan, ataupun rehabilitas dapat dilakukan dengan baik setelah kerusakan kerusakan yang timbul pada perkerasan tersebut di evaluasi penyebab dan akibatnya. Kerusakan pada konstruksi perkerasan jalan dapat disebabkan oleh : - Lalu lintas diperhitungkan berdasarkan peningkatan beban dan repetisi beban. - Air, yang dapat berasal dari air hujan dan sistem drainase jalan yang tidak baik. - Material konstruksi perkerasan, sifat material dan sistem pengolahan bahan yang tidak baik. - Iklim, Indonesia beriklim tropis dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi. - Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, akibat sistem pelaksanaan yang kurang baik, atau sifat tanah dasarnya yang memang kurang baik. - Proses pemadatan lapisan di stas tanah dasar yang kurang baik. Umumnya kerusakan kerusakan yang timbul tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi merupakan gabungan penyebab yang saling terkait. Sebagai contoh retak pinggi, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis bawahnya yang melemahkan ikatan anatara aspal dan agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang lubang disamping melemahkan daya dukung lapisan di bawahnya. Dalam mengevaluasi kerusakan jalan perlu ditentukan jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya, tingkat kerusakan (distress severity), jumlah II-4

kerusakan (distress amount). Sehingga dapat ditentukan penanganan yang paling sesuai. Menurut Manual Pemeliharaan Jalan Nomor 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan atas : a. Retak (cracking) b. Distorsi (distortion) c. Cacat permukaan (disintegration) d. Pengausan (polished aggregate) e. Kegemukan (bleeding atau flushing) f. Penurunan pada bekas penananman utilitas (utility cut depression). a. Retak (cracking) dan Penanganannya Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas : - Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama dengan 3 mm, penyebabnya adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak halus dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan. Retak halus dapat berkembang menjadi retak kulit buaya jika tidak ditangani sebagaimana mestinya. - Retak kulit buaya (alligator crack), memiliki lebar celah lebih besar, saling berangkai membentuk serangkaian kotak kotak kecil yang menyerupai kulit buaya. Penyebabnya adalah bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil atau bahan lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah II-5

naik). Retak kulit buaya jika tidak diperbaiki dapat diresapi air sehingga lama kelamaan terlepas butiran butirannya sehingga menyebabkan lubang. - Retak pinggir (edge crack) yaitu retak memanjang jalan dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu jalan. Penyebabnya adalah tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadi penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak pinggir. Di lokasi retak, air meresap yang dapat semakin merusak lapisan permukaan. - Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack) yaitu retak memnajang yang umumnya terjadi pada sambungan bahu jalan dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk dari pada di bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk atau kendaraan berat di bahu jalan. - Retak sambungan jalan (lane joint crack) yaitu retak memanjang yang terjadi pada sambungan 2 jalur lalu lintas. Penyebabnya yaitu tidak baiknya ikatan sambungan kedua jalur. - Retak sambungan pelebaran jalan (widening crack), adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Penyebabnya ialah perbedaan daya dukung di bawah bagian perlebaran dan bagian jalan lama atau dapat juga disebabkan oleh ikatan sambungan tidak baik. II-6

- Retak refleksi (reflection crack) yaitu retak memanjang, melintang, diagonal, atau membentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan (overlay) yang menggambarkan pola retakan di bawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika retak perkerasan lama tidak di perbaiki secara baik sebelum perkerasan overlay dilakukan. - Retak susut (shrinkage cracks) yaitu retak yang saling bersambungan membentuk kotak-kotak besar dengan sudut tajam. Penyebabnya ialah perubahan volume pada lapisan permukaan yang memakai aspal dengan penetrasi rendah, atau perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar. - Retak selip (slippage cracks) yaitu retak yang bentuknya melengkung sepertu bulan sabit. Penyebabnya ialah kurang baiknya ikatan antara lapisan permukaan dan lapis di bawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan oleh adanya debu, minyak, air, atau benda nonadhesif lainnya, atau akibat tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat di antara kedua lapisan. Pada umumnya perbaikan kerusakan jenis retak dilakukan dengan mengisi celah retak dengan campuran pasir dan aspal. Bila retak telah meluas dan kondisinya cukup parah maka dilakukan pembongkaran lapisan yang retak tersebut untuk kemudian diganti dengan lapisan yang lebih baik. b. Distorsi (Distortion) dan Penanganannya Distorsi adalah perubahan bentuk yang dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadinya tambahan pemadatan akibat beban lalu lintas. Distorsi (distortion) dapat dibedakan atas : II-7

- Alur (rust), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Penyebabnya ialah lapis perkerasan yang kurang baik, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Perbaikan yang dapat dilakukan dengan memberi lapisan tambahan baru yang sesuai dengan permukaan jalan tersebut. - Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Penyebabnya ialah rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasalh dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyaknya mempergunakan agregat halus, agregat berbentuk bulat dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunya penetrasi yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair). - Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, di tempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikangan tajam. - Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan perkerasan yang akhirnya menimbulkan lubang. Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement. - Jembul (upheavel) terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif. Pada umunya perbaikan kerusakan jenis distorsi dapat dilakukan dengan cara membongkar bagian jalan yang rusak dengan melapisinya kembali. II-8

c. Cacat Permukaan (Disintegration) Yang termasuk dalam cacat permukaan ini adalah : - Lubang (potholes) berbentuk serupa mangkuk, memliliki ukuran bervariasi dari kecil sampai besar yang mampu menampung air dan meresapkan air ke dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan. - Pelepasan butir (raveling), memiliki akibat yang sama dengan yang terjadi pada jalan berlubang. Perbaikan dilakukan dengan memberikan lapisan tambahan di atas lapisan yang mengalami pelepasan butir setelah lapisan tersebut dibersihkan dan dikeringkan. - Pengelupasan lapisan permukaan (stripping), dapat disebabkan oleh kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya, atau terlalu tipisnya permukaan. Perbaikan dilakukan dengan cara diratakan kemudian dipadatkan dengan lapisan baru. d. Pengausan (Polished Aggregate) Pengausan menyebabklan permukaan jalan licin yang membahayakan kendaraan. Penyebabnya adalah karena agregat berasal dari material yang tidak tanah aus terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk cubical. e. Kegemukan (Bleeding or Flushing) Penyebab kegemukan (bleeding) ialah pemakaian kada aspal yang tinggi pada campuran aspal yang mengakibatkan permukaan jalan menjadi licin, khususnya pada temperatur tinggi aspal menjadi lunak dan menimbulkan jejak roda. II-9

Perbaikan dilakukan dengan mengangkat lapis aspal dan kemudian memberi lapisan penutup atau menaburkan agregat panas yang kemudian dipadatkan. f. Penurunan Pada Bekas Penanaman Utilitas (Utility Cut Depression) Penurunan lapisan perkerasan ini terjadi akibat pemadatan yang tidak memenuhi syarat setelah dilakukannya penanaman utilitas. Perbaikan dilakukan dengan membongkar kembali dan mengganti dengan lapisan yang sesuai. 2.2. Fungsi Perkerasan Jalan Fungsi utama perkerasan adalah menyebarkan beban roda ke area permukaan tanah dasar yang lebih luas dibandingkan luas kontak roda dan perkerasan, sehingga mereduksi tegangan maksimum yang terjadi pada tanah dasar, yaitu pada tekanan di mana tanah dasar tidak mengalami deformasi berlebihan selama masa pelayanan perkerasan. Secara umum, fungsi perkerasan jalan adalah : 1. Untuk memberikan struktur yang kuat dalam mendukung beban lalu lintas. 2. Untuk memberikan permukan rata bagi pengendara. 3. Untuk memberikan kekesatan atau tahanan gelincir (skid resisntace) di permukaan perkerasan. 4. Untuk mendistribusikan beban kendaraan ke tanah dasar secara memadai, sehingga tanah dasar terlindung dari tekanan yang berlebihan. 5. Untuk melindungi tanah dasar dari pengaruh buruk dari perubahn cuaca. Sistem perkerasan harus dirancang tahan-lama, sehingga tidak mengalami kerusakan premature akibat pengaruh lingkungan (air, oksidasi, pengaruh temperatur). II-10

2.3. Metode Pengukuran Kerusakan Jalan Kualitas jalan yang ada maupun yang akan dibangun harus sesuai dengan standard dan ketentuan yang berlaku. Untuk mengetahui tingkat kerataan permukaan jalan dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan berbagai cara atau metoda yang telah direkomendasikan oleh Bina Marga maupun AASHTO. Sebelum merencanakan metode pemeliharaan yang akan dilakukan, perlu dilakukan terlebih dahulu survey kondisi permukaan. Survey ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja (pavement evaluation) perkerasan jalan yang diamati. Terdapat dua jenis survey untuk mengetahui kondisi permukaan, yaitu : 1. Survey secara visual Survey secara visual atau visual inspection dilakukan dengan pengamatan mata surveyor untuk mengukur kondisi permukaan jalan yang karenanya data yang dikumpulkan menjadi sangat subjektif sehingga tingkat keakurasiannya rendah. Survey secara visual meliputi : - Penilaian kondisi dari lapisan permukaan, apakah masih baik, kritis, atau rusak. - Penilaian kenyamanan kendaraan dengan menggunakan jenis kendaraan tertentu. Penilaian dikelompokkan menjadi nyaman, kurang nyaman, tidak nyaman. - Penilaian bobot kerusakan yang terjadi, baik kualitas maupun kuantitas. Penilaian dilakukan terhadap retak (crack), lubang (pothole), alur (rutting), pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapis permukaan (stripping), keriting (corrugation), amblas (depression), bleeding, sungkur (shoving), dan jembul (upheaval). II-11

2. Survey dengan bantuan alat Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya antara lain metoda NAASRRA (SNI 03-34260-1994). Metoda lain yang dapat digunakan untuk pengukuran dan analisis kerataan perkerasan Rolling Straight Edge, Slope Profilometer (AASHO Road Test). CHLOE Profilometer, dan Roughometer. Alat ini dipasangkan pada sumbu belakang roda kendaraan penguji. Prinsip dasar alat ini ialah mengukur jumlah gerakan vertikal sumbu belakang pada kecepatan tertentu. Ukuran jumlah gerakan vertikal pada jarak tertentu tersebut dinyatakan dalam indek kerataan permukaan (International Roughness Index) dalam satuan meter per kilometer. Survey dengan bantuan alat lainnya juga dapat dilakukan dengan teknologi laser beam yang secara otomatis dapat memonitor jenis kerusakan jalan seperti retak (crack), alur (rutting), lubang (pothole). 2.4. Kinerja Perkerasan Jalan (Pavement Performance) Kinerja perkerasan meliputi struktural (structural performance) maupun fungsional (fungsional performance). Kinerja perkerasan secara struktural meliputi keamanan atau kekuatan perkerasan, sedangkan kinerja perkerasan secara fungsional dinyatakan dengan Indek Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index (PSI) dan Indeks Kondisi Jalan atau Road Condition Index (RCI). 2.4.1 Present Serviceability Index (PSI) Indeks Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index (PSI) merupakan konsep hubungan antara opini penilaian pengguna jalan dengan hasil pengukuran ketidakrataan (roughness), kerusakan retak, tambalan, dan kedalaman alur. PSI diformulasikan dari penilaian terhadap kelompok ruas perkerasan yang dinilai II-12

oleh suatu grup penilai yang memberi nilai berdasarkan skala antara 0 sampai 5 yang mengindikasikan nilai sangat jelek sangat bagus. Hal tersebut kemudian dikembangkan pada AASHTO Road Test yang mengkorelasikan penilaian secara subjektif dan penilaian objektif dengan pengukuran ketidakrataan (roughness), kerusakan retak, tambalan, dan kedalaman alur yang dinyatakan dalam bentuk persamaan. PSI = 5,03-1,9 log 10 (1+SV) - 0,01 (C+ P) 0,5-1,38 (RD) 2.... (2.1) Dimana : PSI = Present Serviceability Index SV = Slope Variance C = Panjang retak P = Luas Tambalan RD = Kedalaman alur Kemudian persamaan ini dikembangkan dengan variasi penggunaan alat pengukur roughness sehingga konstanta persamaan regresi berubah, sehingga persamaan dengan menggunakan alat Bump Integrator menjadi : (Yoder & Witczak,1975). PSI = 4,78-0,015 (Roughometer) - 0,004(C+P) 0,5 0,26(RD) 2.... (2.2) Roughometer adalah besaran index berdasarkan alat Bump Integrator, dimana kalibrasi Bump Integrator dengan IRI telah dilakukan pada saat program kerjasama antara TRRL dengan Pusjatan Bandung sekitar tahun 1990 (Djoko Widajat, dkk, 1990). Persamaan IRI dengan alat Bump Integrator menjadi : IRI = 0,0027 BI 0,944............ (2.3) II-13

Keterangan : IRI dalam m/km dan BI dalam mm/km BI = 525,96 IRI 1,0593 (mm/km) atau....... (2.4) BI = 33,1568 IRI 1,0593 (in/mile)... (2.5) Sehingga persamaan PSI untuk perkerasan lentur menjadi : PSI = 4,78-0,015(525,96IRI 1,0593 ) - 0,004 (C+P) 0,5-0,26(RD) 2... (2.6) Menurut Al-Omari dan Darter (1992) nilai PSI disederhanakan sebagai fungsi dari International Roughness Index (IRI), bahwa kerusakan retak, tambalan dan alur dipandang sudah diwakili oleh IRI. Hubungan antara nilai PSI dan IRI sebagai berikut: PSI = 5 x e (-0,26 IRI )...... (2.7) Dimana : PSI = Present serviceability Index atau Indeks Permukaan IRI = International Roughness Index Nilai PSI bervariasi dari angka 0-5, masing-masing angka menunjukan kinerja fungsional perkerasan, sebagai berikut : Tabel 2.1 Indeks Permukaan No. PSI Kinerja Perkerasan 1 4-5 Sangat Buruk 2 3-4 Baik 3 2-3 Cukup 4 1-2 Kurang 5 0-1 Sangat Kurang Sumber : Sukirman, 1992 II-14

Pada saat perkerasan dibuka struktur perkerasan mempunyai nilai PSI besar yang berarti nilai kerataan masih baik dan kerusakan belum terjadi. Besarnya nilai PSI ini akan menurun seiring dengan terjadinya kerusakaan akibat beban kendaraan. 2.4.2 International Roughness Index (IRI) IRI merupakan parameter kekasaran yang dihitung dari jumlah kumulatif naikturunnya permukaan arah profil memanjang dibagi dengan jarak atau panjang permukaan yang diukur. IRI dinyatakan dalam satuan meter per kilometer (m/km). Indikator kinerja fungsional jalan lainnya yaitu Road Condition Index (RCI). Road Condition Index (RCI) adalah skala tingkat kenyamanan atau kinerja jalan yang dapat diperoleh dengan alat roughometer maupun secara visual. Dari alat roughometer dapat diperoleh nilai International Roughness Index (IRI), yang kemudian dikonversi untuk mendapat nilai RCI. Korelasi antara RCI dengan IRI diformulasikan baik dinyatakan dalam persamaan 2.8 maupun gambar 2.1 RCI Exp IRI 1,220920 )......... (2.8) Sumber : Sukirman, 1992 Gambar 2.1 Korelasi antara Nilai IRI dan Nilai RCI II-15

Dari grafik maupun persamaan hubungan antara nilai IRI dengan RCI dapat diketahui kondisi permukaan secara visual. Tabel 2.4 menjelaskan hubungan antara nilai IRI dengan RCI berdasarkan kondisi permukaan jalan secara visual. RCI Tabel 2.2 Kondisi Permukaan Secara Visual dan Nilai RCI Kondisi Permukaan Jalan Secara Visual 8-10 Sangat rata dan teratur 7-8 Sangat baik, umumnya rata 6-7 Baik 5-6 Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang, tetapi permukaan jalan tidak rata 4-5 Jelek, kadang - kadang ada lubang, pertmukaan jalan tidak rata 3-4 Rusak, bergelombang banyak lubang 2-3 Rusak berat, banyak lubang, dan seluruh daerah perkerasan hancur 1-2 Tidak dapat dilalui, kecuali dengan Jeep Sumber : Sukirman, 1992 2.5. Parameter Perencanaan Perkerasan Dalam perencanaan jalan baru atau lapis tambah membutuhkan beberapa parameter dalam perencanaannya, parameter yang digunakan dalam metode SNI 1732-1989-F sebenarnya hampir sama dengan yang digunakan pada metoda AASHTO 1993 yang di modifikasi sedikit sesuai dengan kondisi lingkungan dan iklim di Indonesia. Beberapa parameter perencanaan yang dibutuhkan pada metoda SNI 1732-1989-F seperti beban lalu lintas, daya dukung tanah dasar, faktor regional, pertumbuhan lalu lintas, faktor distribusi lajur, koefisien distribusi kendaraan, indeks permukaan dan koefisien kekuatan relatif. Sedangkan pada AASTHO 1993 II-16

parameter perencanaan yang dibutuhkan seperti beban lalu lintas, daya dukung tanah dasar, pertumbuhan lalu lintas, faktor umur rencana, reliabilitas, faktor distribusi lajur, koefisien distribusi kendaraan, koefisien drainase, indeks permukaan dan koefisien kekuatan relatif. 2.5.1 Beban Lalu Lintas Dengan mengetahui secara tepat tingkat kemampuan suatu jalan dalam menerima suatu beban lalu lintas, maka tebal lapisan perkerasan jalan dapat ditentukan dan umur rencana perkerasan tersebut akan sesuai dengan yang direncanakan. Beban berulang atau repetition load merupakan beban yang diterima struktur perkerasan dari roda-roda kendaraan yang melintasi jalan raya secara dinamis selama umur rencana. Besar beban yang diterima bergantung dari berat kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda dan kendaraan serta kecepatan dari kendaraan itu sendiri. Hal ini akan memberi suatu nilai kerusakan pada perkerasan akibat muatan sumbu roda yang melintas setiap kali pada ruas jalan. Berat kendaraan dibebankan ke perkerasan melalui kendaraan yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan. Masing-masing kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda. Sumbu depan dapat merupakan sumbu tunggal roda, sedangkan sumbu belakang dapat merupakan sumbu tunggal, ganda, maupun tripel. Berat kendaraan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Fungsi jalan Kendaraan berat yang memakai jalan arteri umumnya memuat muatan yang lebih berat dibandingkan dengan jalan pada medan datar. II-17

2. Keadaan medan Jalan yang mendaki mengakibatkan truk tidak mungkin memuat beban yang lebih berat jika dibandingkan dengan jalan pada medan datar. 3. Aktivitas ekonomi di daerah yang bersangkutan Jenis dan beban yang diangkut oleh kendaraan berat sangat tergantung dari jenis kegiatan yang ada di daerah tersebut, truk di daerah industri mengangkut beban yang berbeda jenis dan beratnya dengan di daerah perkebunan. 4. Perkembangan daerah Beban yang diangkut kendaraan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan daerah di sekitar lokasi jalan. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh beban lalu lintas tidaklah sama anatara yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini mengharuskan suatu standar yang bias mewakili semua jenis kendaraan, sehingga semua beban yang diterima oleh struktur perkerasan jalan dapat disamakan ke dalam beban standar. Beban standar ini digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk suatu kendaraan. Beban yang sering digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk suatu kendaraan adalah beban gandar maksimum. Beban standar ini diambil sebesar 18.000 pounds (8.16 ton) pada sumbu standar tunggal. Diambilnya angka ini karena daya pengrusak yang ditimbulkan beban gandar terhadap struktur perkerasan adalah bernilai satu. 2.5.2 Daya Dukung Tanah Dasar Daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah dasar karena secara keseluruhan perkerasan jalan berada di atas tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu II-18

sendiri atau di dekatnya, yang telah dipadatkan sampai dengan tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terhadap perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air, kondisi lingkungan. Tanah dengan tingkat kepadatan yang tinggi mengalami perubahan volume yang kecil jika terjadi perubahan kadar air dan mempunyai daya dukung yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanah yang sejenis yang tingkat kepadatannya lebih rendah. Daya dukung tanah dasar (subgrade) pada perencanaan perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). CBR pertama kali diperkenalkan oleh California Division Of Highways pada tahun 1928. Orang yang banyak mempopulerkan metode ini adalah O.J.Porter. Harga CBR itu sendiri dinyatakan dalam persen. Harga CBR tanah dasar yaitu nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR 100% dalam memikul beban lalu lintas. Terdapat beberapa parameter penunjuk daya dukung tanah dasar yang paling umum digunakan di Indonesia. Harga CBR dapat dinyatakan atas harga CBR laboratorium dan harga CBR lapangan. Hubungan antara daya dukung tanah dasar (DDT) dengan CBR dapat menggunakan rumus : DDT = 4,3 log CBR + 1,7........ (2.9) Pada persamaan AASHTO menggunakan Modulus Resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan. Korelasi CBR dengan Modulus resilien (MR) adalah sebagai berikut : II-19

MR (psi) = 1500 x CBR............ (2.10) 2.5.3 Faktor Regional Faktor regional berguna untuk memperhatikan kondisi jalan yang berbeda antara jalan yang satu dengan jalan yang lain. Faktor regional mencakup permeabilitas tanah, kondisi drainase yang ada, kondisi persimpangan yang ramai, pertimbangan teknis dari perenrcana seperti ketinggian muka air tanah, perbedaan kecepatan akibat adanya hambatan-hambatan tertentu, bentuk alinyemen (keadaan medan) serta persentase kendaraan berat dan kendaraan yang berhenti, sedangkan iklim mencakup curah hujan rata-rata pertahun. Kondisi lingkungan setempat sangat mempengaruhi lapisan perkerasan jalan dan tanah dasar antara lain : 1. Berpengaruh terhadap sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat komponen material lapisan perkerasan. 2. Pelapukan bahan material. 3. Mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan. Pengaruh perubahan musim, perbedaan temperature kerusakan kerusakan akibat lelahnya bahan, sifat material yang digunakan dapat juga mempengaruhi umur pelayanan jalan. Rumus : Persentase Kendaraan Berat = x 100%... (2.11) Setelah itu dapat dilanjutkan dengan melihat tabel dibawah ini: II-20

Tabel 2.3 Faktor Regional (FR) Kelandaian I (< 6%) Kelandaian II (6-10%) Kelandaian III (> 10%) % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat 30 % > 30 % 30 % > 30 % 30 % > 30 % Iklim I < 900mm/th 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5 Iklim I > 900mm/th 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5 Catatan : Pada bagian tertentu jalan, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari jari 30m) FR ditambah 0,5. Pada daerah raw, FR ditambah 1,0 Sumber : SNI 1732-1989-F 2.5.4 Pertumbuhan Lalu Lintas (I %) Yang dimaksud dengan pertumbuhan lalu lintas adalah pertambahan atau perkembangan lalu lintas dari tahun ke tahun selama umur rencana. Faktor yang mempengaruhi besarnya pertumbuhan lalu lintas adalah : 1. Perkembangan daerah tersebut 2. Bertambahnya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. 3. Naiknya keinginan untuk memiliki kendaraan pribadi. Faktor pertumbuhan lalu lintas dinyatakan dalam persen/tahun (% / thn). 2.5.5 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan baru. Faktor umur rencana merupakan variable dalam umur rencana dan faktor pertumbuhan lalu lintas yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Growth Factor =...... (2.12) II-21

Dimana : Growth Factor (GF) = faktor pertumbuhan lalu lintas yang sudah disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas. UR = umur rencana I = faktor pertumbuhan lalu lintas. 2.5.6 Reliabilitas Reliabilitas adalah kemungkinan (probability) jenis kerusakan tertentu atau kombinasi jenis kerusakan pada struktur perkerasan akan tetap lebih rendah dalam rentang waktu yang diijinkan dalam umur rencana. Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan untuk menjamin bermacam-macam alternatif perencanaan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Faktor perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu lintas dan karenanya memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana seksi perkerasan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan. Pada umumnya, dengan meningkatnya volume lalu lintas dan kesukaran untuk mengalihkan lalu lintas, resiko tidak memperlihatkan kinerja yang diharapkan harus ditekan. Hal ini dapat diatasi dengan memilih tingkat reliabilitas yang lebih tinggi. Tabel 2.4 memperlihatkan rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan. Perlu dicatat bahwa tingkat reliabilitas yang tinggi menunjukkan jalan yang melayani lalu lintas paling banyak, sedangkan tingkat yang paling rendah 50% menunjukkan jalan lokal. II-22

Tabel 2.4 Rekomendasi Tingkat Reliability Untuk Bermacam-macam Klasifikasi Jalan Klasifikasi Jalan Reliabilitas kinerja perencanaan dikontrol dengan faktor reliabilitas (FR) yang dikalikan dengan perkiraan lalu lintas (W18) selama umur rencana untuk memperoleh prediksi kinerja (W18). Untuk tingkat reliabilitas (R) yang diberikan, reliabilitas k, So yang memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu lintas dan perkiraan kinerja untuk W18 yang diberikan. Dalam persamaan desain perkerasan lentur, level of reliability (R) diakomodasi dengan parameter penyimpangan normal standar (standard normal deviate, ZR). Tabel 2.5 memperlihatkan nilai ZR untuk level of reliability tertentu. Penerapan konsep reliabilitas harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini : 1. Definisikan klasifikasi fungsional jalan dan tentukan apakah merupakan jalan perkotaan atau jalan antar kota. 2. Pilih tingkat reliabilitas dari rentang yang diberikan pada tabel 2.14 3. Deviasi standar (So) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat. Rentang nilai So adalah 0,40 0,50 Rekomendasi Tingkat Reliabilitas Perkotaan Antar Kota Bebas Hambatan 85-99,99 80-99,99 Arteri 80-99 75-95 Kolektor 80-95 75-95 Lokal 50-80 50-80 Sumber : AASHTO, 1993 II-23

Tabel 2.5 Nilai Penyimpangan Normal Standar (Standar Normal Deviate) Untuk Tingkat Reliabilitas Tertentu Reliabilitas, R (%) Standar Normal Deviate, ZR 50 0,000 60-253 70-524 75-674 80-841 85-1,037 90-1,282 91-1,340 92-1,405 93-1,476 94-1,555 95-1,645 96-1,751 97-1,881 98-2,054 99-2,327 99,9-3,090 99,99-3,750 2.5.7 Jumlah Lajur Sumber : AASHTO, 1993 Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar (lajur dengan volume tertinggi). Umumnya lajur rencana adalah salah satu lajur dari jalan raya dua lajur atau tepi dari jalan raya yang berlajur banyak. Persentase kendaraan pada jalur rencana dapat juga diperoleh dengan melakukan survey volume lalu lintas. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel 2.6. II-24

Tabel 2.6 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan Lebar Perkerasan Jumlah Lajur (n) L < 4,50 m 1 jalur 4,50 m L< 8,00 m 2 jalur 8,00 m L < 11,25 m 3 jalur 11,25 m L < 15,00 m 4 jalur 15,00 m L < 18,75 m 5 jalur 18,75 m L <22,00 m 6 jalur Sumber : AASHTO, 1993 Tabel 2.7 Faktor Distribusi Lajur (DL) Jumlah Lajur Per Arah % Beban Gandar Standar Dalam Lajur Rencana 1 100 2 80-100 3 60-80 4 50-75 Sumber : AASHTO, 1993 2.5.8 Koefisien Distribusi Kendaraan Koefisien distribusi kendaraan untuk kendaraan ringan da berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut table 2.8. Tabel 2.8 Koefisien Distribusi Kendaraan ( C ) Jumlah Jalur Kendaraan Ringan Kendaraan Barat 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah 1 Jalur 1,00 1,00 1,00 1,00 2 Jalur 0,60 0,50 0,70 0,50 3 Jalur 0,40 0,40 0,50 0,475 4 Jalur - 0,30-0,45 5 Jalur - 0,25-0,425 6 Jalur - 0,20-0,40 Sumber : SNI 1732-1989-F II-25

2.5.9 Koefisien Drainase Faktor yang digunakan untuk memodifikasi kerfisien kekuatan relatif sebagai fungsi yang menyatakan seberapa baiknya struktur perkerasan dapat mengatasi pengaruh negatif masuknya air ke dalam struktur perkerasan. Table 2.9 memperlihatkan definisi umum mengenai kualitas drainase. Tabel 2.9 Definisi Kualitas Air Kualitas Drainase Air Hilang Dalam Baik Sekali 2 jam Baik 1 hari Sedang 1 minggu Jelek 1 bilan Jelek Sekali air tidak akan mengalir Sumber : AASHTO, 1993 Faktor untuk memodifikasi koefisien relatif ini adalah koefisien drainase (m) dan disertakan ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D). Tabel 2.10 memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasana akan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh. Tabel 2.10 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif material untreated base dan subbase pada perkerasan lentur Persen Waktu Struktur Perkerasan Dipengaruhi Oleh Kualitas Drainase Kadar Air Yang Mendekati Jenih < 1 % 1-5 % 5-25 % >25 % Baik Sekali 1,40-1,35 1,35-1,30 1,30-1,20 1,2 Baik 1,35-1,25 1,25-1,15 1,15-1,00 1 Sedang 1,25-1,15 1,15-1,05 1,00-0,80 0,8 Jelek 1,15-1,05 1,05-0,80 0,80-0,60 0,6 Jelek Sekali 1,05-0,95 0,80-0,75 0,60-0,40 0,4 Sumber : AASHTO, 1993 II-26

2.5.10 Indeks Permukaan Awal (IP 0 ) Indeks permukaan adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan nilai daripada kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Dalam menentukan indeks permukaan awal rencana (IP 0 ) perlu diperhatikan jenis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana. Adapun beberapa nilai IP 0 seperti pada table 2.11. Table 2.11 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP 0 ) Jenis Lapis IP0 Roughness* (mm/km) Permukaan Laston Lasbutag HRA 2.5.11 Indeks Permukaan Akhir (IP t ) 4 1000 3,9-3,5 > 1000 3,9-3,5 2000 3,4-3,0 > 2000 3,9-3,5 2000 3,4-3,0 > 2000 Burda 3,9-3,5 < 2000 Burtu 3,4-3,0 > 2000 Lapen 3,4-3,0 3000 2,9-2,5 > 3000 Latasbum 2,9-2,5 - Buras 2,9-2,5 - Latasir 2,9-2,5 - Jalan Tanah 2,4 - Jalan Kerikil 2,4 - *Alat roughometer yang digunakan adalah roughometer NAASRA, yang dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 Station Wagen, dengan kecepatan kendaraan ± 32km/jam Sumber : SNI 1732-1989-F Dalam menentukan indeks permukaan akhir umur rencana perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER), berdasarkan table 2.12. II-27

Table 2.12 Indeks Permukaan Akhir (IP t ) Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan Rencana Lokal Kolektor Arteri Tol < 10 1-1,50 1,50 1,50-2 - 10-100 1,50 1,50-2 2-100 - 1000 1,50-2 2 2-2,50 - > 1000-2 - 2,50 2,50 2,50 2.5.12 Koefisien Kekuatan Relatif (a) Koefisien kekuatan relatif (a) diperoleh berdasarkan jenis lapisan perkerasan yang digunakan. Pemilihan jenis lapisan perkerasan ditentukan dari : 1. Material yang tersedia 2. Dana awal yang tersedia 3. Tenaga kerja dan peralatan yang tersedia 4. Fungsi jalan Sumber : SNI 1732-1989-F Besarnya koefisien kekuatan relatif ditentukan oleh table 2.13 II-28

Tabel 2.13 Koefisien Kekuatan Relatif Koefisien Kekuatan Bahan Kekuatan Relatif MS KT CBR a₁ a₂ a₃ (kg) (kg/cm²) (%) Jenis Bahan 0,40 - - 744 - - 0,35 - - 590 - - 0,32 - - 454 - - Laston 0,30 - - 340 - - 0,35 - - 744 - - 0,31 - - 590 - - 0,28 - - 454 - - Lasbutag 0,26 - - 340 - - 0,30 - - 340 - - HRA 0,26 - - 340 - - Aspal Macadam 0,25 - - - - - Lapen (mekanis) 0,20 - - - - - Lapen (manual) - 0,28-590 - - - 0,26-454 - - Laston Atas - 0,24-340 - - - 0,23 - - - - Lapen (mekanis) - 0,19 - - - - Lapen (manual) - - 0,15 0,15 - - - - 22 22 - - - - 0,13 0,13 - - - - 18 18 - - Stabilitas tanah dengan semen Stabilitas tanah dengan kapur - 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A) - 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B) - 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C) - - 0,13 - - 70 Sirtu/pitrun (kelas A) - - 0,12 - - 50 Sirtu/pitrun (kelas B) - - 0,11 - - 30 Sirtu/pitrun (kelas C) - - 0,10 - - 20 Tanah/lempung berpasir Sumber : SNI 1732-1989-F II-29

2.5.1 Kategori Kendaraan Survey volume lalu lintas yang dipakai untuk acuan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga mengkategorikan 12 kendaraan termasuk kendaraan tidak bermotor (non motorized). Sebelumnya, survey pencacahan lalu lintas dengan cara manual perhitungan lalu lintas tersebut mengkategorikan menjadi 8 kelas (Ditjen Bina Marga Pd-T-19-2004). Tabel 2.14 membedakan beberapa kategori kendaraan tersebut. Untuk perencanaan perkerasan jalan digunakan 12 klasifikasi kendaraan. Untuk perencanaan geometrik digunakan hanya 5 kelas kendaraan (MKJI,1997). Pickup, mikro truk, dan mobil hantaran Table 2.14 Kategori Jenis Kendaraan BM 1992 MKJI 1997 Sepeda motor, skuter, Sepeda motor, skuter, Sepedan motor (MC), kendaraan 1 1 1 kendaraan roda tiga kendaraan roda tiga bermotor roda dua dan roda tiga Sedan, jeep, Sedan, jeep, 2 2 station wagon station wagon Kendaraan ringan (LV) : Opelet, kombi, dan Opelet, kombi, dan mobil penumpang, opelet, pickup, 3 3 2 mini bus mini bus bus kecil, truk kecil 4 IRMS, BM Pickup, mikro truk, dan mobil hantaran 5a Bus kecil 5 Bus 5b Bus besar Kendaraan Berat (LHV) : 3 6a Truk ringan 2 As bus,truk 2 As 6 Truk 2 As 6b Truk sedang 2 As 7a Truk 3 As Truk 3 As atau lebih HGV : truk 3 As, dan 7b Truk gandeng 7 dan gandengan 4 truk gandeng 7c Truk semi trailer 4 Kendaraan tidak Kendaraan tidak Kendaraan tidak 8 8 5 bermotor bermotor bermotor (UM) Sumber : International Road Management System, Bina Marga, Manual Kapasitas Jalan Indonesia II-30

2.6. Metode SNI 1732-1989-F Penetuan tebal perkerasan lentur jalan didasarkan pada buku Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Metode Analisa Komponen SNI 1732-1989-F. Data lalu lintas harian rata-rata dapat diperoleh dengan cara: LHR =... (2.13) Dimana: k = 0,09 a. Lintas harian rata-rata awal Rumus: LHR awal umur rencana = (1+i) n x Volume kendaraan...... (2.14) Dimana: i = Angka pertumbuhan lalu lintas pada masa pelaksanaan n = Masa pelaksanaan b. Lintas harian rata-rata akhir Rumus: LHR akhirl umur rencana = (1+i) n x Volume kendaraan....... (2.15) Dimana: i = Angka pertumbuhan lalu lintas pada masa operasional n = Masa operasional jalan II-31

c. Koefisien distribusi untuk masing-masing kendaraan Berdasarkan Daftar II SNI-1732-1989-F tentang TATA CARA PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN, nilai koefisien masing-masing kendaraan dapat dilihat dari tabel 2.8. d. Angka ekivalen masing-masing kendaraan Berdasarkan Daftar III SNI-1732-1989-F tentang TATA CARA PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN, nilai ekivalen masing-masing kendaraan dapat dilihat dari tabel di bawah ini: Tabel 2.15 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Beban Sumbu Angka Ekivalen Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda 1000 2250 0,0002-2000 4409 0,0036 0,0003 3000 6614 0,0183 0,0016 4000 8818 0,0577 0,0050 5000 11023 0,1410 0,0121 6000 13228 0,2933 0,0251 7000 15432 0,5415 0,0466 8000 17637 0,9328 0,0794 8160 18000 1,0000 0,0860 9000 19841 1,4798 0,1273 10000 22046 2,2555 0,1940 11000 24251 3,3022 0,2840 12000 26455 4,6770 0,4022 13000 28660 6,4419 0,5540 14000 39864 8,6447 0,7452 15000 33069 11,4184 0,9820 16000 35276 14,7815 12,712 Sumber : SNI 1732-1989-F II-32

e. Lintas ekivalen permulaan (LEP) Rumus : LEP = (LHR awal umur rencana x c x E )..... (2.16) Dimana: c = Koefisien distribusi masing-masing kendaraan E = Angka ekivalen untuk masing-masing kendaraan f. Lintas ekivalen akhir (LEA) Rumus : LEA = ( LHR akhir umur rencana x c x E )...... (2.17) Dimana: c = Koefisien distribusi masing-masing kendaraan E = Angka ekivalen untuk masing-masing kendaraan g. Lintas ekivalen tengah (LET) Rumus : LET =..... (2.18) h. Faktor penyesuaian Rumus : FP =.. (2.19) Dimana: UR = Umur Rencana/masa operasional jalan II-33

i. Lintas ekivalen rencana (LER) Rumus : LER= LET x FP......... (2.20) j. Analisa daya dukung tanah Untuk menentukan nilai daya dukung tanah dasar, digunakan persamaan berdasarkan SNI-1732-1989-F tentang TATA CARA PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN. k. Analisa tebal perkerasan lentur Faktor regional Rumus : Persentase Kendaraan Berat = x100%.. (2.21) Setelah itu dapat dilanjutkan dengan melihat tabel dibawah ini: Table 2.16 Faktor Regional (FR) Kelandaian I (< 6%) Kelandaian II (6-10%) Kelandaian III (> 10%) % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat 30 % > 30 % 30 % > 30 % 30 % > 30 % Iklim I < 900mm/th 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5 Iklim I > 900mm/th 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5 Catatan : Pada bagian tertentu jalan, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari jari 30m) FR ditambah 0,5. Pada daerah raw, FR ditambah 1,0 Sumber : SNI 1732-1989-F II-34

Indeks permukaan Dalam menentukan indeks permukaan awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana. Besarnya nilai indeks permukaan pada awal umur rencana dapat dilihat pada tabel 2.11. Indeks permukaan akhir Untuk menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER). Adapun kisaran nilai indeks tersebut dapat dilihat pada tabel 2.12. Indeks tebal perkerasan Adalah suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan. Penentuan nilai indeks tebal perkerasan dapat dihitung dengan menggunakan pesamaan berikut ini : Log (LERx3650) = 9,36 x Log ( )- 0,2 + ( ) + Log + 0,372 x ( ( ) ) (DDT-3,0) (2.22) Dimana : LER = Lintas Ekivalen Rencana 3650 = Jumlah hari dalam 10 tahun ITP = Indeks Tebal Perkerasan DDT = Daya Dukung Tanah Dasar PSI = Perbedaan Serviceability Index di awal dan akhir umur rencana FR = Faktor Regional II-35

Koefisien kekuatan relatif Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang diperkuat dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah). Jika alat Marshall Test tidak tersedia, bahan beraspal bias diukur dengan cara lain seperti Hveem Test, Hubbard Field, dan Smith Triaxial. Besarnya keofisien kekuatan relatif dapat dilihat pada tabel 2.13. Susunan lapisan perkerasan Dalam menentukan tebal lapisan perkerasan, dipergunakan persamaan ini: = K 1 x a 1 D 1 + K 2 x a 2 D 2 + K 3 x a 3 D 3..... (2.23) Dimana: = Indeks Tebal Perkerasan K 1 = kondisi lapis permukaan berdasarkan tabel 2.17 K 2 = kondisi lapis pondasi berdasarkan tabel 2.17 K 3 = kondisi lapis pondasi bawah berdasarkan tabel 2.17 a 1 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan a 2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi atas a 3 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah D 1 = tebal lapis permukaan D 2 = tebal lapis pondasi atas D 3 = tebal lapis pondasi bawah II-36

Nilai Kondisi Perkerasan Jalan Dalam menentukan perencanaa tebal lapis tambah (overlay) dilakukan perhitungan balik dari perkerasan jalan lama. Nilai kondisi perkerasan jalan dapat di lihat pada tabel 2.17. Tabel 2.17 Nilai Kondisi Perkerasan Jalan Nilai Kondisi Perkerasan Keterangan (%) 1. Lapis Permukaan : a. Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada lajur roda 90-100 b. Terlihat tidak halus, sedikitndeformasi pada lajur roda, namun 70-90 masih tetap stabil c. Retak sedang, beberapa deformasi pada lajurnroda, pada 50-70 dasarnya masih menunjukan kestabilan d. Retak banyak, demikian juga deformasi pada lajur roda, 30-50 menunjukan gejalan ketidak stabilan 2. Lapis Pondasi : a. Pondasi beton aspal atau penetrasi makadam - Umumnya tidak retak - Terlihat retak halus, namun masih tetap stabil - Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukan kestabilan - Retak banyak, menunjukan gejala ketidak stabilan b. Stabilisasi tanah dengan semen atau kapur : Indeks Plastisitas 10% c. Pondasi makadam atau batu pecah Indeks Plastisitas 6% 90-100 70-90 50-70 30-50 70-100 80-100 3. Lapis Pondasi Bawah : Indeks Plastisitas 6% 90-100 Indeks Plastisitas > 6% 70-90 Sumber : SNI 1732-1989-F II-37

Berikut adalah batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan: 1. Lapis permukaan Tabel 2.18 Batas Tebal Minimum Lapis Permukaan ITP Tebal Minimum (cm) Bahan < 3,00 5 Lapis pelindung : (Buras / Burtu / Burda) 3,00-6,70 5 Lapen / Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston 6,71-7,49 7,5 Lapen / Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston 7,50-9,99 7,75 Lasbutag, Laston 10,00 10 Laston Sumber : SNI 1732-1989-F 2. Lapis permukaan ITP Tabel 2.19 Batas Tebal Minimum Lapis Pondasi Tebal Minimum Bahan (cm) < 3,00 15 3,00-7,49 7,50-9,99 10-12,14 12,25 20* Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur 10 Laston atas 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam 15 Laston atas 20 25 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam Lapen, Laston atas Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam Lapen, Laston atas *) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan material butir kasar Sumber : SNI 1732-1989-F II-38

3. Lapis permukaan Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm. 2.6.1 Perencanaan Tebal Lapis Tambah (Overlay) Diberikan pada jalan yang telah/menjelang habis masa pelayanannya dimana kondisi permukaan jalan telah mencapai indeks permukaan akhir (IP) yang diharapkan. Adapun maksud dan tujuan overlay : 1. Mengembalikan (meningkatkan) kemampuan/kekuatan struktural. 2. Kualitas permukaan - Kemampuan menahan gesekan roda (skin resistance) - Tingkat kekedapan terhadap air - Tingkat kecepatannya mengalirkan air - Tingkat keamanan dan kenyamanan a. Perancangan Tebal Pelapisan Tambahan Prosedur perencanaan tebal overlay menggunakan metode analisa komponen. Langkah-langkah perencanaannya : 1. Perlu dilakukan survey penilaian terhadap kondisi perkerasan jalan lama (existing pavement), yang meliputi lapis permukaan, lapis pondasi atas, dan lapis pondasi bawah. 2. Tentukan LHR pada awal dan akhir umur rencana 3. Hitung LEP, LEA, LET, dan LER 4. Tentukan nilai ITPR dengan menggunakan persamaaan 2.22 II-39

5. Tentukan nilai ITPsisa dari jalan yang akan diberi lapis tambah dengan menggunakan persamaan 2.24 sisa = (K i. a i. D i ).. (2.24) Keterangan : K = kondisi Lapisan a = koefisien kekuatan relative D = tebal lapisan i = nomor yang menunjukkan lapisan 6. Tetapkan tebal lapisan tambahan (Dol) ITP = ITP R - ITP sisa...... (2.25) Keterangan : ITP = selisih dari ITP R dan ITP sisa ITP R = ITP diperlukan sampai akhir umur rencana ITP sisa = ITP yang ada ITP = D ol x a ol.. (2.26) Keterangan : D ol = tebal lapisan tambahan a ol = koefisien kekuatan relatif lapisan tambah 2.7. Metode AASHTO 1993 Metode ASSHTO 1993 merupakan salah satu metode perencanaan untuk tebal perkerasan jalan yang sering digunakan. Metode ini telah dipakai secara umum diseluruh dunia untuk perencanaan serta diadopsi sebagai standar perencanaan di II-40

berbagai negara. Metode ASSHTO 1993 pada dasarnya adalah metode perencanaan yang didasarkan pada metode empiris dengan menggunakan beberapa parameter yang dibutuhkan dalam perencanaan diantaranya : 1. Struktural Number (SN) 2. Lalu Lintas 3. Reliability 4. Faktor Lingkungan 5. Serviceability 6. Struktural Number (SN) 1. Structural Number (SN) Structural Number (SN) merupakan fungsi dari ketebalan lapisan dan koefisien relatif lapisan (layer coefficients). Persamaan untuk Structural Number (SN) adalah sebagai berikut : SN = a 1 D 1 + a 2. D 2. m 2 + a 3 D 3 m 3...... (2.27) Dimana : SN = nilai Structural Number a 1, a 2, a 3 = koefisien relatif masing-masing lapisan D 1, D 2, D 3 = tebal masing-masing lapisan perkerasan m 2, m 3 = koefisien drainase pondasi dan pondasi bawah 2. Lalu Lintas Prosedur perencanaan untuk parameter lalu lintas didasarkan pada kumulatif beban gandar standar ekivalen (Cumulative Equivalent Standart Axel, CESA). Perhitungan untuk CESA ini didasarkan pada konversi lalu lintas yang lewat terhadap beban gandar standar 8,16 ton dan mempertimbangkan umur rencana, II-41

volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu lintas (growth factor). 3. Angka Ekivalen Beban Sumbu Angka ekivalen (E) menunjukan jumlah lintasan sumbu standar sumbu tunggal roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh jenis dan beban sumbu tertentu atau jenis dan beban kendaraan tertentu. Rumus dasar AASHTO untuk menentukan angka ekivalendapat dilihat pada persamaan 2.28. [ ] [ ].... (2.28) Dimana : Wₓ = sumbu dengan beban 1000x pon W = sumbu standar dengan beban 18.000 pon = bilangan terbalik dari angka ekivalen untuk beban dan konfigurasi sumbu 1000x pon L = 18 (beban sumbu standar dalam kilopon) Lₓ = x (beban sumbu dalam kipopon) L ₓ = kode untuk konfigurasi sumbu yang ditinjau, 1 = untuk sumbu tunggal, 2 = untuk sumbu tandem, 3 = untuk sumbu tripel L s = kode untuk sumbu standar, selalu 1 (sumbu tunggal) G = Log ( ) II-42