TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINGKAT SUPEROVULASI PADA BEBERAPA BANGSA SAPI DENGAN SUMBER FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH) YANG BERBEDA SKRIPSI DHEDY PRASETYO

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Hormon dan Perannya dalam Dinamika Ovari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda


HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Anatomi/organ reproduksi wanita

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

Teknologi Reproduksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

HASlL DAN PEMBAHASAN

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESEHATAN REPRODUKSI* Oleh: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes**

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

... Tugas Milik kelompok 8...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011).

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

drh. Herlina Pratiwi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada hewan jantan, karena terdiri atas beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing- masing. Ovarium merupakan dua organ kecil yang terletak di ruang abdominal dengan fungsi utama adalah untuk menghasilkan ovum sekaligus sebagai tempat terjadinya proses oogenesis (proses produksi sel telur). Tugas lain dari ovarium adalah menghasilkan estrogen dan progesteron dimana kedua hormon ini memiliki peran penting dalam siklus reproduksi betina (Hafez dan Hafez, 2000). Partodiharjo (1982) menambahkan, ternak sapi bersifat poliestrus dan memperlihatkan berahi secara periodik sepanjang tahun. Estrus berasal dari kata latin oestrus yang dikenal dengan istilah berahi yaitu satu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Toliehere (1985) menerangkan bahwa tanda-tanda berahi pada sapi adalah sapi betina menjadi tidak tenang, kurang nafsu makan, menguak, berkelana mencari pejantan, mencoba menaiki betina lain dan diam jika dinaiki sapi lain, selain itu vulva sapi tersebut terlihat membengkak, memerah, hangat dan penuh dengan lendir. Saat hewan betina mengalami estrus, serviks akan membuka sehingga sperma bisa masuk. Serviks berhubungan dengan vagina yang merupakan organ mirip pipa atau selongsong (sheath-like organ) dan berfungsi sebagai saluran kelahiran agar fetus dapat keluar dari uterus induk. Bagian paling luar dari saluran reproduksi betina adalah vulva yang sekaligus merupakan akhir dari saluran urinari (Herren, 2000). Folikulogenesis Mekanisme intraovarian mengatur pertumbuhan jumlah folikel ovulasi yang spesifik pada setiap spesies. Manusia dan sapi merupakan makhluk monotokus, terjadi pertumbuhan beberapa lusin folikel antral dalam pola seperti gelombang setiap 7-14 hari selama setiap menstruasi atau siklus estrus. Sebuah gelombang folikuler yang bertepatan dengan fase folikular dari hasil siklus menstruasi atau estrus menghasilkan pengembangan folikel ovulasi dominan, sedangkan folikel dominan yang berkembang pada gelombang yang tidak sinkron dengan fase folikular akan mengalami atresia. Setiap gelombang folikuler didahului dengan kenaikan konsentrasi serum FSH. Proses seleksi terjadi dimana satu folikel dominan terus 3

tumbuh dan berkembang sementara semua folikel subordinat lainnya mengalami atresia (Evans et al., 2004). Menurut Fortune (1994) perkembangan folikel (folikulogenesis) dimulai dari proses rekrutmen, mekanisme seleksi dan akhirnya sampai pada satu titik folikel dihadapkan pada dua pilihan, terus berkembang kemudian berovulasi atau berhenti berkembang dan mengalami atresia atau mati Istilah rekrutmen identik dengan proses pertumbuhan folikel pada saat sebagian besar folikel lain mengalami atresia dan masing-masing folikel berusaha untuk mencapai tahap ovulasi. Rekrutmen tidak berlangsung secara acak, melainkan dalam kelompok folikel mereka akan terus berkembang apabila terjadi peningkatan konsentrasi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dalam sistem sirkulasi. Menurut Bo et al. (1995), perkembangan folikel di dalam ovarium merupakan proses yang berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai gelombang folikel. Gelombang folikel didefinisikan sebagai perkembangan folikel dengan diameter 4-5 mm dalam jumlah besar secara serentak yang diikuti dengan mekanisme seleksi, perkembangan menjadi folikel dominan dan penekanan atau supresi terhadap perkembangan folikel subordinat. Proses perkembangan folikel hanya melibatkan beberapa folikel yang berkembang dan berhasil diovulasikan, sedangkan sebagian besar di antaranya akan mengalami atresia sebelum mencapai tahap ovulasi. Atresia dapat muncul pada setiap proses perkembangan folikel, namun frekuensi atresia tidak selalu terjadi dan tidak terdistribusi merata sepanjang proses folikulogenesis (Fortune, 1994). Triwulanningsih et al. (2001) menambahkan bahwa atresia dapat disebabkan degenerasi sel-sel kumuius, degenerasi oosit, peredaran darah yang memberi nutrisi ke oosit berkurang dan faktor penghambat dari folikel dominan terhadap folikel lainnya (folikel subordinat). Perkembangan folikel diketahui sebagai proses yang berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai "gelombang" folikel. Gelombang folikel (follicular wave) merupakan perkembangan folikel dalam jumlah besar secara sinkron yang diikuti dengan mekanisme seleksi berupa perkembangan folikel dominan dan penekanan 4

(supresi) terhadap folikel subordinat. Pada ternak, setiap gelombang terdiri atas kelompok folikel (15 folikel). Kemudian mereka berkompetisi (mekanisme seleksi) sehingga menghasilkan folikel dominan dan menekan perkembangan folikel lain (Bo et al., 1995). Folikulogenesis ovarium merupakan sistem yang kompleks dari morfologis dan peristiwa biokimia yang mengatur pertumbuhan serta diferensiasi dari folikel primordial ke tahap ovulasi (folikel ovulasi tunggal pada sapi) dan pelepasan oosit. Peningkatan folikulogenesis terkait dengan perubahan pada produksi dari faktor pertumbuhan dan hormon ovarium tetapi tidak dalam sekresi gonadotropin (Echternkamp, 2000). Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH) Gonadotropin adalah kelompok hormon yang bekerja pada gonad, misalnya FSH dan LH yang berperan dalam menginduksi perkembangan folikel ovari dan stimulasi ovulasi (Triwulanningsih et al., 2001). Eyestone dan Boer (1993) menjelaskan bahwa FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel dalam ovari, proses pematangan Oosit dan perkembangan embrio secara dini, tetapi kurang berperan untuk perkembangan selanjutnya. Untuk meningkatkan pematangan folikel dalam jumlah besar (gelombang), diberikan perlakuan hormon gonadotropin selama fase luteal siklus estrus (Armstrong, 1993). Toelihere (1985) menyatakan bahwa hormon utama yang digunakan pada superovulasi adalah hormon gonadotropin. yaitu FSH dan LH. FSH merupakan hormon gonadotropin dengan unsur glikopeptida yang memiliki reseptor pada sel granulosa folikel yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan folikel, sehingga sangat diperlukan dalam proses superovulasi. Kaiin dan Tappa (2006) menambahkan hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Selain FSH dapat pula digunakan hormon lain, yaitu Pregnant Mare Serum Gonadotropine (PMSG) yang mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga hanya perlu dilakukan salu kali injeksi. Waktu paruh yang panjang tersebut akan berdampak pada : (1) hasil superovulasi sangat bervariasi, (2) sering timbul folikel yang menetap dalam ovarium sehingga terjadi ketidakseimbangan hormonal dan (3) 5

kualitas embrio yang kurang memenuhi klasifikasi yang telah ditentukan (Yusuf et al., 1993). Waktu paruh PMSG yang panjang menyebabkan terus terjadi stimulasi pembentukan folikel baru, meskipun ovulasi sudah selesai sehingga dari folikel yang terbentuk akan menghasilkan estrogen dengan kadar cukup tinggi yang pada akhirnya akan mengganggu transpor dan daya tahan hidup embrio (Mustofa, 1999). Baik FSH maupun PMSG telah banyak digunakan dalam teknik-teknik tertentu (misalnya produksi embrio) untuk menginduksi superovulasi (Hunter, 1995). Respon imunologi terhadap pemberian injeksi berulang hormon gonadotropin dapat membatasi kemampuan respon sapi donor terhadap superovulasi. PMSG dan FSH merupakan hormon protein sehingga sangat potensial menginduksi reaksi anafilaksis. Hal ini menandakan bahwa injeksi berulang dapat merangsang pembentukan antigonadotropin yang dapat mengurangi respon selanjutnya terhadap hormon gonadotropin endogen (Seidel dan Elsden, 1985). Seleksi Betina Donor Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak resipien dilakukan dengan memeriksa keadaan alat reproduksi. Sapi dengan kondisi reproduksi yang memenuhi syarat digunakan sebagai ternak resipien. Setelah itu sapi diprogram dan disinkronisasi berahi dengan penyuntikan PGF2α (Prosolvin, Intervet) dengan dosis dua ml/ekor secara intra muskular (Kaiin et al., 2008). Sapi yang digunakan sebagai ternak donor harus mempunyai kriteria : memiliki genetik unggul (genetic superiority), memiliki kemampuan reproduksi (reproductive ability) dan memiliki keturunan yang marketable atau memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Grimes, 2008). Seidel dan Elsden (1985) mendefinisikan donor sebagai hewan sumber embrio dipanen. Nilai (value) dari hewan donor biasanya hanya dilihat dari kemampuan produksi susu dan daging. Hewan donor harus memiliki tubuh yang sehat karena sapi yang sakit umumnya tidak memberikan respon terhadap perlakuan superovulasi. Kondisi tubuh donor yang terlalu gemuk atau terlalu kurus dapat mengurangi fertilitas (Herren, 2000). Menurut Wright (1987) sapi donor harus bebas penyakit dan bebas abnormalitas gerak, mempunyai catatan produksi atau produktifitas yang baik dan siklus estrus yang teratur. 6

Sinkronisasi Estrus Sinkronisasi estrus adalah pencocokan siklus estrus dari ternak donor dan penerima dengan injeksi prostaglandin (PGF2 ) untuk merangsang estrus (Kunkel, 1998). Preparat Prostaglandin F2α (PGF2α) dikenal sebagai agen luteolitik yang dapat menyamakan siklus estrus dalam waktu yang bersamaan, sedangkan hcg dapat menginduksi ovulasi, sehingga pemberian hcg pada pertengahan estrus dapat merangsang pelepasan ovum dalam waktu yang lebih seragam. Dengan demikian perkembangan folikel dapat diamati sehingga dapat ditentukan waktu inseminasi yang lebih tepat (Arifiantini et al., 2010). Superovulasi Ovulasi adalah proses pemecahan folikel de graaf yang terjadi sewaktu ovum dilepaskan dari ovarium. Tingkatan ovarium adalah primer, sekunder dan tersier dan folikel de graaf. LH menyebabkan pengendoran dinding folikel sehingga lapisanlapisan pecah dan melepaskan ovum dan cairan folikel, sesudah ovulasi terbentuk Corpus luteum di dalam folikel yang telah pecah dan mulai mensekresikan progesterone. Hewan-hewan betina dewasa yang disuntikan hormon gonadotropin dapat menghasilkan 20-100 ova pada satu estrus. FSH menggertak pematangan beberapa folikel, sedangkan LH menyebabkan ovulasi hal ini disebut superovulasi (Toelihere, 1985). Dalam program Transfer Embrio (TE), untuk merangsang ovulasi ganda (multiple ovulation), maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh 12-15 sel telur dalam satu kali ovulasi (Herren, 2000). Superovulasi dapat diinduksi secara buatan melalui pemberian hormon gonadotropin eksogen (berasal dari luar tubuh), misalnya FSH dan PMSG. Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel pada ternak sapi. Betina donor diinjeksikan setiap hari dengan FSH (Herren, 2000) yang dapat berasal dari ekstrak hipofise babi dan domba (Wheeler dan Bowen, 1989) atau dari esktrak hipofise sapi (Wilson, 1992). Donor tertentu memerlukan penambahan LH selain FSH, namun umumnya preparat FSH yang dijual sudah ditambahkan LH (Wright, 1987). Perlakuan superovulasi dapat dilakukan tepat waktu apabila siklus estrus dapat segera dikenal (Seidel dan Elsden, 1985). Hal yang terpenting adalah menjaga 7

agar siklus estrus berjalan normal dan teratur sehingga perlakuan superovulasi dapat sinkron dengan pola hormonal hewan secara normal. Jika siklus estrus abnormal, maka perlakuan superovulasi mungkin mengalami kegagalan Wilson (1992). Inseminasi Buatan Setelah berhasil memilih hewan donor berkualitas tinggi, kunci keberhasilan Transfer Embrio (TE) selanjutnya terletak pada inseminasi dengan semen yang berasal dari sapi jantan bibit unggul (Davis, 2004). Setelah perlakuan superovulasi, perlu dilakukan pengamatan terhadap tanda-tanda estrus pada sapi donor sehingga dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu inseminasi yang tepat dan IB dilakukan 6-24 jam setelah estrus. Herren (2000) menyarankan agar inseminasi segera dilakukan pada saat sel telur diovulasikan karena daya hidup sperma yang singkat (20-30 jam). Dengan semen kualitas yang baik dan banyak pengalaman dengan program TE, cukup dilakukan sekali inseminasi saja. Jika hanya satu inseminasi yang dilakukan, penting untuk memeriksa berahi dan inseminasi 10 sampai 20 jam setelah awal berahi (Inseminasi dilakukan ketika sejumlah besar telur dilepaskan dari ovarium, ovulasi dapat terjadi selama 24 jam atau lebih). Pada saat telur terakhir dilepaskan dari ovarium mungkin tidak ada cukup sperma untuk membuahi. Sangat penting bahwa prosedur IB harus dilakukan secara tepat dan hanya dilakukan oleh teknisi IB yang sangat berpengalaman (Lewis, 1996). Fertilisasi yang rendah dapat disebabkan kualitas semen yang rendah, teknik serta waktu inseminasi yang kurang tepat (Seidel dan Elsden, 1989). Greve et, al. (1995) menyatakan jumlah embrio layak transfer rendah pada ternak yang disuperovulasi dapat diakibatkan oleh kondisi ovum, tingkat fertilisasi dan perkembangan embrio awal yang terganggu. Hardjopranjoto (1995) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang kurang menguntungkan dalam superovulasi adalah menghasilkan sel telur yang belum dewasa sehingga setelah pembuahan banyak terjadi kematian embrio muda. Faktor yang dapat mempengaruhi kematian embrio awal antara lain zat kekebalan kurang berfungsi, ketidakseimbangan nutrisi pakan, lingkungan uterus yang kurang baik, defisiensi hormon serta umur ovum dan sperma. Semen segar lebih baik digunakan daripada semen beku karena semen segar dapat lebih lama bertahan di dalam saluran reproduksi betina. Pada program TE, 8

dapat digunakan semen segar dengan konsentrasi 10-50 juta sperma motil atau semen beku yang mengandung 30 juta sperma motil dan diberikan dengan dosis ganda. Grimes (2008) menyarankan agar inseminasi dilakukan 1-3 kali selama dan setelah estrus dengan interval yang sama. Koleksi Embrio Panen atau koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke-7 sampai hari ke-8 setelah berahi saat sebagian besar embrio sudah memasuki ujung cornua uteri pada masa itu. Embrio akan berkembang sekitar satu minggu, kemudian embrio dipanen pada tahap morula sampai blastocyst (Grimes, 2008). Embrio dikoleksi antara hari ke-6 dan ke-8 setelah estrus (Herren, 2000). Pemanenan embrio tidak dilakukan lebih awal karena dapat menurunkan efisiensi koleksi embrio dengan metode non bedah. Sebelum hari ke-4, hampir semua embrio terletak di dalam oviduk yang dipisahkan dari uterus oleh utero-tubal junction. Struktur ini berfungsi sebagai katup (valve) yang dapat mengatur masuknya sperma dari uterus menuju oviduk sehingga fertilisasi terjadi tepat waktu dan mengatur transpor embrio ke arah sebaliknya. Embrio akan ditranspor menuju uterus pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah estrus, melalui kontraksi ritmik pada dinding oviduk dan relaksasi dari otot pada dinding utero-tubal junction sehingga tingkat keberhasilan koleksi embrio akan lebih tinggi pada hari ke-6 dan seterusnya daripada hari ke-4. Kadang-kadang beberapa embrio masih ditemukan dalam oviduk pada sapi yang disuperovulasi sampai hari ke-10 (Seidel dan Elsden, 1989). Teknik koleksi embrio pada sapi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bedah dan non bedah (Herren, 2000). Secara empiris, teknik bedah telah diketahui dapat mengakibatkan pembentukan jaringan parut (scar tissue) sehingga terjadi perlekatan ovarium pada uterus. Selanjutnya digunakan cara lain yaitu teknik koleksi embrio non bedah dengan resiko yang lebih kecil, aplikasi sederhana, tidak memerlukan fasilitas khusus sehingga dapat dilakukan di lapangan dengan biaya yang lebih ekonomis (Hunter, 1995). Namun, menurut Wright (1987), teknik bedah masih dapat dijadikan alternatif untuk menangani kasus infertilitas tertentu (misalnya causa mekanis seperti sumbatan pada oviduk) atau karena kesulitan memasukkan kateter melalui serviks. Tahap perkembangan embrio dapat dilihat pada Gambar 1. 9

1 Sel (hari 1) 2 Sel (hari 2) 4 Sel (hari 3) 8 Sel (hari 4) 16 Sel (hari 5) Morula awal (hari 5-6) Morula (hari 6) Blastosit awal (hari 7) Blastosit (hari 7-8) Expanded blastocyst (hari 8-9) Hatched blastocyst (hari 9) Expanding hatched blastocyst (hari 9) Gambar 1. Tahap Perkembangan Embrio (Robertson dan Nelson, 2009) Batas waktu paling akhir untuk koleksi embrio adalah hari ke-14 setelah estrus, sedangkan di luar batas ini embrio yang dikoleksi akan rusak. Pada hari ke-9, embrio mulai keluar dari zona pellusida dan koleksi embrio tidak disarankan pada tahap ini karena kesulitan dalam mengidentifikasi embrio ketika ia sudah keluar dari zona pellusida. Hampir semua embrio telah keluar pada hari ke-11, pada saat diameter embrio meningkat secara drastis. Hari ke-12 sampai ke-13, embrio mulai memanjang (elongate) dan tampak seperti bola (American football). Hari ke-14 sampai ke-15, bentuk embrio sangat panjang seperti spaghetti. Hari ke-18 sampai 10

hari ke-19, embrio hampir memenuhi cornua uteri. Koleksi embrio mungkin dapat dilakukan pada hari ke-17 dengan teknik non bedah, tetapi potensi terjadinya kerusakan/cacat pada embrio sangat besar sejak hari ke-14 (Seidel dan Elsden, 1989). Tahap perkembangan embrio dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tahap Perkembangan Embrio Tahap Deskripsi 1 Belum dibuahi 2 2-12 sel 3 Morula awal 4 Morula 5 Blastosit awal 6 Blastosit 7 Expanded blastocyst 8 Hatched blastocyst 9 Expanded hatched blastocyst Sumber: Wright (2009) Faktor yang mempengaruhi perkembangan embrio menurut Hunter (1995) adalah : (1) keadaan uterus, karena mempunyai fungsi penting bagi embrio sebagai penyedia nutrisi, tempat implantasi differensiasi embrio dan memanjang foetus waktu normal kalahiran, (2) cadangan makanan dalam sitoplasma, (3) nutrisi pada cairan uterus yang disebut susu uterus atau histrotop, komponen dari cairan uterus ini mungkin secara khusus terlibat dalam mendorong pertumbuhan embrio, (4) kecepatan memasuki uterus yang terlalu cepat, hal tersebut merugikan karena embrio masih memerlukan perkembangan di tuba falopii. FSH berfungsi merangsang pertumbuhan Follikel dalam ovari, proses pematangan oosit dan perkembangan embrio secara dini, tetapi kurang berperan untuk perkembangan lebih lanjut (Eyestone dan Boer, 1993). 11

Corpus Luteum (CL) Corpus Luteum (CL) merupakan benda yang terbentuk pada tempat ovum diovulasikan dan dijadikan patokan untuk mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et al., 2009). Setelah terjadi ovulasi maka pada situs pelepasan oosit akan terbentuk Corpus Luteum (CL). Selama awal fase luteal (metestrus). CL dibentuk dari sel-sel luteal. Pada pertengahan fase luteal (diestrus) sel-sel luteal menghasilkan sejumlah besar progesteron. Selama akhir fase luteal, CL dilisiskan PGF2 α yang dihasilkan endometrium uterus. Lisis CL diikuti dengan penurunan kadar progesteron. sehingga mekanisme umpan balik negatif progesteron pada hypotalamus hilang, mengakibatkan peningkatan GNRH yang menandakan dimulai fase folikular. Ukuran CL pada hari ke 3-5 mulai meningkat sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar maksimal sekitar hari ke-10 (Senger, 1999). Menurut Amiridis et al. (2006), CL tersusun atas sel-sel luteal yang berperan menghasilkan progesteron. Konsitensi atau kekenyalan badan CL sangat ditentukan jumlah sel-sel luteal dan vaskuralisasi darah kebagian tersebut. Demikian juga kemampuan CL memproduksi progesteron tergantung pada tingkat vaskularisasi pada lapisan seluler. Fungsi CL yang rendah (sintesis dan sekresi progesteron sedikit) diyakini akan menjadi penyebab penting kegagalan reproduksi dan ketidakmampuan uterus dalam mendukung perkembangan embrio dini. Senger (1999) menambahkan, dalam satu siklus estrus CL harus mengalami lisis agar fase folikular dimulai. Ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi saat kadar progesteron dominan. Luteolisis berarti disintengrasi atau dekomposisi dari CL yang terjadi 2-3 hari pada akhir fase luteal. Dua hormon yang berperan penting dalam lisis CL yaitu oxytocin yang dihasilkan CL dan hormon PGF2α yang dihasilkan endometrium uterus. Klasifikasi Embrio Evaluasi embrio merupakan faktor yang menentukan keberhasilan program Transfer Embrio (TE) (Wright, 1987). Evaluasi morfologi embrio telah terbukti berguna dalam memprediksi angka kebuntingan (pregnancy rate) bagi sekelompok embrio, namun teknik ini kurang dapat menentukan kemampuan bertahan hidup (viabilitas) embrio. Embrio dievaluasi agar diketahui kualitas sehingga dapat 12

ditransfer ke resipien yang tepat, dimana embrio dengan kualitas terbaik ditransfer ke respien yang paling baik pula (Seidel dan Elsden, 1985). Seidel dan Elsden (1985) menyatakan beberapa karakteristik yang dapat digunakan dalam evaluasi embrio sebagai berikut: (1) kepadatan sel-sel; (2) keteraturan bentuk embrio; (3) variasi ukuran sel; (4) warna dan tekstur sitoplasma; (5) ada tidaknya rongga (vesikel) berukuran besar; (6) ada tidaknya sel yang keluar; (7) diameter embrio; (8) keteraturan bentuk zona pellusida; dan (9) ada tidaknya sesel debris. Embrio yang ideal mempunyai bentuk seperti bola (spherical) dan sel-sel di dalam terlihat kompak (padat). Blastomer memiliki ukuran yang hampir sama, warna dan tesktur sama, terlihat tidak terlalu cerah dan tidak terlalu gelap. Sitoplasma tidak bergranular atau tersebar merata serta terdapat beberapa vesikel berukuran sedang. Ruang periviteim tampak kosong, zona pellusida tidak berkerut apalagi kolaps serta tidak ditemukan sel-sel debris. Klasifikasi kualitas embrio dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kualitas Embrio Kode Deskripsi 1 Excellent or Good 2 Fair 3 Good 4 Dead or Degenerating Sumber: Wright (2009) Transfer Embrio Transfer embrio (TE) pada sapi adalah teknik manipulasi genetik yang merupakan salah satu teknologi terbaru dalam bidang reproduksi. Berbeda dengan inseminasi buatan (IB) yang meningkatkan mutu genetik hanya melalui hewan jantan (parental), TE juga berusaha meningkatkan mutu ternak hewan betina (Herren, 2000). Teknologi TE memungkinkan diperoleh anak sapi unggul dalam jumlah yang lebih banyak (Wilson, 1992). Dengan demikian, perbaikan genetik dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat (Seidel dan Elsden, 1989). 13

Salah satu masalah utama dalam program transfer embrio (TE) adalah tingginya variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan TE. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan TE dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor (Kaiin dan Tappa, 2006). 14