BAB V PENUTUP. aliran kepercayaan disetarakan statusnya layaknya agama resmi lainnya (Mutaqin

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENUTUP. dengan masuknya etnik Tionghoa di Indonesia. Medio tahun 1930-an dimulai. dan hanya mengandalkan warisan leluhurnya.

Agama Resmi dalam RUU PUB: Solusi konflik agama? Tobias Basuki

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

BAB 5 RINGKASAN. keatas dari penduduk Indonesia yang beragama Islam, masih terdapat agama Kristen,

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

BAB IV TANTANGAN DAN RESPON UMAT ISLAM TERHADAP ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DI DESA BALONGDOWO

AGAMA DAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

NOVIYANTI NINGSIH F

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki banyak pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu,

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga tidak memicu terjadinya konflik sosial didalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan

I. PENDAHULUAN. kehormatan, dan kesejahteraan rakyat (Mahbub, 2004:5). berbagai latar belakang ideologi pemerintahan, baik di negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil laporan, deskripsi serta pembahasan hasil penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam

TANTANGAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT ADAT/ BANGSA PRIBUMI DI INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN 1

I. PENDAHULUAN. menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. umum dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Ini merupakan salah satu

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dibuktikkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

I. PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, bahwa Negara menjamin

HAK KEBEBASAN BERAGAMA

KEWARGANEGARAAN. Konsep Dasar Kewarganegaraan. Dr. Achmad Jamil M.Si. Modul ke: 01Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi S1 Manajemen

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BAB I PENDAHULUAN. harmoni kehidupan umat beragama di Indonesia. 1. Syiah di Sampang pada tahun 2012 yang lalu.

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENGELOLAAN KERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA DAN PERAN FKUB

BAB I

PANCASILA. Sebagai Ideologi Negara. Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK. H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Modul ke: Fakultas Teknik

PENERAPAN SILA PERTAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN

Ringkasan Putusan.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PANCASILA & KEBEBASAN BERAGAMA STMIK AMIKOM Yogyakarta

A. Deskripsi Teori BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara. a. Pengertian Warga Negara

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

PANCASILA MENGATASI KONFLIK IDEOLOGI-IDEOLOGI NEGARA

MENGAWAL KONSTITUSI DALAM MENJAMIN KEHIDUPAN BERAGAMA Oleh: Arfan Faiz Muhlizi *

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

Kenapa Agama dari Asing Diakui, Kalau dari Leluhur Tidak?

PANCASILA DAN AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA. Nama : Oni Yuwantoro N I M : Kelompok : A Jurusan : D3 MI Dosen : Drs. Kalis Purwanto, MM

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

Disampaikan pada Peningkatan Kompetensi Pengelola di Bidang Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi Semarang, 25 Oktober 2016

Pancasila sebagai Ideologi Negara

PENDIDIKAN PANCASILA

Pancasila sebagai Ideologi Negara

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Waisak Nasional Tahun 2013, Jakarta, 26 Mei 2013 Minggu, 26 Mei 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

PANCASILA DAN HAM. Makalah Disusun untuk: Memenuhi tugas akhir Pendidikan Pancasila STMIK AMIKOM

BAB V ANALISIS PERSPEKTIF JOHN RAWLS DAN UU NO. 1/PNPS/1965 BERDASARKAN IDE NALAR PUBLIK JOHN RAWLS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB IV NILAI-NILAI SPIRITUALITAS AJARAN KEROHANIAN SAPTA DARMA DI DUKUH SEPAT KELURAHAN LIDAH KULON

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H.

Pesan Ibu Nusantara Bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 032 TAHUN 2016 TENTANG

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BAB III SANKSI HUKUM TERHADAP PELAKU PENODAAN AGAMA DALAM KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

BAB V PENUTUP. merumuskannya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PENGGUGAT dengan ini hendak mengajukan GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM terhadap:

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

ANTARA PENODAAN DAN KERUKUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

BAB I PENDAHULUAN. yang cenderung kepada kelezatan jasmaniah). Dengan demikian, ketika manusia

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

Oleh : TIM DOSEN SPAI

BAB I PENDAHULUAN. Pria dan wanita diciptakan oleh Tuhan untuk hidup berpasang-pasangan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Penyebab dan Akar Masalah

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut NKRI)

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Transkripsi:

150 BAB V PENUTUP Pada tahun 1950an merupakan momen kebangkitan penghayat kepercayaan. Mereka mulai menunjukkan eksistensinya dengan membentuk organisasi berskala nasional. Wongsonegoro sebagai representasi mereka, meminta Sukarno agar aliran kepercayaan disetarakan statusnya layaknya agama resmi lainnya (Mutaqin 2014). Secara politis, Negara cukup khawatir sehingga merespon hal tersebut melalui Departemen Agama. Agar bisa diakui sebagai agama resmi di Indonesia, maka pada tahun 1952 Departemen Agama memberikan konsepsi tentang agama dikarenakan banyaknya aliran kepercayaan yang muncul pada saat itu. Karakteristik agama yang dirumuskan antara lain mempunyai nabi, kitab suci dan pengakuan berskala internasional, namun ternyata definisi tersebut ditolak oleh komunitas agama Hindu Bali karena konsepsi yang dirumuskan oleh Departemen Agama tidak representatif bagi mereka (Mulder 1998). Kemudian tak lama dari agenda tersebut, Negara membentuk Pakem pada tahun 1954 untuk mengawasi kelompok agama atau aliran kepercayaan baru yang dianggap menyimpang dari kelompok mainstream. Pada tahun 1961 Departemen Agama kembali memberikan definisi agama yang bisa diakui di Indonesia, yakni memiliki kitab suci, mempunyai nabi, kepercayaan pada Tuhan YME dan ajaran bagi pengikutnya (Mulder 1998). Hal ini bertujuan untuk menyingkirkan aliran kepercayaan yang muncul di saat itu. Selang beberapa tahun kemudian Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan pembatasan agama hanya 6 yang dipeluk oleh

151 rakyat Indonesia melalui UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan dan atau Penyalahgunaan Agama pada 27 Januari 1965. Sementara itu, agama yang dianggap memenuhi kriteria tersebut dan diakui di Indonesia hanyalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Dalam UU tersebut, penyebutan agama yang diakui adalah dengan istilah agama yang dipeluk bangsa Indonesia berdasarkan latar historis masuknya agama-agama tersebut ke Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa keenam agama yang diakui Negara sebenarnya adalah agama-agama impor. Lalu mengapa dengan begitu banyak jumlah agama lokal maupun aliran kepercayaan sebagai agama asli Indonesia tidak dilihat sama sekali? Jika masalahnya adalah kuantitas, maka akan ada agama-agama baru yang harus diakui Negara dalam hal jaminan maupun bantuan. Jika masalahnya adalah konsepsi agama yang dicetuskan oleh Departemen Agama, maka seharusnya tidak ada agama Hindu, Budha dan Khonghucu dalam undang-undang tersebut sebagai agama resmi. Sehingga bisa terlihat bahwa pembatasan agama dalam undangundang tersebut adalah kepentingan politis Negara pada masa itu. Hal tersebut tentu tidak sesuai jika diterapkan hingga saat ini. Di tahun yang sama, peristiwa G30S menjadi alat Negara untuk mendukung kebijakan penguasa saat itu. Masa transisi pemerintahan yang direbut secara paksa oleh pemerintah orde baru melibatkan penghayat kepercayaan untuk merasakan dampak buruknya. Pemerintah orde baru mempolitisasi PKI sebagai jalan proselitasi bagi mereka yang belum memeluk agama resmi. UU No.1/PNPS/1965 menjadi sumber legitimasi mereka untuk menyelamatkan Negara dari pengaruh komunisme. PKI dicap sebagai komunitas atheis yang bertentangan dengan

152 ideologi pancasila. Atheism dianggap sebagai suatu kejahatan yang harus dilenyapkan. Konsekuensinya para penghayat kepercayaan dihadapkan dengan dua pilihan yakni memeluk agama resmi atau mati. Hal ini berdampak sangat buruk bagi eksistensi aliran kepercayaan dan agama lokal di Indonesia. Terbukti pada masa itu kuantitas pengikutnya menurun drastis. Sekalipun diantara mereka ada yang masih menjalankan ritual keagamaannya, namun mereka yang tidak berani melakukannya secara terang-terangan. Suasana politik pada masa itu jelas berbeda dengan situasi sekarang, namun kenyataannya UU No.1/PNPS/1965 masih dipertahankan di tengah-tengah kemajemukan bangsa Indonesia sehingga menjadi penghalang keharmonisan dalam beragama. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penjelasan UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan atau Penodaan/ Penyalahgunaan Agama terkait keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia yang menyebutkan bahwa Negara berusaha menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa (Sihombing 2008). Padahal penghayat kepercayaan yang ada di Negara ini juga mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa seperti halnya warga kerokhanian Sapta Darma. Bagi penghayat kerokhanian Sapta Darma, mereka justru melarang keras kepercayaan pada leluhur dan sejenisnya sebagai bukti kepercayaan teguh mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Undang-undang tersebut menjadi salah satu sumber legitimasi yang kuat untuk mendiskriminasi kelompok minoritas di Negara ini dengan cara mengklaim sesat agama local maupun aliran kepercayaan yang ada karena status mereka tidak tercantum dalam

153 sebagai agama resmi Negara. Stigmatisasi buruk tersebut berimbas pada aspek kehidupan lainnya baik dalam hal bermasyarakat maupun bernegara. Dalam Tap MPR 1978 tentang GBHN disebutkan bahwa kepercayaan bukanlah termasuk agama. Namun tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai konsepsi kepercayaan menurut perspektif Negara. Banyak pakar yang mendefinisikan arti kepercayaan maupun kebatinan. Namun definisi tersebut tidak didukung dengan dasar hukum yang jelas diberlakukan di Negara ini. Negara hanya memberikan regulasi bagi penghayat kepercayaan dalam hal administrasi kependudukan dan pelayanan lain bagi penghayat kepercayaan. Artinya, keberadaan aliran kepercayaan secara hukum diakui oleh Negara, namun pemberian hak-hak mereka masih setengah-setengah. Pada tahun 2010 bergulir wacana tentang Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) atau yang kemudian disebut dengan Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Spirit yang diusung oleh RUU tersebut adalah UUD 1945 pasal 29 karena dalam dasar konstitusi tersebut belum ada undang-undang turunannya. Menurut Menteri Agama saat ini, RUU PUB diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada pemeluk di luar agama enam, bukan sebagai alat kontrol Negara. Beberapa hal yang menjadi isu dalam RUU tersebut, antara lain: hak pemeluk agama di luar enam, definisi agama, penyiaran agama, pendirian rumah ibadah dan juga tentang penodaan agama. Beberapa hal tersebut sudah mempunyai regulasi yang pasti. Misalnya pendirian

154 rumah ibadah sudah ada aturan yang jelas baik untuk pemeluk agama enam maupun di luar agama tersebut. Beberapa kebijakan Negara yang sudah diterapkan selama ini sangat diskriminatif bagi kelompok minoritas. RUU PUB yang direncanakan sebagai upaya peningkatan perlindungan bagi mereka, cukup diragukan untuk dapat dilaksanakan. Selama ini sudah banyak regulasi yang mengatur kelompok minoritas dalam beberapa hal yang berbeda, namun fakta di lapangan tidak seperti yang diharapkan. Seharusnya Negara tidak memberi batasan dalam bentuk undang-undang. Tidak ada gunanya diundangkan kalau nantinya tidak dilaksanakan sebagaimana undang-undang sebelumnya. Pendekatan kuasa seperti ini tidak solutif bagi warga negara. Sebaiknya Negara memperbaiki sistem pelayanan yang baik di berbagai ranah publik daripada membuat undang-undang baru. Sifat undang-undang yang sangat mengikat akan berdampak buruk bagi kelangsungan kemajemukan bangsa Indonesia. Jika definisi agama yang ditawarkan dalam RUU tersebut masih kental dengan nuansa Abrahamik, maka dapat dipastikan tidak dapat mengakomodasi agama atau kepercayaan di luar enam tersebut karena definisi tersebut menjadi salah satu penyebab diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Permasalahan yang dihadapi oleh warga kerokhanian Sapta Darma juga dialami oleh penghayat kepercayaan lainnya. Misalnya anak-anak komunitas Samin (Sedulur Sikep) di Kudus yang diwajibkan mengikuti pendidikan agama di sekolahnya. Pelajaran tersebut bukanlah ajaran yang mereka anut, namun

155 sekolahnya hanya menyediakan pendidikan agama yang diakui oleh Negara. Selain itu, mereka juga mendapatkan perlakuan buruk dari Negara dalam memperoleh akta kelahiran. Redaksi yang ditulis dalam akta tersebut adalah telah lahir si Y anak ke, perempuan luar kawin dari si X. padahal pasangan Samin tersebut menikah secara sah menurut ajaran mereka. Hal tersebut jelas melukai hak mereka sebagai warga Negara. Di beberapa negara tentangga juga ditemukan kemiripan kasus sebagaimana di Indonesia. Maori, agama lokal di New Zealand yang di satu sisi mendapatkan pengakuan resmi dari Negara sebagaimana agama lainnya melalui Perjanjian Waitangi, namun di sisi lain Maori merasakan ketidakpuasan karena adanya pembatasan ekspresi keagamaannya yang dianggap mengarah pada Paganisme (Ahdar 2003) dan juga ritualnya yang masih diartikan sebagai hal tabu di depan publik. Karakteristik Maori yang peduli dengan alam dan lingkungan terbentur dengan kepentingan Negara yang lebih mementingkan teknologi. Di Australia dan Kanada, ada organisasi nirlaba yang dikelola oleh penganut agama lokal di kedua negara tersebut untuk membantu penganut agama lokal lainnya dalam mendapatkan hak sipil mereka. Organisasi tersebut adalah Native Counselling Services of Alberta (NCSA) di Kanada yang menyediakan layanan informasi resmi dan pegawai pengadilan asal pribumi dan Aboriginal Legal Rights Movement Inc. (ALRM) di Australia yang menyediakan jasa informasi dan perwakilan secara resmi. Hal ini dilatar belakangi adanya fakta bahwa penganut agama lokal sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh Negara (Nielsen 2006) sehingga perlu didampingi dalam mendapatkan hak sipil mereka

156 dan juga advokasi dalam ranah publik lainnya. Bahkan di Australia, upaya negosiasi sudah dilakukan oleh pemeluk agama lokal di sana. Misalnya sebelum tahun 90an Negara dan orang pribumi sangat eksklusif dalam hal pemilikan tanah, namun setelah tahun 2000an keduanya lebih terbuka dan mampu bernegosiasi sehingga membawa manfaat bagi kedua belah pihak. Selain itu adalah permintaan orang pribumi agar mempunyai kedudukan setara dan dipenuhi hak sipilnya sebagaimana warga lainnya. Adanya beberapa pergerakan pribumi mampu menjembatani permasalahan tersebut. Hal ini bertujuan agar terjalin hubungan yang harmonis diantara pemeluk agama lokal, Negara maupun kelompok lainnya (Merlan 2005). Negosiasi menjadi tawaran terbaik untuk menyelesaikan masalah penghayat kepercayaan, baik di Indonesia maupun Negara lainnya. Hal tersebut dimulai dari tataran akar rumput yang selama ini langsung terkena dampak buruk akibat perlakuan diskriminasi baik oleh masyarakat sekitar maupun Negara. Beberapa komunitas sudah mampu melakukan strategi negosiasi dan terbukti meminimalisir konflik yang ada, maka kami optimis komunitas lainnya juga bisa melakukan scaling up dalam menghadapi permasalahan yang berbeda-beda.