II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN MUTU MINYAK SAWIT KASAR DAN ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN SERTA STEARIN SEBAGAI HASIL FRAKSINASINYA SKRIPSI RICKY ALBERTO SINAGA F

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linolenat. Minyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) adalah

VII. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP MUTU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sekilas Sejarah Pabrik Minyak Sawit dan Perkebunan Kelapa Sawit

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

III. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. hutan Brazil dibanding dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Proses pengolahan kelapa sawit menjadi crude palm oil (CPO) di PKS,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB II LANDASAN TEORI. dari tempurung dan serabut (NOS= Non Oil Solid).

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

I. TINJAUAN PUSTAKA. nabati berupa Crude Plam Oil (CPO), sangat banyak ditanam dalam perkebunan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR A. PENGOLAHAN KELAPA SAWIT MENJADI CPO. 1 B. PENGOLAHAN KELAPA SAWIT MENJADI PKO...6 KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA...

II. DESKRIPSI PROSES

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

BAB II PUSTAKA PENDUKUNG. Ketersediaan energi fosil yang semakin langka menyebabkan prioritas

STUDI KUALITAS MINYAK GORENG DENGAN PARAMETER VISKOSITAS DAN INDEKS BIAS

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi

BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES. teknologi proses. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K.

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan Papua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OUTLINE. PERLAKUAN AWAL Tujuan: TEKNOLOGI PENGOLAHAN MINYAK DAN LEMAK PANGAN PENDAHULUAN. Video: Sustainable Palm Oil Production PERLAKUAN AWAL

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

DEFINISI. lipids are those substances which are

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit ( E. guineensis Jacq) diusahakan secara komersil di Afrika, Amerika

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Pembahasan Degumming

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di kebun raya Bogor. Tanaman kelapa sawit

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab II. Tinjauan Pustaka

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan penamaan dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I SOLVENT EXTRACTION

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

ANALISA KEBUTUHAN UAP PADA STERILIZER PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN LAMA PEREBUSAN 90 MENIT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KELAPA SAWIT Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Tanaman ini adalah tanaman berkeping satu yang masuk dalam genus Elais, family Palmae, kelas divisio Monocotyledonae, subdivisio Angiospermae dengan divisio Spermatophyta. Nama Elaeis berasal dari kata Elaion yang berarti minyak dalam bahasa Yunani, guineensis berasal dari kata Guinea yang berarti Afrika. Jacq berasal dari nama botanis Amerika yang menemukannya, yaitu Jacquine. Tanaman ini tumbuh pada iklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan suhu 22-32 C (Harley 1997). Kelapa sawit berasal dari Afrika Barat dan di Indonesia tanaman ini pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor oleh orang Belanda pada tahun 1848 (Sambanthamurthi et al. 2000). Kelapa sawit mulai berbuah pada umur 3-4 tahun. Kematangan buah yang optimum adalah pada umur 15-17 minggu setelah pembuahan. Untuk memperoleh kelapa sawit yang baik, panen kelapa sawit dilakukan pada saat kadar minyak mesokarpnya maksimum dan kandungan asam lemak bebasnya minimum, yaitu saat buah mencapai tingkat kematangan tertentu yang dilihat dari warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada setiap tandan. Kadar minyak sawit dan minyak inti sawit yang tertinggi diperoleh dari buah sawit yang berumur 16 minggu (Ketaren 1986). Kriteria kematangan dapat dilihat dari warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada tiap tandan. Kenaikan jumlah buah yang rontok 5-74% menunjukkan kenaikan kandungan minyak pada mesokarp sebesar 5% dan kadar asam lemak bebas meningkat dari 0.5% menjadi 2.9% (Ketaren 1986). Ada beberapa varietas tanaman sawit. Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buahnya, tanaman sawit dibedakan atas dura (tebal, bentuk buah tidak teratur), delidura (tebal, bentuk buah bulat), tenera (tipis, bentuk buah bulat), dan psivera (inti buah kecil, bentuk buah bulat). Sedangkan berdasarkan warna kulit buahnya tanaman sawit dibedakan atas nigricens (merah kehitaman), virescens (merah terang), dan albescens (hitam) (Ketaren 1986). Buah sawit berukuran kecil antara 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir terdiri dari 10-18 butir tergantung pada kesempurnaan penyerbukan. Beberapa bulir bersatu membentuk tandan. Buah sawit yang dipanen dalam bentuk tandan disebut dengan tandan buah sawit. Gambar 1. Buah kelapa sawit (Osborne & Henderson 2000)

Buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (perikarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut perikarp, lapisan sebelah dalam disebut mesokarp atau pulp, dan lapisan paling dalam disebut endokarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm, dan embrio. Mesokarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endokarp tidak mengandung minyak. B. PENGOLAHAN MINYAK SAWIT KASAR Minyak kelapa sawit adalah minyak yang diperoleh dari proses ekstraksi daging buah kelapa sawit (mesokarp) tanaman Elais guineensis Jacq. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak yang berlainan sifatnya, yaitu crude palm oil atau CPO dan palm kernel oil atau PKO. CPO adalah minyak yang berasal dari serabut (mesokarp) kelapa sawit, sedangkan PKO adalah minyak yang berasal dari inti (kernel) kelapa sawit (Hariyadi 2010). Perbedaan kedua jenis minyak ini terletak pada kandungan asam lemaknya. Minyak inti sawit mengandung asam kaproat dan asam kaprilat yang tidak terdapat dalam minyak sawit kasar dan perbedaan lainnya adalah adanya pigmen karotenoid yang berwarna kuning merah pada minyak sawit yang tidak terdapat pada minyak inti sawit. Tahapan pengolahan buah kelapa sawit menjadi minyak sawit kasar dijelaskan sebagai berikut (Naibaho 1998): 1. Penerimaan buah Tandan buah segar (TBS) hasil pemanenan harus segera diolah lebih lanjut. Pada buah yang tidak segera diolah, maka kandungan asam lemak bebasnya semakin meningkat. Untuk menghindari hal tersebut, maksimal 8 jam setelah panen, TBS harus segera diolah. Untuk mendapat CPO dengan kualitas yang baik maka harus dilakukan sortasi tandan buah segar dengan memperhatikan tingkat kerusakan buah yang minimal dan tingkat kematangan yang optimal. 2. Sterilisasi dan Perontokan Tandan buah yang telah disortir kemudian direbus dalam suatu tempat perebusan (sterilizer) atau dalam ketel rebus pada suhu 143 C dengan tekanan 3 kg/cm 2 selama 60 menit. Akhir perebusan ditandai dengan beberapa gejala, antara lain bau buah yang gurih, empuk, dan buah mudah rontok. Buah yang sudah direbus kemudian dimasukkan ke dalam alat perontok. Proses sterilisasi mempunyai tujuan antara lain: a. Menghentikan aktivitas enzim lipase. Terhentinya proses enzim lipase akan mengurangi kerusakan bahan, antara lain akibat penguraian minyak menjadi asam lemak bebas.. b. Menggumpalkan protein dalam buah sawit, penggumpulan protein bertujan agar protein tidak ikut terekstrak pada waktu pengepresan minyak (ektraksi). c. Memudahkan pelepasan buah dari tandan dan inti dari cangkang. d. Memperlunak daging buah sehingga mempermudah proses ekstraksi. 3. Pelumatan Tahap pelumatan ini bertujuan untuk melumatkan biji sawit sehingga daging buah mudah terlepas dari biji serta memudahkan pengeluaran minyak pada tahap pengepresan. Kondisi optimum pada tahap ini yaitu pada suhu 95-100 ºC selama 20 menit. Tahapan pelumatan ini dilakukan pada silinder vertikal yang dilengkapi dengan empat pisau pengaduk dan satu set pisau pelempar yang berputar berlawanan arah. 4

4. Ekstraksi Ekstraksi minyak dilakukan menggunakan screw press yang terintegrasi langsung dengan alat pelumat (digester). Pada tahap ini dihasilkan dua produk yaitu (1) campuran antara minyak, air, dan benda padat lainnya; (2) Padatan berupa serat mesokarp buah sawit dan biji sawit hasil pemisahan dari buah. 5. Pemurnian minyak Proses ini bertujuan untuk memperoleh minyak sebanyak-banyaknya dan menghasilkan CPO dengan kadar asam lemak bebas, kadar air, dan kadar kotoran yang sesuai dengan standar. Minyak kasar yang berasal dari hasil ekstraksi memiliki komposisi rata-rata 66% minyak, 24% air, dan 10% padatan bukan minyak (nonoily solids). Karena tingginya proporsi padatan yang masih terdapat pada minyak maka harus dilakukan penambahan air panas agar padatan tersebut larut dengan air. Kemudian minyak disaring untuk memisahkan padatan tersebut. Selanjutnya minyak kasar dimasukkan ke dalam tangki yang berfungsi sebagai tempat penampungan minyak sawit kasar sementara sebelum mengalami proses pemurnian yang lebih lanjut. Minyak berada pada lapisan atas dipompakan menuju continuous settling tank (CST) sedangkan kotoran yang masih mengandung sekitar 10% minyak dialirkan ke parit untuk dikumpulkan kembali ke dalam main settling tank. Di dalam CST minyak dipisahkan dari kotoran dengan cara pengendapan. Fraksi berat akan bergerak ke bawah tank sedangkan fraksi ringan akan bergerak menuju ke atas. Suhu berpengaruh terhadap viskositas minyak. Semakin tinggi suhu minyak semakin kecil viskositasnya. Untuk mempermudah pemisahan minyak dari kotoran dan air maka viskositas minyak diperkecil, salah satu caranya dengan pemanasan. Berdasarkan viskositas maka suhu yang paling tepat digunakan suhu lebih besar dari 90 C. 6. Pengering hampa Pada pengering hampa air dikeluarkan dengan sistem pengkabutan minyak di dalam ruang hampa sampai air tersisa 0.1%. Suhu minyak yang masuk antara 90 95 C dengan tekanan vakum 30 bar. Minyak terhisap ke dalam tabung hampa melalui nozzle sampai seperti kabut. Uap air terhisap oleh ejector dan masuk ke dalam kondensor secara bertahap dan akhirnya ditampung. 7. Penyimpanan minyak sawit kasar Minyak hasil produksi yang akan dipasarkan ditampung dalam tangki timbun. Bagian dalam tangki timbun umumnya dilapisi dengan bahan yang terbuat dari epoksi untuk mencegah kontaminasi logam besi yang berasal dari bahan tangki timbun. Suhu tangki timbun dikontrol pada suhu antara 32-40 C. Suhu ini cukup untuk meminimalkan kerusakan akibat pemanasan dan mampu mencegah minyak memadat. C. KARAKTER FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT KASAR Seperti minyak lain pada umumnya, minyak sawit juga disusun oleh trigliserida. Lebih dari 95% minyak sawit disusun oleh campuran trigliserida dan sisanya adalah komponen minor seperti karotenoid, tokoperol, alkohol alifatik, sterol dan lain-lain. Trigliserida tersusun atas tiga asam lemak. Asam lemak dominan yang terdapat pada minyak sawit adalah asam lemak palmitat (Hart 2003). Sifat fisiko-kimia minyak sawit kasar (CPO) meliputi warna, bau dan flavour, kelarutan, polimorphism, titik didih (boiling point), titik pelunakan, slip melting point, bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan (turbidity point), titik asap, titik nyala dan titik api (Ketaren 1986). Sifat fisiko-kimia tersebut sangat penting untuk menentukan kualitas CPO selain dapat juga digunakan 5

untuk informasi dalam pengolahan lebih lanjut. Nilai sifat fisiko kimia CPO dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Sifat Fisiko Kimia CPO Sifat Fisiko Kimia Nilai Trigliserida 95% Asam lemak bebas 5-10% Warna (5¼ lovibond cell) Merah orange Kelembaban dan impurities 0.15%-3.0% Bilangan peroksida 1-5.0 (meq/kg) Bilangan anisidin 2-6 (meq/kg) Kadar β-karoten 500-700 ppm Kadar fosfor 10-20 ppm Kadar besi 4-10 ppm Kadar tokoferol 600-1000 ppm Digliserida 2-6% Bilangan asam 6.9 mg KOH/g minyak Bilangan penyabunan 224-249 mg KOH/g minyak Bilangan iod (wijs) 44-54 Titik leleh 21-24 C Indeks refraksi 36.0-37.5 Sumber : Ketaren (1986) Minyak sawit memiliki dua komponen asam lemak terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Kandungan asam palmitat pada kelapa sawit sebesar 39-45%, sedangkan asam oleat sebesar 37-44% (Ketaren 2008). Kandungan asam palmitat yang tinggi membuat minyak sawit tahan terhadap oksidasi dibanding jenis minyak nabati lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C 18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik leleh asam oleat lebih rendah dibandingkan asam palmitat yaitu 14 C. Kandungan asam lemak minyak kelapa sawit dan titik lelehnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Asam Lemak pada CPO dan Titik lelehnya Jenis Asam lemak Komposisi (%) Titik leleh ( C) Asam kaprat (C10:0) 1-3 31.5 Asam laurat (C12:0) 0-1 44 Asam miristat (C14:0) 0.9-1.5 58 Asam palmitat (C16:0) 39.2-45.8 64 Asam stearat (C18:0) 3.7-5.1 70 Asam oleat (C18:1) 37.4-44.1 14 Asam linoleat (C18:2) 8.7-12.5-11 Asamlinoleat (C18:3) 0-0.6-9 Sumber : Ketaren (2008) 6

Bau dan flavour dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak seperti alkana yang mempunyai jumlah atom C antara empat dan tujuh, senyawa trans-2-alkena dengan jumlah atom C antara lima dan delapan, senyawa 2-alkil furan dengan jumlah atom C sebanyak satu, dua, empat dan lima, serta hidrocarbon alifatik dan aromatik. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaannya beta ionone (Ketaren 1986). Menurut Choo et at. (1989) CPO terdiri dari gliserida yang tersusun oleh asam lemak. Komponen utamanya adalah trigliserida dengan sebagian kecil digliserida dan monogliserida. CPO juga mengandung komponen minor lain seperti asam lemak bebas dan komponen non trigliserida. Komponen non trigliserida pada CPO menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, dan mempercepat proses ketengikan minyak. Oleh karena itu komponen non triglserida pada minyak dapat mempersingkat umur simpan minyak. CPO berbentuk semi padat pada suhu kamar, hal ini disebabkan karena tingkat kejenuhan CPO yang mencapai 50%. Minyak sawit memiliki ketahanan yang baik terhadap panas dan oksidasi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga minyak sawit sangat baik sebagai bahan baku minyak goreng (Hariyadi 2010). CPO berwarna jingga kemerah-merahan disebabkan oleh pigmen karoten yang larut dalam minyak. Kandungan karoten pada minyak sawit dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam minyak dari jenis tenera kurang lebih 500-700 ppm (Ketaren 1986). Menurut Hasibuan dan Harianto (2008), kandungan karoten minyak sawit pada pabrik kelapa sawit (PKS) yang ada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Kandungan karoten pada masingmasing PKS tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Karoten pada CPO di Storage Tank dari 9 PKS Nama PKS Kadar Karoten (ppm) PKS A 513 PKS B 486 PKS C 584 PKS D 509 PKS E 564 PKS F 547 PKS G 526 PKS H 637 PKS I 590 Sumber : Hasibuan dan Harijanto (2008) Keterangan : PKS A, PKS B, PKS C berlokasi di Sumatera Utara. PKS D dan PKS E berlokasi di Sumatera Barat. PKS F dan PKS G berlokasi di Sumatera Selatan. PKS H dan PKS I berlokasi di Kalimantan Selatan. Menurut Ong et al. (1995), karakteristik fisik dasar minyak sawit mencakup berat jenis (density), panas jenis (specific heat), panas lebur (heat of fusion), dan kekentalan (viscosity). 7

Karakteristik empiris minyak sawit antara lain titik leleh (melting point), dan kandungan lemak padat (solid fat content), serta fase polimorfisme lemak sawit. Densitas minyak sawit berguna di dalam penentuan berat bahan khususnya untuk keperluan ekspor. Suhu berpengaruh pada densitas minyak, dimana suhu yang semakin tinggi akan menurunkan nilai densitas minyak sawit (Ong et al. 1995). Data densitas minyak sawit yang telah dimurnikan (refined bleached deodorized palm oil/rbdpo) pada beberapa suhu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Densitas RBDPO Suhu ( C) Densitas (kg/m 3 ) 50 891 75 874 100 857 200 789 Sumber : Ong et al. (1995) Menurut Ong et al. (1995), pada kondisi cair, panas jenis (C p ) akan sedikit meningkat dengan bertambahnya berat molekul tetapi sedikit menurun dengan meningkatnya bilangan iod. Secara praktis, panas jenis minyak, termasuk minyak sawit dapat dihitung dengan Persamaan (1). C p = 0.47 + 0.0073 T kkal/kg (1) dimana T adalah suhu minyak ( C). Titik leleh minyak sawit berada dalam kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik leleh yang berbeda-beda (Ketaren 1986). Ong et al. (1995) mengemukakan bahwa titik leleh minyak sawit ditentukan dengan metode slip melting point (SMP). Suatu survey di Malaysia telah berhasil mengetahui kisaran nilai SMP dari CPO yaitu antara 30.8-37.6 o C. Nilai SMP RBDPO sedikit mengalami peningkatan yaitu menjadi 34.0-39.0 o C. Minyak sawit terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi olein dan stearin. Stearin merupakan fraksi yang lebih padat, dan merupakan co-product yang diperoleh dari minyak sawit bersama-sama dengan fraksi olein. Stearin memiliki slip melting point pada kisaran 46-56 o C, sedangkan olein pada kisaran 13-23 o C. Hal ini menunjukkan bahwa stearin memiliki slip melting point yang lebih tinggi dan akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris 1994). Basiron (2005) mengungkapkan bahwa struktur TAG minyak sawit sangat menentukan karakteristik fisik minyak sawit tersebut. Titik leleh TAG dan sifat kristalisasi minyak sawit ditentukan oleh struktur dan posisi asam lemak di dalamnya. Sifat minyak sawit yang semi padat pada suhu kamar disebabkan oleh kandungan fraksi oleo dengan kandungan dua asam lemak jenuh (oleo-disaturated fraction). Pada minyak sawit juga terkandung pecahan dari TAG yang diketahui sangat mempengaruhi sifat kristalisasi minyak sawit. 8

D. FRAKSINASI DAN KRISTALISASI Menurut Gunstone dan Padley (1997), fraksinasi merupakan proses thermomechanical di mana bahan dasar dipisahkan menjadi dua atau lebih fraksi. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses kristalisasi dengan cara mengatur kondisi suhu dan filtrasi dengan penyaringan. Proses fraksinasi dijelaskan oleh Winarno (1997) dengan mekanisme dimana lemak didinginkan sehingga menyebabkan hilangnya panas dan memperlambat gerakan molekul. Jarak antar molekul menjadi lebih kecil. Pada jarak tertentu terjadi gaya van der Waals dimana radikal asam lemak saling bertumpuk membentuk kristal yang spesifik tergantung jenis asam lemaknya dan terjadilah pemisahan. Fraksi kristal yang diperoleh mempunyai titik leleh yang lebih tinggi daripada fraksi cair (Moran & Rajah 1994). Mekanisme pembentukan kristal karena penurunan suhu diawali dengan melambatnya gerakan termal molekul-molekul minyak karena hilangnya panas. Kondisi ini menyebabkan jarak antara molekul-molekulnya lebih kecil. Jika jarak antara molekul tersebut mencapai 5 Å, maka akan timbul gaya tarik menarik antar molekul yang disebut gaya van der Waals. Akibatnya, asam-asam lemak dalam molekul minyak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta berikatan membentuk kristal. Kristal-kristal yang terbentuk ini berbeda sifat dan titik lelehnya. Fardiaz et al. (1992) menambahkan bahwa gaya tarik menarik pada pembentukan kristal minyak tidak hanya oleh gaya van der Waals, tetapi juga karena adanya ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen dapat menyebabkan molekul-molekul tertarik satu sama lain. Apabila rantai molekul minyak cukup panjang, maka daya tarik kumulatif dapat menyebabkan asam-asam lemak dalam molekul minyak berjejer secara paralel membentuk kristal. Pemadatan lemak akibat proses kristalisasi merupakan proses yang tidak sederhana. Parameter-parameter proses seperti suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat menentukan terjadinya kristalisasi (Man et al. 1989). Faktor-faktor tersebut juga menentukan bentuk struktur kristalin produk berlemak. Proses kristalisasi dari larutan membutuhkan kondisi lewat jenuh (supersaturation), dilanjutkan dengan kondisi lewat dingin (supercooling), sehingga akan terjadi pembentukan inti (nucleation) dan pertumbuhan kristal (crystal growth) (Lawler & Dimick 2002). Proses kristalisasi mempunyai tahap yang berlanjut secara simultan. Tahap pertama adalah pembentukan partikel kecil, yang disebut dengan inti (nucleid). Pembentukan inti terjadi saat beberapa molekul lemak berkumpul membentuk agregat dan energi potensialnya turun sampai nilai minimum. Tahap kedua dalam proses kristalisasi adalah pertumbuhan inti. Inti kristal dapat tumbuh menjadi kristal bila probabilitas molekul lemak untuk teradsorpsi di permukaan inti kristal cukup besar. Semakin besar agregat yang terbentuk, semakin rendah energi potensialnya dan probabilitas untuk mengadsorpsi molekul lemak semakin besar. Minyak yang mengalami kristalisasi membentuk molekul yang rigid, beraturan, dan berbentuk tiga dimensi (Fardiaz et al. 1992). Kristalisasi terjadi dalam dua tahap, yaitu pendinginan cairan atau triasilgliserol yang dilelehkan untuk memicu terbentuknya inti kristal, yang memiliki bentuk dan ukuran tertentu yang akan menentukan efisiensi separasi (Krishnamurthy & Kellens 1996). Suhu, waktu proses, dan pengadukan menjadi tiga faktor mendasar dalam pembentukan dan timbulnya sifat kristal (Pahan 2007). Penurunan suhu menyebabkan komponen yang memiliki titik leleh tinggi menjadi super jenuh sehingga terpisah dari fase larutan. Pengadukan selama proses kristalisasi memfasilitasi pembentukan kristal-kristal kecil. Selanjutnya, suhu rendah akan menyebabkan pengendapan yang meningkatkan pembentukan kristal-kristal yang lebih panjang (Pahan 2007). 9

Kristalisasi dilakukan untuk membentuk struktur kristalin pada triasilgliserol yang membuatnya padat (solid). Ada tiga jenis strutur kristalin yang dikenal, yaitu struktur heksagonal (bentuk kristal ), orthorhombic (bentuk ), dan triclinic (bentuk ) (Krishnamurthy & Kellens 1996). Bentuk adalah bentuk yang tidak stabil dan bentuk merupakan bentuk yang paling stabil. Namun tidak semua minyak atau lemak kristalnya stabil pada bentuk beta. Ada minyak atau lemak yang stabil pada bentuk kristal, seperti minyak sawit lebih stabil pada bentuk kristal. Ketiga jenis struktur kristal ini berbeda dalam hal tingkat kristalisasi, stabilitas kristal yang dibentuk, dan energi aktivasi. Struktur heksagonal memiliki energi aktivasi terendah, tingkat kristalisasi tertinggi, namun stabilitas kristal terendah. Stabilitas kristal struktur triclinic (bentuk ) paling tinggi diantara struktur lain namun tingkat kristalisasinya paling rendah dan energi aktivasinya paling tinggi. Struktur orthorhombic (bentuk ) memiliki tingkat kristalisasi, stabilitas kristal, dan energi aktivasi yang medium (Krishnamurthy & Kellens 1996). Kristalisasi ditujukan untuk membentuk struktur kristalin orthorhombic (bentuk ) melalui kontrol suhu dan pengadukan. Minyak sawit dipanaskan pada suhu 75 C. Setelah itu kehomogenannya dijaga pada suhu 70 C sebelum dikristalkan. Prinsipnya adalah menghancurkan kristal yang terlanjur ada dan mengarahkan proses pada lingkungan crystallizer yang terkendali (Pahan 2007). Minyak sawit didinginkan hingga suhu 5-10 C sambil dilakukan agitasi terkontrol lalu dijaga selama beberapa waktu (minimal 6 jam) untuk memulai pembentukan dan stabilisasi kristal. Setelah stabilisasi, suhu minyak secara normal akan naik hingga sekitar 15 C sehingga menurunkan viskositasnya dan memudahakan separasi (Krishnamurthy & Kellens 1996). Menurut Timms (1997), desain optimal untuk proses kristalisasi yang mencukupi harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. Permukaan pendinginan (cooling surface) yang mencukupi, dengan ukuran tangki (vessel) pada umumnya 2 m 2 /m 3 ; 3 4 m 2 /m 3 ) 2. Perbedaan suhu antara media pendingin dengan minyak tidak boleh terlalu besar, maksimal 3 o C dan dianjurkan 1 o C, walaupun perbedaan suhu ini dapat terjadi lebih tinggi pada periode awal pendinginan sebelum proses kristalisasi mulai terjadi, dan sangat bermanfaat bila perbedaan suhu dapat divariasikan secara sistematis. 3. Agitasi yang lambat namun efektif untuk membantu proses transfer panas dan mempertahankan suhu yang seragam, namun tetap dapat mencegah terjadinya kerusakan pada kristal. 4. Pendinginan yang lambat untuk menjamin bahwa proses kristalisasi terjadi pada kondisi yang sedekat mungkin dengan kondisi kesetimbangan. Waktu kristalisasi pada proses fraksinasi pada umumnya dilakukan selama 10 30 jam. Menurut Che dan Swe (1995) pendinginan yang relatif cepat akan menghasilkan kristal yang lebih kecil dan seragam dibandingkan bila pendinginan dilakukan pada laju lambat. Bila pada lemak terlalu banyak kristal-kristal kecil (dari tipe kristal α), struktur lemak akan menjadi terlalu rapat. Kapiler antar padatan akan menyempit, dan mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci dengan cairan yang ada disekelilingnya. Pendinginan yang terlalu lama akan memperlambat pembentukan kristal yang disebabkan oleh penurunan energi potensial yang tidak secara tiba-tiba. Bentuk kristal yang dihasilkan adalah bentuk seperti jarum halus dengan bentuk polimorfis beta intermediet (Oh et al. 1990). Kristal yang terlalu halus dan terlalu kecil dapat mengakibatkan pemisahan tidak efisien (Tirtaux 1990). Menurut Hamilton (1995), minyak sawit kasar berbentuk semipadat pada suhu 25 ºC. Minyak sawit yang disimpan di tempat dingin pada suhu 5-7 ºC dapat terpisah menjadi fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Pahan (2007) mengemukakan bahwa fraksinasi minyak 10

sawit dapat terjadi karena trigliserida di dalam minyak sawit memiliki titik leleh yang berbeda. Pada suhu tertentu, trigliserida yang mempunyai titik leleh lebih rendah akan mengkristal menjadi padatan sehingga memisahkan minyak sawit menjadi fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin). Menurut Choo et al. (1989), fraksinasi minyak kelapa sawit dapat menghasilkan olein sebesar 70-80% dan stearin 20-30%. Olein merupakan triasilgliserol yang bertitik leleh rendah dan mengandumg asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan stearin. Olein dan stearin mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda. Pemisahan olein dan stearin dalam minyak sawit cukup sulit karena minyak memiliki viskositas yang tinggi. Metode yang biasa digunakan dalam proses pemisahan stearin dan olein yaitu dry fractination, lanza fractination (lipofraksinasi), dan fraksinasi menggunakan pelarut. Menurut Moran dan Rajah (1994), fraksinasi kering (dry fractination) biasa dilakukan secara semi kontinyu pada minyak yang dimurnikan. Proses ini tidak membutuhkan bahan kimia tetapi minyak dihomogenkan pada suhu 70 ºC. Dry fractination biasanya menghasilkan olein sebanyak70-75%. Lanza fractination (fraksinasi deterjen) biasanya dilakukan pada minyak sawit kasar. Minyak didinginkan pada crystallizer dengan pendingin air untuk mendapatkan kristal dari gliserida dengan titik leleh tinggi. Ketika suhu yang diinginkan tercapai, massa yang mengkristal dicampur dengan larutan deterjen yang mengandung 0.5% natrium lauril sulfat dan MgSO 4 sebagai elektrolit. Pemisahan berlangsung dalam suspensi cair. Kemudian dilakukan sentrifugasi agar fraksi olein dan fraksi stearin terpisah. Fraksi olein kemudian dicuci dengan air panas untuk menghilangkan sisa deterjen lalu dikeringkan dengan vacuum dryer. Olein yang diperoleh mencapai 80% (Moran & Rajah 1994). Solvent fractination merupakan fraksinasi menggunakan pelarut. Proses ini relatif mahal karena terjadi penyusutan jumlah pelarut, memerlukan perlengkapan untuk recovery pelarut, membutuhkan suhu rendah, dan membutuhkan penanganan untuk mencegah bahaya pelarut yang digunakan. Pelarut yang biasa digunakan adalah heksana atau aseton. Minyak harus dilarutkan dalam pelarut diikuti dengan pendinginan sehingga suhu yang diinginkan tercapai untuk mendapatkan kristal yang diinginkan. Proses ini biasanya digunakan untuk mendapatkan produk bernilai tinggi, seperti mentega coklat atau mendapatkan lemak tertentu berdasarkan titik lelehnya (Moran & Rajah 1994). Fraksinasi kering adalah metode yang paling sering diaplikasikan secara komersial. Fraksinasi kering dilakukan melalui dua tahap, yaitu kristalisasi dan separasi (O Brien 2000). Kristalisasi dilakukan untuk menghilangkan asilgliserol yang memiliki titik leleh tinggi yang menyebabkan minyak menjadi keruh dan lebih kental pada suhu rendah. Separasi dilakukan untuk memisahkan kristal (fraksi padat) dari fraksi cair minyak sawit. Setelah proses kristalisasi, dilakukan proses separasi untuk memisahkan fraksi olein dan stearin minyak sawit. Proses separasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu filtrasi dengan sistem vakum atau tekanan, sentrifugasi, dan dekantasi. Setelah proses separasi maka akan diperoleh dua fraksi minyak sawit, yaitu fraksi padat dinamakan stearin dan fraksi cair dinamakan olein. Fraksi olein berwarna merah sedangkan fraksi stearin berwarna kuning pucat. Warna merah pada olein disebabkan oleh kandungan karotenoid yang terlarut di dalamnya sedangkan fraksi stearin hanya sedikit mengandung karotenoid. Faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal stearin adalah suhu awal minyak, suhu akhir fraksinasi, kecepatan pendinginan, dan metode separasi. Variabel tersebut mempengaruhi ukuran dan bentuk kristal, kecepatan filtrasi, perolehan olein dan stearin, solid fat content, titik leleh, profil asam lemak dari fraksi cair dan fraksi padat (kristal). 11