BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan dijadikan sorotan oleh berbagai negara-negara di dunia saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE

WALIKOTA PROBOLINGGO

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

REVITALISASI SLB PASCA IMPLEMENTASI SEKOLAH INKLUSI Oleh: Slamet Hw, Joko Santosa FKIP-UMS ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

GUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan dalam pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

PERATURANWALIKOTASURAKARTA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAANPERATURANDAERAH KOTASURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANGKESETARAANDIFABEL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

Bagaimana? Apa? Mengapa?


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah?

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

penyelenggaraan pendidikan khusus, pendidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara

PENGUATAN EKOSISTEM PENDIDIKAN MELALUI BATOBO SEBAGAI OPTIMALISASI PENDIDIKAN INKLUSI DI PAUD

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

A. Perspektif Historis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai pihak diantaranya adalah guru dan siswa. Pembelajaran adalah pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 58 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 (Amandemen 4) bahwa setiap warga negara

Implementasi Pendidikan Segregasi

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. dimensi kemanusiaan paling elementer dapat berkembang secara optimal ( Haris,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat telah banyak mengangap bahwa anak yang dilahirkan karena suatu

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan untuk membangun Negara yang merdeka adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang 1945. Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah untuk melahirkan bangsa Indonesia yang cerdas yang dapat dicapai melalui pendidikan nasional. Pendidikan dapat memberikan sumbangan yang besar dalam mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat. Terkait dengan peluang untuk memperoleh pendidikan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pada pasal 5 ayat 2 Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Menurut Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat 3 menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motoric, menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain, dan memiliki kelainan lain. Dalam pasal 130 ayat 1 disebutkan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat 1

2 diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pada ayat 2 Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Pasal 133 ayat 4 menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, Anak Berkebutuhan Khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya. Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori

3 usia sekolah) berjumlah 317.016 anak. Sementara itu, berdasarkan data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan hanya 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian Slamet H dan Joko Santosa mengenai Revitalisasi Sekolah Luar Biasa pasca implementasi program pendidikan inklusi dengan mencermati kesepuluh (10) peta potensi dari 12 SLB yang diteliti kiranya dapat dipakai untuk menggambarkan SLB di seluruh wilayah Surakarta. Peserta didiknya cukup banyak. Ada 1522 anak dari berbagai jenjang pendidikan, dari TK sampai SLA. Guru Pembimbing Khusus dari 111 orang GPK, yang sudah tersertifikasi ada 40 orang. Memiliki berbagai tenaga profesional (Dokter, Psikolog, dan Pakar pendidikan) dari hasil kerjasama dengan berbagai instansi. Kepala Sekolah memiliki pengalaman yang cukup. Masing-masing SLB memiliki lahan yang cukup, gedung yang representatif, serta sarana dan prasarana cukup memadai. Ada dukungan yang kuat, baik dari orang tua, masyarakat, maupun lingkungan tentang keberadaan SLB. Kedua, keberadaan SLB tidak terpengaruh dengan adanya Sekolah Inklusi. Dengan adanya sekolah tersebut justru bisa bekerja sama, terutama dalam hal ikut menyediakan GPK.

4 Berdasarkan hasil penelitian Estitika Rochmatul, Irwan Noor, dan Heru Ribawanto dengan judul Pengembangan Kapasitas Sekolah Luar Biasa untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Kasus di SDLBN Kedungkandang Malang), pelayanan pendidikan yang ada pada SDLBN Kedungkandang secara keseluruhan sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari: Metode pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dilakukan secara individual tergantung dari kemampuan masing-masing anak dan sesuai dengan apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkan oleh anak pada saat itu. Sarana prasananya sudah cukup memadai karena guru berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Salah satunya dengan membuat alat peraga sendiri. Pada SDLBN Kedungkandang terdapat program PIGP yaitu Program Induksi Guru Pembimbing yang akan membimbing guru-guru baru dalam melayani pendidikan anak berkebutuhan khusus. Pengembangan kapasitas kelembagaan yang ada pada SDLBN Kedungkandang juga sudah cukup baik namun masih perlu dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari struktur organisasi yang ada di dalam SDLBN Kedungkandang sudah ada pengembangan setelah adanya MBS. Namun setelah adanya MBS belum ada pengembangan secara signifikan. Upaya pengembangan budaya yaitu dengan membudayakan budaya kekeluargaan dan saling keterbukaan. Sehingga dapat menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif. Faktor pendukungnya yaitu kemampuan guru dalam memberikan ide-ide sebagai upaya pengembangan kapasitas sekolah salah satunya dengan mengembangkan bakat anak

5 didiknya. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu gaya kepemimpinan Kepala Sekolah yang masih terpusat dan tidak mau diajak berkembang. Selain itu, beban administratif kepada guru yang menyebabkan adanya guru harus membagi fokus pekerjaan ke dua bidang yaitu sebagai tenaga pengajar dan sebagai tenaga administratif. Problem akan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini bukan karena faktor cacat yang dimilikinya, tetapi ada pada faktor eksternal penyandang cacat itu sendiri. Walaupun secara yuridis sudah tersedia perangkat regulasi yang memberikan peluang akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini, namun peluang itu belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh para penyandang cacat. Terlebih pada era otonomi daerah kewenangan dibidang pendidikan berada ditangan daerah, itu artinya pemberdayaan potensi penyandang cacat merupakan hak untuk pemerintah daerah. Hal ini bukan merupakan tugas ringan dan tidak mengkin dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Pemerintah daerah perlu melakukan adaptasi terhadap program yang sudah ada sebelumnya dan juga harus melakukan inovasi program agar penyandang cacat terfasilitasi dengan baik sebagaimana warga masyarakat pada umumnya. Masalah-masalah dalam pelaksanaan pendidikan khusus ini juga banyak terjadi. seperti halnya yang terjadi di Jabodetabek, menurut data yang diperoleh dari DIKNAS, ada lebih dari 100 SLB. Umumnya sarana dan prasarana bangunan pada SLB negeri cukup memadai untuk kebutuhan dalam proses belajar mengajar secara

6 umum. Namun permasalahan yang ditemui adalah kekurangan dana operasional. Dana operasional untuk Sekolah Luar Biasa disamakan dengan sekolah umum, padahal pengenaan biaya per anak ABK tidak sama dan pasti membutuhkan dana yang lebih besar. Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) menyiapkan dana sebesar Rp. 150.000 untuk operasional pendidikan seorang anak pada tingkatan sekolah dasar umum. Sementara seorang ABK seperti anak tunanetra membutuhkan Rp.300.000 sampai Rp. 400.000 untuk operasional sekolah setiap bulannya. Belum lagi ABK dengan kekhususan lain seperti ABK tunagrahita yang membutuhkan Rp. 600.000 per bulan. Ditambah lagi dengan permasalahan terbatasnya tenaga pendidik dikarenakan guru bantu khusus (GBK) ditarik oleh Dinas Pendidikan yang membuat Sekolah-sekolah Luar Biasa kekurangan GBK. Memang DIKNAS menyediakan GBK baik di SLB Negeri maupun Swasta, namun jumlahnya sangat kurang, bahkan sering seorang GBK harus meladeni minimal 2 sekolah. (Sumber dari http://majalahdiffa.com) Seperti juga yang terjadi di Provinsi Riau yang mengalami masalah keterbatasan guru tamatan Sarjana Pendidikan Luar Biasa (PLB), sehingga guru yang mengajar murid SLB saat ini kebanyakan diambil dari non PLB. Keterbatasan tenaga tamatan PLB ini dikarenakan di Provinsi tersebut hanya ada satu universitas yang memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yakni di Univesitas Negeri Padang (UNP). Sementara jumlah sekolah SLB yang tersebar di pulau Sumatera, jumlahnya sangat banyak, kondisi ini otomatis membutuhkan jumlah guru yang banyak juga.

7 Selain kekurangan guru, anak berkebutuhan khusus masih banyak yang belum tersentuh pendidikan karena kurangnya pemahaman orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus ini untuk memberikan pendidikan yang layak dan sesuai kebutuhannya. (Sumber dari http://edukasi.kompasiana.com). Dengan demikian, berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk membuat proposal dengan judul Efektivitas Pelaksanaan Pendidikan Khusus bagi Anak Berkebutuhan Khusus di SLB Negeri Kota Medan. 1.2. Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil rmusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana Proses Pelakasanaan Pendidikan Khusus bagi Anak Berkebutuhan Khusus di SLB Negeri Kota Medan 1.3. Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu: 1. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus. 2. Untuk mengetahui sudah sejauh mana pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus tersebut dilaksanakan dan manfaatnya kepada para anak yang membutuhkan pendidikan khusus tersebut.

8 1.4. Manfaat Penelitian Ada pula beberapa manfaat yang didapatkan dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Subjektif Sebagai suatu proses untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara. 2. Manfaat Praktis Sebagai upaya untuk memberikan data dan informasi yang berguna bagi semua kalangan terutama bagi mereka yang serius mendalami pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus. Sekaligus sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah setempat terutama dalam pengambilan keputusan di masa yang akan datang dan sebagai tolak ukur dalam menilai peran program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam menunjang pemberian pelayanan pendidikan khusus tersebut. 3. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi peneliti lainnya yang memiliki minat dalam mengakaji Efektivitas Pelaksanaan Pendidikan Khusus bagi Anak Berkebutuhan Khusus.