PENGARUH LAMA MATURASI DAN LAMA INKUBASI FERTILISASI TERHADAP ANGKA FERTILITAS OOSIT SAPI PERANAKAN ONGOLE SECARA IN VITRO

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi

TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL

SUPLEMENTASI HORMON GONADOTROPIN PADA MEDIUM MATURASI IN VITRO UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN EMBRIO STADIUM 4 SEL KAMBING BLIGON

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

Penggunaan Medium CR1aa untuk Produksi Embrio Domba In Vitro

SUPLEMENTASI FETAL BOVINE SERUM (FBS) TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO SEL FOLIKEL KAMBING PE

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT SAPI BETINA MUDA (JUVENILE)

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

BAB I. PENDAHULUAN A.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH UKURAN DAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI TERHADAP KUALITAS OOSIT KAMBING LOKAL

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Pengaruh Serum Domba dan Serum Domba Estrus terhadap Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba In Vitro

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

Tingkat Kematangan Inti Oosit Sapi Setelah 24 Jam Presevasi Ovarium

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

HUBUNGAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI DENGAN KUALITAS OOSIT DAN LAMA HARI TERBENTUKNYA BLASTOSIT FERTILISASI IN VITRO PADA SAPI FRIES HOLLAND

Jurnal Pertanian ISSN Volume 2 Nomor 1, April PENGARUH VITAMIN B 2 (Riboflavin) TERHADAP DAYA TAHAN SPERMATOZOA DOMBA PADA SUHU KAMAR

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

Semen beku Bagian 1: Sapi

Efektivitas Manipulasi Berbagai Ko-Kultur Sel pada Sistem Inkubasi CO 2 5% untuk Meningkatkan Produksi Embrio Sapi Secara In Vitro

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium. Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI

Semen beku Bagian 1: Sapi

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2015, VOL.15, NO.2

Buletin Peternakan Vol.34(1): 8-15, Februari 2010 ISSN

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian:

Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran

EVALUASI OOSIT KAMBING HASIL IVM SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN DALAM AKTIVASI PARTENOGENESIS. Kholifah Holil

POTENSI OOSIT KUALITAS C SAPI BALI MENCAPAI TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI SECARA IN VITRO SKRIPSI ANDI NURUL AIRIN ARIF I

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN OOSIT KAMBING PADA LAMA MATURASI IN VITRO YANG BERBEDA DENGAN SDS-PAGE. Nurul Isnaini. Abstrak

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT

PENGARUH PENAMBAHAN HORMON PADA MEDIUM PEMATANGAN TERHADAP PRODUKSI EMBRIO SECARA IN VITRO

PENGARUH WAKTU PRESERVASI OVARIUM TERHADAP DIAMETER FOLIKEL DAN OOSIT DOMBA LOKAL

Proporsi dan Karakteristik Spermatozoa X dan Y Hasil Separasi Kolom Albumin

KUALITAS OOSIT DARI OVARIUM SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) PADA FASE FOLIKULER DAN LUTEAL

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER SECARA IN VITRO ANITA HAFID

PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR ISI. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis...

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini berupa ovarium domba lokal umur <1 tahun 3 tahun

Lampiran 1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN

BAB 3 METODE PENELITIAN

TINGKAT FERTILISASI OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN WAKTU YANG BERBEDA SECARA IN VITRO

KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM

Edisi Juli 2012 Volume VI No. 1-2 ISSN

TINGKAT PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SAPI IN VITRO MENGGUNAKAN MEDIA TUNGGAL BERBAHAN DASAR TISSUE CULTURE MEDIUM (TCM) 199

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom

KEMAMPUAN FERTILISASI SPERMATOZOA SEXING DAN PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SECARA IN VITRO PADA SAPI ALVIEN NUR AINI

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

SIKLUS & PEMBELAHAN SEL. Suhardi S.Pt.,MP

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PREDIKSI KESUBURAN SPERMATOZOA DOMBA MELALUI UJI PENEMBUSAN LENDIR ESTRUS

TINGKAT KEBERHASILAN PRODUKSI EMBRIO SECARA IN VITRO MENGGUNAKAN SEMEN BEKU SAPI BALI (Bos javanicus) DAN ONGOLE (Bos indicus) G ANDRI HERMAWAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

Semen beku Bagian 2: Kerbau

LAPORAN AKHIR TAHUN I PROGRAM VUCER MULTITAHUN

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

Transkripsi:

PENGARUH LAMA MATURASI DAN LAMA INKUBASI FERTILISASI TERHADAP ANGKA FERTILITAS OOSIT SAPI PERANAKAN ONGOLE SECARA IN VITRO The Effects of Maturation Time and Duration of Incubation Fertilization on Fertilization Rate of Ongole Grade Cattle Oocyte in Vitro Dwi Liliek Kusindarta Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta e-mail: indarta@ugm.ac.id ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama maturasi dan lama inkubasi fertilisasi terhadap angka fertilitas oosit sapi peranakan Ongole (PO) secara in vitro. Oosit diaspirasi dari folikel ovarium yang berdiameter 2-6 mm. Oosit dirandom untuk penelitian menggunakan rancangan blok acak sempurna (RCBD), dengan lama maturasi 20, 22 dan 24 jam sebagai blok dan lama inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam sebagai perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan angka fertilitas oosit sapi PO dengan lama maturasi 20 jam dan lama inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam masing-masing adalah 48,86%+3,88, 48,08%+2,22 dan 51,96%+ 2,27. Angka fertilitas oosit sapi PO dengan lama maturasi 22 jam dan lama inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam masing-masing adalah 50,14%+4,18, 51,14%+4,35 dan 52,27%+2,26. Angka fertilitas oosit sapi PO dengan lama maturasi 24 jam dan lama inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam masingmasing adalah 51,21%+4,49, 53,49%+2,43 dan 50,96%+4,18. Tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) angka fertilitas antara lama maturasi 20, 22 dan 24 jam dan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) angka fertilitas antara lama inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam. Kata kunci: oosit, maturasi, fertilisasi in vitro, sapi Ongole ABSTRACT The experiment was designed to determine the effect of maturation time and duration of incubation fertilization on fertilization rate in Ongole grade cattle oocytes in vitro. Oocytes were collected from antral follicle (2-6mm). Oocytes were divided into 9 groups with randomized complete block design (RCBD), maturation time 20, 22 and 24 hours as block and duration of incubation fertilization 4, 5 and 6 hours as treatment. The result of the present study showed that fertilization rate of Ongole grade cattle oocytes at 20 hours maturation time and duration of incubation fertilization 4, 5 and 6 hours were 48.86%+3.88, 48.08%+2.22 and 51.96%+2.27, respectively. Fertilization rate at 22 hours maturation time and duration of incubation fertilization 4, 5 and 6 hours were 50.14%+4.18, 51.14%+4.35 and 52.27 %+2.26. In addition, fertilization rate at 24 hours maturation time and duration of incubation fertilization 4, 5 and 6 hours were 51.21%+4.49, 53.49%+2.43 and 50.96%+4.18. There were no significant differences (P>0.05) among maturation time and duration of incubation for 4, 5, and 6 hours. Keywords: maturation, oocytes, in vitro fertilization, Ongole. 185

J. Ked. Hewan Vol. 3 No. 1 Maret 2009 PENDAHULUAN Usaha pemerintah untuk meningkatkan populasi ternak terus dilakukan. Selain dengan mengimpor bibit-bibit unggul, juga dengan upaya meningkatkan pemanfaatan inseminasi buatan yang telah cukup memasyarakat di daerah-daerah serta penerapan teknologi transfer embrio (Rustanto dan Sugiono, 1997). Salah satu kendala dalam program transfer embrio adalah mahalnya biaya untuk mendapatkan embrio melalui sapi donor yang disuperovulasi dan hanya sedikit oosit yang dapat dimanfaatkan dari total oosit yang terdapat dalam satu ovarium (Gordon, 1994). Untuk dapat difertilisasi oosit harus matur duhulu. Maturasi oosit meliputi maturasi inti dan maturasi sitoplasma. Selama maturasi oosit, struktur kromatin dalam oosit immatur melewati suatu proses penyusunan morfologi yang dimulai pada profase pembelahan meiosis pertama dan berlanjut sampai metafase kedua. Iwanatsu dan Chang cit. oleh Vanderhyden dan Amstrong (1989) menyimpulkan bahwa walaupun penetrasi spermatozoa pada oosit dapat terjadi pada beberapa stadium maturasi, tetapi kondensasi kromatin spermatozoa hanya dapat terjadi setelah germinal vesicle breakdown (GVBD). Proporsi oosit dengan pronukleus yang terbentuk baik, meningkat bila oosit diinseminasi menjelang atau pada saat penyelesaian akhir pembelahan meiosis pertama. Waktu yang panjang untuk mencapai periode puncak metafase kedua, bervariasi dari 19-22 jam (Goto et al., 1988), 24 jam (Sirard et al., 1988), dan 26 jam (Kato dan Iritani, 1993). Pada fertilisasi in vitro oosit yang digunakan masih lengkap beserta beberapa lapis sel kumulus oophorus yang jumlahnya bervariasi untuk masing-masing oosit. Untuk dapat memfertilisasi oosit, spermatozoa terkapasitasi harus melewati sel-sel kumulus, menembus zona pelucida dan berfusi dengan oosit. Oosit dengan selsel kumulus sedikit bisa dilewati spermatozoa dalam waktu singkat, sementara oosit dengan sel-sel kumulus lebih banyak akan dilewati oleh spermatozoa dalam waktu yang lebih lama untuk mencapai zona pelucida. Akan tetapi, jika waktu inkubasi terlalu lama akan menyebabkan terjadinya polispermi, sehingga perkembangan embrio tidak dapat berlanjut. Lama maturasi dan lama inkubasi fertilisasi untuk berbagai jenis sapi bervariasi mulai 7-8 jam (Saeki et al., 1991), 5 jam (Saito, 1994) dan 4 jam (Gliedt et al., 1996). Pengaruh lama maturasi dan lama inkubasi fertilisasi terhadap angka fertilitas oosit sapi peranakan Ongole (PO) secara in vitro belum tersedia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama maturasi dan lama inkubasi fertilisasi terhadap angka fertilitas oosit sapi PO secara in vitro. Hasil ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan teknologi reproduksi untuk meningkatkan efisiensi biologis hewan yang sudah tidak produktif dari rumah potong hewan. MATERI DAN METODE Koleksi Ovarium Ovarium sapi diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Yogyakarta. Segera sesudah sapi disembelih, ovarium diambil dari rongga abdomen, dipisahkan dari jaringan sekitar, dicuci, dimasukkan ke 186

dalam larutan NaCl 0,9% yang ditambah dengan penisilin G 100 IU/ml dan streptomisin sulfat 0,1 mg/ml pada suhu 31-34 0 C. Selanjutnya, ovarium dibawa ke laboratorium untuk dilakukan aspirasi oosit. Maturasi Oosit Oosit diaspirasi dari folikel berdiameter 2-6 mm menggunakan jarum 18 G dan siring 5 ml yang berisi medium aspirasi [Dulbelcco s Modified PBS (Gibco BRL Product)], penisilin G 100 IU/ml, streptomisin 0,1 mg/ml, fetal bovine serum 3%). Oosit yang digunakan adalah oosit yang mempunyai lebih dari 2-3 lapis sel kumulus dan sitoplasmanya bergranula. Oosit dibagi menjadi 3 kelompok masingmasing untuk lama maturasi 20, 22 dan 24 jam. Selanjutnya, oosit dicuci dan dimaturasi dalam kultur tetes 100 µl medium maturasi [Medium 199 (Gibco BRL Product), fetal bovine serum 5%, penisilin 100 IU/ml, streptomisin 0,1 mg/ml], ditutup dengan minyak mineral, dan diinkubasi pada 39 0 C, CO 2 5%. Kapasitasi Spermatozoa Spermatozoa diperoleh dari semen beku yang dicairkan dalam penangas air 37 0C, diencerkan dengan 6 ml medium pencuci semen (medium bracket dan oliphant 50 ml, Na caffein benzoate 0,1942 g, heparin 50 µl), disentrifugasi 1800 rpm selama 5 menit sebanyak 2 kali. Endapan spermatozoa yang diperoleh diencerkan dengan pengencer semen (medium bracket dan oliphant diperkaya dengan 2% BSA), hingga mencapai 12,5X10 6 sel/ml. Seratus mikroliter aliquot suspensi spermatozoa ditutup dengan minyak mineral dan dipreinkubasi 3 jam pada suhu 39 0 C dan CO 2 5% untuk proses kapasitasi. Fertilisasi In Vitro Oosit setiap kelompok perlakuan (lama maturasi) dicuci 2 kali menggunakan medium pencuci oosit dan dibagi secara random menjadi 3 kelompok untuk inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam. Oosit tersebut dimasukkan ke dalam aliquot spermatozoa yang telah dipreinkubasi, diinkubasi pada 39 0 C, CO 2 5% selama 4, 5 dan 6 jam waktu fertilisasi. Setelah masingmasing masa inkubasi fertilisasi, embrio dicuci dengan medium kultur embrio [Medium 199 (Gibco), fetal bovine serum 5%, Natrium piruvat 1 mm, Penisilin 100 IU/ml, Streptomisin 0,1 mg/ml, dan Amphoterisin B (Fungizone, Gibco) 100 µg/ml], kemudian dipindahkan ke dalam 100 µl medium kultur tetes yang dilapisi minyak mineral, dan inkubasi pada 39 0 C, 5% CO 2. Pengamatan dilakukan tiap 24 jam dan medium kultur diganti tiap 48 jam diamati hingga embrio mencapai 32 sel. Analisis Data Penelitian ini menggunakan rancangan blok acak sempurna (RCBD) dengan blok waktu maturasi 20, 22 dan 24 jam dan perlakuan waktu inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam. Data angka fertilitas diuji dengan analisis varian seperti dijelaskan oleh Madigan (1983). Angka fertilitas adalah jumlah oosit yang membelah ditambah oosit yang tidak membelah tetapi telah mempunyai 2 pronukleus dibagi jumlah oosit yang difertilisasi (Revel et al., 1995). Data perkembangan embrio hingga 32 sel dilaporkan secara deskriptif. 187

J. Ked. Hewan Vol. 3 No. 1 Maret 2009 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Lama Maturasi Oosit terhadap Angka Fertilitas Rata-rata angka fertilitas oosit sapi PO secara in vitro pada berbagai lama maturasi ditunjukkan pada Tabel 1. mampu memfertilisasi oosit tanpa ada penundaan waktu untuk menyelesaikan kapasitasi. Menurut Parrish et al. (1988) untuk dapat melakukan fertilisasi oosit, spermatozoa paling tidak harus sudah mengalami 2 perubahan yaitu perubahan pada membran spermatozoa (kapasitasi) Tabel 1. Rata-rata dan simpangan baku angka fertilitas oosit sapi PO secara in vitro dengan berbagai lama maturasi dan berbagai lama inkubasi Lama Inkubasi Fertilisasi Lama maturasi 4 jam 5 jam 6 jam Rata-rata n (%) n (%) n (%) (%) 20 jam 47 48,86+3,88 46 48,08+2,22 45 51,96+2,27 49,36+3,95 22 jam 47 50,14+4,18 45 51,14+4,35 46 52,27+2,26 51,46+3,49 24 jam 45 51,21+4,49 45 53,49+2,43 45 50,96+4,18 51,88+3,64 Rata-rata 50,35+3,94 50,90+3,67 51,46+2,90 Dari data Tabel 1 terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang nyata angka fertilitas antara kelompok maturasi 20, 22 dan 24 jam. Oosit-oosit yang dimaturasi pada masing-masing waktu tersebut telah matur secara penuh atau telah mencapai stadium metafase meiosis kedua. Sirard et al. (1989) mengatakan bahwa oosit sapi yang dimaturasi in vitro, maka vesikel germinal tetap ada antara 0-6,6 jam, GVBD terjadi pada 6-6,8 jam, kondensasi kromatin 16,6-18 jam dan metafase kedua pada 18-24 jam. Oosit yang dimaturasi 20 jam telah mencapai stadium metafase kedua, sehingga dapat difertilisasi, sementara yang dimaturasi 24 jam masih dapat dimaturasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Hafez (1988), oosit masih dapat difertilisasi hingga 12-24 jam. Analisis varian tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) angka fertilitas oosit sapi PO pada semua kelompok lama inkubasi. Pada penelitian ini semua kelompok perlakuan menggunakan waktu preinkubasi 3 jam, sehingga diduga spermatozoa sudah mengalami kapasitasi dan reaksi akrosom, serta dan fusi antara membran plasma kepala spermatozoa dan membran akrosom luar (reaksi akrosom). Spermatozoa yang proses kapasitasinya tidak sempurna atau tidak semua spermatozoa mengalami kapasitasi akan gagal untuk membuahi oosit atau akan membuahi oosit beberapa jam kemudian (Yanagimachi, 1988). Selain setelah preinkubasi spermatozoa selama 3 jam dan inkubasi 4 jam, spermatozoa dan oosit sudah berkondensasi dan terjadi fusi. Wakayama et al. (1995) mengatakan, spermatozoa yang dipreinkubasi 2 jam, menembus zona pelucida 1 jam sesudah inseminasi, kepala spermatozoa dikondensasi 3 jam sesudah inseminasi dan pada 6 jam sesudah inseminasi pronuklei jantan dan betina ditemukan pada kebanyakan oosit yang dipenetrasi. Angka fertilitas pada penelitian ini adalah berkisar antara 48,08%+2,22 sampai 53,49%+2,43 sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Meskipun hasil ini lebih baik dari Budianto (1997), Gustari (1997) dan Karja (1997) yaitu dengan angka fertilitas 25-30% tetapi masih relatif lebih rendah dibanding 188

hasil penelitian Leidfried-Rudledge et al., (1987) dengan angka fertilitas 73-88%. Gambar 1. Oosit sapi peranakan Ongole yang diaspirasi dari folikel ovarium sapi sebelum dimaturasi. Oosit dikelilingi selsel kumulus oophorus yang kompak dan masih sangat rapat Maturasi Oosit dan Perkembangan Embrio Gambar 1 menunjukkan morfologi kompleks kumulus oosit sebelum dimaturasi. Sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit masih kompak atau belum meregang. Oosit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ovarium sapi PO yang dipotong di RPH Kota Yogyakarta. Walaupun status reproduksinya tidak diketahui tetapi oosit-oosit tersebut diaspirasi dari folikel berdiameter antara 2-6 mm. Folikel dengan diameter 2 mm mengandung oosit yang sudah mengalami pertumbuhan secara penuh (telah mencapai stadium akhir profase meiosis pertama), sehingga apabila dimaturasi secara in vitro dapat melakukan pembelahan meiosis secara spontan. Oosit sapi yang berasal dari folikel dengan diameter kurang dari 1,6 mm belum menyelesaikan fase pertumbuhannya, sehingga belum mampu melakukan pembelahan meiosis pertama (Leidfried- Rutledge et al., 1987), sedangkan oosit pada folikel berdiameter 6 mm belum mengalami atresia (Gordon, 1994). Menurut Edward (1965) oosit kumulus kompleks atau oosit tanpa kumulus sejumlah spesies mamalia diisolasi dari folikel ovarium dan dikultur in vitro, akan menjalani meiosis secara spontan dan menjalani GVBD. Pada penelitian ini dipilih oosit yang dikelilingi sel-sel kumulus, karena menurut Vanderhyden dan Armstrong (1989) sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit tidak hanya mengatur tingkat maturasi nukleus dan mempertahankan daya hidup oosit tetapi juga penting untuk memacu maturasi sitoplasma. Selama pemasakan oosit secara in vitro terjadi perubahan bentuk sel kumulus dan interaksi antara sel-sel folikel dan oosit. Selain itu adanya sel-sel kumulus dan serum pada waktu yang pendek (2 jam) diperlukan untuk pengeluaran badan kutub pertama pada maturasi oosit secara in vitro dan juga membantu meningkatkan signifikansi penetrasi oosit oleh spermatozoa. Sel-sel kumulus penting dalam meningkatkan maturasi sitoplasmik yang normal oosit untuk kepentingan pembentukan pronukleus dan kemampuan melanjutkan perkembangan. Schrocder dan Eppig cit. Vanderhyden dan Armstrong (1989) menemukan bahwa oosit dengan sel-sel kumulus mempunyai kemampuan terfertilisasi lebih tinggi dari pada oosit yang dimaturasi tanpa sel-sel kumulus. Hal ini disebabkan adanya sel-sel kumulus yang akan mereduksi tingkat pengerasan zona pelucida selama kultur. Pengerasan zona pelucida akan menurunkan kemampuan terfertilisasinya oosit yang dimaturasi tanpa sel-sel kumulus (DeFlice dan Siracusa, cit. Vanderhyden dan Armstrong, 1989). 189

J. Ked. Hewan Vol. 3 No. 1 Maret 2009 Vanderhyden dan Armstrong (1989) melaporkan bahwa oosit yang dimaturasi tanpa sel-sel kumulus menunjukkan penurunan pembentukan pronukleus dan frekuensi pembelahan. Sel-sel kumulus tidak hanya mengontrol tingkat maturasi nukleus dan membantu memelihara penetrabilitas oosit, tetapi adanya sel-sel kumulus penting untuk meningkatkan maturasi sitoplasmik secara normal. Dari hasil penelitian tidak terdapat perbedaan morfologi antara oosit yang dimaturasi selama 20, 22 maupun 24 jam. Pada ketiga kelompok tersebut menunjukkan adanya peregangan kumulus oophorus. Hal ini mengindikasikan bahwa oosit telah mengalami maturasi. Selain ditandai dengan munculnya benda kutub pertama sebagai hasil pembelahan meiosis pertama, secara morfologi diamati adanya peregangan sel-sel kumulus. Peregangan sel-sel kumulus ini terjadi karena adanya stimulasi sintesis asam hialuronik dan serum dalam media dipertahankan di antara sel-sel kumulus (Eppig, 1980). Boediono dan Suzuki (1996) melaporkan bahwa peregangan sel kumulus setelah maturasi secara in vitro merupakan salah satu tanda terjadinya maturasi nukleus dan sitoplasma. Peregangan sel kumulus yang mengelilingi oosit bertepatan waktunya dengan terjadinya pembelahan meiosis (Eppig, 1980). Beberapa jam menjelang stimulasi ovulasi, oosit mengalami maturasi nukleus, yang ditandai dengan GVBD, sementara kumulus oophorus mengalami musifikasi dan melekat dalam matrik glikosaminoglikan, suatu proses yang disebut peregangan kumulus. Pada saat ovulasi sel kumulus sudah meregang penuh dan menyelimuti oosit yang secara progresif membelah secara meiosis menjadi metafase II (Eppig, 1980; Eppig dan Downs, 1984). Gambar 2. Embrio sapi peranakan Ongole stadium 32 sel Tingkat perkembangan embrio terlihat pada Tabel 2. Rendahnya tingkat perkembangan embrio yang mencapai 32 sel (Gambar 2) kemungkinan karena terjadi blok 8 sel. Kato dan Iritani (1993) menyatakan bahwa pada umumnya perkembangan embrio sapi stadium 1-2 sel secara in vitro akan berhenti pada stadium 8-16 sel. Fenomena tersebut dikenal dengan blok 8 sel yang memberikan petunjuk adanya transisi kontrol dari induk ke embrio. Gordon (1994) menyatakan periode kritis dapat terjadinya blok pada pembelahan embrio adalah selama transisi dari stadium 4 sel menjadi 8 sel atau pada stadium 8 sel itu sendiri. Secara in vivo selsel oviduk mensintesis dan mensekresikan komponen-komponen yang diperlukan untuk perkembangan embrio tahap awal seperti protein (glikoprotein) dan faktorfaktor pertumbuhan. Protein tersebut akan berikatan dengan zona pelucida dan selanjutnya menyatu dengan sitoplasma embrio. Protein dan messenger ribonuclec acid (m-rna) yang tersimpan dalam embrio tersebut penting untuk proses transkripsi yang terjadi selama stadium 4 sel akhir sampai stadium 8 sel awal. Apabila terjadi kegagalan dalam proses transkripsi maka pembelahan embrio akan terhenti atau terjadi blok pada proses pembelahan. 190

Tabel 2. Tingkat perkembangan embrio sapi PO secara in vitro dengan berbagai lama maturasi dan lama inkubasi fertilisasi Waktu Perkembangan Waktu fertilisasi Maturasi embrio 4 jam 5 jam 6 jam 20 jam Total oosit 47 46 45 Terfertilisasi 22 22 23 4 sel 10 12 22 8 sel 8 8 6 16 sel 4 3 2 32 sel 0 1 0 22 jam Total oosit 47 45 46 Terfertilisasi 24 23 24 4 sel 10 8 15 8 sel 5 4 10 16 sel 4 2 4 32 sel 2 1 3 24 jam Total oosit 45 45 45 Terfertilisasi 23 24 23 4 sel 19 15 14 8 sel 4 5 7 16 sel 2 4 3 32 sel 0 3 2 Pada penelitian ini, penambahan piruvat pada medium kultur meningkatkan persentase pembelahan hingga 32 sel. Hasil ini lebih tinggi dibanding hasil Budiono (1997), Gustari (1997) dan Karja (1997). McLaren (1982) mengatakan bahwa perkembangan embrio tergantung energi yang disediakan terus menerus oleh lingkungan maternalnya. Setiap stadium embrio mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan sumber energi yang berbeda-beda. Embrio satu sel memerlukan piruvat dan oksaloasetat. Embrio dua sel dapat memanfaatkan fosfopiruvat dan laktat, dan setelah mencapai delapan sel telah mampu memanfaatkan glukosa. Adanya glukosa dalam medium M- 199 diduga menganggu perkembangan embrio awal. Gordon (1994) mengatakan glukosa dalam medium biakan dapat mengganggu perkembangan embrio awal. Glukosa diduga baru bermanfaat pada perkembangan embrio selanjutnya, untuk mendukung transisi morula ke blastula. KESIMPULAN Tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat fertilitas antara waktu maturasi 20, 22 dan 24 jam serta waktu inkubasi fertilisasi 4, 5 dan 6 jam. Waktu maturasi 20 jam dan inkubasi fertilisasi 4 jam telah cukup untuk maturasi dan fertilisasi oosit sapi PO. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih ditujukan kepada Prof. Dr. drh. Slamet Soebagyo yang telah memberikan arahan selama penelitian dan penulisan serta Yuda Heru Fibrianto dan Diah Tri Widayati atas kerjasamanya selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Budianto, A. 1997. Pengaruh waktu kapasitasi terhadap angka fertilitas oosit sapi peranakan Ongole secara in vitro. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Boediono, A. and T. Suzuki. 1996. In vitro development of Holstein and Japanese Black breeds embryo. Media Veteriner. 3(1): 3-15. Edward, R.D. 1965. The Spermatozoa. In E. Knobil and J. Neil: The Physiology of Reproduction. Reves Press, Ltd., New York. 191

J. Ked. Hewan Vol. 3 No. 1 Maret 2009 Eppig, J.J. 1980. Regulation of cumulus oophorus expansion by mouse oocyte-cumulus cell complex in vitro. Biol. Reprod. 22:629-633. Eppig, J.J. and S. Downs. 1984. Chemical signal that regulate mammalian oocyte maturation. Biol. Reprod. 30:1-11. Gliedt, D.W., C.F. Rosenkrans, R.W. Rorie, and J.M., Rakes. 1996. Effect of oocyte maturation length, sperm capacitation time and heparin on bovine embryo development. J. Dairy Sci. 79:532-535. Gordon, I. 1994. In Vitro maturation (IVM) and in vitro fertilization (IVF) of cattle ova. Embryo Transfer. 8:6-10. Goto, K., Y. Kajihara, S. Kosaka, M. Koba, Y. Nakashini, and K. Ogawa. 1988. Pregnancies after co-culture of cumulus cells with bovine embryos derived from in-vitro fertilization of in-vitro matured follicular oocytes. J. Reprod. Fertil. 83:253-258. Gustari, S. 1997. Pengaruh penambahan glukosa pada medium fertilisasi terhadap angka fertilitas oosit sapi peranakan Ongole secara in vitro. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hafez, E.S.E. 1988. Folliculogenesis of female reproduction. In E.S.E. Hafez. Reproduction in Farms Animal. 5 th ed. Lea and Febiger, Philadelphia. Kato, H. and A. Iritani. 1993. In vitro fertilization in cattle. Molecules Reproduction and Development. 36:229-231. Karja, N.W.K. 1997. Pengaruh penambahan fetal bovine serum pada medium maturasi oosit terhadap perkembangan embrio sapi peranakan ongole secara in vitro. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Leidfried-Rudledge, M.L., E.S. Crester, W.H. Eyestone, D.L. Northey and N.L. First. 1987. Development potential of bovine oocyte maturated in vivo or in vitro. Biol. Reprod. 36:376-383. Madigan, S. 1983. PC Anova analysis of variance for The IBM PC. Human System Dinamic, Northidge, California. McLaren, A. 1982. The embryo. In C.R. Austin and R.V. Short: Embryonic and fetal Development. 2 nd ed. University Press, USA. Parrish, J.J., J. Susko-Parish, M.A., Winer, and N.L. First. 1988. Capacitation of bovine sperm by heparin. Biol. Reprod. 38:1171-1180. Revel, F., P. Mermillod, N. Peynot, J.P. Renard, and Y. Heyman. 1995. Low development capacity of in vitro maturated and fertilized oocyte form calves compared with that of cows. J. Reprod. Fertil. 103:115-120. Rustanto dan Sugiono. 1997. Lahirnya pedet tabung pertama di Indonesia. Infovet. 5:24-25. Saeki, K., M. Hoshi, M.L. Leibfried- Rutledge, and N.L. First. 1991. In vitro fertilization and development of bovine oocytes maturated in serum-free medium. Biol. Reprod. 44:256-260. Saito, N. 1994. Manual of embryo transfer and in vitro fertilization in cattle. National Livestock Breeding Center, MAFF, Japan. Sirad, M.A., J.J. Parrish, C.D. Ware, M.L. Leidfried-Rutledge, and N.L. First. 192

1988. The culture of bovine oocyte to obtain developmentally competent embryos. Biol. Reprod. 39:546-552. Sirard, M.A., H.M. Florman, M.L. Leibfried- Rutledge, F.L. Barnes, M.L. Sims, and N.L. First. 1989. Timing of nuclear progression and protein synthesis necessary for meiotic maturation of bovine oocytes. Biol. Reprod. 40: 1257-1263. Wakayama, T., J. Suto, Y. Matubara, K. Imamura, K. Fukuta, T. Kurohmaru, and Y. Hayashi. 1995. In vitro fertilization and embryo development of Japanese field voles (Microtus montebelli). J. Reprod. Fertil. 104:63-68. Vanderhyden, B.C. and D.T. Amstrong. 1989. Role of the cumulus cells and serum on the in vitro maturation, fertilization, and subsequent development of rat oocytes. Biol. Reprod. 40:720-728. Yanagimachi, R. 1988. Mammalian fertilization. In E. Knobil and J. Neil: The Physiology of Reproduction. Reven Press, Ltd. New York. 193