BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Anemia mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia,

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus...

PENINGKATAN NILAI PARAMETER STATUS BESI RETICULOCYTE HEMOGLOBIN EQUIVALENT SETELAH PEMBERIAN SUPLEMEN BESI INTRAVENA PADA PASIEN HEMODIALISIS REGULER

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada

BAB I PENDAHULUAN. dapat disembuhkan. Penyakit ini ditandai turunnya fungsi ginjal sehingga

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

PREVALENSI DAN JENIS ANEMIA PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS REGULER LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

PENATALAKSANAAN ANEMI DEFISIENSI BESI PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UJI DIAGNOSTIK EKUIVALEN HEMOGLOBIN RETIKULOSIT DAN INDIKATOR RESPON TERAPI PADA ANEMIA DEFISIENSI BESI

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

BAB I PENDAHULUAN. Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis reguler

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium merupakan keganasan ginekologi yang menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

STATUS BESI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG SEDANG MENJALANI HEMODIALISIS DI BLU RSU.Prof.Dr.R.D KANDOU MANADO

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

T E S I S BUDI ANDRI FERDIAN /IKA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. progresif dan lambat, serta berlangsung dalam beberapa tahun. Gagal ginjal

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

Ruswantriani, Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

ABSTRAK. UJI VALIDITAS INDEKS MENTZER SEBAGAI PREDIKTOR β-thalassemia MINOR DAN ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA POPULASI ANEMIA HIPOKROM MIKROSITER

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

oleh K/DOQI sebagai suatu keadaan dengan nilai GFR kurang dari 60 ml/men/1,73 m 2, selama lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

GAMBARAN ANEMIA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK DI BLU. RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU. Dwifrista Vani Pali 2. Emma Sy. Moeis 3. Linda W. A.

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

PENINGKATAN NILAI PARAMETER STATUS BESI RETICULOCYTE HEMOGLOBIN EQUIVALENT SETELAH PEMBERIAN SUPLEMEN BESI INTRAVENA PADA PASIEN HEMODIALISIS REGULER

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi

GAMBARAN STATUS BESI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan Kejadian Anemia dengan Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien yang Dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr M Djamil Padang Tahun 2010.

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Palang Merah Indonesia, menyatakan bahwa kebutuhan darah di. Indonesia semakin meningkat sehingga semakin banyaklah pasokan darah

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. adalah Timbal (Pb). Timbal merupakan logam berat yang banyak digunakan

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian. pemeriksaan kultur darah menyebabkan klinisi lambat untuk memulai terapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun anemia juga dapat disebabkan oleh penyebab lainnya. Oleh karena itu diperlukan evaluasi laboratorium untuk mencari penyebab lain terutama apabila derajat anemia tidak sebanding dengan defisit fungsi ginjal, adanya tanda defisiensi besi, adanya leukopenia dan trombositopenia. Beberapa penyebab anemia pada PGK antara lain: Tabel 2.1 Penyebab Anemia pada PGK (Lubis HR et al. 2001) No Penyebab anemia pada PGK 1 Defisiensi eritropoetin 2 Defisiensi besi 3 Kehilangan darah (flebotomi berulang, retensi darah pada dialiser, perdarahan saluran cerna) 4 Hiperparatiroid berat 5 Inflamasi akut atau kronis 6 Toksisitas aluminium 7 Defisiensi asam folat 8 Masa hidup eritrosit yang pendek 9 Hipotiroid 10 Hemoglobinopati 2.2 Terapi ESA dan Defisiensi Besi Penyebab utama anemia pada PGK adalah defisiensi eritropoetin, maka terapi rasional adalah dengan pemberian ESA. Namun sering terjadi kegagalan terapi dimana setelah pemberian ESA tidak terjadi perbaikan dari status anemia pasien PGK, salah satu penyebabnya adalah defisiensi besi (Fisbane et al. 2001). ESA merangsang sumsum tulang meningkatkan eritropoesis dengan tujuan meningkatkan jumlah hemoglobin. Sementara besi merupakan salah satu bahan pembentuk hemoglobin, jadi apabila besi yang tersedia tidak mencukupi maka terapi ESA tidak bermanfaat dan pasien akan tetap dalam status anemia (Tessitore et al. 2001). Pada pasien PGK terutama yang mendapat terapi ESA bisa terjadi defisiensi besi yang absolut maupun fungsional. Defisiensi besi absolut ditandai dengan nilai ST <20%

atau feritin serum <100ng/ml, hal ini terjadi akibat meningkatnya kehilangan darah, darah tertinggal di alat dialiser, seringnya pengambilan sampel darah, perdarahan saluran cerna, pembedahan berulang untuk akses vaskular ataupun karena menurunnya absorpsi besi di saluran cerna akibat restriksi diet, kurangnya konsumsi makanan yang banyak mengandung besi (Brugnara et al. 2006). Sementara defisiensi besi fungsional (relatif) terutama terjadi pada pasien PGK yang mendapat terapi ESA, dimana ESA akan meningkatkan laju produksi eritrosit di sumsum tulang, sehingga kebutuhan akan besi meningkat, sementara kemampuan transpor besi dari tempat cadangan besi ke sumsum tulang tidak dapat mengimbangi laju eritropoesis. Hal ini ditandai dengan nilai ST <20% namun feritin serum bisa normal atau meningkat (Maconi et al. 2009). Pada keadaan ini sebenarnya cadangan besi dalam tubuh cukup, namun terjadi gangguan dalam transpor besi. Pada kasus yang ekstrem dapat terjadi blokade transpor besi dari organ tempat penyimpanan besi (organ reticuloendotelial) dimana dalam keadaan inflamasi ataupun infeksi akut dan kronis, cadangan besi tidak dapat ditranspor oleh transferin. Akibatnya ST rendah, sedangkan feritin serum meningkat. Dengan demikian penggunaan parameter konvensional ini akan menimbulkan keraguan, apakah pasien benar dalam keadaan defisiensi besi atau tidak serta memerlukan suplemen besi atau tidak (Piva et al. 2010). 2.3 Keterbatasan Parameter Konvensional dalam Menilai Status Besi Rekomendasi yang ada saat ini masih menggunakan parameter konvensional dalam menilai status besi dan target terapi besi. Feritin serum menyatakan cadangan protein dalam tubuh dan juga merupakan protein fase akut yang nilainya akan meningkat pada keadaan inflamasi akut maupun kronis. Keadaan uremia pada pasien PGK dengan hemodialisis juga merupakan kondisi inflamasi kronis. The National Kidney Foundation- Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-KDOQI 2006) menyatakan bahwa ST adalah perhitungan KBS dibagi dengan kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity (TIBC). TIBC menyatakan jumlah besi yang bersirkulasi; merefleksikan transferin, protein yang mengikat besi dalam darah. Keadaan inflamasi meningkatkan nilai transferin-yang juga sebagai protein fase akut, sehingga pada keadaan inflamasi nilai ST dapat turun (Wish JB 2006). Nilai transfrerin rendah bila sintesisnya berkurang, misalnya pada keadaan malnutrisi atau penyakit kronis lainnya. ST juga memiliki nilai variasi diurnal yang menyulitkan interpretasi hasil apabila waktu pengambilan sampel darah berubah-ubah (Buttarello et al. 2010).

Pada pasien PGK dengan hemodialisis, sering ditemui keadaan dimana ST rendah dan feritin serum tinggi karena terjadi defisiensi besi fungsional atau blokade transpor besi dari organ retikuloendotelial (Wish JB 2006). Hal ini menyebabkan adanya dilema dalam memutuskan pemberian suplemen besi. Diperlukan pertimbangan yang matang antara manfaat dan kerugian yang timbul akibat pemberian suplemen besi. Gambar 2.1 Panduan terapi ESA pada pasien PGK yang Menjalani Hemodialisis Dari beberapa (Lubis penelitian HR et al. 2001) yang mencoba mengkaji nilai diagnostik dari parameter konvensional ini, diperoleh kesimpulan bahwa nilai ST <20% memiliki sensitivitas yang baik untuk menyatakan defisiensi besi, namun nilai feritin serum baik 100 ataupun 200ng/ml tidak menunjukkan sensitivitas yang baik (Wish JB 2006). Tabel 2.2 Rekomendasi Penatalaksanaan Anemia pada PGK dengan Hemodialisis Reguler (Butarello et al. 2010)

Tabel 2.3 Sensitivitas dan Spesifisitas Parameter Status Besi (Wish JB 2006) 2.4 RET He Berdasarkan berbagai pertimbangan keterbatasan dan kelemahan parameter konvensional dalam menilai status besi maka berbagai penelitian dilakukan untuk menemukan parameter baru yang dapat lebih baik menilai status besi pasien. Beberapa parameter yang telah dikembangkan sampai saat ini antara lain percentage of hypochromic erythrocytes (%HYPO), reticuloyte hemoglobin content (CHr), soluble transferin receptor (stfr), erythrocyte zinc protoporphyrin (Er-ZPP), dan reticulocyte hemoglobin equivalent (RET He) (Bovy et al. 2007). Masing-masing parameter memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun sampai saat ini parameter baru yang telah masuk ke dalam rekomendasi NKF-KDOQI (2006) adalah CHr. RET He memiliki prinsip yang sama namun tidak identik dengan CHr dalam menilai status besi. Kedua parameter ini mengestimasi jumlah hemoglobin di dalam retikulosit. Retikulosit adalah calon eritrosit matang yang beredar di darah tepi. Dalam 1-2 hari setelah dilepaskan dari sumsum tulang retikulosit akan menjadi eritrosit matang (Piva et al. 2010). Oleh karena itu pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran banyaknya besi yang tersedia di dalam sumsum tulang untuk proses eritropoesis dalam beberapa hari terakhir (Kaneko et al. 2003). Selain itu parameter ini juga dapat memonitor respons awal

terapi besi intravena dan dapat mencegah resiko overload besi dalam tubuh (Buttarello et al. 2004). Beberapa penelitian menyatakan respons terhadap pemberian suplemen besi sudah dapat dinilai pada minggu ke-2 atau ke-4 setelah memulai pemberian suplemen besi intravena (Chuang et al. 2003). Sementara bila menggunakan parameter konvensional pedoman NKF-KDOQI (2006) menganjurkan tiap 3 bulan sekali. Sehingga dengan RET He resiko terjadinya overload akibat pemberian suplemen besi dapat diminimalisir (Urrechaga et al. 2010). Beberapa penelitian telah membuktikan adanya korelasi yang positif antara RET He dengan CHr (Frank S et al. 2004). Nilai CHr hanya dapat diperoleh apabila pemeriksaan darah dilakukan menggunakan Bayer ADVIA hematology analyser (Siemens Healthcare Diagnostic Inc.) (Fukui et al. 2002), sementara RET He dapat diperiksa menggunakan alat pemeriksaan darah lengkap berdasarkan prinsip flourescence flow cytometer yang lebih banyak digunakan di berbagai laboratorium dengan menambahkan aplikasi perangkat lunak XE RET-Master (Frank et al. 2004). Sampai saat ini belum ada rekomendasi yang menetapkan nilai cut off RET He untuk diagnosis defisiensi besi. Nilai normal berada dalam interval 28,2-38,6pg dan secara umum dianggap <26pg dapat menyatakan defisiensi besi pada pasien PGK dengan hemodialisis. Canals et al (2005) melaporkan RET He dengan nilai cut off 25pg memiliki sensitivitas 81% dan spesifisitas 76% dalam diagnosis defisiensi besi. Tazza et al (2006) melaporkan dengan nilai cut off 30,5pg diperoleh sensitivitas 98,4% dan spesifisitas 92,2%. Studi oleh Brugnara et al (2006) melaporkan dengan nilai cut off 27,2pg diperoleh sensitivitas 93,3% dan spesifisitas 83,2%. Grazia et al (2007) melaporkan bahwa nilai cut off 30,5pg terbaik untuk diagnosis defisiensi besi. Maconi et al (2009) melaporkan nilai cut off RET He 29,4pg memiliki kemampuan diagnostik 97,5%. Studi oleh Miwa et al (2010) melaporkan dengan nilai cut off 33,0pg diperoleh sensitivitas 74% dan spesifisitas 64,9%. Urrechaga et al (2010) melaporkan nilai cut off 32,4pg terbaik untuk diagnosis defisiensi besi pada pasien PGK dengan hemodialisis. Buttarello et al (2010) melaporkan nilai cut off terbaik RET He adalah 30,6pg. RET He merupakan parameter yang mudah, murah dan memiliki kemampuan diagnostik yang baik dalam diagnosis defisiensi besi serta dapat secara dini menilai efektivitas pemberian suplemen besi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bersamaan dengan

pemeriksaan darah lengkap dan diharapkan nantinya dapat termasuk parameter yang direkomendasikan untuk penilaian status besi pasien PGK dengan hemodialisis reguler.