II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SKRIPSI

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN. Welin Kusuma

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka Hakim atau Pengadilan (R. Subekti, 1983 ; 7). Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang dan menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari para pihak tersebut. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 1996 ; 5-7).

15 B. Sistem Pembuktian Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya (Hari sasangka & Lily Rosita, 2003 ; 10-13). Untuk menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu : 1) Sistem pembuktian yang positif, yaitu sistem pembuktian yang hanya didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undangundang atau yang sah menurut undang-undang. Artinya jika telah tebukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undangundang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Dalam sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada alat-alat bukti, akan mengesampingkan tugas hakim dalam kaitan dengan upaya untuk menciptakan hukum. Menurut D. Simons (dalam Andi Hamzah, 1983 ; 229), sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Bahkan lebih dari itu, kebenaran dari putusannya pun terdapat peluang untuk tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Sebab, dapat saja barang bukti yang dihadirkan dalam siding pengadilan merupakan hasil rekayasa.

16 2) Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada keyakinan hakim, yaitu sistem pembuktian yang hanya mendasarkan pada keyakinan hakim semata, dan yang jelas akan menonjol adalah sikap subjektifitas dari hakim. Dalam sistem ini hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Tentunya selalu ada alasan berdasar atas pikiran secara logika, yang mengakibatkan seorang hakim mempunyai pendapat tentang terbukti atau tidaknya suatu tindak pidana. Masalahnya adalah, bahwa dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan menyebutkan alasan-alasan itu. Dan kalau hakim menyebutkan alat bukti yang ia pakai, maka hakim dapat memakai alat bukti apa saja. Keberatan dalam sistem ini adalah, bahwa terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketepatan kesan-kesan perseorangan belaka dari seorang hakim. 3) Sistem pembuktian yang didasarkan pertimbangan hakim yang logis, dalam sistem ini peranan alat bukti telah ditiadakan dan yang menjadi pertimbangan hanya nilai rasionalitas dari suatu kejadian. Sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan ia pergunakan (Andi Hamzah, 1983 ; 232). 4) Sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian yang selain didasarkan pada keyakinan hakim, juga didasarkan pada alat-alat bukti yang ada. Dalam

17 sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu : a) Wettelijk; adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undangundang. b) Negatief; adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan buktibukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang tidak bias ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Hari Sasangka & Lily Rosita, 1996 ; 17). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negative "menggabungkan" ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Bertitik-tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :

18 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Asas Negatief Wettelijk Stelsel ini diatur juga dalam Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah dijelaskan beberapa sistem pembuktian sebagai bahan perbandingan, pada bagian ini Penulis hendak mengkaji system pembuktian yang dianut dan diatur didalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditegaskan "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dalam rumusan Pasal tersebut sangat jelas bahwa tanpa dua alat bukti yang sah maka seorang terdakwa tidak dapat dipidana. Sama halnya bagi Polri ataupun pihak kejaksaan (kasus Tindak Pidana Tertentu) dalam melakukan penangkapan harus mempunyai bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Akan tetapi sebaliknya apabila terdapat cukup bukti maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukannya. Menurut Hukum Acara Pidana yang dinamakan sistem negatif menurut Undang- Undang, sistem mana terkandung dalam Pasal 294 ayat (1) RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), yang berbunyi sebagai berikut : "Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah,

19 memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya". (R. Subekti, 1983 ; 7) Berdasarkan rumusan Pasal 294 ayat (1) RIB dapat diberikan pengertian bahwa sistem negatif menurut Undang-Undang tersebut di atas, mempunyai maksud sebagai berikut : 1. Untuk mempermasalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan suatu minimum pembuktian, yang ditetapkan dalam undang-undang. 2. Namun demikian, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempermasalahkan dan menghukum terdakwa tersebut. Berdasarkan sistem yang telah diuraikan di atas, yang pada akhirnya menentukan nasibnya si terdakwa adalah keyakinan Hakim. Jika, biarpun bukti bertumpuktumpuk hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa itu, ia harus membebaskannya. Karena itu, maka dalam tiap-tiap putusan hakim pidana, yang menjatuhkan hukuman, dapat kita baca pertimbangan: "bahwa Hakim, berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa". C. Tujuan dan Guna Pembuktian Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :

20 a) Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. b) Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. c) Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar membuat putusan (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 1996 ; 7-9). D. Pengertian Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana alat-alat tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang apa saja kah yang menjadi bukti yang sah menurut Hukum Formil ini. Ditegaskan bahwa Alat bukti yang sah ialah : 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat,

21 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan satu persatu berdasarkan teori hukum yang Penulis pelajari. a. Keterangan saksi Saksi adalah setiap orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana. Agar suatu keterangan saksi atau kesaksian dapat dianggap sah dan memilki kekuatan pembuktian, maka harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang telah saksi lihat, dengar atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (pengertian keterangan saksi berdasarkan Pasal 1 butir 27 KUHAP). 2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti yang sah lainnya. 3) Bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai hasil dari pemikiran. 4) Harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan sumpah. 5) Harus diberikan di muka sidang pengadilan. 6) Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti bila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga dapat menggambarkan suatu kejadian tertentu.

22 Untuk menilai kebenaran atas keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti, maka hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut (Pasal 185 ayat (6) KUHAP): 1) Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya. 2) Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. 3) Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu. 4) Cara hidup dan kesusilaan serta hal-hal lain yang pada umumnya mempengaruhi dapat tidaknya keterangan tersebut dipercaya. b. Keterangan ahli Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memilki keahlian khusus mengenai suatu hal yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara pidana demi kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan dibawah sumpah (P asal 186 KUHAP). Selain itu, keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu bentuk laporan (Pasal 133 jo penjelasan Pasal 186 KUHAP). Visum et repertum merupakan alat bukti yang dikatakan memiliki dualisme sebagai alat bukti dimana visum menyentuh dua sisi alat bukti yang sah menurut undang-undang; yaitu keterangan ahli dan surat. Visum sebagai alat bukti keterangan ahli merupakan bentuk dari keterangan ahli yang diberikan pada waktu penyidikan dan dituangkan dalam bentuk laporan (sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP).

23 c. Surat Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan dengan sumpah. Dalam Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu: 1) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang didengar/dilihat/dialami sendiri disertai alasan yang jelas mengenai keterangan tersebut. 2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya. 3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal yang dimintakan secara resmi kepadanya. 4) Surat lain yang berhubungan dengan alat bukti yang lain. Alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan memiliki kekuatan mengikat bagi hakim (volledig en beslissende bewijskracht). Namun demikian, kesempurnaan dan kekuatan mengikat tersebut hanyalah secara formal. Pada akhirnya, keyakinan hakimlah yang menentukan kekuatan pembuktiannya. Berdasarkan keterangan tersebut, visum et repertum juga dapat digolongkan sebagai alat bukti surat yaitu surat keterangan seorang ahli atas suatu hal yang dibuat berdasarkan keahliannya, dan dimintakan secara resmi kepadanya oleh penyidik.

24 d. Petunjuk Petunjuk adalah suatu isyarat yang dapat ditarik atas suatu perbuatan atau kejadian atau keadaan yang bersesuaian, sehingga menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh secara terbatas dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan bila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan Terdakwa. e. Keterangan Terdakwa Keterangan Terdakwa dapat diberikan di dalam dan diluar sidang. Yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah keterangan Terdakwa di hadapan sidang. Keterangan yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang; selama didukung oleh suatu alat bukti yang sah lainnya. Adapun keterangan Terdakwa sebagai alat bukti, tanpa disertai oleh alat bukti lainnya, tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Hal ini merupakan ketentuan beban minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dua alat bukti yang sah menurut undangundang. E. Tinjauan Umum Tentang Penganiayaan Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal ini disebut dengan penganiayaan. Dalam KUHP Pasal 351 ayat (4), yang termasuk dalam pengertian penganiyaan ialah perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan

25 orang. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : Suatu perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut perasaan atau batiniah. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia. Ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan. Hukum pidana positif membedakan antara penganiayaan ( persecution) dengan penyiksaan ( torture). Sebaiknya dibedakan terlebih dulu penyiksaan dengan penganiayaan, yaitu : a. Pertama, dari jenis hukum yang melingkupi, penyiksaan termasuk dalam yurisdiksi hukum hak-hak manusia dan dikenal juga sebagai perjanjian internasional tentang hak-hak manusia. Sementara penganiayaan termasuk dalam hukum pidana. Selama ini istilah penyiksaan memang tak pernah terdapat dalam hukum pidana. b. Kedua, penyiksaan termasuk salah satu hak manusia yang tak boleh ditangguhkan dalam keadaan apa pun, bahkan dalam keadaan perang atau

26 darurat sekalipun, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pelanggaran hakhak manusia yang berat. Sementara penganiayaan dapat berupa penganiayaan ringan dan dapat pula penganiayaan berat. c. Ketiga, pelaku penyiksaan sesuai jenis hukumnya adalah aparat negara, secara khusus adalah aparat penegak hukum, sehingga termasuk sebagai tanggung jawab negara. Sementara pelaku penganiayaan adalah individu dan dengan begitu sebagai tanggung jawab individu. d. Keempat, memang korban penyiksaan maupun penganiayaan sama-sama individu, tapi pelaku penganiayaan yang ditangani proses hukumnya oleh aparat penegak hukum dapat saja menjadi korban penyiksaan. Dan memang kebanyakan korban penyiksaan adalah mereka yang diduga melakukan perbuatan kriminal. e. Kelima, pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara penganiayaan diproses melalui mekanisme pengadilan pidana. Sementara pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara penyiksaan diproses melalui mekanisme pengadilan hak-hak manusia (Leden Marpaung, 1999 ; 10-11). Leden Marpaung (1999 ; 5), mengemukakan pengertian penganiayaan adalah menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :

27 a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain (Leden Marpaung, 1999 ; 6). Adami Chazawi (1999 ; 14) mengemukakan bahwa penganiayaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak. Berdasarkan uraian di atas, dapat diartikan bahwa penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh. Jika perbuatan itu menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidak merupakan penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak dengan tujuan untuk mendidik.