PENEGAKAN HUKUM LAUT DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERINTEGRASI DI INDONESIA. Dirhamsyah 1)

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

Hukum Laut Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERANANDANKEDUDUKANPEMERINTAHPUSAT DANDAERAHDALAMPENGEMBANGAN WILAYAHPERBATASANLAUT 1

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kementerian Kelautan dan Perikanan

2 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the La

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2008 TENTANG

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 109 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT TUMPAHAN MINYAK DI LAUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal,

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencemaran laut adalah perubahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PENELITIAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LAUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

SISTEMATIKA PEMAPARAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2011 TENTANG KUNJUNGAN KAPAL WISATA (YACHT) ASING KE INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN PERGURUAN TINGGI DALAM KAWASAN PERBATASAN KAWASAN NEGARA 1) Dr. Bambang Istijono, ME 2)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

TATA KELOLA KEAMANAN LAUT INDONESIA DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENGEMBANGAN POROS MARITIM DUNIA

Transkripsi:

Oseana, Volume XXXII, Nomor 1, Tahun 2007 : 1-13 ISSN 0216-1877 PENEGAKAN HUKUM LAUT DI INDONESIA Oleh Dirhamsyah 1) ABSTRACT MARITIME LAW ENFORCEMENT IN INDONESIA. The purpose of this paper is providing a propose solution for addressing the problems in conducting maritime law enforcement in Indonesian waters territory, particularly in coastal areas. Descriptive Qualitative approach is employed in this study. Primary data are collected from literature and desktop studies. Data analysis is conducted through the qualitative approach. This paper examines the monitoring and maritime law enforcement systems existing in Indonesian waters. It is clear that the complex problems in the maritime law enforcement system in Indonesia. Including: the lack of funding, facilities, trained personnel; the lack of inter-agency coordination mechanisms and communications among the various enforcement agencies; lack of environmental and natural resource awareness. The establishment of a national body in maritime law enforcement activities in coastal areas or coast guard is one of alternative solutions that proposed for addressing coordination and institutional problems in the operational of maritime law enforcement in Indonesian coastal areas. PENDAHULUAN Laut beserta isinya adalah suatu hal yang sangat vital untuk bangsa Indonesia. Total jurisdiksi nasional Indonesia, diperkirakan seluas hampir 7,8 juta km 2 yang terdiri dari 1,9 juta km 2 luas daratan, 2,8 juta km 2 luas perairan nusantara (archipelagic waters), 0,3 juta km 2 luas perairan territorial laut dan 2,7 juta km 2 luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas perairan dan sumberdaya yang berada di dalamnya dapat memberikan implikasi positif bagi perekonomian Indonesia. Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai negera yang kaya akan kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi, baik yang sumberdaya alam yang terbarukan (renewable resources) maupun yang tidak dapat terbarukan (un-renewable resources), Potensi ekonomi yang sangat besar yang terkandung di perairan laut dan pesisir Indonesia, antara lain berupa perikanan, baik tangkap maupun budidaya, industri bioteknologi

laut, industri pertambangan laut yaitu minyak bumi, mineral dan energi; parawisata laut, perhubungan laut dan sumberdaya laut lainnya. Namun sayangnya keunggulan kompetitif tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Seperti halnya negaranegara berkembang lainnya di dunia, Indonesia juga masih menghadapi kendala dalam pengelolaan, konservasi dan perlindungan kawasan laut beserta ekosistem dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya. PERMASALAHAN DAHURI (1995); NONTJI (2000) dan DIRHAMSYAH (2005) berpendapat bahwa masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya alam lautnya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah sebagai berikut: a. Lemahnya penegakan hukum;. b. Lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah; c. Tingginya tekanan ekonomi kepada para nelayan yang menyebabkan tekanan terhadap ekosistem laut juga semakin tinggi; d. Ketiadaan kebijakan nasional dalam pembangunan kelautan; e. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang manfaat dari ekosistem laut untuk kepentingan umat manusia; dan f. Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan ekosistem laut yang terintegrasi, bijaksana dan berkesinambungan. Tulisan ini bertujuan memberikan alternatif solusi untuk Pemerintah Indonesia dalam memecahkan masalah penegakan hukum di laut. Secara spesifik, akan mengkaji masalahmasalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam hal penegakan hukum di laut, seperti masalah kelembagaan, sistem penegakan hukum, sarana dan prasarana. Disamping itu, juga akan dikaji manfaat dari "coast guard unit", sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah sistem koordinasi dan kelembagaan dalam kegiatan penegakan hukum di perairan laut Indonesia. METODOLOGI PENELITIAN Data sekunder dikumpulkan dan dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang baik dan memenuhi persyaratan. Teknik utama yang digunakan untuk memperoleh data sekunder tersebut adalah dengan cara menginventarisasi berbagai ketentuan atau peraturan hukum yang mengatur tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang melaksanakan kegiatan penegakan hukum di perairan dan kapal laut yang berbendera Indonesia. Disamping itu, juga dikumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi dalam kegiatan penegakan hukum di perairan Indonesia yang telah dibahas atau ditulis oleh peneliti sebelumnya. Analisa data dilakukan secara kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskripsi, tabulasi atau grafik untuk mengungkapkan informasi, proses dan hasil analisis secara tajam dan mudah dimengerti dengan tetap memiliki kelayakan akademik. KAJIAN INFORMASI YANG DIPEROLEH Lembaga Otoritas Penegakan Hukum di Perairan Laut Indonesia Penegakan hukum dan peraturan yang mengatur aktivitas-aktivitas di perairan laut dan pesisir Indonesia dilakukan oleh beberapa lembaga pemerintah secara bersama-sama.

Dalam kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam laut di kawasan laut dan pesisir, terdapat dua kementerian utama yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum. Kedua departemen pemerintah tersebut adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) serta Departemen Kehutanan (DEPHUT). Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Laut dan Perikanan (DITJEN PSLP) adalah jabatan setingkat eselon I di DKP yang bertanggung jawab dan berfungsi untuk melaksanakan kegiatan pemantauan (monitoring), pengawasan (control), pengintaian/pengamatan (surveillance) dan penegakan hukum (enforcement) dari peraturanperaturan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan sumberdaya alam laut lainnya. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DITJEN PSLP dibantu oleh dua direktorat, jabatan setingkat eselon II yang berada di bawahnya yaitu Direktorat Pengawasan Ekosistem Laut dan Direktorat Pengawasan Sumberdaya Ikan. Pengawasan wilayah pesisir juga merupakan salah satu fungsi dari Direktorat Pengawasan Ekosistem Laut. Bersama-sama dengan Angkatan Laut (TNI AL) dan Polisi Laut (POLAIRUD), direktorat ini melakukan pemantauan, pengawasan, pengintaian dan penegakan hukum di dalam perairan territorial laut Indonesia. Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (DITJEN PHKA) DEPHUT, juga lembaga utama pemerintah yang melaksanakan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di kawasan suaka alam laut (marine protected areas) di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdapat empat jenis kawasan suaka alam laut di Indonesia, yaitu taman nasional laut, taman wisata laut, cagar alam laut, dan kawasan suaka/pelestarian laut dan perairan. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut baik DKP dan DEPHUT memiliki pegawai yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penelitian dan penyelidiki terhadap kegiatan-kegiatan yang dilarang di masingmasing sektor kewenangannya. Pegawai tersebut dikenal sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal ini diatur Pasal 31 UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Pasal 77 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kedua UU tersebut memberikan kewenangan kepada kedua lembaga pemerintah tersebut, agar supaya memiliki pegawai negeri sipil yang mempunyai kewenangan khusus dalam hal penyidikan pelanggaran yang berada di bawah kewenangannya masing-masing. Selain kedua departemen tersebut di atas, juga terdapat beberapa lembaga pemerintah pusat lainnya yang terlibat dalam kegiatan penegakan hukum di laut. Lembagalembaga tersebut adalah Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH), Departemen Perhubungan (DEPHUB), Direktorat Jenderal Imigrasi - Departemen Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Bea Cukai - Departemen Keuangan, Angkatan Laut (TNI AL), Kepolisian Republik Indonesia (POLAIRUD). KLH secara formal tidak melaksanakan kegiatan pengawasan atau patroli di kawasan laut dan pesisir, tetapi lembaga ini juga berwenang untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup laut dan pesisir di Indonesia. KLH juga memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum dalam pengelolaan lingkungan laut dan pesisir, seperti halnya DKP dan DEPHUT. POLAIRUD mempunyai tugas utama dalam penegakan hukum dan peraturan perundangan dalam bidang kelautan, penyelundupan barang dan obat-obat terlarang, imigrasi dan kegiatan-kegiatan perlindungan masyarakat lainnya. Namun kewenangan untuk

pelaksanaan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum hanya terbatas di perairan territorial Indonesia saja. TNI AL, seperti halnya angkatan bersenjata pada negara-negara lain di dunia, mempunyai tanggung jawab utama pada perlindungan dan mempertahankan kedaulatan nasional. Namun sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, TNI AL juga bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum tidak hanya terbatas pada wilayah territorial Indonesia saja, tetapi juga pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan pada semua kapal laut yang berbendera Indonesia yang sedang berlayar di laut bebas (high seas). Dalam usaha untuk meningkatkan koordinasi kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di perairan Indonesia, termasuk ZEE, sebuah lembaga koordinasi nasional telah dibentuk. Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung pada tahun 1972. Keanggotaan dari badan koordinasi ini terdiri dari perwakilan dari TNI AL, POLRI, Bea Cukai, Departemen Kehakiman dan Jaksa Agung. SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI PERAIRAN INDONESIA Untuk menjamin terciptanya kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan dalam bidang kelautan, saat ini Pemerintah Indonesia menjalankan dua kegiatan penegakan hukum di laut yaitu: pengawasan atau patroli laut (sea patrols) dan pengintaian atau pengamatan dari udara (maritime surveillance). Pengamatan dari udara dilaksanakan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (TNI AU). Fokus dari pengamatan udara yaitu seluruh perairan Indonesia, termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan daerah Ekonomi Eksklusif Indonesia. ALKI adalah alur laut yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk alur pelayaran kapal-kapal asing yang melewati perairan teritorial Indonesia, sebagai salah satu konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (the United Nations of the Law of the Sea Convention). Terdapat 3 alur laut yang telah ditetapkan oleh Indonesia, yaitu: (1) Selat Sunda-Selat Karimata-Laut Cina Selatan; (2) Selat Lombok-Selat Makasar-Laut Sulawesi; dan (3) Tiga alur tambahan (optional routes) ke atau dari Samudera Pasifik : Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-Selat Ombai-Laut Sawu; Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-Selat Leti-Laut Timor; dan Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-Laut Arafura (AGOES, 1997). Pengamatan dari udara adalah kegiatan penting di dalam pelaksanaan penegakan hukum di perairan Indonesia. Namun, ketiadaan perencanaan dan implementasi kegiatan penegakan hukum di laut telah menyebabkan pengamatan dari udara kurang begitu efektif (KARDI, 2003 pada MAJALAH ANGKASA edisi 8 Mei 2003). Hal ini tercermin dengan tidak terpakainya data dan informasi yang telah dikumpulkan oleh kegiatan pengamatan udara oleh lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang, seperti DKP. Problem kekurangan dana dan keterbatasan sarana dan prasarana dari operasi pengamatan udara juga memperparah pelaksanaan kegiatan pengamatan laut dari udara di Indonesia. Oleh karena itu kegiatan penegakan hukum di perairan Indonesia lebih banyak dilaksanakan oleh patroli pantai dan

laut. Kegiatan pengamatan dari udara hanya dipergunakan untuk kegiatan operasi pertolongan kecelakaan di laut (safety-at-sea), Search and Rescue (SAR), dan operasi pengejaran perompak (hotpursuit) dan nelayan asing yang melakukan praktek penangkapan terlarang. Terdapat beberapa tugas dari patroli laut dalam kaitan penegakan hukum terhadap peraturan perundangan yang berlaku di perairan Indonesia. Paling sedikit terdapat dua tugas yang dibebankan kepada gugus tugas patroli laut di dalam kawasan pesisir atau territorial Indonesia. Tugas pertama dari patroli laut adalah pemantauan, pengawasan, dan pengintaian/pengamatan terhadap kegiatan kapal-kapal penangkapan ikan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh DIRJEN PSLP-DKP, TNI AL dan POLAIRUD. Untuk menjalankan kegiatan tersebut saat ini DKP memiliki 9 unit kapal "surveillance". Kapal-kapal tersebut dilengkapi dengan radio, radar, dan peralatan navigasi lainnya. 9 kapal pengawasan milik DKP tersebut ditempatkan di 7 wilayah perairan yaitu: Jakarta, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, Kalimantan Barat dan Laut Banda. Tugas kedua yang dilaksanakan oleh patroli laut untuk kawasan pesisir adalah pemantauan, pengawasan, dan pengintaian/ pengamatan untuk kegiatan konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati laut. Tugas ini biasanya dilakukan oleh Ditjen PHKA-DEPHUT, dengan bantuan dari TNI AL dan POLAIRUD. Selain hal tersebut, patroli laut juga dilaksanakan di perairan ZEE Indonesia, dan perairan yang berbatasan dengan negara tetangga. Patroli ini bertujuan untuk menjaga kedaulatan nasional dan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan terlarang lainnya, seperti: penyelundupan, perompakan, kegiatan penangkapan ikan terlarang. Patroli ini dilaksanakan oleh beberapa lembaga pemerintah, antara lain TNI AL, POLAIRUD, Bea Cukai, Imigrasi, dan DKP. PROBLEM DALAM PENEGAKAN HUKUM LAUT DI INDONESIA Indonesia telah memiliki banyak hukum yang mengatur masalah pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, tetapi pada kenyataannya masih terlihat tingginya derajat ketidakpatuhan untuk mengikuti peraturanperaturan tersebut. Ini tercermin dengan meluasnya praktek penangkapan biota terlarang di hampir semua wilayah pesisir di Indonesia, bahkan juga terjadi pada kawasan yang sangat terpencil (remote area) sekalipun. Kegiatan penegakan hukum di Perairan Indonesia, menghadapi kendalakendala yang sangat mendasar. Kendala-kendala tersebut terjadi hampir disemua aspek dari kegiatan penegakan hukum, dimulai dari kegiatan pemantauan sampai kepada kegiatan penuntutan dan penahanan para tersangka pelaku kegiatan terlarang. Secara umum dapat dikatakan bahwa problem-problem disebabkan oleh adanya beberapa faktor antara lain (1) keterbatasan anggaran, (2) keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang terlatih, (3) keterbatasan sarana dan prasarana, (4) lemahnya mekanisme koordinasi antar lembaga dan komunikasi diantara lembaga-lembaga penegak hukum, (5) rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya lingkungan hidup dan sumberdaya alam untuk umat manusia, dan (6) luasnya kawasan perairan yang harus dikontrol oleh tim penegakan hukum. Keterbatasan Anggaran Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1998, telah menghantam hampir semua sendi kehidupan di Indonesia. Krisis ekonomi ini telah memaksa Pemerintah Indonesia untuk melakukan penataan ulang penggunaan dana pemerintah, dengan menempatkan program-program pengentasan

kemiskinan pada prioritas yang paling tinggi. Hal ini mengakibatkan program penegakan hukum di perairan Indonesia prioritasnya menjadi rendah dalam sistem pembiayaan dana pemerintah. Kondisi ini jelas mempengaruhi kinerja seluruh lembaga penegakan hukum di Indonesia. Keterbatasan anggaran telah menyebabkan kesulitan untuk membiayai operasional untuk patroli, pengadaan sarana dan prasarana, perawatan dan pemeliharaan alat, dan pembiayaan personil (TORELL & SALAMANCA, 2001). Pada akhirnya kondisi ini menyebabkan menurunnya jumlah dan kualitas patroli laut dan pengamatan dari udara secara drastis. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Sembilan kapal pengawas yang dimiliki oleh DKP masih jauh dari mencukupi untuk dapat menjalankan patroli laut yang efektif di kawasan laut dan pesisir Indonesia. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab melaksanakan kegiatan penegakan hukum terhadap manajemen perikanan di Indonesia, DKP membutuhkan paling sedikit 90-100 kapal patroli untuk mengawasi luasnya areal penangkapan ikan di Indonesia (KOMPAS, 11 September 2003). Kondisi keuangan yang dihadapi oleh DKP saat ini diperkirakan bahwa seluruh pengadaan sarana dan prasarana pengawasan, termasuk kapal dan peralatan untuk patroli laut baru dapat direalisasikan sekitar 20 tahun ke depan, dengan pertimbangan bahwa berdasarkan dana yang tersedia saat ini DKP hanya mampu membangun 5 kapal patroli per tahun (KOMPAS, 11 September 2003). Keterbatasan peralatan dan sarana kapal juga merupakan masalah pelik yang dihadapi oleh TNI AL dan DEPHUT. Untuk melaksanakan patroli laut yang efektif di seluruh perairan jurisdiksi Indonesia, TNI AL diperkirakan membutuhkan paling sedikit 300 kapal (besar dan kecil). Saat ini TNI AL hanya memiliki 115 kapal, dimana hanya 25 diantaranya yang dapat beroperasi di laut (DJALAL, 2004). Sebagai salah satu leading agency dalam kegiatan perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati laut di Indonesia, DEPHUT juga mengalami masalah yang sama dalam penyediaan fasilitas untuk kegiatan penegakan hukum di wilayah kewenangannya. Keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana serta SDM menyebabkan kegiatan penegakan hukum di daerah kawasan lindung kurang begitu efektif, termasuk dalam kawasan taman nasional laut, taman rekreasi laut, dan kawasan suaka alam laut lainnya. Kurang efektifnya penegakan hukum di kawasan lindung, juga telah menyebabkan tingginya praktek penangkapan ikan dan sumberdaya laut lainnya dengan menggunakan alat-alat terlarang di berbagai kawasan lindung di Indonesia. Praktek penangkapan tersebut bahkan terjadi di kawasan yang benar-benar harus dilindungi, seperti terjadi pada kawasan Taman Nasional Komodo. Praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun dan alatalat terlarang lainnya masih sering terjadi di Pulau Komodo sampai saat ini (PET & DJOHANI, 1998). Keterbatasan SDM yang terlatih Keterbatasan anggaran yang terjadi di banyak institusi penegak hukum telah mengakibatkan timbulnya keterbatasan jumlah pelatihan yang dapat diberikan kepada para pegawai yang terlibat dalam kegiatan penegakan hukum di laut. Banyak lembaga-lembaga penegak hukum tidak dapat melaksanakan pelatihan-pelatihan dasar dalam bidang penegakan hukum kepada stafnya, karena keterbatasan dana. Padahal melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan profesionalitas dan ketrampilan para penegak hukum dapat ditingkatkan. Lembaga-lembaga tersebut juga

tidak dapat bersaing dengan instansi swasta untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang terlatih untuk bekerja di lembaga mereka, karena mereka tidak dapat memberikan fasilitas yang menarik dan membayar gaji yang sesuai dengan kemampuannya. Masalah keterbatasan kualitas dan kuantitas tenaga yang terlatih dalam bidang penegakan hukum di laut, sudah menjadi suatu hal yang sangat mendesak. Lemahnya sistem koordinasi Koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang penegakan hukum di Perairan Indonesia sangat lemah. Pembentukan BAKORKAMLA sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan koordinasi diantara lembaga-lembaga penegak hukum di Perairan Indonesia, tetapi pada kenyataannya BAKORKAMLA belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini dinyatakan oleh SUSILO BAMBANG YUDOYONO (2004), sewaktu beliau masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan di era Pemerintahan Megawati. Beliau menyatakan: "BAKORKAMLA belum menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang diharapkan" (TEMPO Interaktif Online, 27 Januari 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa lembaga ini tidak dapat menanggulangi masalah tindak kriminal antar negara (transnational crimes) yang meningkat secara signifikan pada akhir-akhir ini. Ketidakefektifan program penegakan hukum di Indonesia diperkirakan telah merugikan Indonesia sebesar kurang lebih Rp. 90 triliyun per tahunnya (TEMPO Interaktif Online, 27 Januari 2004). Masalah koordinasi antar lembaga pemerintah dalam bidang penegakan hukum, kelihatannya semakin diperparah oleh ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga itu sendiri. Penanggulangan masalah pencemaran Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta oleh tumpahan minyak (oil spills) adalah salah satu contoh yang jelas betapa lemahnya sistem koordinasi yang ada dalam sistem penegakan hukum lingkungan di Perairan Indonesia. Walaupun sejak tahun 2003 telah terjadi 5 kali tumpahan minyak yang mencemari perairan Kepulauan Seribu, tidak terlihat adanya tanggapan aksi yang efektif dari pihak Pemerintah. Kejadian terakhir kali yang terjadi pada tahun 2004 menunjukan betapa lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum di Indonesia. Pada saat kejadian tersebut beberapa lembaga pemerintah di bidang penegakan hukum, antara lain DKP, KLH, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sebagai wakil dari DEPHUT mengirimkan wakil-wakilnya ke perairan Kepulauan Seribu untuk melakukan investigasi permasalah tersebut, namun lemahnya koordinasi diantara mereka menyebabkan sampai saat ini tidak satupun perusahaan minyak yang beroperasi di perairan tersebut dituntut ke pengadilan (KOMPAS, edisi 8 Oktober 2004). Mereka bekerja secara sendirisendiri dan hanya berpedoman kepada tugas dari masing-masing lembaga. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan Efektifnya kegiatan penegakan hukum sangat ditentukan oleh tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan. Kepatuhan tersebut dapat dicapai melalui kegiatan penyadaran masyarakat atau kampanye tentang pentingnya lingkungan dan sumberdaya alam untuk umat manusia yang dilakukan secara terus menerus baik sebelum, selama dan sesudah program penegakan hukum ini berlangsung. Walaupun kebutuhan akan pentingnya program pembangunan yang berkesinambungan telah dipahami oleh banyak politisi dan birokrat, sayangnya hanya sedikit dari program

penyadaraan masyarakat yang telah dilaksanakan. Rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang manfaat lingkungan hidup laut diyakini juga sebagai salah satu penyebab turunnya kualitas dan kuantitas ekosistem wilayah pesisir dan laut di Indonesia (NONTJI, 2000). Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat ini telah terjadi di hampir semua strata kehidupan di Indonesia, termasuk pejabat pemerintah, polisi, jaksa dan hakim (GATRA Online, 9 Juli 2002). Banyak para hakim dan jaksa tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk menangani atau mengadili kasus-kasus lingkungan, dari sisi ilmu pengetahuan dengan benar (HAFILD pada KOMPAS edisi 25 Februari 2000). Kondisi ini telah menyebabkan banyak kasus-kasus pelanggaran lingkungan tidak dapat diadili. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak kasus-kasus pembakaran hutan di Riau tidak dapat dihukum karena minimnya pengetahuan dan pemahaman jaksa dan hakim setempat tentang proses dan dampak negatif dari kegiatan pembakaran hutan tersebut terhadap lingkungan secara global (MAKARIM pada GATRA Online, 9 Juli 2002). Luasnya cakupan areal pengawasan Jujur harus diakui bahwa luasnya perairan jurisdiksi Indonesia juga adalah salah satu hal yang menyebabkan sistem pengawasan dan penegakan hukum di perairan Indonesia tidak berjalan efektif. Panjang pantai diperkirakan sekitar 81.000 km yang melingkari 17.506 pulau besar dan kecil dan total perairan seluas hampir 7,8 juta km 2, menyebabkan kapal patroli yang ada tidak dapat melakukan pengawasan secara efektif terhadap seluruh kawasan laut dan garis pantai. Hal ini diperparah dengan adanya kenyataan bahwa kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di laut adalah sesuatu kegiatan yang membutuhkan biaya sangat besar. Kegiatan pengawasan di laut jauh lebih mahal dibandingkan dengan pengawasan di darat. Hal ini disebabkan bahwa biaya untuk operasional dan pemeliharaan kapal dan peralatan navigasi lainnya memang sangat mahal. Kemampuan lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum dan peraturan di Perairan Indonesia sangat terbatas, oleh karena itu wajar bila mereka masih mempergunakan metode yang sangat konvensional dengan kapal dan pesawat terbang yang sangat terbatas. Lebih lanjut harus diakui bahwa kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di laut lebih sulit dibanding dengan kegiatan penegakan hukum yang dilakukan di daratan. Oleh karena itu wajar bila kegiatan penegakan hukum di laut akan "menghasilkan" lebih sedikit jumlah kriminal yang ditangkap bila dibandingkan dengan kegiatan penegakan hukum di darat, walaupun mungkin pelanggaran yang terjadi di laut jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan yang terjadi di daratan (SUTINEN et al., 1992). KA JIAN DATA YANG DIKUMPULKAN Dari data yang dikumpulkan dan dianalisis menunjukkan bahwa, betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam menjalankan sistem pengawasan dan penegakan hukum di perairan laut territorialnya. Kompleksitas problem yang dihadapi membutuhkan pendekatan yang terintegrasi untuk memecahkan. Diskusi di bawah ini mencoba memberikan alternatif pemecahan masalah kepada Indonesia untuk memecahkan permasalahan dalam kegiatan penegakan hukum di Perairan Indonesia. Namun, karena keterbatasan waktu dan ruang, makalah ini hanya akan membahas pemecahan masalah dalam hal sistem koordinasi dan kelembagaan dari kegiatan penegakan hukum di Perairan Indonesia saja.

Sebelum melakukan pembahasan mengenai alternatif pemecahan masalah, penting untuk mengetahui terlebih dahulu latar belakang analisis atau justifikasi dari usulan untuk pemecahan masalah tersebut. Ada tiga parameter atau prinsip yang akan dipakai dalam analisis pemecahan masalah, (1) kondisi alam yang diawasi oleh sistem penegakan hukum di Indonesia, (2) perkembangan-perkembangan yang terjadi pada aspek penegakan hukum di laut di Perairan Indonesia, dan (3) penggunaan prinsip-prinsip efisien dan efektif. Kondisi Alam Ini fakta bahwa Indonesia memiliki perairan laut yang sangat luas. Kondisi ini memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumberdaya alam yang ada di dalam perairan tersebut. Namun, luasnya perairan laut juga memberikan masalah bagi Indonesia untuk menjaganya. Berdasar pertimbangan kondisi dan situasi tersebut, sangat disarankan agar Indonesia dapat membagi cakupan wilayah penegakan hukum menjadi 2 wilayah operasi. Wilayah pertama disebut juga offshore area, terdiri dari wilayah pesisir dan perairan teritorial 12 mil. Wilayah kedua adalah wilayah di luar perairan territorial, terdiri dari ZEE, landas kontinen dan zona tambahan. Pembagian wilayah operasi ini penting agar prinsip efisiensi dan efektif dapat tercapai dalam pelaksanaan program penegakan hukum di Perairan Indonesia. Melalui pembagian dua kawasan operasi penegakan hukum dapat dipisahkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, hukum dan peraturan perundangan yang cocok untuk kawasan yang bersangkutan, dan lembaga apa yang paling cocok dan bertanggung jawab untuk masing-masing kawasan. Perkembangan terakhir dalam otonomi daerah Tidak dapat disangkal bahwa desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah suatu usaha yang sangat signifikan yang telah diperbuat oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kinerjanya dalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Oleh karena itu apapun solusi yang disarankan harus tidak menghilangkan atau mengurangi prinsip-prinsip otonomi daerah. Berdasar pertimbangan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah), reasonable bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mendirikan lembaga pengawasan pantai dan perairan kawasan pesisir (coast guard) di tingkat pusat dan daerah. Prinsip Efisiensi dan Efektif Biaya adalah salah satu aspek yang selalu menjadi pusat perhatian pemerintah dalam setiap kegiatan pembangunan. Oleh karena itu aspek efisiensi dan efektivitas dalam pembentukan suatu sistem penegakan hukum merupakan hal yang harus diperhatikan. SUTINEN & VISWANATHAN (1999) dalam TORELL & SALAMANCA (2001) menyatakan bahwa suatu sistem penegakan hukum yang baik membutuhkan biaya yang besar dan mahal untuk pengadaan fasilitas peralatannya, diperkirakan paling sedikit seperempat sampai lebih dari setengah dana pemerintah negaranegara berkembang akan habis bila dipergunakan untuk membiayai kegiatan ini. Faktor pembiayaan adalah faktor yang sangat menentukan untuk sukses atau gagalnya suatu sistem penegakan hukum di laut. Pengalaman yang terjadi pada banyak kasus menyatakan bahwa penggunaan pendekatan sipil (masyarakat) untuk kegiatan penegakan hukum di sektor perikanan terlihat jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan penggunaan pendekatan militer atau polisi (FLEWWELLING et al.,2002).mengacu

pada pengalaman tersebut suatu hal yang wajar bila suatu ketika Indonesia mempergunakan pendekatan sipil atau mengurangi keterlibatan militer dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah pesisir. Hal ini bukan berarti akan penghapus fungsi militer dalam penegakan hukum di laut, militer juga dapat menjalankan tugas/fungsi perbantuan jika sipil membutuhkan bantuan dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah pesisir. Militer juga dapat berfungsi aktif atau menjadi leading sector dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di luar wilayah pesisir atau di luar wilayah perairan territorial, seperti ZEE dan landas kontinen. Berdasarkan justifikasi-justifikasi tersebut di atas, makalah ini mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu badan/lembaga baru dalam pengelolaan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di perairan kawasan pesisir. Lembaga tersebut adalah lembaga pengawasan pantai dan perairan kawasan pesisir (coast guard). Pendirian Coast guard Unit Undang-Undang Otonomi Daerah telah memerinci secara jelas hak dan tanggung jawab dari pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Daerah mendapatkan kewenangan untuk mengelola perairan lautnya sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai, yang selanjutnya dapat didefinisikan sebagai "kawasan pesisir". Sedangkan pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengelola kawasan perairan laut di luar kawasan pesisir atau areal di luar 12 mil laut dari garis pantai. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk pemerintah pusat terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan pesisir, termasuk kegiatan penegakan hukum, walaupun secara formal dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa pemerintah pusat masih memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang pertahanan dan keamanan, serta beberapa fungsi pemerintahan yang strategis (Pasal 10 UU No. 32 tahun 2004). Namun faktanya, sampai saat ini masih banyak lembaga pemerintah pusat yang terlibat langsung dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, termasuk kegiatan penegakan hukum di kawasan tersebut. Kondisi ini menyebabkan sering timbulnya konflik antar pemerintah pusat dan daerah atau konflik antar lembaga pemerintah pusat itu sendiri. Hal ini jelas akan menimbulkan inefisiensi dan inefektif dalam pelaksanaan kegiatan dan program penegakan hukum di kawasan ini. Pembentukan Coast guard sebuah badan nasional yang bertanggung jawab secara khusus mengenai kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di laut merupakan suatu solusi untuk memecahkan masalah koordinasi baik untuk tingkat nasional maupun tingkat regional (provinsi dan/atau kabupaten). Usulan pembentukan lembaga coast guard sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Usulan ini telah muncul di Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi usulan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang positif atau persetujuan (DJALAL, 2004). Makalah ini diharapkan dapat membantu merealisasi rencana pembentukan coast guard di Indonesia. Lembaga Coast guard ini akan mempunyai beberapa fungsi utama. Fungsi pertama yaitu mengkoordinir semua kegiatan pengawasan dan penegakan hukum yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada. Seperti telah diinformasikan di atas bahwa banyak lembaga pemerintah yang terlibat kegiatan penegakan hukum di kawasan pesisir, antara lain DKP, DEPHUT, TNI AL, POLAIRUD, KLH, Bea Cukai dan Imigrasi, akan tetapi tidak ada mandat yang jelas lembaga mana yang berhak memimpin operasi penegakan hukum. Setiap lembaga merasa semua pihak memiliki kewenangan yang sama dalam hal penegakan hukum di laut. Penegakan hukum di laut bukan hanya untuk kegiatan perikanan atau kegiatan perlindungan ekosistem laut saja, tetapi juga 10

berkaitan dengan masalah imigrasi, bea cukai, keamanan dan pertahanan. Oleh karena itu, suatu hal yang bijaksana bila kita memisahkan fungsi militer dengan sipil melalui pembagian areal kerja, dimana TNI AL dapat berfungsi sebagai lead sector pada kegiatan penegakan hukum di laut lepas (offshore), dan sipil (coast guard) di kawasan pesisir. Fungsi kedua dari Coast guard yaitu membantu lembaga penegakan hukum di daerah. Fungsi ini termasuk mengkoordinir lembaga penegak hukum pemerintah pusat yang terlibat di dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di tingkat daerah. Fungsi yang lain dari Coast guard yaitu ikut membantu TNI AL dalam menjaga kedaulatan nasional. Coast guard sebagai unit yang menjaga kedaulatan nasional sebuah negara pantai adalah bukan sesuatu hal yang baru. Literatur penegakan hukum di laut menyatakan bahwa coast guard unit sudah dipakai oleh banyak negara pantai di dunia (Tabel 1). BATEMAN (2003) menyatakan bahwa paling sedikit terdapat 3 keuntungan dari pendirian sebuah coast guard. Keuntungan pertama adalah manfaat secara hukum. Coast guard adalah sebuah organisasi sipil (paramilitary). Sebagai suatu organisasi sipil, organisasi coast guard lebih fleksibel atau cocok dibandingkan kapal perang (militer), dalam melaksanakan kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah yang sedang sensitif, seperti daerah konflik atau daerah yang sedang diperebutkan oleh beberapa negara. Penangkapan sebuah kapal asing oleh kapal coast guard lebih mudah diterima oleh semua pihak dan lebih legitimate dibanding dengan kapal angkatan laut. Keuntungan kedua adalah biaya yang lebih efektif atau lebih murah. Peralatan coast guard, termasuk kapal laut dan udara jauh lebih murah dibandingkan dengan kapal-kapal perang milik angkatan laut (BATEMAN, 2003). Sebagai sebuah organisasi sipil, organisasi coast guard dari negara berkembang seperti Indonesia lebih mudah untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara maju atau lembaga-lembaga donor lainnya (BATEMAN, 2003). 11

Keuntungan ketiga dari pembentukan coast guard adalah tercipta keterpaduan pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di laut. Hal ini terjadi karena semua aspek dari kegiatan kelautan, mulai dari pemantauan dan pengawasan perikanan, imigrasi dan bea cukai dapat diakomodasikan ke dalam satu lembaga. Namun harus diakui bahwa pembentukan coast guard sebagai suatu lembaga nasional yang tersendiri dalam bidang penegakan hukum di laut mungkin akan menimbulkan debat yang panas dan panjang. Pembentukan lembaga ini akan membutuhkan perubahan (amendment) dari banyak undang-undang dan peraturan yang ada tentang pengelolaan sektor-sektor kelautan di Indonesia, karena banyak peraturan yang berlaku telah memberikan kewenangan penegakan hukum di laut kepada TNI-AL. Paling sedikit terdapat undang-undang yang harus dirubah. Oleh karena itu studi kelayakan perlu dilakukan bila Pemerintah Indonesia merasa pendirian coast guard sudah merupakan suatu kebutuhan. Tujuan dari studi kelayakan ini yaitu untuk memberikan gambaran rinci mengenai manfaat/ keuntungan dan kerugian pembentukan coast guard bagi pelaksanaan kegiatan penegakan hukum di perairan Indonesia dari semua aspek kehidupan, termasuk: aspek politik, hukum, sosial dan ekonomi. Analisis secara rinci diharapkan juga dapat memberikan obyektivitas mengenai pembentukan coast guard di Indonesia. Kegiatan penegakan hukum di perairan Indonesia menghadapi beberapa kendala yang mendasar, antara lain: keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana, SDM yang terlatih, lemahnya sistem koordinasi antar lembaga pemerintah, dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan. Pembentukan lembaga pengawas dan penegak hukum di kawasan pesisir (coast guard) adalah salah satu usulan yang mungkin dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk pemecahan masalah di bidang koordinasi dan kelembagaan pada kegiatan penegakan hukum di laut. Sektor ekonomi dan politik di Indonesia sudah mulai membaik, sekarang saatnya bagi Indonesia untuk merubah paradigma tentang penegakan hukum di laut, bila tidak keindahan dan kekayaaan sumberdaya laut yang melimpah akan hilang dari perairan yang kita cintai ini. Masyarakat pesisir sangat tergantung kepada sumberdaya alam laut yang berkesinambungan, kegagalan kita menjaga sumberdaya laut, mungkin juga akan menyebabkan mereka kehilangan mata pencahariannya. DAFTAR PUSTAKA AGOES, E.R. 1997. Current Issues of Marine and Coastal Affairs in Indonesia, in The International Journal of Marine and Coastal Law, 12 (2) : 1-15. BATEMAN, S. 2003. Coast guards: New Forces for Regional Order and Security, in Asia Pacific Issues No. 65, January 2003. East-West Center : 1-13. DAHURI, R. 1995. Indonesia: National Status and Approaches to Coastal Management, In HOTTA, K and I.M. DUTTON 1995 (eds). Coastal Management in the Asia-Pacific Region: Issues and Approaches, Tokyo, JIMSTEF : 277-290. DIRHAMSYAH 2005. Indonesian Legislative Framework for Coastal and Coral Reef Resources Management: A Critical Review and Recommendation. Ocean and Coastal Management Journal No. 2409, 2005 : 68-92. 12

DJALAL, H. 2004. Piracy in South East Asia: Indonesia and Regional Responses. Paper prepared for Strategic and International Studies-American- Pacific Sealanes Security Institute Conference on Maritime Security in Asia. January 18-20, 2004, Honolulu, Hawaii :1-11. FLEWWELLING, P., C. CULLINAN, D. BALTON, R.P. SAUTTER; and J.E. REYNOLD 2002. Recent trends in monitoring, control, and surveillance systems for capture fisheries. FAO Fisheries Technical Paper. No. 415, Rome, FAO: 1-56. KOMPAS, edisi 25 Februari 2000. Banyak Kasus LH Kandas di Pengadilan. Website: http://www.kompas.com KOMPAS, edisi 11 September 2003. Indonesia Butuh Ratusan Kapal Patroli Laut. Website: http://www.kompas.com KOMPAS, edisi 8 Oktober 2004. PEMKAB Kepulauan Seribu Akan Tuntut Perusahaan Minyak. Website: http:// www.kompas.com MAJALAH ANGKASA, 8 May 2003. Menyingkap Tabir B737 Surveiller. Website: http ://www.angkasaonline.com (diakses pada tanggal 10 Oktober 2005). MAJALAH GATRA Online, 9 July 2002. Banyak Penegak Hukum Tak Mengerti Lingkungan. Website: http:// www.gatra.com NONTJI, A. 2000. Coral Reefs of Indonesia: Past, present and future. International Coral Reef Symposium. Bali, 23-27, 2000, Proceedings Vol. I: 17-27. O'CONNOR 2002. The Military Balance 1999 :127 pp. PATLIS, J.; M. KNIGHT and W. SIAHAAN 2002. Creating A Framework for Integrated Coastal Management in Indonesia: The Importance of Law, In BENGEN, D.G.; I.W. ARTHANA; I.M. DUTTON; A. TAHIR; and BURHANUDDIN (eds.) Prosiding Konperensi Nasional III 2002: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia (National Conference III of 2002: Management of Indonesian Coastal and Ocean Resources Proceedings), Bali, Indonesia, pp. V.7-V20. PET, J.S. and R.H. DJOHANI 1998. Combating destructive fishing practices in Komodo National Park: Ban the hookah compressor. The Secretariat of the Pacific Community (SPC). SPC Live Reef Fish Bulletin, 4 :1-13. SUTINEN, J.G.; J. YAHAYA; and V. HINRUNRUK 1992. Fisheries Law Enforcement Programs, Practices, and Problems in Malaysia, the Philippines, and Thailand. In : MARSH, J.B. (ed.) Resources and Environment in Asia's Marine Sector. New York Taylor & Francis Inc.: 148-161. TEMPO Interaktif Online, 27 Januari 2004 Pemerintah Siapkan Keppres Badan Koordinasi Keamanan Laut. Website: http://www.tempointeractive.com TORELL, M. and A.M. SALAMANCA 2001. Navigating the Institutional Landscape: Introduction and Overview, In : TORELL, M. and A.M. SALAMANCA, (eds.) Institutional Issues and Perspective in the Management of Fisheries and Coastal Resources in South East Asia, SIDA and ICLARM: 1-14. 13